Mengembangkan Humanisme Baru

Sumber Foto: https://www.pinterpolitik.com/terkini/keluarga-gus-dur-tinggal-kepingan/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

“Islam sebagai agama universal, agamanya jenis bangsa yang berbeda-beda, tidak dihadapkan kepada identitas formal kebangsaan…. Kemampuan menyatukan kedua unsur universal dan kebangsaan itu, tanpa melenyapkan kehadiran fisik salah satunya, merupakan modal yang membuat NU mampu menyelesaikan proses penempatan ideologi bangsa dan teologinya sendiri. Ideologi bangsa diterima sebagai landasan hidup yang bersifat yuridis-konstitusional, sementara Islam sebagai aqidah berfungsi sebagai landasan teologis-kultural.”

Sepak terjang politiknya sulit diraba. Ia menjadi seorang power actor, yang setiap kata-katanya tidak mungkin dipahami begitu saja secara tekstual. la pernah menyatakan bahwa dilihat dari hubungan dengan kekuasaan, kebudayaan kita sesungguhnya sudah mati, terkubur mengabdi pada kepentingan lembaga-lembaga kekuasaan. Ia mengkhawatirkan bila agama, politik atau budaya diideologikan fungsinya bisa terdistorsi. Karena, dalam pandangannya, ketika agama diideologikan, ketika politik diideologikan dan juga budaya diideologikan yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan korban-korban yang berserakan. Tak heran kalau ia juga mengecam setiap wajah formalisme dan feodalisme dalam agama serta benih-benih sikap primordial dan sektarian yang dinilai akan memasung pluralitas dunia kehidupan. Sejak melontarkan pemikiran-pemikirannya pada pertengahan 1980-an ia senantiasa mewarnai wacana media massa di tanah. Berangkat dari dunia pesantren ia dinilai berhasil menepiskan anggapan sebagian komunitas Islam kota terhadap kejumudan dunia pendidikan Islam tradisional. Kolom-kolom awalnya menyadarkan orang akan tidak berdasarnya stereotip yang sering dialamatkan kepada para kiai selama ini. Memasuki dasawarsa 1990-an langkah politiknya lebih ‘gila’ lagi. Bagi sejumlah komunitas Islam. ia pernah dikecam habis-habisan karena dukungannya terhadap seorang Jenderal yang justru dinilai pernah menyudutkan umat Islam atau pendapatnya yang berani ‘keluar dari mainstream umat saat marak kasus Monitor dulu. Kemudian bersama sejumlah tokoh yang ada di pinggir kekuasaan ia mengelindingkan Forum Demokrasi. Dengan itu, ia justru mengambil resiko berseberangan dengan pendukung status quo. Ketika seorang Romo disudutkan karena dinilai melindungi tokoh PRD, ia justru tampil menjadi pembela, Dan, karena konsistensinya dalam mengembangkan sikap toleransi antarumat beragama memungkinkan ia menerima penghargaan bergengsi, Ramon Magsaysay. Menjelang Pemilu 1997, ia ‘menggandeng’ Mbak Tutut tanpa meninggalkan Mbak Mega. Masih dalam kesempatan yang sama, bersama Mbak Tutut dan R. Hartono ia melakukan ‘sapari politik’ ke kantong-kantong NU di Jawa Timur. Sebelumnya pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1995, ia sempat diguncang oleh kubu Abu Hassan, tapi ia tidak collapse. Setelah itu, suhu hubungannya dengan pemerintah sempat agak ‘panas’. Namun, kalau sebelumnya ia pernah diguncang lewat ‘Deklarasi Genggong’, kali ini justru di sanalah ia bisa bersalaman dengan Pak Harto. Ada yang menyebut peristiwa itu sebagai salaman politik’. Dengan segala sepak terjangnya itu ia benar-benar menjadi sosok kiai yang mewarnai langit intelektual bebas di tanah. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur, panggilan akrab K.H. Abdurrahman Wahid, tokoh paling kontroversial di panggung politik Indonesia. Kiai yang sepak terjangnya sering dibilang ‘nyleneh’ itu kini memimpin salah satu ormas Islam terbesar, NU. Ia lahir di Denanyar, Jombang, pada 4 Agustus 1940.

Lalu, bagaimana kalau kita bermaksud memahami lebih jauh kiprah dan sepak terjang Gus Dur selama ini. Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun punya pandangan yang menarik. Menurut Cak Nun, segala dimensi perilaku kecenderungan watak dan pola sepak terjang Gus Dur, pada sejumlah hal. mungkin harus dijelaskan melalui perspektif nilai dan realitas yang –telah berlangsung-sejak dulu kala. Karena manusia ‘dilahirkan tidak hanya oleh ibunya, tapi juga oleh struktur nasabnya. Alhasil, menurut Cak Nun, siapa pun saja yang ingin memahami Gus Dur, perlu meneropongnya dari masa depan, tapi juga perlu menolehnya di masa silam.

Baiklah, marilah kita mulai melakukan deskripsi masa lalu Gus Dur sambil meneropong sepak terjangnya di masa datang. Sejak kecil Gus Dur dididik dan dibesarkan dalam keluarga pesantren dan di bawah naungan keluarga ulama. Kakeknya sendiri adalah Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pelopor Pesantren Tebuireng. Jombang, Jawa Timur. K.H. Wahid Hasyim adalah ayah Gus Dur yang pada 1950 menjabat sebagai Menteri Agama R.I. Sedangkan K.H. Bisri Syamsuri adalah kakek Gus Dur dari jalur ibundanya.

Kala menapak usia yang masih tergolong kanak-kanak, Gus Dur sering dijuluki Abdurrahman Addakhil. Pada saat bocah itu, tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Di saat serumah dengan kakeknya itulah, Gus Dur kecil mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.

Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya pindah ke Jakarta. Saat itu ayahnya, K.H. Wahid Hasyim dilantik sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, sehingga mereka harus bermukim di Jakarta. Di sana, keluarga Gus Dur tinggal di Hotel Des Indes yang belakangan menjadi pusat pertokoan Duta Merlin. Karena kedudukan sang ayah ini pula, untuk kesekian kalinya, Gus Dur cilik bisa akrab dengan dunia politik yang didengar dari rekan-rekan ayahnya yang sering mangkal di rumah mereka. Lagi pula, Gus Dur sendiri adalah seorang bocah yang tergolong amat peka mengamati dunia sekelilingnya. Tak heran, menurut pengakuan ibunya, Ny. Wahid Hasyim, “Sejak usia lima tahun, dia sudah lancar membaca. Gurunya, waktu itu, adalah ayahnya sendiri.”

Selain melahap segala macam buku, kegemaran Gus Dur yang lain adalah main bola, catur, musik dan nonton film. Dalam soal buku, di samping memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya, Gus Dur kecil pun aktif menjadi anggota perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, segala jenis majalah, buku dan surat kabar, habis dilahapnya. Mulai dari filsafat, sejarah, agama, cerita silat hingga fiksi sastra, tak sedikit pun ia lewatkan. Tak heran, kalau kemudian Gus Dur sendiri mengakui, “Saya ini nggak punya pacar. Dari kecil saya takut dengan cewek. Teman main saya cuma buku dan bola.”

Sementara itu, perkenalannya dengan musik dimulai lewat pertemuannya dengan seorang pria Jerman, bernama Iskandar yang kebetulan kawan ayah Gus Dur. Konon, dari Iskandar ini sedikit banyak kecintaan Gus Dur terhadap dunia musik mulai tumbuh. Dan, Iskandar sendiri saat itu sudah banyak memperkenalkan khazanah musik klasik. Dari Iskandarlah, Gus Dur tertarik dan belajar mendalami musik klasik. Dan, bahkan akhirnya membuat Gus Dur menjadi pencinta berat musik klasik.

Gus Dur memang tidak menjadi pemusik, meskipun apresiasinya terhadap musik begitu pekat. Suaranya memang tidak mengajak kita bergoyang seperti tarikan majis alunan dangdut Rhoma Irama, tapi kini sulit dibantah bahwa “tarian” dan “nyanyian” politik Gus Dur bisa mengguncang wacana politik dan geliatnya terus ditungggu dari rakyat seantero nusantara ini. Pemikiran Gus Dur terhadap musik di tanah air juga menjadi sisi lain yang menarik. Saat pelepasan album Perahu Retak yang merupakan karya bersama Emha Ainun Nadjib dan Franky Sahilatua, Gus Dur mengemukakan perlunya musik kita mencari sisi edukatif. Lebih jauh saat acara peluncuran album tersebut, Gus Dur berkomentar:

“Musik-musik Indonesia yang ada kini semuanya cengeng dan dangkal. Kesyahduan dan ketulusan telah hilang sehingga pengaruh musik sekarang terhadap pendengarnya tidak lagi seperti musik-musik dahulu. Para pencipta tidak membuat sebuah lagu agar menyentuh pendengarnya, tetapi lebih atas motif untuk bisa dijual. Tema-tema cinta banyak disamakan dengan rangsangan birahi. Untuk memperbaiki keadaan itu, musik Indonesia perlu lebih menggali sisi edukatifnya sehingga pengaruh terhadap pendengarnya akan lebih mendalam.”

