Saya Tidak Menyimpang dari Umat (Wawancara)

Sumber Foto: https://jambi.tribunnews.com/2023/09/01/misteri-hari-lahir-gus-dur-menjelang-7-september?page=all

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sauatu hari, selewat waktu salat Jumat, di halaman Kantor PBNU, jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat, hanya ada beberapa mobil. Melintasi pintu gedung yang paling kiri, langsunglah sebuah ruangan yang amat sangat sederhana menganga, dengan beberapa orang tampak tenggelam dalam perbincangan cukup serius. Tapi dimana Abdurrahman Wahid yang katanya sudah menunggu? Seseorang member isyarat agar terus ke dalam, lewat samping sekat ruangan yang terbuat dari papan biasa. Wah, bayangan bahwa tokoh cendekiawan bernama besar ini sedang duduk di kursi mewah menghadap meja kerja yang megah,, pun pudar seketika. Ternyata Gus Dur–panggilan akrabnya–sedang sibuk membereskan kliping koran di sebuah meja tua dalam ruang kerjanya, yang hanya ada dua meja dan satu rak sepanjang tiga meter. Wawancara berlangsung saat Gus Dur menunggu rapat 45 menit lagi.

Soal apa sih, ini? (Tetap asyik dengan kesibukannya, tanpa mencoba mendongak sedikit pun barang sejenak). Sebenarnya saya sudah jenuh wawancara. Cuma ngomong saja lagi.

Ada sesuatu yang memang membuat Anda jenuh?

Ndak. Bukan jenuh apa, ya jenuh wawancara. (Menumpuk majalah Tiara yang barusan kami berikan). Tapi apalagi yang tersimpan pada diri saya.

Kalau melihat popularitas Anda, kantor ini jadi sangat mengesankan?

Dari dulu juga begini. Ini kantor sementara, yang di sana lagi dibetulin. Kalau mejanya ya ini, sudah berapa tahun, enam setengah tahun. (membuka-buka majalah lain, menutupnya mengambil yang lain, dan membuka-bukanya pula). Selamanya ya begini.

Sesuai dengan garis perjuangan..

Tidak usah muluk-muluklah, adanya ini. (Mengipas-ngipas din dengan majalah yang dipegangnya. Ruang kerjanya, apalagi ber -AC, kipas angin pun tak ada).

Mengenai Forum Demokrasi?

Saya tidak punya pendapat, wong itu perjuangan saya. Artinya, itulah panggilan saya di situ, memperjuangan demokrasi.

Perhatian Anda terhadap demokrasi, terhadap kemanusiaan, tumbuh begitu saja?

Wah, tidak bisa dibilang. Dulu bangsa kita menjalankan demokrasi secara terbuka. Perkara ada ekses dan kemudian timbul persoalan saya kira itu hal yang wajar. Sekarang juga banyak ekses. Tapi kita nggak bisa melihat pelaksanaannya dari ekses-ekses yang terjadi saja. Dulu, pelaksanaan demokrasi liberal ada ekses-ekses, tapi kita nggak bisa bahwa lalu negara kita tidak perlu memikirkan demokrasi yang terbuka. (Menaruh majalah dan mengambil sebuah undangan yang ada diatas meja).

Siapa orang yang paling berperan dalam pembentukan kepribadian Anda hingga menjadi seperti saat ini?

Ya tidak bisa satu orang saja. Lha, saya ditinggal ayah saya masih umur 12 tahun. Saya nggak begitu banyak tahu tentang ayah saya, kecuali dari cerita orang atau dari buku. Kalau secara pribadi ‘kan hanya sebentar. Saya sekolah di Yogyakarta, dari Yogya ke pesantren. Jadi saya nggak bisa bilang dari mana itu, apa, pengaruh-pengaruh itu. Bacaan juga sama pentingnya, ‘kan? Belajar di pesantren, kiai-kiai itu juga banyak berpengaruh pada diri saya. Kemudian pulang dari luar negeri saya aktif. Lalu menginjak masa bekerja, saya berkiprah di LSM. Jadi sudah kalau mau dibilang siapa yang mempengaruhi atau membentuk kepribadian saya. Dan saya nggak percaya hahwa pribadi seseorang pribadi yang dibentuk oleh dirinya sendiri. Kalau dikatakan dibentuk tidak oleh dirinya, ya oleh keseluruhan lingkungannya. Lingkungan saya pesantren yang konon katanya bersikap tradisional, nggak tahu dunia luar, anti perubahan. Tapi kok jadinya lain, seperti ini.

