Suara Demokrasi Gus Dur: “Saya Ingin NU Jadi Gerakan Kultural” (Wawancara)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, bertemu M. Amien Rais, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, pada 1 Desember 1996 silam di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Pertemuan itu dianggap sebagai pertemuan yang dramatis, sehingga pengunjung pun membludak, bahkan melebihi penonton sepak bola Liga Indonesia yang belakangan sepi.

Mengapa pertemuan itu dinilai menarik dan memancing perhatian yang demikian besar? Banyak alasan-alasan untuk menyebut pertemuan itu menarik. Misalnya, inilah pertama kali kedua tokoh itu bertemu dalam forum diskusi sejak keduanya diangkat memimpin ormas Islam terkemuka Indonesia. Alasan lain, mereka diharapkan membahas strategi perjuangan masing-masing. Soalnya, sosok Gus Dur yang dinilai melakukan strategi perjuangannya lewat pendekatan “bawah” (kultural) versus Amien yang lebih mewakili pendekatan struktural (“atas”) sebelumnya hanya bisa dibaca di Harian Jawa Pos-yang kemudian dibukukan dalam Islam: Demokrasi Atas Bawah. “Bumbu” lain yang membuat pertemuan itu dibanjiri ribuan orang, sampai perlu close circuit TV, adalah hadirnya pemikir pembaruan Islam Nurcholish Madjid dan kiai “mbeling” Emha Ainun Najib.

Bukan rahasia lagi, kalau muncul kesan bahwa selama ini antara Gus Dur dan Amien memang ada perbedaan. Gus Dur menolak masuk Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan memilih mengurusi “Islam kaki lima”, sementara Amien merupakan jadi tulang punggungnya ICMI sebelum mundur dari posisinya sebagai Ketua Dewan Pakar. Amien dinilai ingin menyebarkan Islam dengan menghitung cermat-cermat jumlah umat Islam yang mayoritas di berbagai lembaga representasi, sedangkan Gus Dur menyingkirkan semua “atribut”.

Seperti kita tahu, Gus Dur juga mengkritik kehidupan agama yang dinilainya cenderung terlalu formal dan dipenuhi ritus-ritus seremonial. “Agama sudah diredusir menjadi prinsip-prinsip umum, sehingga menyimpang dari misi agama semua,” kata Gus Dur suatu kesempatan. Selain itu, menurut Gus Dur, harapan agar terjadi keseimbangan antara hubungan vertikal manusia terhadap Tuhannya dengan hubungan horisontal terhadap sesama umat manusia, tampak begitu sulit diwujudkan karena kehidupan beragama belakangan ini sudah menjadi pertentangan antarkepentingan golongan. Karena itulah Gus Dur menginginkan masyarakat yang lebih egaliter dan demokratis sehingga bisa menampung pendapat yang plural. Untuk itu, ia pernah mengatakan, “NU tidak akan pernah bisa hidup tanpa demokrasi. Kaidah agamanya jika harus ada NU, syaratnya ada demokrasi.”

Ia lantas menawarkan gagasan pentingnya komitmen untuk memperbaiki kehidupan politik. Karena visi kehidupan beragama sendiri tidak bisa dilepaskan dari visi politik. Tak heran Gus Dur lantas mengungkapkan, “Kesenjangan hubungan vertikal dan horisontal manusia, juga tercermin dalam kondisi politik kita yang terlalu diwarnai kepentingan pihak tertentu.” Lebih dari itu, Gus Dur bahkan pernah mengingatkan bahwa kebudayaan kita pun telah mati. “Kebudayaan kita telah berpuas diri melahirkan kekerasan kolektif, sebagai bagian rangkaian produk budaya bersifat klangenan, mulai dari gamelan sampai tontonan televisi yang berseri sangat panjang. Kebudayaan telah menjadi ‘tuntunan’, dalam arti orang tidak boleh begini dan begitu atas nama kebudayaan.”

Namun, kritisisme pemikiran dan kiprah mereka terhadap politik kebudayaan dan budaya politik yang mengganjal selama ini jelas menunjukkan antara Amien dan Gus Dur sebenarnya bisa saling melengkapi meskipun di antara mereka tidak saling bertatap muka. Bukankah kritik-kritik Amien justru memberikan bobot lagi pada apa yang telah digelindingkan Gus Dur. Barangkali kalau satu hal yang dianggap banyak kalangan membedakan sosok keduanya: adalah hubungannya dengan Presiden Soeharto–yang dinilai orang mencerminkan hubungan organisasi yang mereka pimpin dengan pemerintah. Amien sering bertemu Pak Harto di berbagai kesempatan, sementara Gus Dur di Muktamar NU di Cipasung (1994) sempat “dicuekin” Pak Harto. Bahkan saat itu bersalaman pun mereka tak sempat. Baru di Pondok Pesantren Genggong Probolinggo, November 1996 silam, Gus Dur bersalaman dengan Pak Harto–sebuah kejadian yang menurut banyak orang mencerminkan mulai membaiknya lagi hubungan NU dengan pemerintah.