Lalu, siapa yang mengira bahwa sewaktu kecil, Gus Dur sama sekali tidak pernah bercita-cita jadi ulama apalagi politisi? Tapi inilah kenyataannya. la justeru bercita-cita menjadi tentara dan saat bocah ia justru ingin sekali masuk AKABRI. Namun, cita-cita itu kandas, ketika pada usia 14 tahun, ia harus memakai kacamata minus. Namun kandasnya cita-cita itu, tak membuat minat Gus Dur terhadap buku, sepak bola, seni, catur dan nonton film, berkurang sedikit pun.

Kegandrungan terhadap beragam hal tersebutlah yang membuat sekolah formalnya cukup terganggu. Bahkan, kegilaan Gus Dur pada bidang-bidang tersebut menyebabkan ia harus menelan pil pahit saat ia gagal naik kelas tiga SMEP pada 1955. Untuk nilai matematika dan tata buku–mata pelajaran pokok di SMEP–Gus Dur kecil mendapat angka minus. Saat itu, nilainya babak-belur. Semua itu menjadi pelajaran berharga baginya.

Namun, sejak dini agaknya Gus Dur bukanlah tipe anak yang mudah menyerah pada keadaan. Walaupun menapak usia ke dua belas, Gus Dur bersama kelima saudaranya sudah menjadi yatim. Kisahnya bermula ketika pada 1955, ayah Gus Dur mengajak keluarga berlibur ke Bandung. Ajakan sang ayah merupakan ganjaran atas keberhasilan Gus Dur, lulus Sekolah Rakyat — setingkat SD sekarang. Juga, pada saat bersamaan, Gus Dur berhasil meraih juara pertama lomba mengarang sewilayah Kota Jakarta. Tawaran simpatik sang ayah, sudah pasti membuat hatinya girang. Lalu, berangkatlah mereka menuju Bandung. Tragisnya, sebelum sampai di Kota Kembang itu, kendaraan yang mereka tumpangi mendapat kecelakaan lalu lintas di tengah perjalanan. Dalam peristiwa tersebut, sang ayah tak tertolong dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Semenjak kepergian suaminya, Ny. Solihah, ibu Gus Dur, mulai terbiasa hidup mandiri; membesarkan, mendidik dan membiayai segala keperluan para putranya. Dalam situasi yang serba sulit ini, niat sang ibu yang sudah sekian lama terpendam, mulai mendapatkan momentumnya. Lama sudah terbersit dalam lubuk hati sang ibu untuk menjadikan anak-anaknya sebagai generasi penerus NU. “Dalam benaknya, NU ibarat sebuah ormas keluarga. Didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari, kakek kandung Gus Dur, dan dibesarkan oleh K.H. Wahid Hasyim. Wajar bila ia menginginkan salah seorang puteranya tampil sebagai generasi penerus.”

Niat tersebut semakin menyala tatkala sang ibu mulai merasakan bahwa sendi-sendi keagamaan anaknya yang diberikan secara ketat di dalam keluarga kini mulai luntur bersamaan dengan kepindahan mereka ke Jakarta. Keadaan ini mengkhawatirkan ibunda Gus Dur akan lunturnya identitas keluarga mereka yang selama ini begitu kuat memelihara tradisi keulamaan. “Saya ingin agar dia kembali pada latar belakangnya sebagai anak kiai yang mendekati pesantren”, kata Ny. Wahid Hasyim suatu saat kepada Editor.

Tampaknya, Gus Dur memahami benar niat luhur ibunya tersebut. Pada 1955, ia pamit kepada sang ibunda guna melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Di sana, ia masuk SMEP Gowongan, sambil mondok di Pesantren Krapyak. Di pesantren, kegandrungan Gus Dur terhadap buku, kian menjadi-jadi. Kala itu, ia bahkan sudah dibantu oleh kemampuannya dalam menguasai bahasa Inggris yang dipelajarinya lewat radio Voice of America dan BBC London. Tak heran, kalau pada usia 15 tahun, bocah ini sudah melahap Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato, Thalles, novel-novel William Bochner dan buku-buku –lain yang dipinjamkan gurunya di SMEP Yogya.

Tiga tahun setamat dari SMEP Yogyakarta, Gus Dur lalu melanjutkan “nyantrinya” di pesantren Tegalrejo, Magelang. Ketika tiba di sana, seluruh penghuni kaget. “Saya membawa sekarung buku koleksi,” kisah Gus Dur. Ini satu kebiasaan yang jarang terjadi di kalangan santri saat itu. Tak ayal, di pesantren ini Gus Dur segera dikenal oleh kawan-kawan santrinya yang lain. Karena, di samping ia rajin belajar mendalami ilmu agama, ia juga sering mempertontonkan kemampuannya yang lain: “humoris dan pandai bicara.” Mengenai kekayaan khazanah humor ini, hampir semua orang-orang terdekat Gus Dur bisa dipastikan masing-masing punya kisah yang agaknya menunjukkan bahwa untuk para peneliti yang berminat mengkaji kekayaan humor Gus Dur atau kiai-kiai yang lain, hal ini akan menjadi suatu studi yang amat menarik.

Dalam iklim budaya politik yang di sana-sini muncul gejala penumpulan daya imajinasi dan kecerdasan akal budi, tampaknya orang seperti Gus Dur menyadari betul bahwa mengajak tertawa adalah obat terbaik. Kesumpekan wacana politik dan belitan persoalan ekonomi yang dihadapi rakyat kecil, sementara di sana-sini muncul retorika yang mengagungkan nalar hedonisme di dalam masyarakat uang’, humor atau anekdot memang bisa menjadi semacam katarsis atau bahkan sebagai proyek penyadaran. Tak heran, ketika berlangsung ‘proyek’ kuningisasi menjelang Pemilu 1997 yang lalu, Gus Dur –bersama orang semacam Jaya Suprana– ‘mengkampanyekan’ supaya orang Jawa Tengah tidak usah sikat gigi saja. Gus Dur bahkan pernah menyebut DPR itu seperti badut sehingga lebih lucu daripada Srimulat.

Kalau kita merenung sejenak, anekdot atau humor yang memancar dari kearifan seorang kiai seperti Gus Dur, sebenarnya bisa dipandang sebagai cara untuk melakukan resistensi terhadap arogansi kekuasaan yang mungkin hanya bisa dihadapi dengan humor karena tak mungkin dilawan dengan senjata. Itulah barangkali sebabnya mengapa orang seperti Gus Dur merasa perlu memberi pengantar untuk buku semacam Mati Ketawa Cara Rusia. Seperti judulnya, buku itu berisi guyonan ala rusia. Tapi, bagi Gus Dur bahkan banyak peristiwa politik termasuk di tanah air sesungguhnya hanyalah dagelan.

Tentang kekayaan humor orang nomor satu di NU ini, Jalal, misalnya, pernah bercerita bahwa Gus Dur mempunyai perbendaharaan humor yang kaya, mencakup berbagai bangsa, Menurut Jalal, Gus Sendiri sebenarnya orang aneh. Dan, tak heran kalau orang biasanya sulit menebak dan tak jarang terpeleset dalam memahami sepak terjang atau pun pernyataan dari orang aneh ini. Lebih jauh Jalal mengisahkan:

“Ketika saya tanya mengapa anak kiai belajar psikologi (psikologi klinis lagı), Gus Dur menjawab, “Di NU banyak yang gendeng“. Saya bertanya lagi, “Apakah bukan karena ia ingin berkhidmat kepada bapaknya?”

Kembali kepada pendidikan pesantren yang ditempuh Gus Dur, selama sekitar tiga tahun ia menimba ilmu di Pesantren Tegalrejo. Namun ia merasa pendalamannya terhadap ilmu agama, masih belum cukup juga. Lalu, ia memutuskan untuk kembali ke Jombang. Pada 1960, ia kembali ke Pesantren Denanyar, untuk belajar di pesantren kakeknya dari nasab ibu, yakni K.H. Bisri Syamsuri. Sambil mondok di sana, ia juga sudah mulai diberi kesempatan mengajar di pesantren Tambakberas, sekaligus diserahi tugas sebagai Sekretaris Pesantren.

Selama di pesantren, hari-hari Gus Dur banyak dihabiskan hanya untuk mengaji. Sehabis Subuh, ia mengaji tiga kitab kepada K.H. Fatah. Kemudian pukul 10.00, ia mengajar. Lepas Zuhur, ia ngaji lagi dua kitab kepada K.H. Masduki, dan diteruskan dengan sorogan di rumah Bisri Syamsuri. Malam hari, ia mengaji lagi kepada Kiai Fatah. Di sela-sela kesibukan mengaji, rupanya sifat keberandalannya sebagai seorang anak, tampak juga di sana.

Di bawah ini, sekadar cerita seperti yang pernah dituturkannya kepada Editor:

Suatu ketika, ia dan seorang temannya tertangkap basah sedang mencuri ikan di empang Kiai Chudori, pengasuh Pesantren Tegalrejo. Kemudian mereka diadili. Tapi dengan cerdik, Gus Dur berkelil “Justru saya sedang menangkap orang yang mau nyolong ikan, Kiai.” Sang Kiai pun, lalu percaya.

