| Judul |
|---|
| Zaman Baru Islam Indonesia – Pemikiran & Aksi Politk |
| Editor (Penyunting) |
| Dedy Djamaluddin Malik, Idi Subandy Ibrahim |
| Penerbit |
| Zaman Wacana Mulia, Bandung, Januari 1998 (cetakan ke-1) |
| Kategori |
| 4 Tentang Gus Dur, Buku Tentang Gus Dur, Karya Tulis Tentang Gus Dur |
| Arsip Tahun |
| 1998 |
Judul Tulisan
Isi Buku
Dari Penerbit
Ucapan Terima Kasih
Kata Pengantar
Para Tokoh dan Problem Kepemimpinan Umat oleh Mohammad Sobary
Sekapur Sirih Penulis
Wacana-wacana Agama dalam ”Teater”
Developmentalisme
Bab I. Mukadimah: Memasuki Zaman Baru
- Latar Belakang
- Fenomena ”Mediacracy” dan Zaman Baru
- ”Islam Pembangunan”
- Figur Baru, Pergeseran Pola Kepemimpinan Umat
- Memahami Wacana Baru, Sasaran dan Tujuan Telaah
- Zaman Baru, Jembatan Antargenerasi
- Studi Pemikiran dan Posisi Intelektual Muslim
- Hermeneutika Sosial: Menafsirkan Pemikiran dan Aksi Politik
Bab II. Zaman Baru, Figur Baru: Sketsa Biografi Kehidupan Intelektual Muslim
- Abdurrahman Wahid
Mengembangkan Humanisme Baru - M. Amien Rais
Menyuarakan Keadilan Sosial - Nurcholish Madjid
Mengembangkan Moralitas Politik - Jalaluddin Rakhmat
Menjembatani Kesenjangan Antarmazhab
Bab III. Wacana Baru, Gejolak Baru: Pemikiran dan Aksi Politik Intelektual Muslim
- Islam dan Wacana Negara
- Islam dan Wacana Pembaruan
- Islam dan Wacana Ilmu Pengetahuan
- Islam dan Wacana Modernitas
- Islam dan Wacana Keadilan Sosial
Bab IV. Media Baru, Publik Baru: Saluran Artikulasi dan Infiltrasi Wacana
- Fokus Wacana Pemikiran (Titik Berat Pesan)
- ”Style” dan Struktur Bahasa (Cara Penyajian Pesan)
- Titik Konvergensi Wacana (Imbauan Pesan)
- Wacana Keterbukaan
- Wacana Kritis Rasional
- Wacana Kebebasan Berpendapat
- Media, Publik Baru, dan Infiltrasi Wacana (Saluran Artikulasi dan Efek Pesan)
Bab V. Masa Depan Pemikiran Intelektual Muslim
- Khatimah
- Mencoba Memprediksi Prospek Wacana Intelektual
- Islam Pasca-Soeharto
Apendiks
- Suara-suara Spiritual dalam Hutan Lebat Wacana Intelektual
- Suara Demokrasi Gus Dur: “Saya Ingin NU Jadi Gerakan Kultural”
- Suara Keadilan Amien: ”Bayangkan, Gunung 2000 Meter Sudah Menjadi Danau”
- Suara Moralitas Politik Cak Nur: ”Oposisi tak Identik Menentang Terus”
- Suara Ukhuwah Jalal: ”Dikotomi Sunni-Syi’ah Tidak Relevan Lagi”
Kepustakaan
Indeks
Tentang Penulis
Sinopsis
Buku ini adalah buku pertama kali yang diterbitkan oleh Penerbit Zaman, yang memuat pikiran-pikiran kritis atas fenomena yang tengah terjadi di Indonesia saat itu. Lebih khususnya ‘meng-highlight’ pemikiran empat tokoh terkemuka tanah air: Nurcholish Madjid, Gus Dur, Jalaluddin Rakhmat, dan Amien Rais.
Mereka berempat adalah pionir soal gagasan keislaman, menjadi rujukan banyak orang. Keempat tokoh tersebut memiliki daya jangkau pemikiran sosial politik dan keagamaan yang luas dan kompleks. Tidak berlebihan jika menyebut keempatnya adalah representatif dari wajah muslim Indonesia, yang plural, beragam. Gus Dur lahir dari kalangan nahdliyyin (NU), Amien Rais dari Muhammadiyah, Cak Nur dan Kang Jalal di luar dari keduanya. Mereka lahir dari kultur yang berbeda. Namun semuanya memiliki ‘umat’ masing-masing. Dalam ilmu marketing, punya pasar sendiri-sendiri.
Menariknya adalah bagaimana keempatnya memproduksi gagasan dan mengeksplorasi gerakan saat Orde Baru berkuasa dan pasca Soeharto tumbang atau disebut sebagai zaman baru (new era). Nah, membaca buku ini kita diajak menyelami kondisi keberislaman keempat tokoh dalam menghadapi dua situasi yang berbeda.
Sebagaimana diketahui, pasca runtuhnya Orde Baru, iklim sosial budaya juga ekonomi politik berubah. Yang asalnya kehidupan yang penuh serba pembatasan dan pengendalian, kemudian bergeser menjadi terbuka. Kritik sosial dan diskursus keagamaan pun tumbuh subur. Termasuk di antaranya muncul gerakan-gerakan Islam yang eksklusif dengan ditandai gejolak-gejolak politik berjubah agama, ingin memformalkan Islam (syari’atisasi).
Diakui sebelumnya, ideologi pembangunan—developmentalisme ala Orba—telah memainkan perannya, menjadikan agama sebagai alat stabilitas. Negara mengontrol podium, mimbar-mimbar keagamaan. Boleh bicara, asal dengan narasi penguatan pembangunan. Islam dijinakkan untuk kepentingan negara. Situasi tersebut justru melahirkan sosok tokoh intelektual papan atas, yang menelurkan wacana pemikiran Islam kultural dan modernis. Hal inilah yang menarik dalam studi Islam Indonesia.
Dari buku ini, kita diajak menyelami fenomena, membaca sketsa kehidupan para tokoh, dan bacaan atas wacana keislaman. Terutama tantangan dan gejolak baru yang akan dihadapi umat Islam. Buku ini cukup menarik, karena kita mendapatkan hidangan beragam sudut pandang pemikiran dari para tokoh, sehingga memperkaya bacaan. Selain itu, disertakan wawancara-wawancara dari keempat tokoh yang pernah dimuat di media.
Seperti wawancara Gus Dur “Saya Ingin NU Jadi Gerakan Kultural” (Tempo, 1996). Dalam obrolan itu, Gus Dur menanggapi pertanyaan tentang hubungan NU dan Muhammadiyah, perbedaan karakter dan agenda gerakan kultural antara keduanya. Serta tanggapan hubungan kelompok Islam di pemerintahan Orde Baru. Mengenai hal ini, ada ulasan menarik tentang definisi santri menurut Gus Dur. Santri bukan hanya orang yang pernah mukim atau ngaji di pesantren. Tapi kalau ada orang yang mau menjalankan ajaran Islam, walaupun tidak lulusan pesantren, bisa dianggap sebagai seorang dengan kepribadian santri.