Maka, tak heranlah kalau pertemuan Amien-Gus Dur pada 1 Desember 1996 silam sangat dibanjiri peminat. Sebelumnya, Gus Dur sempat diberitakan hanya akan salaman dengan Amien lalu meninggalkan pertemuan. Ternyata, cucu pendiri NU yang bertubuh “gembul” itu bertahan sampai akhir acara, sekitar pukul 23.00 malam. Keesokan harinya, Gus Dur ditemui Edy B. dan Aly Nur Yasin dari Tempo Interaktif di kantor PBNU di Jalan Kramat Jaya, Jakarta Pusat, untuk sebuah wawancara. Berikut untuk mengetahui lebih jauh kesan Gus Dur atas pertemuan bersejarah itu kita muat kembali petikannya:

Akhirnya Anda bertahan sampai acara selesai di Masjid Sunda Kelapa tadi malam….

Rencana malam itu saya ada pertemuan dengan delegasi Khong Hu Chu dari Korea yang datang berkunjung ke Indonesia. Tapi, hingga waktu yang ditentukan, rombongan Khong Hu Chu itu belum datang. Daripada saya datang ke hotel orangnya tidak ada, ya, saya ikuti acara (Sunda Kelapa) hingga selesai.

Amien Rais mengatakan NU-Muhammadiyah sudah lama bekerjasama dalam hal apa?

Itu kerjasama lama. Dan hubungan NU dengan Muhammadiyah memang selalu dinamis. Dalam bidang pendidikan, kerjasama itu dalam Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Islam (BMPTSI). Ada lagi kerjasama di bidang rumah sakit. Dan yang paling baik di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Baik NU maupun Muhammadiyah terwakili. Secara individual banyak orang NU dan Muhammadiyah yang bekerjasama. Jadi saya melihat tidak ada persoalan dengan Muhammadiyah. Tapi bukan berarti tidak ada perbedaan. Seperti masalah-masalah furu’iyah dan khilafiyah. Dibalik khilafiyah itu terdapat persaingan ambisi, orang NU dan Muhammadiyah bersaing. Itu wajar-wajar saja. Dan saya tidak percaya kalau ada policy NU menggusur Muhammadiyah, atau Muhammadiyah menggusur NU. Dengan kata lain ada perbedaan tapi bukan pertentangan. La.. wong saya dengan Chalid Mawardi (mantan pengurus NU) saja tidak bisa ketemu, walau sama-sama NU.

Jadi kerjasama itu membawa organisasi NU dan Muhammadiyah?

Tidak perlu diformalkan. Kita masukkan saja ke dalam alur hubungan timbal balik gerakan-gerakan Islam. Tidak hanya dengan Muhammadiyah, tapi juga dengan organisasi Islam lainnya seperti Persis, Perti atau yang lain.

Jadi tak ada yang hanya melibatkan NU dan Muhammadiyah saja?

Semuanya bisa kerjasama, tapi bisa juga berbeda kepentingan. Adakalanya tokoh NU dan Muhammadiyah berdebat sengit dalam suatu tempat, tapi bukan berarti mereka mewakili NU dan Muhammadiyah. Seperti saya dengan Malik Fajar, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Tak perlu melibatkan NU seluruhya.

Jadi kalau dikatakan NU-Muhammadiyah kerjasama, itu terlalu simplistik. Saya tidak begitu melihatnya. Hubungannya interaktif saja. Artinya. jika dikatakan tidak ada kerjasama, buktinya ada yang melakukan kerjasama. Dengan kata lain NU-Muhammadiyah punya hubungan timbal balik yang positif.

Mengapa tidak diusahakan hubungan NU-Muhammadiyah secara formal?

Untuk apa. La…wong kita sudah sering kerjasama yang formal-formalan kok. Seperti di BMPTSI dan MUI, apakah itu bukan kerjasama formal. Mengapa inginnya kok serba formal. Justru formal-formalan seperti ini yang saya tolak, lha untuk siapa sih. NU-Muhammadiyah ya dewe-dewe, karena kedua-duanya melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri. Lalu, kalau dikatakan dewe-dewe sama sekali, ya juga tidak, karena banyak melakukan kerjasama.