Setelah menimba ilmu dari pesantren sesuai dengan harapan ibunya, masih pada tahun 1960-an itu pula Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Mesir melalui beasiswa Departemen Agama yang saat itu dijabat oleh Saefuddin Zuhri dari NU. Gus Dur yang ketika berangkat ke Arab itu berumur 23 tahun, mengaku sudah menyelesaikan gramatika bahasa Arab 1000 baris yang sudah dihapalnya di luar kepala. Sehingga setelah sampai di Mesir itu ia langsung nggandeng dengan ilmu-ilmu Islam yang ia pelajari di sana.

Di Mesir itu, Gus Dur mengambil spesialisasi bidang Syari’ah. Namun. setelah sekitar tujuh tahun belajar, ternyata ia merasa tak betah belajar di Mesir. Sebab menurutnya materi yang diajarkan di sana tak ubahnya ibarat di pesantren. “Yang diajarkan di sana, ya Jalalayn lagi,” ungkap Gus Dur kesal. Akibatnya, di Mesir itu, Gus Dur lebih memilih aktif di organisasi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia daripada menekuni belajar. Di Mesir itulah, seperti dikatakan Gus Dur, ia lebih banyak punya kesempatan membaca buku di perpustakaan Kairo. Waktu selebihnya, ia manfaatkan untuk nonton film yang bagus.

Meski demikian, bagi Gus Dur belajar di Mesir bukan tanpa kesan. Menurut pengakuannya, di Mesir itulah ia banyak memperoleh paham “sosialisme yang berbudaya”. Orang-orang Arab, kata Gus Dur, sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya. Hal itu dilakukan karena mereka tak punya tempat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama. Demikian menurut pandangan Gus Dur.

Merasa tak betah belajar di Mesir, Gus Dur lalu pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas Bagdad, Fakultas Sastra. Mutu Universitas Bagdad, menurut kacamata Gus Dur, cukup bagus khususnya dalam bidang sastra. Tak lama kemudian, di tempat inilah, bakat empirismenya tumbuh pesat. Di lingkungan yang baru itu, Gus Dur banyak membaca karya-karya seperti pemikiran Emile Durkheim. Minatnya tentang Indonesia, juga tumbuh di universitas tersebut, karena referensi tentang Indonesia juga cukup banyak tersedia di perpustakaan Bagdad. Di Universitas Bagdad itulah, ia diminta untuk meneliti asal-usul historis Islam di Indonesia.

Dan, apa mesti dikata, di saat Gus Dur begitu sibuk menenggelamkan diri selama belajar di Irak, terbetik kabar dari kampung sana, bahwa adiknya bendak menikah. Sebagai kakak, Gus Dur merasa agak tak enak bila dilangkahi. La lantas meminta kakeknya Kiai Bisri Syamsuri, lewat surat, agar mewakili dirinya naik ke pelaminan. Yang dipersunting Gus Dur tak lain adalah Siti Nuriyah, muridnya ketika menjadi guru agama di Tambakberas.

Seperti dikisahkan Gus Dur, sebelum ke Mesir, ia memang sudah meminta langsung kepada orangtua si gadis agar diberi restu untuk menikahi anaknya. Saat itu, orangtua Nuriyah hanya menyatakan, terserah anak saja. Sehabis peristiwa tersebut, tak pernah Gus Dur berjumpa lagi dengan Nuriyah. Tetapi, sewaktu di Mesir, Gus Dur mengaku sering menulis dan melayangkan surat cinta kepada Nuriyah.

Pada 11 Juli 1968, kawin “jarak jauh” antara Gus Dur dengan Nuriyah terjadi di Tambakberas. Sesuai permintaan Gus Dur sendiri, Kiai Bisri Syamsun kala itu bertindak sebagai wakil pengantin lelaki. Para tamu undangan sempat dibuat geger. “Aduh, kasihan Si Nuriyah, suaminya sudah tua betul, ya!” Begitu komentar mereka saat itu. Tetapi kesalahpahaman tersebut segera sirna ketika pada 1971, Gus Dur kembali ke kampungnya. Pada 11 September 1971, pasangan Gus Dur dengan Nuriyah baru melakukan resepsi pernikahannya. Dari hasil perkawinannya itu, mereka dikaruniai empat orang puteri: Alissa Munawwarah, Arifah, Chayatunnufus, dan Inayah.

Tentang Alissa, menurut catatan Kompas, ada sejarahnya tersendiri. Gus Dur begitu terpengaruh oleh novel bernafaskan keagamaan karya Andre Gide, La Porte Etroite. “Kristen nggak Kristen, soal keimanan, problem-nya sama saja, yaitu bagaimana menghadapi kenyataan dunia yang berbeda dengan idealismenya”. Alissa ini, menurut Gus Dur, adalah seorang gadis yang tak mampu menyelesaikan cintanya karena faktor agama. Lalu karena dilandası faktor cinta inilah yang telah mengetuk hatinya, sehingga ia memilih menjadi biarawati.

Buku, Musik, dan Film

Sebagai pribadi yang gemar membaca, Gus Dur melahap buku apa saja. Modalnya untuk itu adalah penguasaan bahasa. Inggris, Belanda, Jerman, Arab dan Perancis. Untuk urusan buku, Gus Dur tak pernah melupakan kolumnis H. Mahbub Junaedi yang sempat mengajarinya cara membaca dan memahami buku-buku berbahasa Inggris. Dalam satu kesempatan, Gus Dur ditanya tentang hal-hal yang diminatinya. Ia menjawab: “Secara budaya, saya punya tiga minat yang berimbang: buku bagus, musik klasik, dan film bagus”.

Minatnya terhadap buku, dimulai dari cerita-cerita silat Cina, seperti seri Kim Si’i dan Pendekar Miskin. Di dalam cerita itu, itu, terdapat ajaran Gi yang merupakan konsep kebaktian terhadap guru. Ini mirip tradisi santri yang menekankan pentingnya penghormatan terhadap kiai dan orang tua. Bersamaan dengan perjalanan masa, minat bacaan Gus Dur lalu beralih pada dunia novel. Ia mengaku begitu terkesan kepada Ruskin yang, menurutnya, mampu melukiskan peta sosial ke dalam suatu pergulatan besar. Kesan serupa, menurut pembacaan Gus Dur juga ia temukan dalam novel Anna Karenina dan novel-novel Rusia lainnya.

Agaknya, dari bacaan-bacaan itulah, Gus Dur kemudian mulai mengapresiasi ide-ide yang bercorak sosialisme dan marxisme. Sewaktu remaja, ia mengaku sudah membaca karya cukup radikal seperti Pemberontakan Petani Lalu dilanjutkan dengan karya Ortega Y. Gasset tentang Pemberontakan Massa dari Spengler tentang The Fall of the West. Tak heran kalau kernudian Gus Dur begitu apresiatif terhadap persoalan ideologi. Lebih jauh Gus Dur menuturkan:

“Saya memang agak menguasai ideologi. Karena sejak dulu saya membacanya. Anda mungkin tak percaya jika saya membaca What to Be Done-nya Lenin; juga Mao Zedong dan Gramsci. Maka tak aneh, ketika di dunia Kristen pada 1970-an memunculkan “teologi pembebasan” lewat karya Gustavo Marino Tierez, saya segera apresiatif. Dari buku-buku itulah, saya bisa mengeritik kapitalisme yang materialistik. Akibatnya, saya jadi ikut paham sosialisme. Tetapi keberpihakan saya terhadap sosialisme, tidaklah bersifat membabi-buta. Saya punya kritik tajam terhadapnya. Dari sinilah, saya tak kehilangan basis budaya. Karena sejak awal, saya pun membaca Gramsci yang mengeritik Lenin.

Dari pernyataan tersebut, tak heran kalau kemudian Gus Dur mulai bersentuhan dan tampaknya cukup apresiatif pada gagasan dan paham sosialisme. Namun, seperti dikatakannya, sosialisme Gus Dur lebih bertolak pada visi budaya ketimbang ideologis. Tak heran, karena apresiasi yang kritis terhadap pikiran-pikiran sosialisme radikal, misalnya, Gus Dur pun mengakui, terlepas dari catat-catat di dalamnya, teori revolusi misalnya, merupakan perangkat analisis yang penting guna memahami keadaan.

Ketika meninjau secara kritis salah satu karya Bryan S. Turner, Marx and the End of Orientalism (1978), Gus Dur menunjukkan bahwa buku seperti ini sangat berharga sebagai petunjuk untuk melepaskan diri dari kebalauan dalam kajian sosiologis dan ekonomi-politik yang berkembang saat ini. Gus Dur melihat karya Turner ini telah mencapai fungsi kritik dan deskripsi kajian masa lalu dengan baik seperti yang dilakukan Seyyed Hussein Alatas dengan bukunya The Myth of the Lazy Native, sebuah buku yang sering disitir Gus Dur untuk membongkar mitos-mitos yang dialamatkan kepada pribumi sebagai penduduk yang sering dicap malas. Gus Dur justru berbicara tentang spirit usaha di kalangan santri atau pendudukan pedesaan yang masih tetap hidup dalam mendukung sektor industri di sekitarnya bahkan di tingkat perkotaan.

