Kembali ke 1B Rekaman Proses

Tabayun Gus Dur – Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural

1B Rekaman Proses
Tabayun Gus Dur – Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural
Judul
Tabayun Gus Dur – Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural
Penulis
Abdurrahman Wahid (Kumpulan Wawancara di berbagai Media)
Editor (Penyunting)
Moh. Shaleh Isre
Penerbit
LKiS Yogyakarta, Juni 1998 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Bagian I. Suksesi dan Demokrasi Pluralisme

 

Bagian II. Sepakbola, Humor, Seni dan Keluarga

 

Bagian III. Islam, Ideologi dan Pemberdayaan Masyarakat Sipil

Sinopsis

Buku ini berisi tabayun-tabayun Gus Dur. Tabayun berasal dari bahasa arab yang berarti klarifikasi. Gus Dur sedang dimintai penjelasan (diwawancara) oleh para wartawan. Ada banyak media seperti Forum Keadilan, Matra, Editor, Tempo, Kompas, dan lainnya yang sedang bertabayun kepada Gus Dur.

 

Setiap bagian ditulis dengan pertanyaan, lalu dijawab oleh Gus Dur. Ada tiga bagian yang ada di dalam buku ini. Pertama tentang Suksesi dan Demokrasi. Kedua, Seni dan Humor, Ketiga, Islam dan Ideologi.

 

Dalam menjawab pertanyaan, Gus Dur dengan spontanitas. Tanpa pikir panjang. Tidak seperti pada tulisan-tulisannya yang mengajak pembaca berpikir. Di kalangan media atau pers kala itu Gus Dur menjadi news maker, apapun perilaku-ucapan Gus Dur, termasuk yang kontroversi, menarik diberitakan.

 

Dalam proses penulisan wawancara, beberapa media menggambarkan saat Gus Dur menjawab pertanyaan—seperti saat sedang terbatuk-batuk, terkekeh-kekeh, menyeduh teh hangat, mengangkat telepon masuk, menjawab dengan mata tertutup, bahkan sempat tertidur, ditulis berapa lama waktu wawancara, ada siapa saja di sekitar Gus Dur. Hal ihwal tersebut mengajak pembaca lebih dekat, seakan berada di samping Gus Dur. Di sinilah letak menariknya membaca liputan wawancara di buku ini.

 

Dalam tulisan Negeri Ini Kaya Akan Calon Presiden, saat itu sedang persiapan pemilu tahun 94. Gus Dur yang posisinya sebagai Ketua PBNU itu diminta pendapatnya untuk menerawang sosok yang pantas menjadi calon pengganti Pak Harto. Gus Dur berkomentar bahwa demokrasi di Indonesia saat itu masih tempelan, seolah-olah. Ada banyak lembaga seperti MPR, DPR, BPK, Mahkamah Agung, namun orang-orangnya tidak demokratis. Seolah-olah baik, tapi nyatanya bobrok.

 

Bicara demokrasi, Gus Dur memberikan tiga pilar. Pertama adalah kebebasan, kedua keadilan, ketiga kesamaan di muka hukum. Tanpa ketiganya, integrasi bangsa tidak akan berjalan penuh, bahasa Gus Dur, somplak-somplak.

 

Pada tulisan Sebenarnya Pak Harto Saat Ini Lagi Pusing, ada prediksi Gus Dur terkait kemerosotan suara PPP dibanding PDI. Catatan Gus Dur mengapa hal ini terjadi? karena PPP membiarkan dirinya berada pada citra partai Islam. Pernyataan itu ditulis pada tahun 1997. Bila dilihat dalam pemilu 2024 kemarin, terbukti. Suara PPP makin hari kian merosot tajam. Tidak dapat kursi di Senayan. Sebab citra diri partai.

 

Era Orde Baru yang digegerkan dalam pemberitaan bukan siapa calon presidennya. Namun siapa calon wakil presidennya. Dan komentar-komentar Gus Dur sering menjadi headline berita. Gus Dur pernah diminta penjelasan calon presiden dari golongan Kristen. Gus Dur menjawab dengan elegan. Secara teoritis dan faktual. Andaikata terjadi, Undang-undang mengizinkan itu dan NU taat dengan konstitusi.

 

Soal nafkah dan hubungan dengan keluarga, ada catatan menarik dalam tulisan Saya Nomer Tiga: Tentang Suksesi NU, ICMI dan Pak Harto. Gus Dur ditanya soal penghasilan untuk menafkahi kelurganya dan cara membersamainya seperti apa. Bagi Gus Dur, sebuah keluarga bisa berdiri kokoh dibangun atas rasa saling mengerti yang sifatnya batin, kualitatif, bukan pada frekuensi pertemuan yang tinggi. Gus Dur selalu terbuka untuk anak-anaknya yang curhat, meminta pendapatnya dalam membuat sebuah keputusan.

 

Membaca tulisan-tulisan di buku ini penting melihat bulan dan tahun disaat Gus Dur sedang diwawancarai. Ada situasi apa saat itu, bagaimana kondisi politik nasional, karena dari tahun 1984-1996 (dalam tulisan wawancara di buku ini), kehidupan Gus Dur tidak bisa dipisah dengan situasi politik Orde Baru. Pendapat-pendapatnya di buku ini mungkin bisa dijadikan rujukan untuk konteks saat ini, bagaimana melihat sikap dan pandangan Gus Dur dalam melihat problem bangsa.