Sekarang muncul keinginan orang agar NU-Muhammadiyah duduk bersama untuk membicarakan agenda politik umat Islam seperti di Sunda Kelapa itu, mengapa?

Untuk apa…Kepentingan politiknya NU-Muhammadiyah saja berbeda. Di NU saja, saya dengan Yusuf Hasjim (paman Gus Dur, kini Mustasyar atau Dewan Penasihat, Red.) NU saja tidak pernah bertemu kok. Dan memang tidak perlu dipertemukan. Justru yang demikian itu merupakan kekayaan kita, karena kita beragam.

Kenapa NU-Muhammadiyah harus satu kerangka dalam satu perjuangan di bidang politik. Justru karena kita bukan pertai politik, kita konsekuen untuk tidak mengurusi lembaga politik. Jika ada orang NU di Golkar, seperti Chalid Mawardi, ya, biar saja. Intinya, karena NU bukan lembaga politik, ya, NU tidak ngurusi lembaga politik.

Anda berjuang lewat pendekatan kultural, lewat “bawah”, sementara Amien Rais menerapkan pendekatan struktural, lewat “atas”, apakah kedua cara ini ada kesamaannya seperti kata Amien?

Ada perbedaan yang tidak disebutkan Mas Amien. Muhammadiyah melakukan pendekatan melalui kelembagaan. Saya katakan tadi dia berjuang lewat ICMI untuk mendominasi lembaga-lembaga politik. Dan, itu jelas, karena selama ini Amien bicara tentang perwakilan (representasi). Di situ saya bertanya, apakah valid pandangan itu. Dan, katanya itu berangkat dari pengertian yang namanya umat. Saya tanya: umat itu siapa. Kalau yang dimaksud itu gerakan Islam, tentu dia merupakan minoritas dalam gerakan Islam itu. Berapa sih anggota NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, SI. Ada nggak 40 persen dari bangsa Indonesia. Kalau saya sih gampang saja menghitungnya. Dalam menghitung persentase ini kartu anggota nggak bisa dipakai sebagai ukuran. Caranya, gunakan ukuran umum kesantrian saja: berapa banyak orang ke masjid, pergi haji dan lainnya. Yang melaksanakan kesantrian secara umum itu “kan tak lebih dari 40 persen yang melakukan kegiatan secara benar. Selebihnya ‘kan tidak peduli. Selebihnya, yang beragama Islam hanya tahu satu hal, kalau disuruh makan babi nggak mau. Bila lebaran ikut mudik, tapi bulan puasa makan jalan terus di waktu siang.

Seharusnya bagaimana peran Islam dalam pemerintahan?

Wajar saja kalau gerakan Islam ingin terwakili di pemerintahan. Tapi ya dari 40 persen itu. Namun tidak harus dari kelompok gerakan Islam itu Seperti Hartarto (Menko Industri dan Distribusi) sehari-hari melakukan pola kehidupan seperti santri. Tapi dia tidak mau terikat kepada siapapun. Pak Nasution, siapa yang bilang dia tidak santri. Dia lebih santri dari kiai kok. Tapi dia tidak mau ikut dalam organisasi Islam. Jadi santri-santri yang seperti itu banyak di pemerintahan. Apakah mereka yang di pemerintahan itu tidak mewakili umat.

Kok kita masih ribut kurang, hanya karena wakilnya NU, Muhammadiyah, Perti, SI dan lainnya tidak ada di pemerintahan. Hal ini yang jadi pertanyaan saya, yang dimaksud dengan representatif dalam pemerintahan itu apa artinya. Setahu saya santri itu sudah menjadi pola kehidupan kebudayan kita. La wong orang seperti Siswono (Menteri Transmigrasi) itu sembahyang Jumat kok. Dia nggak pernah masuk pesantren, dan tidak pernah masuk organisasi Islam. Lantas kita bilang Islam masih kurang terwakili, lalu Siswono itu sampean anggap apa.

Jadi masalah perwakilan itu jadi formalisme. Saya mempertanyakan itu, pendekatan untuk mendominasi dan menguasai lembaga politik oleh Islam. Pendekatan itu menurut saya adalah formalisme yang dangkal. Lihat saja yang duduk di pemerintahan itu 80 persen santri.

Harusnya yang paling jauh dari kesantrian itu adalah ABRI. Karena di ABRI agama itu podo. Tapi sekarang Feisal Tandjung, Hartono, Syarwan Hamid, itu kan shalat semua. Santri di ABRI pertama kali diwakili oleh Try Sutrisno (Wakil Presiden), orang surau (masjid) yang menjadi pemimpin ABRI. Apakah anggota ABRI itu tidak mewakili Islam?