Menyelami pengembaraan Gus Dur dalam dunia buku ini memperlihatkan bahwa dalam beberapa hal ia juga terkesan dan terpengaruh oleh sejumlah pemikir dunia. Di antara sekian banyak buku yang dibaca Gus Dur, ia mengaku begitu terkesan dengan beberapa karya yang memancing imajinasi. Seperti pernah dikisahkannya: “Saya terkesan dengan kesyahduan agama dalam diri Albert Camus. Sikapnya yang memberontak pada kemapanan, mengesankan saya.” Hal yang mengesankan Gus Dur, ditemukannya pula pada karya William Folkner, yang konon pemenang Hadiah Nobel itu. Dari karya Folkner, Gus Dur merasa banyak tahu tentang manusia. Ia juga sangat tertarik pada Kassim Sammara’i yang menyusun Talqid al-Suluk-nya Imam Qusairi yang menceritakan Isra Mi’raj dalam cerita mistik. Sammara’i, menurut Gus Dur, menguasai delapan agama. Inilah yang membuatnya takjub atas kedalaman ilmu seseorang.

Gus Dur juga sangat terpesona kepada pemikiran Paul Tillich, seorang teolog Kristen ternama. Tentang Muhammad Abduh, ia tertarik pada renungan filsafatnya. Namun demikian, di antara para pemikir tersebut, yang lebih dikagumi Gus Dur adalah Muhammad Arkoun yang mencoba melihat Islam secara lebih utuh. Hassan Hanafi pun, punya tempat tersendiri bagi Gus Dur Menanggapi disertasi Hanafi, Essay on Koran Interpretation Methods, Gus Dur memberikan catatan yang menawan bagaimana kaitan fenomenologi dengan ushul fiqh.

Dalam menanggapi karya monumental Hassan Hanafi yang judul aslinya Essai sur la Methode d’Exegese (Esei Tentang Metode Penafsiran) itu Gus Dur melihat prestasi intelektual itu pada upaya Hassan Hanafi untuk meneropong semakin tipisnya daya tahan hal-hal yang sakral, normatif, dan deterministik di hadapan gedoran penisbian begitu hebat terhadap ajaran agama oleh perkembangan kehidupan yang semakin jauh dari penguasaan moral dan iman. Karena itu, dalam menanggapi karya Hassan Hanafi yang pada 1961 telah berhasil memenangkan hadiah tertinggi untuk penulisan ilmiah di Mesir itu, Gus Dur lantas berkomentar:

“Setiap upaya untuk menyiangi bibit-bibit relevansi ajaran spiritual dan moral bagi masa depan memiliki keabsahan justeru karena kenyataan di atas. Ada bahaya atau tidak ada, ikhtiar mengintip ke masa depan merupakan keharusan yang tidak terelakkan lagi bagi mereka yang mencintai ajaran yang dianutnya. Karena mereka tahu tanpa intipan seperti itu, ajaran yang mereka cintai akan perlahan-lahan terbenam ke dalam lapisan debu sejarah yang demikian tebal. Dari penilikan akan relevansi ajaran bagi masa depan, bisa timbul pembaharuan. Tetapi tidak semua pembaharuan akan dapat bertahan Yang tidak memiliki visi kehidupan yang ‘pas’ dengan tuntutan sejarah, akan mengalami nasib sama; terbenam ke dalam debu sejarah, menjadi anakronisme kehidupan.”

Karena itu, dalam keyakinan Gus Dur pelacakan terhadap pemikiran masa lalu memang diperlukan, dan proyeksi ke depan juga demikian. Sebagai orang pesantren, dalam meleraikan antara pembaruan dan tuntutan sejarah itu, Gus Dur senantiasa akan menyitir ungkapan: “Al-muhafazhât ‘ala-qadim al-shalih wal akhdz bil jadid al-ashlah.” Atau, memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan mengambil yang lebih baik dari masa sekarang.

Selanjutnya, ketika ditanya tentang sosok Jamaluddin Al-Afghany, Gus Dur berpendapat bahwa Al-Afghany berpikir palsu. Menurutnya, Al-Afghany terjebak karena ia menyamakan agama dengan lembaga keagamaan. “Di situlah kekeliruan dia”, kritik Gus Dur. Kesalahan Al-Afghany, tambah Gus Dur, karena ia membimbing paham keagamaan yang ditukar dengan ideologi Padahal dalam pandangan Gus Dur, ideologi bukanlah jawaban, karena ideologi bukan agama. Dijelaskannya, bahwa agama itu merupakan sets of beliefs atau spiritual beliefs. Sedangkan ideologi adalah worldly beliefs.

Selain sosok para pemikir di atas, Gus Dur juga merasa sangat terpengaruh oleh Imam Al-Ghazali lewat magnum opus-nya Ihya Ulumuddin yang menurutnya sanggup mengembangkan intuisi dengan begitu jauh. “Sebenarnya”, ungkap Gus Dur, “saya lebih senang berbicara ekstra ilmiah. Tapi, orang tak bakal ngerti omongan saya. Jadi, saya ngerem diri.” Sedangkan satu-satunya negarawan yang dia kagumi adalah Presiden Mesir, Gamel Abdul Nasser.

Menyinggung soal dunia musik, Gus Dur mengaku bahwa ia sudah sejak lama mengenal Beethoven, Mozart dan para tokoh musik klasik lainnya. Pasalnya, waktu kecil, Iskandar –seorang Muslim berkebangsaan Jerman– sering berkunjung kepada ayahnya. Ialah yang memperkenalkan para pemusik dunia kepada Gus Dur. Mengenai percintaannya dengan dunia musik ini Gus Dur pernah berkomentar:

“Anda tak percaya kalau saya punya koleksi Simphoni ke-9 Beethoven yang dimainkan oleh 19 orkes dan 19 dirigen, enam di antaranya berupa compact disk (CD) dengan dirigen Herbert Von Karajan. Saya korbankan duit untuk beli itu, bahkan saya berburu CD Conserto Biola Nomor 3 dari Mozart G Mayor yang dimainkan oleh orkes Berliner Philharmonic di bawah Von Karajan, sampai ke luar negeri.

Agaknya Gus Dur memang lebih menyukai Simphoni Ke-9 Beethoven ketimbang Gambus. Gus Dur tampaknya punya alasan sendiri tentang itu. Simphoni, menurut Gus Dur, berisikan nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan manusia. Apa itu bukan ajaran Islam, tanya Gus Dur retoris. Apresiasinya pada musik ini, setidaknya telah ikut mempengaruhi visi keislamannya. Melalui musik itulah, kata Gus Dur, “Saya bisa melihat manusia secara utuh. Kita tidak akan gampang memarahi.” Tuhan menciptakan kita dengan segala kebesaran-Nya dan kita bisa berlindung di balik kesalahan kita, ungkap Gus Dur bertasawuf.

Tentang dunia film, sejak kecil pun memang sudah digumuli Gus Dur. Kebetulan, pada saat tinggal di Jakarta, rumah mereka berdekatan dengan sebuah gedung bioskop. Jika bioskop itu sedang memutar film bagus, ia selalu menyempatkan diri menonton. Tak peduli apakah besok harinya ada ulangan atau tidak di sekolahnya. Tradisi ini kemudian terus berlanjut sampai ketika Gus Dur kuliah di Mesir. K.H. Shadik Ihsan, seorang kawannya yang sama-sama belajar di Mesir, menuturkan bahwa Gus Dur jarang masuk kuliah. Pekerjaannya di Mesir bukannya kuliah, melainkan nonton film dan aktif berorganisasi di Perhimpunan Mahasiswa Indonesia.

Sepulang dari Timur Tengah pada 1970-an, saat Orde Baru diwarnai berbagai gejolak, Gus Dur kembali ke dunia pesantren. Ia lantas diminta mengajar hikam, tashawuf dan fiqh di Pesantren Tebuireng. Di samping itu iapu pun sekaligus menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang, hingga tahun 1974. Pada waktu Gus Dur di pesantren itulah, Departemen Agama mulai memperkenalkan kebijakan Keluarga Berencana (KB) di berbagai lapisan masyarakat dan tak terkecuali pesantren. Digelindingkannya program KB ini, menjadi tantangan pertama bagi Gus Dur yang membuatnya semakin intensif menelaah fiqih.

Pergumulan pertamanya dalam dunia pesantren inilah yang mendorong Gus Dur untuk terus mencoba mendialogkan fiqih dengan tantangan realitas sosial yang sedang berubah. Pergumulan pemikiran Gus Dur dalam mendialogkan dunia pesantren dengan realitas sosial yang terus berubah, tercermin dalam kumpulan tulisannya berjudul Bunga Rampai Pesantren yang terbit pertengahan 1970-an. Dari buku kumpulan karangan Gus Dur ini tampak dua hal menonjol: bakat kepenulisan dan kepiawaian seorang intelektual dan ulama dalam memadukan nilai-nilai tradisional pesantren dengan dunia modern yang terus berubah. Lewat kekayaan tulisan itu pula agaknya nampak kemampuan Gus Dur untuk bertindak sebagai “juru bicara” wajah Islam di dunia pesantren dalam wacana Islam modern.