Anda berdialog dengan situasi…..

Iya, misalnya dulu, tahun 70-an pesantren-pesantren sempat mengalami erosi, ribut dengan masalah social effect, ribut dengan soal akreditasi negeri dan sebagainya. Wah, kalau diterus-teruskan nilai-nilai luhur pesantren bisa hilang kalau begini. Nah, pesantren namanya membentuk responsi saya terhadap keadaan. Saya mencoba memperkenalkan nilai-nilai baru yang menurut saya, lebih sesuai dengan tujuan dan kebutuhan pesantren di masa yang akan datang. Umpamanya, kalau Depertemen Agama memperkenalkan keterampilan seperti piara ayam, potong pakaian, jahit menjahit, cukur rambut, segala macam, saya pikir, itu vulgar. Masak pesantren mau dijadikan sekolah tukang. Itu ‘kan sudah ada sendiri. Dan orang tua mengirim anaknya ke pesantren ‘kan untuk jadi kiai. Saya secara jujur, itu harus diubah. Saya lakukan upaya memperkenalkan suatu hal baru. Kalau pesantren toh mau memekarkan kurikulumnya, mau menerapkan hal-hal baru, itu dalam konteks pengabdian pesantren kepada masyarakat. Masyarakat yang belum berkembang ini mari kita kembangkan. Karena itu saya undang LSM-LSM ke pesantren.

Ini berkait pula dengan sikap Anda tentang peran agama dalam berbangsa?

Agama itu kekuatan inspiratif, kekuatan moral. Jadi agama harus membentuk etika dari masyarakat. Itu yang paling penting, menurut saya. Lebih dari itu menimbulkan problem. Ketika kita membentuk etika masyarakat, maka agama itu sendiri merumuskan masa depan masyarakat itu kayak apa yang diingini, dengan menilai situasi masyarakat pada saat itu bagaimana. Karena itu selalu berangkat dari kenyataan-kenyataan. Umpama, sekarang agama bisa menunjukkan bahwa masyarakat kita ini belum demokratis betul. Lalu apa yang bisa diperbuat supaya bisa demokratis betul. Mungkin agama lebih penting lagi berperan di situ. Tapi dalam kenyataan, malah orang kayak saya yang bikin Forum Demokrasi, yang marah-marah kalangan agama. Kan lucu. Mereka nggak ngerti.

Itukah sebabnya Anda dulu “membela” Monitor?

Saya nggak belain siapa-siapa, saya nggak belain Arswendo, memang Arswendo juga kurang ajar, kok. Tetapi persoalannya bukan di situ. Persoalannya adalah bahwa demokrasi itu tidak bisa menerima adanya pencabutan SIUPP, terhadap siapa pun, itu berarti nggak demokratis.

Anda dikenal oleh masyarakat dengan pikiran-pikiran Anda yang kontroversial….

Masyarakat itu siapa? Kalau memang kontroversial, itu ditolak oleh masyarakat, menimbulkan kegoncangan. Saya nggak bakal jadi Ketua NU. (Suara penggemar fanatik sepakbola dan catur -ia mengkliping secara lengkap pertandingan catur juara dunia Karpov dan Kasparov -yang sejak umur 10 tahun sudah sudah mengenal musik klasik ini tiba-tiba meninggi). Saya mau tanya, NU itu gedhe, dianggap masyarakat nggak itu? Kenapa yang kecil-kecil itu mengganggap dirinya masyarakat, orang NU nggak boleh… Malah mengatakan, Anda menyimpang dari umat, “Lho umat itu mana addressnya. Yang mana, umat itu? Kalau kelompok-kelompok kecil itu yang geger, nggak saya anggap umat, itu. Umat itu, batang tubuh umat saya pikir nggak ada apa-apa. Saya ngomong begitu, dari dulu ya begitu terus. Nyatanya ya mereka masih begini ini, banyak permintaan saya bicara pada mereka. Tanpa ada ribut-ribut, kalau nggak ngerti wajar saja tanya. Kalau Anda mengatakan sering menimbulkan kontroversi. Oke. Tapi itu bukan berarti masyarakat, ‘kan? Sebagian masyarakat. Mayoritas masyarakat menerima. Yang nggak menerima ‘kan bangsa yang tukang ribut itu, yang jumlahnya sedikit, tapi merasa sebagai pemimpin umat, ini dan itu.

