In Memoriam: K.H. Achmad Siddiq

Sumber Foto; https://peradaban.id/rais-aam-dan-ketua-tanfidziyah-pbnu-dari-masa-ke-masa/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sudah sejak beberapa bulan sejumlah ulama berfirasat tajam mengingatkan penulis; bahwa NU akan kehilangan lagi seorang ulama besar. Bahkan Kiai Dahlan Trenggalek agak eksplisit: NU jangan bergantung hanya kepada satu orang, siapapun orangnya. Bahkan Kiai seampuh Kiai Ahmad Siddiq pun hanya seorang manusia belaka, yang dapat dipanggil Tuhan sewaktu-waktu. Kiai Hamin Jazuli Ploso (Kediri), alias Gus Miek, memberi isyarat tanggal 16 Desember yang lalu, agar NU mempersiapkan calon Rais Aam baru.

Karenanya, sewaktu mendengar Kiai Ahmad (begitu penulis senantiasa menyebutnya, tanpa menyebut nama ayahnya Kiai Siddiq) masuk rumah sakit, penulis sudah mempersiapkan hati dan pikiran untuk menerima berita yang terburuk sekalipun. Namun di kala kabar itu datang. Ia tetap saja merupakan pukulan palu godam yang meremukkan hati dan menggoncangkan jiwa. Hanya dengan disiplin baja penulis mampu menahan diri untuk tetap bersikap tenang dan berlaku normal seperti biasa. Padahal keinginan hati langsung berangkat ke Surabaya, lalu langsung ke Jember. Paling tidak, agar dapat melihat wajahnya untuk terakhir kali, sebelum dikuburkan. Untuk mereguk kemuliaan hati, pikiran dan sikap jiwanya.

Ya, Kiai Ahmad memang seorang mulia. Bukan karena ia melebihi manusia lain. Sering ia bersikap ragu, bahkan ia mungkin adalah peragu kelas berat. Juga sering bersikap emosional dalam menghadapi urusan-urusan kecil. Begitu pula, ia terkesan menutup diri manakala menghadapi gencetan dan serangan dari kanan-kiri. Dan mungkin terlalu mudah menerima pertimbangan orang-orang di sekitarnya di Jember atau di tingkat Jawa Timur, sehingga sering menjadi pusing sendiri.

Tetapi, semua kekurangan kecil itu justru mempertegas kemuliaan jiwa, hati dan pikirannya. Bahwa sebagai manusia dengan keterbatasan-keterbatasan seperti itu, ia justru dapat meraih ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh mereka yang lebih kuat. Bahwa dengan kelemahan itu ia justru mampu menjadi nakhoda yang membawa kapal NU mengarungi badai dahsyat setelah NU kembali kepada khitthah-nya semula. Dan tetap mampu menjaga agar Nu tetap berada pada alur sunnah (jalan)-nya semula. Mendiang Presiden John F. Kennedy pernah menggambarkan kepemimpinan sebagai sikap nakhoda kapal yang tengah menempuh badai. Bukan berlari-lari menimba air kembali ke laut, seperti para kelasi. Tetapi membuang jangkar dan lalu tidur, menunggu badai berlalu. Baru setelah itu membuang sauh dan membawa kembali kapalnya berlayar. Seperti itulah kira-kira sikap Kiai Ahmad dalam memimpin NU. Dengan catatan ia tidak langsung tidur, tetapi lebih dahulu bersembahyang malam, menyerahkan segala urusan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

NAKHODA berpegang kepada susunan perbintangan di cakrawala yang cerah. Kiai Ahmad berpegang kepada sejumlah kaidah hukum agama yang membawakan tatanan masyarakat yang ideal. Kaidah akan pentingnya memelihara keselamatan umat yang dipimpin. Kaidah akan pentingnya mencapai cita-cita secara bertahap. Kaidah akan pentingnya perlindungan kepada pihak lain yang lebih lemah. Kaidah pentingnya persaudaraan antar manusia ditegakkan dengan segala daya upaya. Kaidah akan pentingnya arti atas kemanfaatan sesuatu tindakan atau langkah yang diambil. Sikap seperti itu ia peroleh dari kesetiaannya kepada hukum agama (fiqh). Dan itulah salah satu sisi yang berhasil digunakannya untuk mewarnai kehidupan NU sejak ormas itu dipimpinnya.

Tetapi, ia bukan hanya pengikut hukum agama yang setia dan patuh. Ia, juga memiliki spritualitas atau derajat  kerohanian yang memperkaya sikap taat dan patuh itu. Melalui pergaulan eratnya dengan almarhum Kiai Hamid Pasuruan dan Gus Miek, dan melalui keterikatannya kepada ritus Dzikrul Ghafilin (Pengingat Mereka yang lupa), ia mampu mengembangkan sebuah dimensi lain dalam situasi keagamaan warga NU; kecintaan dan kasih-sayang yang mengatasi perbedaan, apapun perbedaan antar manusia yang terdapat. Sejak tahun-tahun tujuh puluhan ia melakukan pengembaraan rohani seperti itu, dan sewaktu ia menjadi Rais Aam PBNU getaran rohani penuh kasih sayang kepada sesama itu telah membentuk sikap dan kepemimpinannya.