Karya tulis Gus Dur yang kedua–juga merupakan bunga rampai–diterbitkan oleh Lembaga Pembangunan Nasional (Leppenas), Jakarta, dengan judul Muslim di Tengah Pergumulan terbit 1981. Perhatian utama Gus Dur seperti tampak dalam kumpulan karangan tersebut lebih menitikberatkan pada penanganan Islam dalam kaitan dengan persoalan-persoalan pembangunan yang dihadapinya.

Selain itu, karya lain berupa hasil terjemahan yang dilakukan bersama adiknya adalah Islam, Cita dan Fakta karya Hossein Nashr diterbitkan oleh penerbit yang sama. Kemudian, berbagai kolom-nya–terutama yang dimuat di majalah Tempo yang muncul hampir secara rutin pada sekitar 1980-1985– setidaknya bisa menjelaskan kepada kelompok “Islam Kota”, bahwa, pikiran para kiai di pesantren tak sejumud yang mereka bayangkan. Dan, yang tidak kalah pentingnya bagaimana Gus Dur bisa memperkenalkan sisi-sisi menarik dari masing-masing sosok kiai NU kepada masyarakat secara luas.

Gus Dur memang tidak hanya tampil sebagai sosok pribadi dengan sepak terjangnya yang sering kontroversial, tapi ia juga seorang pemikir dengan banyak gambar yang sering hanya sanggup dipahami berdasarkan sensasi media saja. Tak heran kalau kelompok muda NU semacam Hairus Salim H.S. dan Nurudin Amin menyebut upaya untuk membuka diskusi mengenai sepak terjang Gus Dur di pentas politik nasional, bisa dianalogikan sebagai pendakian terhadap sebuah “gunung’ Untuk memahami sosok Gus Dur dengan segala manuver dan kontroversinya, selama ini memang telah dilakukan oleh para pengamat melalui banyak jalur. Antara lain dengan cara melakukan periodisasi untuk mengetahui masa-masa yang paling menentukan formasi intelektualitas Gus Dur.

Berdasarkan perspektif ini, dasawarsa 1970-an dan 1980-an awal sering dikatakan sebagai “periode ilmiah”-nya Gus Dur. Sejak itu, menurut mereka, dan sepanjang dasawarsa 1970-an hingga awal 1980-an, serangkaian tulisan Gus Dur menyembul dari dunia yang hanya dikenal sepintas lalu, yang “asing” dan “tidak dimengerti”, kecuali dengan sejumlah pengetahuan stereotipe. Pada periode ini, pemikiran dan aksi politik Gus Dur terfokus pada persoalan sosial, budaya, politik, dan keagamaan yang langsung berkaitan dengan pergolakan dunia pesantren.

Selanjutnya, akhir dasawarsa 1980-an hingga 1990-an awal, dianggap sebagai periode sepak terjang politik dan munculnya ide-ide Gus Dur yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama, hak asasi, kebebasan berpendapat, pribumisası Islam, dan lain-lain, yang dianggap sebagai praksis dari pelbagai pemikiran yang dilontarkannya sekitar satu dasawarsa silam.

Namun, pada gilirannya periodisasi itu hanyalah salah satu jalan untuk menunjukkan bahwa Gus Dur adalah sosok yang setidaknya menarik untuk memperlihatkan betapa kuatnya keterkaitan antara pemikiran dan aksi politik kontroversial dan sering sulit dipahami dari seorang figur intelektual dengan latar belakang kehidupan yang begitu kompleks. Apalagi Gus Dur justru menjadi aktor yang memimpin organisasi seperti NU dengan massa yang harus senantiasa siap bertarung dengan berbagai wajah dunia sosial yang hegemonik dan di dalamnya senantiasa menguat pertarungan antarwacana dari perlbagai kepentingan serta di balik aksi politik yang individu-individunya tidak mungkin keluar dari skenario politik Orde Baru.

Tak heran, kalau Gus Dur sering dibilang para pengkritiknya sebagai pemimpin yang selalu jalan sendirian, tidak menoleh ke belakang kepada umatnya, massa NU. Atau, ada yang menyebutnya sebagai pemimpin yang terlalu maju sehingga meninggalkan jauh massa yang dipimpinnya di belakang. Bahkan, menurut William Liddle, Gus Dur adalah seorang tokoh yang unik yang sering memimpin, kemana para pengikutnya tidak mau ikut. Barangkali benar kalau pengamat NU yang serius semacam Martin van Bruinessen setelah melihat sepak terjang Gus Dur pada dasawarsa 1980-an pernah mengatakan:

“Gus Dur muncul di pentas nasional sebagai tokoh yang menonjol di masyarakat Indonesia selama dasawarsa 1980-an bukan karena pemikiran Gus Dur yang menjadi polemik di mana-mana, tetapi juga karena atmosfer politik membutuhkan orang semacam dia.”

Gus Dur, tampil dalam pentas politik nasional, di samping dalam kapasitas sebagai seorang pemikir nasional dan internasional yang dinobatkan media massa sebagai news maker dan menjadi “tokoh tahun 1989”, dan sering menyuguhkan “pemikiran kontroversial” itu, ia pun banyak terlibat dalam berbagai aktivitas sosial, keagamaan dan kebudayaan yang sangat beragam dan melibatkan berbagai kekuatan sosial politik dalam masyarakat. Sejak tahun 1976, Gus Dur sudah menjadi konsultan di berbagai departemen, antara lain:

Departemen Koperasi, Departemen Agama, dan Departemen Hankam. Ia juga menjadi konsultan pada LP3ES dan organisasi LSM di luar maupun di dalam negeri. Bahkan yang sempat memancing kontroversi termasuk di kalangan NU sendiri yakni ketika pada tahun 1983, Gus Dur dinobatkan menjadi Ketua Dewan Kesenian, Jakarta. Pada 1984 Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU dan pada 1986-1987 ia juga terpilih sebagai Ketua Festival Film Indonesia (FFI), dan Anggota Dewan Pers. Keterlibatannya di dunia seni dan film itulah yang membuat Gus Dur dijuluki “ketua ketoprak”. Namun gunjingan apa pun tentang diri Gus Dur, tak membuat posisinya tergoyah apalagi sampai membuatnya terpental dari lingkaran elite NU. Buktinya, pada Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta, 1989, Gus terpilih kembali sebagai Ketua PBNU tanpa saingan yang berarti dari lawan-lawannya.

Bersamaan dengan dinamika pergolakan NU sebagai organisası massa Islam yang menempuh strategi perjuangan dengan bingkai kultural itu, sosok Gus Dur pun menjadi tak bisa dipisahkan dalam arus perubahan itu. Namun, dalam gejolak itu, seperti pernah diungkapkan Andree Feillard, reaksi NU terhadap rezim baru menampilkan tikungan dengan banyak tanjakan: dari harapan ke kecemasan, dari kolaborasi ke oposisi dan setelah malapetaka kronis, kembali lagi ke setengah aliansi dan penerimaan final terhadap negara moneteistik.

Barangkali “reaksi NU dengan banyak tikungan” ini pula salah satu bagian penting dari strategi Gus Dur untuk meyakinkan kepada pihak pemerintah dan sekaligus kalangan NU untuk menerima sepak terjangnya selama ini. Gus Dur tampaknya terus berupaya mencari titik keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang ada di pemerintah dan di luar pemerintah. Barangkali itulah pula sebabnya ia juga sesekali bisa terpeleset di antara banyak tikungan yang tak jarang amat tajam dalam skenario politik Orde Baru ini.

Kita misalnya bisa melihat satu contoh yang baik dalam kasus ini, yakni saat terjadi ‘perpecahan’ elite NU pada Muktamar ke-29 di Cipasung 1995 silam. Saat itu muncul fenomena baru di NU. Kursi jabatan di pengurus Besar (PB) NU mulai menjadi rebutan. Dan, ini tidak seperti tradisi para ulama sebelumnya, di mana antara mereka bisa saling mempersilakan. Siapa yang dianggap layak mewakili umat merekalah yang dipilih. Saat berlangsungnya Muktamar dan beberapa saat setelah itu telah muncul ketegangan antara kubu Gus Dur dan kubu Abu Hassan yang agaknya mendapat angin dari pemerintah untuk ‘menumbangkan’ Gus Dur. Fenomena pertentangan kedua kubu itu memang telah menarik perhatian yang besar dari pada pengamat politik Islam. Bahkan melihat pemberitaan media massa saat itu, pemerintah pun sampai harus turun tangan. Saat itu, Gus Dur dengan aksinya, benar-benar menjadi idola kuli tinta. Bagaimanapun, Gus Dur tetap tampil menjadi ‘pemenang’, ia tidak tergoyahkan. Meskipun, selama beberapa saat, hubungannya dengan pemerintah sempat agak kurang mesra setelah Muktamar Cipasung yang melelahkan atau mungkin mengasyikkan bagi Gus Dur.

Sementara, Gus Dur sendiri tak jarang dianggap nyleneh tidak hanya oleh pihak pemerintah, tapi juga di kalangan NU sendiri. Tak heran dengan latar pemikiran dan kiprah politik yang dianggap kebanyakan orang sulit dipahami itu membuat posisi Gus Dur lebih menonjol sebagai intelektual bebas ketimbang sosok seorang kiai. Ia juga sering melakukan gebrakan politik tak terduga. Jauh-jauh hari menjelang pemilu 1997 ia lebih dekat dengan pemimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang tersisih, Megawati, dan kemudian tiba-tiba saja ia melangkah lagi, mengundang Mbak Tutut (panggilan Siti Hardiyanti Rukmana, putri Presiden Soeharto dan juga salah seorang ketua Golkar) untuk melakukan safari ke pesantren-pesantren NU di Jawa Timur.