Jadi representasi ormas Islam di pemerintahan itu tak penting?

Seandainya dia yang beragama Islam tapi di luar gerakan Islam, tapi dianggap tidak mewakili Islam, batasannya seperti apa. Lantas dengan adanya representasi, semuanya menjadi kabur. Apakah bisa yang beragama Islam, tapi berada di luar gerakan Islam, apakah dapat dikatakan mewakili umat Islam. Lalu ada standar ganda. Jika wakilnya umat Islam hanya yang dari gerakan Islam. Yang di luar gerakan Islam tidak dianggap mewakili. Lantas jumlahnya kurang. Lalu kita bicara mengenai orang Katolik, seperti Benny Moerdani, Soedrajat Djiwandono, yang sering dicap mewakili Katholik. Ukurannya untuk mereka apa. Apa sih bedanya dengan ke-Islamannya Pak Harto. Mereka sama-sama awam.

Jika Romo Mangun mewakili Katholik kita paham karena dia itu mewakili gerakan. Rancunya lagi, terhadap yang awam, ikut dituduh gerakan. Seperti Jacob Oetama (pemilik Kompas Gramedia), dia keberatan dituduh berpikir Katolik. Dia berpikirnya professional journalism.

Apakah gagasan perwakilan umat Islam di pemerintahan itu rancu?

Gagasan perwakilan rancu sejak awal. Jika ada orang-orang gerakan Islam yang duduk di lembaga representasi, ya, nggak apa-apa. Yang penting orang-orang itu bekerja dengan baik. Toh kalau hasilnya baik, itu ‘kan juga mewakili Islam. Itu sama saja dengan asas yang terdapat dalam Islam, yaitu asas manfaat dan kemaslahatan. Serta menghindari kerugian dan kerusakan. Intinya Islam ‘kan itu, ya sudah nggak perlu dengan formal-formalan dalam gerakan Islam.

Jadi apa peran gerakan-gerakan Islam?

Ya…tidak perlu peran politik wakil-wakilan. Tidak perlu wakil-wakil formal di lembaga pemerintahan. Saya tidak mewakili NU dalam kegiatan saya di Fordem (Forum Demokrasi) saya sendiri, begitu pula di IKJ (Ikatan Kesenian Jakarta) dan WRCP juga begitu, saya mewakili pribadi bukan NU. Toh orang juga melihat saya sebagai wakilnya Islam. Jadi tidak perlu ada strategi. Kayak Islam mau menguasai negara memakai strategi. Saya menolak perjuangan bersama. Saya ikut Pak Nasution, Pak Harto, Bung Ali Sadikin saja yang Islamnya juga baik-baik.

Jadi apa strategi untuk umat Islam dalam bernegara ini?

Strategi untuk apa. Kalau ingin strategi silakan. Saya tidak mau ikut. Islam tidak pakai strategi. Mana ada gerakan-gerakan yang pakai strategi. Golongan nasionalis, strateginya hancur nggak karuan. Golongan sosialis, apa masih ada. Apa golongan Kristen juga punya strategi. Lalu kalau menyebarkan agama Kristen juga dianggap sebagai strategi, bagaimana dengan menyebarkan agama Islam, apakah itu tidak dikatakan sebagai strategi. Kalau kelompok Kristen ingin menempatkan orang Kristen di dalam pemerintahan, itu sudah gagal. Kalau toh benar ada strategi Kristen, itu sudah gagal total, karena reaksi umat Islam. Kemarin Romo Mangun dalam artikelnya di sebuah majalah marah-marah kepada Benny Moerdani mengenai Uskup Belo. La, jika sama-sama punya strategi, ‘kan sama-sama Katolik tidak begitu. Lalu ada usaha untuk meng-counter, dengan menempatkan orang-orangnya di pemerintahan. Kalau kita ingin seperti ini terus, kapan kita punya kebersamaan. Lantas secara nasional, politik kita seperti apa jika keadaannya seperti itu.

Menurut saya selama ini yang terjadi adalah kesenjangan. Seperti kesenjangan ekonomi, sosial, pendidikan, dan lainnya. Kesenjangan itu yang menempatkan kalangan santri kurang mampu meraih peluang. Tapi hal itu sekarang sudah terkejar. Jika ingin pesimis, yang paling pesimis itu saya. Karena NU tidak punya doktor, master. Toh saya tidak pesimis dengan hal itu. Karena saya yakin pada saatnya akan banyak orang NU yang mencapai bidang itu. Buktinya banyak mahasiswa-mahasiswa yang dikirim ke luar negeri itu warga NU. Dan saya perhatikan makin hari makin banyak orang NU yang belajar ke luar negeri.