Bertolak dari dimensi kerohanian atau spritualis itulah, ia mengajukan uluran tangan persaudaraan kepada Muhammadiyah. Gayung bersambut, dan bergandengan tanganlah Kiai Ahmad dan Pak AR, Ketua PP Muhammadiyah waktu itu. Proses yang menyejukkan hati umat Islam mulai menggelinding, betapa lambatnya pun gerak langkah yang dilalui. Kepada umat non-muslim ditawarkannya wawasan persaudaraan mereka yang sebangsa (ukhuwwah wathanoyah). Orang tidak perlu dibedakan hanya karena berlainan agama atau keyakinan. Wawasan yang diajukan dalam Munas NU tahun 1987 di Cilacap itu tidak hanya menyentuh kaum non-muslimin saja, tetapi juga orang Islam yang tidak tergabung dalam gerakan Islam manapun. Muslim formal, muslim informal dan muslim nonformal dianggap sesama saudara, sebuah sikap yang menyejukkan.

RUMUSAN Kiai Ahmad, yang  diterima muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 tentang hubungan agama dan negara, juga diwarnai oleh pengertiannya yang mendalam akan hakikat persoalan utama kita sebagai bangsa. Negara kesatuan republik Indonesia adalah  bentuk final perjuangan kaum muslimin adalah rumusan sederhana dengan implikasi sangat jauh bagi pluralitas corak kehidupan bangsa kita di masa depan. Akan semakin berkembanglah pluralitas itu, dengan keberkahan bagi semua, ataukah sistem akan dikikis oleh sektarianisme agama? Jawaban Kiai Ahmad merupakan siraman segar bagi pluralitas corak kehidupan bangsa kita di masa depan. Sisi ini dari Kiai Ahmad, di samping karena penguasaannya yang mendalam atas hukum agama dan spiritualitas jiwanya yang penuh kasih-sayang, juga bersumber pada derajat kecendekiawanan almarhum. Diikutinya pertumbuhan bangsa ini dengan kepedulian yang jujur dan konsisten. Kecendikiawanan yang diwarnai oleh kepedulian mendalam atas nasib masa depan bangsa itulah yang melahirkan keberanian melahirkan gagasan besar yang demikian drastis bagi seorang pemimpin formal gerakan Islam.

Menjadi munafik-kah  Kiai Ahmad kepada agamanya sendiri? Ternyata tidak. Dalam sebuah sidang DPA ia berkeras pada pendirian bahwa hanya seorang muslim yang dapat diterimanya sebagai kepala negara, sebagai Presiden/Mandataris MPR. Mungkin pandangan yang tidak konsisten dengan wawasan persaudaraan umat sebangsa yang dilontarkannya sendiri. Tetapi yang dapat dipahami wajar saja keluar dari seorang Kiai yang memimpin sebuah ormas Islam. ‘Penyimpangan’ pandangan seperti ini tidak mengurangi sedikitpun kebenaran wawasan hukum keagamaan, spiritualitas penuh kasih sayang dan kepedulian seorang cendikiawan yang dimilikinya dalam penimbangan demikian baik.

Kiai Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar membawakan ketinggian derajat kompetensi ilmu keagamaan sangat tinggi ke  dalam tubuh NU, yang masih menjadi standar kepemimpinan tertinggi orang itu. Kiai A. Wahab Hasbullah membawakan ke dalam kedudukan Rais Aam NU kegigihan mempertahankan pluralitas partai politik, berhadapan dengan gagasan Bung Karno waktu itu, pluralitas yang ternyata masih bertahan dalam tatanan politik kita saat ini. Padahal ia adalah unsur utama bagi proses demokratisasi kita yang semakin matang dan penuh tantangan di masa depan. Kiai Bisri Syansuri membawakan dua hal yang sebenarnya saling berlawanan; kegigihan membela hukum agama di hadapan proses modernisasi yang sering berbentuk pembaratan/westernisasi sekuler. Kiai Bisri mampu mengembangkan fleksibilitas sikap terhadap proses tersebut, dengan tetap memelihara esensi hukum agama. Kiai Ali Ma’shum melanjutkan dialog antara hukum agama dan proses modernisasi itu dengan memperdalam cakrawala filosofis para ulama NU. Hasilnya adalah rekonsiliasi positif antara Islam dan Pancasila, yang oleh Kiai Ahmad Imran Rosyadi, SH dan almarhum Dr. KH Tholhah Mansur dikonkritkan dalam bentuk rumusan “Pancasila adalah asas NU, sedangkan Islam adalah aqidahnya.”

Kontinuitas missi yang dibawakan oleh empat orang pemimpin tertinggi NU di masa lampau itu dimantapkan oleh almarhum Kiai Ahmad Siddiq dengan sumbangan-sumbangannya yang telah diuraikan di atas. Masa depan NU tergantung pada kemampuan Rais Aam berikut untuk melanjutkannya dengan missi lebih konstruktif lagi dalam menghadapi era industri dan pasca-industri dalam abad ke-21 nanti.