Barangkali, tak heran melihat sepak terjang Gus Dur yang dinilai pemerintah suka nabrak-nabrak itu, sejak terpilih dalam Muktamar NU di Cipasung, memang PBNU pimpinan Gus Dur untuk tenggang waktu yang cukup lama belum bisa diterima pemerintah. Meskipun ‘keretakan’ hubungan Gus Dur-Pemerintah ini terobati juga setelah Mukernas ke-5 RMI di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo. Saat itu Gus Dur sudah bisa berjabat tangan dengan Presiden Soeharto dan tampaknya mulai diterima pemerintah. Setelah “salaman politik” itu memang banyak pendapat yang muncul melihat bahwa Gus Dur justru mulai berhasil mengembalikan hubungannya yang agak renggang dengan pemerintah setelah Muktamar Cipasung. Ketika ditanya tentang jabat tangan dengan Presiden itu, Gus Dur hanya secara diplomatis berkomentar, dengan gaya guyonan: “Pak Harto kan tahu mata saya kurang berfungsi. Ya… beliau gandeng tangan saya sambil jalan.”

Kembali kepada berbagai aksi politiknya yang sangat beragam itu, ternyata kita pun melihat komitmen Gus Dur terhadap dunia pesantren masih amat kuat. Sejak 1983 Gus Dur bersama kawan-kawannya, misalnya, mulai mendirikan Perhimpunan Pengembangan Pesantren (P3M) di Jakarta, yang bekerja sama dengan lembaga sosial di luar negeri. Sebagai “dedengkot” LSM, ia tidak jarang tampil sebagai juru bicara LSM Indonesia di forum internasional semacam Acford, di Bangkok. Ia juga pernah menghadiri komisi dialog dengan NOVIB tentang hak-hak asasi manusia. Tampaknya, kegiatan Gus Dur yang cukup intensif dalam Non Governmenttal Organization (NGO) ini, tentu saja, sedikit banyak dilatari oleh visi Gus Dur tentang “sosialisme berbudaya” yang dianutnya.

Gus Dur sendiri mulai mengintegrasikan diri ke kalangan LSM sejak ia terlibat di LP3ES. Di LP3ES-lah tampaknya ia mengalami pendidikan informalnya, baik dalam forum nasional maupun internasional. Pengaruh kepadanya cukup jauh ditengarai oleh penggunaan simbol-simbol dan ekspresi pola LSM, “Tapi Gus Dur,” menurut M. Dawam Rahardjo, “ibarat ikan yang tak larut menjadi air garam dengan hidup di laut. Dari luar ia dianggap sebagai tokoh LSM. Dalam kenyataannya ia tidak menjadi bagian dari LSM, bahkan kerap bersikap kritis, jika tak sinis, misalnya mempertanyakan unsur “keswadayaan” LSM. Yang sebenar-benarnya LSM baginya adalah pesantren.”

Dan, dewasa ini, kiranya “sepak terjang” politik Gus Dur di percaturan elite nasional, bukan saja sebagai leading figure dari ormas terbesar Islam (NU) atau sebagai salah seorang tokoh yang mewakili mayoritas umat Islam pedesaan, melainkan ia juga ingin tampil sebagai seorang figur nasional yang tidak lagi memperhatikan unsur-unsur primordial dalam pemikirannya. Sewaktu ditanya, visi apa lagi yang bakal dikembangkannya, Gus Dur menjawab: “Sehabis mengurusi NU nanti, saya ingin mengembangkan humanisme baru yang tak lagi berpikir lewat batas-batas agama yang sempit.”

Pernyataan Gus Dur tersebut tentu saja dijiwai oleh semangat dan visi humanisme dalam pemikirannya. Visi yang dibawa oleh Gus Dur yang tampaknya juga sedang dikembangkan di NU adalah salah satu visi politik Islam yang ditundukkan oleh kepentingan lebih luas, yaitu wawasan kemanusiaan dan kebangsaan. Itulah sebabnya, wawasan politik Gus Dur senantiasa menghindarkan diri dari formalisasi Islam dalam negara. Jadi, Gus Dur sangat tidak setuju dengan upaya-upaya memformalkan agama secara legal formal.

Berdasarkan wawasan politik Islam yang dikembangkannya ini pula, kita tak begitu sulit menjelaskan mengapa Gus Dur selama ini getol menggelindingkan isu-isu “pribumisasi Islam” yang sempat memancing kontroversi di kalangan umat sendiri. Selanjutnya, dari wawasan humanisme kita bisa melihat mengapa ia begitu akrab dengan kelompok-kelompok di luar Islam. Keterlibatan dalam Forum Demokrasi dan keterbukaannya dalam memenuhi undangan tidak terkecuali dari penganut agama lain sebenarnya bisa kita lihat dalam konteks wawasan politik ini.

Mungkin dengan wawasan humanisme ini pula yang membuat Gus Dur tidak lelah berbicara tentang bahaya ancaman kekerasan politik yang bisa saja terjadi dengan mengatasnamakan atau memanipulasi sentimen agama. la juga selalu berbicara tentang pentingnya sikap non-sektarian dan toleransi antar agama di dalam sebuah bangsa yang heterogen seperti Indonesia. Lagı pula, sejak 1980-an kita lihat Gus Dur fasih mengamalkan tiga ukhuwah: ukhuwah Islamiah, ukhuwah wathoniah, ukhuwah basyariah. Ini pun bentuk kepemimpinan yang jelas agar umat merasa nyaman hidup dalam tata peradaban yang ada, kini, maupun di masa depan. Ini kunci penting bagi umat menghadapi perubahan yang bisa mencairkan segenap bungkahan-bungkahan sosio-budaya-politik dalam masyarakat kita, Kunci ini bisa membedah sekat-sekat sosio-budaya dan politik, yang selama ini menghalangi mata dan hati kita hingga kita menjadi makhluk yang terpenjara keterbatasan wawasan kita sendiri.

Barangkali di balik kekonsistenan wawasan humanisme baru yang diasah oleh sebuah masyarakat pluralis seperti Indonesia, kita juga bisa melihat bagaimana Gus Dur terus bergulat menyeimbangkan pemikiran dan aksi politiknya. Meskipun usaha Gus Dur ini tidak jarang malah dinilai menyudutkan “kelompok Islam eksklusif yang justru sering dikritiknya. Kekonsistenan sikap inilah yang tampaknya bisa menjadi alasan kuat untuk menobatkan Gus Dur sebagai seorang yang layak menerima Hadiah Ramon Magsaysay yang bergengsi itu. Pada penghujung 1993, Gus Dur bersama empat warga Asia lainnya yang menerima hadiah senilai 50.000 dollar AS itu adalah Noboru Iwamura (Jepang), Banoo Coyaji (India), Vo-Tong Xuan (Vietnam), dan Bienvenido Lumbrera (Filipina). Masing-masing tokoh Asia itu memang dinilai telah memberi sumbangan yang khas bagi kemajuan bangsanya.

Dalam pidato sambutan saat menerima Hadiah Magsaysay, Gus Dur kembali menunjukkan visi pemikirannya. Dalam kesempatan itu, ia antara lain berkomentar mengenai prestasi Umat Islam Indonesia:

“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang waktu itu ditawarkan dalam bentuk ideologi, melawan Pancasila, yang merupakan lima prinsip negara Republik Indonesia. Di satu sisi, hasil pertentangan itu adalah pemberontakan kelompok militan Muslim yang dikenal pada tahun 1950-an sebagai Darul Islam. Di sisi lain, pertentangan itu tercermin dalam kemacetan Majelis Konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan menetapkan sebuah konstitusi bagi republik yang masih muda.

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan masalah itu secara pasti, yaitu dengan melakukan pembahasan secara mendalam dan terbuka. Hasilnya adalah sebuah formulasi mendasar, bahwa Pancasila dijadikan asas dasar dan ideologi setiap organisasi dan asosiasi, sementara agama (tetap) dijadikan landasan kepercayaan.

Pengakuan atas pelbagai ragam “lingkup pengaruh” antara agama dan ideologi nasional itu memberi jaminan kebebasan bagi setiap penganut agama untuk menghargai serta mengikuti ajaran-ajaran iman agama mereka masing-masing.“

Barangkali melihat posisi pemikiran Gus Dur seperti itu pula beralasan kalau Douglas E. Ramage, menyebut bahwa NU di bawah kepemimpinan Gus Dur, dianggap merepresentasikan bentuk Islam yang lebih diterima pemerintah. Visi pemikiran Gus Dur yang dianggap mendukung gagasan Pancasila balik dirangkul pemerintah. Ramage bahkan menyebut Gus Dur sebagai seorang “nasionalis-sekuler” dan aktor politik Islam yang non-politis. Gus Dur dinilainya telah berhasil menggunakan massa NU dalam kiprahnya untuk menjadi pelopor demokratisasi di Indonesia. Tentu saja, ini dilakukan dengan argumentasi bahwa Islam dengan demokrasi adalah mutually compatible. Penyebutan Gus Dur sebagai “nasionalis sekuler” tampaknya berdasarkan berbagai pertimbangan setelah Ramage melihat sepak terjang Gus Dur, baik keterlibatannya di berbagai LSM atau pun di Fordem dan getolnya Gus Dur mengkritik kelompok yang dinilainya mengabaikan atau menyalahgunakan Pancasila. Ramage lantas mengutip pernyataan Gus Dur yang kiranya sudah cukup baginya untuk menyimpulkan posisi pemikiran tokoh utama NU itu. Seperti dikutip Ramage, Gus Dur antara lain berkomentar:

“Pancasila is a set of principles and it will live forever, It is the idea of the state that we should have, that we strive for. And this Pancasila I’li depend with my own life. Regardless of its being castrated by the armed forces or its being manipulated by the muslims, miused by both.”