Jadi Anda ini ingin NU seperti apa nanti?

Yang alamiah saja. Saya ingin NU menjadi gerakan kultural.

Tampaknya jabat tangan Anda dengan Pak Harto disambut gembira oleh warga NU, khususnya para kiai, yang menganggap belum afdol kalau Anda belum diterima Pak Harto….

Mereka gembira karena selama ini ada tekanan batin. Belakangan, dengan berbagai rekayasa, hubungan NU dengan pemerintah menjadi renggang. Karena sejak kembali ke Khittah, NU menjaga indepedensinya dengan pemerintah. Katakanlah NU menjaga jarak dengan pemerintah. Artinya NU tidak bersikap konfrontatif, jangan rapat atau rengganglah.

Akibat berbagai rekayasa itu, warga NU mikir karena tahu budaya politik bangsa kita, bahwa kalau ada organisasi yang renggang dengan pemerintah akan mengalami gencatan-gencatan. Dan itu sudah terjadi di berbagai daerah. Misalnya cabang NU mendatangkan saya, lantas ditegur Bupati. Jangan mendatangkan Gus Dur, kata bupatinya. Ini ‘kan tekanan batin. Padahal mereka ingin sekali saya datang ke acara NU itu. Nah, sekarang ‘kan hilang, sudah lego. Jadi bukan gembira, tapi lego. Karena himpitan sudah hilang. Walau begitu sikap mereka untuk mengambil jarak dengan pemerintah itu juga jelas.

Bukankah lazim jika ada organisasi berusaha mendekati pemerintah?

Karena NU bukan pemerintah dan pemerintah bukan NU, masing-masing punya agenda sendiri. Yang penting NU dengan pemerintah jangan tabrakan. Ya… kita sering sejalan dengan pemerintah pada garis besarnya. Karena NU berdasarkan kerelaan dan keikhlasan, sedangkan pemerintah berdasarkan paksaan dan pungutan.

Tentang pertemuan Anda dengan Kasad Jenderal Hartono?

Itu pertemuan tidak ada apa-apanya. Saya hanya menjadi ban serep, Pak Hartono ingin ketemu dengan kiai-kiai. Jika dalam pertemuan itu ada pertanyaan-pertanyaan yang sulit dari para kiai. Hartono melemparnya kepada saya. Ya semacam mencairkan situasilah. Sebelumnya ‘kan tidak ada komunikasi, lalu ada komunikasi, jadi cair to…

Kerusuhan Situbondo, yang basisnya NU, ada yang mengatakan sebagai upaya memojokkan Anda?

Saya tidak pernah percaya pada politik konspirasi. Tapi bahwa kerusuhan itu direkayasa, ya. Tapi belum tentu itu direkayasa terhadap NU atau saya. Rekayasa itu ditujukan kepada oknum-oknun yang tidak puas dengan keadaan. tapi tidak ditujukan kepada siapa-siapa.

Kabarnya ada anggota Forum Demokrasi yang kecewa karena Anda salaman dengan Pak Harto?

Urusannya apa. Kalau ada anggota Fordem yang marah, nanti dulu. Saya salaman dengan Pak Harto bukan sebagai Ketua Kelompok Kerja Fordem, tapi sebagai ketua PBNU. Bila salaman Presiden dengan Ketua PBNU, ada kritik dari warga NU, itu wajar-wajar saja. Kecuali saya datang dengan mengatasnamakan Fordem, itu boleh dilarang atau dibenarkan. Dan jika ada kritik sah-sah saja.

Kiprah Anda di Forum Demokrasi sebagai kegiatan politik?

Itu memang kegiatan politik, tapi bukan lembaga politik. Itu semacam kiprah penyadaran politik. Cara yang ditempuhnya dengan cara gerakan kultural yaitu dengan melakukan penyadaran. Gerakan budaya untuk melakukan penyadaran terhadap hak-hak politik masyarakat. Itu bukan tugasnya NU dan Fordem bukan NU.

Kabarnya Anda akan bertemu dengan BJ Habibie?

Tidak ada pertemuan dengan Habibie.

Anda pernah diundang ICMI untuk mengadakan pertemuan?

Kalau diundang untuk pertemuan, seminar ini-itu, ya pernah. Tapi itu ‘kan tidak masuk dalam pembicaran.

Jadi Anda tidak mau jika Habibie mengudang Anda untuk bertemu?

Saya tidak punya kepentingan dengan ICMI. Saya juga tidak bertanggung jawab terhadap ICMI. Dewe-dewe-lah (sendiri-sendirilah, Red.).