Barangkali hal seperti ini pula yang membuat pengamat semacam Greg Barton lantas dengan penuh keyakinan berkomentar:

“Other important Pembaruan Pemikıran Islam elements in Abdurrahman’s thought include his positive response to the challenges of modernity, his commitment to pluralism and his passion for humanitarian.”

Kini, tampaknya proses pergumulan intelektual Gus Dur, masih akan terus berkembang dan dalam kontinuitas itu ia tak segan tampil ke muka dengan representasi watak pribadinya yang menonjol. Pemikiran-pemikirannya terus menyita halaman pemberitaan media. Kita tak bisa secara pasti berbicara warisan apakah yang sebenarnya ingin Gus Dur tinggalkan kepada umat dan bangsanya. Namun kalau kita kembali menyimak analisis Cak Nun, setidaknya kita bisa melihat bahwa sepak terjang Gus Dur sejak dulu–baik yang biasa-biasa saja, yang kontroversial, yang radikal, yang gendheng, maupun yang membingungkan–sebenarnya terletak dalam suatu grand theory yang tidak sukar dipahami.

Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.

Kedua, dalam konstelasi keindonesaan ia bermaksud menerapkan suatu ideologi nasionalisme yang habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apa pun yang indikatif terhadap primordialisme, atau yang anti-nasionalisme.

Ketiga, khusus dalam kaitannya dengan Islam, Gus Dur dengan segala risiko–berkehendak untuk melakukan domestikasi atau pembumian nilai-nilai Islam dalam kerangka dan nuansa kultural yang tak bersedia ditawar oleh segala “kegamangan teologis” apa pun.

Kita tahu bahwa NU, yang meminjam istilah Mitsuo Nakamura, sebagai organisasi “tradisionalisme radikal” di Indonesia, berdiri tahun 1926, dan Gus Dur menakhodai ormas Islam dengan massa 30 jutaan itu sejak tahun 1984. Sebagai cucu dari seorang di antara para pendiri organisasi tersebut yang amat dihormati, Gus Dur tentu saja punya latar biografi hidup yang mendukung kiprah politiknya selama ini. Menurut Liddle, warisan seperti ini amatlah penting dalam budaya politik NU. Lebih dari itu Gus Dur dalam pandangan Liddle membawa sumber-sumbernya sendiri kemauan memimpin, pengertian seorang politisi tentang bagaimana mengolah dan memelihara suatu jaringan para pemimpin dan para pengikut, kreativitas intelektual, politis, dan keberanian serta sudut pandang seorang neo-modernis tentang hari depan Islam dan masyarakat Indonesia yang amat dekat kepada pemikiran Cak Nur.

Dalam tilikan Liddle, di antara para tradisionalis, bahkan tradisionalis NU sendiri, Gus Dur adalah seorang tokoh yang unik yang sering memimpin, ke mana para pengikutnya tidak mau ikut. Gus Dur sering mengemukakan gagasan dengan pikiran yang tidak konvensional. Dan, banyak dari gagasannya harus dilakukan lebih berurusan kepada substansi ketimbang dari bentuk agama, dan dengan toleransi terhadap kaum non-Muslim. Tak heran, kalau kemudian banyak dari inti pendukung Gus Dur pun yang tidak memahami, kalau tidak memusuhinya.

Dalam mengomentari tindak tanduk Gus Dur, lebih jauh lagi, Liddle berkomentar:

“Dia pribadi telah berkata bahwa ini adalah sebagaimana semestinya, sepanjang setiap warga negara mempunyai hak terhadap afiliasi partisannya. Namun demikian dia adalah kekuatan penting untuk perubahan budaya, dan membawa pemikiran baru kepada Muslim desa dan melegitimasi pikiran-pikiran itu melalui otoritas tradisional yang dia pegang berdasarkan kebajikan leluhurnya dan efektivitasnya sebagai pemimpin politik.”

Dalam perspektif seperti ini pula, setidaknya kita bisa menyinggung hal lain yang tak kalah krusialnya, bahwa sebagai seorang yang lahir dari dunia pesantren, agaknya Gus Dur tak pernah melupakan wajah lembaga pendidikan tradisional Islam ini di kemudian hari betapa pun jauh ia terbang di langit politik Indonesia. Lewat pesantren ini pula Gus Dur, misalnya, menanamkan keyakinan agar para santri atau muridnya memiliki wawasan Islam yang luas, sehingga output-nya mampu menjawab berbagai tantangan dakwah dewasa ini dan masa yang akan datang.

Sementara di NU sendiri, dengan wawasan politik itu pula, suara Gus Dur akan bisa terus didengar, dengan syarat asalkan ia bisa mewariskan visi Islam kepada kelompok muda yang suatu saat mungkin akan menggugat atau justru menajamkan gagasan-gagasan humanisme yang sudah dirintisnya selama ini. Visinya tentang “sosialisme berbudaya” tampaknya kini terus berkembang dengan wajah baru yang lebih religius. Usaha Gus Dur untuk meningkatkan ekonomi warga NU dengan membentuk berbagai BPR-BPR yang bekerja sama dengan Bank Summa, tak lain, merupakan salah satu refleksi dari obsesi-obsesi Gus Dur selama ini. Demikian juga tentang obsesinya selama ini untuk menjauhi bahkan menentang terang-terangan sikap “eksklusivisme” dan “primordialisme”. Maka tak heran kalau pada akhir 1990-an, tepatnya saat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) terbentuk, ia dengan lantang menolak bergabung di situ. Alasannya, ya, itu tadi. Menurut Gus Dur, di samping ICMI mengandung benih-benih “primordialisme”, ia sendiri mengakui lebih tertarik mengurusi “Islam kaki-lima.”

Gus Dur tampaknya akan terus menjadi bagian penting penentu kecenderungan “trend setter” atau pun “news maker“, yang kalaupun lagi malas bicara, ia malah bisa menjadi berita besar. Kita tidak tahu persis apakah gejala ini sebagai cerminan budaya politik atau budaya media kita yang memaksa wacana Islam hanya dipahami sebatas peristiwa simbolik atau sensasi media saja. Dan, inipun diakui oleh Gus Dur sendiri bahwa kita tidak perlu sepenuhnya percaya terhadap kontroversi pendapatnya selama ini di media, yang menurutnya, sering merupakan penggalan-penggalan pendapatnya yang mungkin saja tidak utuh dikutip media. Mungkin karena keterbatasan halaman media, atau godaan sensasi, atau pun bisa juga karena alasan-alasan politik demi kepentingan suatu kelompok yang ingin menyudutkan ia sendiri atau umat Islam dan bangsa Indonesia secara umum.

Dari semua sepak terjang yang dilakukannya selama ini, tak heran kalau Gus Dur sering dilukiskan orang sebagai “sebuah cermin dengan banyak gambar”. Ketokohannya dalam masyarakat Indonesia yang demikian menonjol sering dilihat orang sebagai sosok figur ulama-intelektual yang cerdas dalam menggelindingkan isu atau “membuat berita”. Namun, di antara berbagai atribut yang telah dilekatkan masyarakat pada sosok dirinya, Gus Dur tampaknya terus menaburkan benih-benih humanisme baru yang kini mulai tumbuh di sebagian lahan pemikiran anak muda NU bahkan terus menyempal dalam wacana pemikiran politik dan keislaman di tanah air. Kita tidak bisa menebak secara pasti seberapa jauh gagasan itu akan efektif dan memberikan warna dalam sebuah arus dominan wacana politik yang hegemonik.

Dan, sebegitu jauh pendakian kita untuk menapak jejak sepak terjang Gus Dur, memang akan muncul jalan berliku dan energi yang melelahkan, tapi juga mengasyikkan. Adakalanya kita akan berjumpa dengan tanjakan, adakalanya pula bertemu jurang yang terjal. Mereka yang berhasil sampai di puncak pendakian setelah mengembara dalam tulisan-tulisan Gus Dur atau yang sesekali pernah bertukar pikiran dengan “kiai kontroversial” ini setidak bisa memandang lebih lebar horison wawasan politik yang dikembangkannya. Dan, kami sepenuhnya sadar bahwa setiap usaha memahami sebuah sosok yang kompleks apalagi figur yang masih hidup memang tidak akan pernah mencapai final. Kalaupun ada rumusan final yang harus kita nyatakan, takkan ada kesimpulan yang lebih baik untuk menggambarkan sosok Gus Dur yang ‘aneh’ dan ‘liar’. Ia misalnya pernah dibilang ‘plin-plan’ dalam membawa NU. Tapi, ke-‘plin-plan-an’ itu justru dinilai sebagai sesuatu yang diilhami NU sendiri.

Lantas, muncul pula pertanyaan, apakah sepak terjang Gus Dur selama ini merupakan representasi sikapnya sebagai pribadi atau sebagai kiai NU. Kalangan NU sendiri mengakui bahwa selama ini sikap Gus Dur tidak menyulitkan NU maupun organisasi otonomnya karena ini dilakukan dalam kapasitas pribadinya. Karena itu, “Jangan dikacaukan antara pribadi dan organisasi,” demikian pernah diingatkan oleh seorang Pucuk Pimpinan Muslimat NU.

Lebih dari itu, ketika membedah tulisan-tulisan Gus Dur selama rentang 1970-1980-an, seperti yang pernah dimuat di Tempo maupun Kompas dan kemudian telah dibukukan dalam Kiai Nyentrik Membela Pemerintah itu, Martin van Bruinessen pernah mengungkapkan bahwa keberadaan Gus Dur “masa lalu” sebagai pengamat yang tajam, bisa menjembatani antara kalangan NU dengan intelektual. Menurut Martin, selain membawa cita-cita dan pemikiran segar, juga tampak kepedulian Gus Dur terhadap hak-hak asasi dan demokratisasi. Pada usia yang sangat muda pun Gus Dur sudah mulai menebarkan benih pemikiran-pemikiran yang strategis dalam konteks Islam di Indonesia.

Selain itu, Gus Dur pun sering dianggap sebagai cermin perpaduan karakter tokoh-tokoh NU. Keberaniannya dalam mengemukakan sebuah konsep pemikiran, membuat ia tidak hanya mampu merangkul berbagai golongan, tapi sekaligus juga dibenci. Tak heran, barangkali karena itu pula Gus Dur tak luput dari goyangan. Dalam sebuah selebaran yang tampaknya sengaja dibuat oleh lawan politik Gus Dur bertajuk “Membuka Kedok Gus Dur”, berbagai sepak terjang Gus Dur selama ini seakan ingin dibongkar habis dan dibeberkan kepada umat Islam. Terutama kiprah Gus Dur yang dianggap tidak terekam oleh media massa. Dengan menggunakan legitimasi sejumlah tokoh yang pernah berbeda pandangan’ dengan Gus Dur, dalam brosur itu Gus Dur juga dibantai’ habis-habisan dengan isu-isu yang provokatif. Tapi, lagi-lagi Gus Dur tetap tegar. la tak bergeming. Dan, goncangan di lapis atas elite NU pun tak membuat semangat persaudaraan nahdhiyin dan rasa khikmat kepada sosok Gus Dur luntur sedikit pun. Dalam lapisan pendukung Gus Dur di tingkat massa NU, ternyata sama sekali tak ada gejolak yang berarti melihat sepak terjang Gus Dur. Gus Dur akhirnya benar-benar sulit dijamah berdasarkan analisis-analisis yang hanya melihat sosoknya di tingkat simbolik politik saja.

Namun, langkah-langkah Gus Dur yang membawa NU dengan gebrakan politik zig-zag-nya itu pula membuatnya lebih mudah menempatkan posisi dirinya dalam kancah percaturan politik dengan imbangan kekuatan yang senantiasa berubah-ubah di lingkaran elite politik Orde Baru. Gus Dur justru dinilai tokoh NU yang lain seperti K.H. Ilyas Ruhiyat sebagai sosok kiai yang bisa melakukan ‘keseimbangan dalam percaturan kekuasaan, terutama di antara kelompok-kelompok politik yang saling bertarung dan berebut jatah kekuasaan. Itulah sebabnya, pula menurut Dr. Daniel Dhakidae, “Gus Dur tahu tepat kapan dekat dan menjauh dengan pemerintah”. Posisi penjagaan jarak dan mencari titik keseimbangan dalam percaturan di antara aktor politik nasional inilah yang kiranya akan tetap menjadikan Gus Dur sebagai tokoh yang kontroversial.

Gus Dur selama ini memang telah memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap negara. Tak heran kalau kemudian ia pun dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial-politik paling independen di Indonesia”.

Di samping itu, menyadari posisinya sebagai intelektual bebas, membuat Gus Dur seringkali tidak hanya kritis terhadap kelompok di luar Islam tetapi juga di dalam Islam sendiri. Hari ini ia akrab dengan Mbak Mega, besok ia bisa bersalaman dengan Mbak Tutut. Sebelumnya ia mengkritik pedas Adi Sasono, salah seorang tokoh ICMI, tapi beberapa saat berselang ia, Sudomo, dan Adi Sasono bisa saling tersenyum satu sama lain.

Ya, Gus Dur, memang akan tetap menjadi dirinya. Dan, siapakah yang akan benar-benar sepenuhnya paham atas hal-hal yang tersembunyi di balik sanubari manusia. Kita hanya berkata sedikit hal tentang Gus Dur. Namun, kita pun bisa berkata bahwa ada hal yang amat menonjol: Gus Dur adalah sosok pribadi yang teramat sederhana dan bersahaja. Karena itu pula ia menjadi cermin paling bagus untuk melihat kesanggupan seseorang untuk menjaga pentingnya daya hidup dan otonomi intelektual. Ia bebas berbicara, ngomong, ngalor-ngidul, mengkritik sesuka hatinya, karena ia sama sekali tidak berkepentingan dengan jabatan dan kekuasaan. Ia memang humanis tulen yang mungkin hanya bisa ditandingi oleh figur sekaliber Soedjatmoko. Karena itu, Gus Dur sendiri pernah mengatakan: “Siapa saya sebenarnya tidak ada yang tahu karena pada waktu (dianalisa) itu, (saya) berada di luar jangkauan siapa pun”.

Mungkin itu pula Gus Dur sering dianggap sebagai wali yang punya karomah terutama bagi orang yang sudah tidak bisa lagi memisahkan antara kekiaiannya yang bersahaja dan kecendekiaannnya yang liberal. Barangkali benar pula adanya kalau Cak Nun pernah bersumpah: “Demi Allah, kalau saya ditanya apa yang dalam soal ini sangat penting dan mendesak untuk kita lakukan dan Gus Dur sendiri lakukan, maka jawaban saya ialah upaya dalam masing-masing diri setiap orang untuk melakukan demitologisasi Gus Dur. Upaya untuk melihat sewajar-wajarnya bahwa Gus Dur ialah manusia biasa sebagaimana manusia biasa yang berbincang dengan kita-kita manusia biasa di gardu dan warung-warung biasa.”

Setidak-tidaknya agar Gus Dur tidak diam-diam diproses oleh kelemahan-kelemahan kultural kita menjadi manusia anti-Forum Demokrasi. Setidak-tidaknya agar kita mafhum dan Gus Dur pun mafhum bahwa kalau kita tak setuju pada pikiran orang lain termasuk kepada pemikirannya lantas serta merta kita menjadi orang sektarianis. Karena Gus Dur, seperti kita juga, seorang manusia, “Gus Dur itu ya can do wrong juga kok,” demikian Cak Nun dengan gaya khasnya.

Bagaimanapun sosok Gus Dur memang lebih menonjol sebagai seorang budayawan, selain sebagai kiai dan intelektual Muslim liberal. Artinya ia adalah seorang pekerja di lapangan kebudayaan–suatu dimensi, yang menurut orang semacam Cak Nun, memang merupakan kelemahan umat Islam. Ketika melontarkan pandangannya mengenai format politik Islam, Gus Dur pun tetap dengan pendiriannya semula, ia lebih memilih bentuk perjuangan kebudayaan untuk segala cita-cita Islamisasi alam semesta. Karena itu, ia tetap berkeyakinan bahwa NU harus berkiprah dalam bingkai “gerakan kultural”. Dengan nuansa “Islam kultural” inilah Gus Dur berargumen bahwa Islam tidak mesti diperhadapkan dengan paham negara-kebangsaan. Dengan cara demikian, ia yakin Islam akan bisa merahmati kehidupan ini seluruhnya.

Lalu apakah keyakinan Gus Dur ini akan terbukti dan mendapat dukungan dari berbagai kekuatan dalam zaman baru Islam di Indonesia. Tampaknya kita pun masih akan menyaksikan beberapa sinyal pergulatan corak strategi gerakan Islam. Barangkali, benar, lebih baik, seperti juga kata Cak Nun, “Kita biarkan ia melakukan pilihannya, sambil menuntutnya untuk membiarkan juga pilihan-pilihan yang lain. Dua puluh tahun lagi mari kita saksikan mana yang lebih realistis dan relevan terhadap kesejatian cita-cita universal Islam.” Lalu, setelah dua puluh tahun itu, bagaimana corak Islam sebagaimana dibayangkan Gus Dur? Tentu jawaban untuk pertanyaan ini memang saja masih menjadi ‘teka-teki’ seperti halnya teka-teki yang menyelimuti Orde Baru yang memberikan setting tampilnya corak Islam Indonesia di masa datang. Wallahu ‘alam bi al-Shawwab.