Dan Anda sering juga dituduh meninggalkan jamaah, ya?

Anda tulis ini ya (mengayun-ayunkan tangan dirinya dengan telunjuk yang menuding), dalam suatu acara halalbilhalal, saya disindir sebagai pemimpin yang suka jalan sendiri. Bikin BPR, membawakan masalah-masalah sektarianisme, terus saya tanya, yang ninggalin jamaah itu siapa? Lha saya ngomong begitu, saya juga iyakan, kok. Saya lebih banyak mendapatkan surat-surat persetujuan dan dukungan. Banyak malah, yang punya kepercayaan kepada saya, ngerti nggak ngerti percaya. Ada kiai yang ditanya tentang Forum Demokrasi, ‘dia tanya siapa yang memikirkannya?’ Gus Dur. Ya sudah kalau Gus Dur yang bikin, walaupun kita masih 50 tahun lagi baru paham. Masyarakat menghendaki pemikiran-pemikiran yang segar. Pendapat-pendapat kontroversial, diperlukan. Buktinya, saya bisa diterima. Contoh, BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Lha, nyatanya masyarakat sudah pakai bank sejak lama, gitu. Yang mau pergi haji, ia ke bank. Kenapa sih, kalau memang masyarakat nggak siap pakai bank kok selama ini diam saja, nggak ada yang protes. Lho, orang mau haji itu ‘kan ibadah, ya ibadah itu pengen yang murni, ‘kan, nggak kecampuran apa-apa, ‘kan? Kalau memang itu dianggap masyarakat sebagai barang haram, yang harus dijauhi, mereka nggak mau setor ke bank, mereka akan protes ke Depertemen Agama, minta jangan lewat bank. Kenapa nggak ada yang menuntut. Berarti, yang memasalahkan itu jumlahnya kecil. Akhirnya ditinggal oleh umat. Sedangkan saya, saya menangkap dengan benar kehendakan umat. Buktinya? Buktinya mereka tetap ber-bank-bank, dan bank saya juga jalan.

Anda tidak merasa punya musuh?

Nggak. Saya nggak pernah merasa punya musuh. Kalau orang Nggak senang sama saya, ya banyak. Tapi saya nggak menganggap mereka musuh.

Keyakinan diri Anda besar sekali.

Bukan soal keyakinan diri ya. Artinya, saya merasa inilah panggilan saya ya saya jalan.

Sehingga Anda terkesan berani.

Alhamdulillah kalau dianggap begitu. Walaupun saya sendiri punya ketakutan-ketakutan juga. Nggak normal saya kalau nggak punya rasa takut. Ketika mau buat Forum Demokrasi juga ada takut. Apa nanti ini nggak subversi oleh pemerintah. Tapi saya yakin, wong saya nggak begitu, langkah-langkah yang saya ambil juga nggak begitu. Pemerintah cuma ‘takut kalau’, tapi setelah dapat penjelasan ya nggak juga. Jadi, saya tidak melihat diri saya berani gitu, lho. Artinya, ya, saya harus melakukan sesuatu ya saya lakukan. Sama juga orang kawin, toh? Perlu dipikir matang-matang segala macam. Tapi secara prinsip yang penting adalah, apakah kita setia dengan keinginan kita. Itu yang saya coba untuk saya lakukan. Masalah yang dianggap berani atau nggak berani, itu bukan urusan saya. Saya merasa nggak pernah merasa menjadi pahlawan. Bahkan saya muak sekali dengan heroisme, sikap sok pahlawan.

Artinya, kadang-kadang Anda bimbang. Nah, saat dalam kebimbangan, bagaimana Anda menentukan sikap?

Saya pikir, saya bimbang itu hanya beberapa kali. Itu pun nggak ada yang prinsip, sehingga nggak perlu mengatasi atau apa. Bimbang, biasanya tentang cara. Dua kemungkinan ini mana kira-kira paling sedikit risikonya paling banyak hasilnya, begitulah kira-kira. Kalau begitu, kita perhitungkan saja plus minusnya. Mana yang paling banyak plusnya itulah yang kita pakai.

Secara matematis, begitu?

Ya, matematis dalam arti membanding, ya. Kalau saya bukan matematis, tapi rasional. (Dan wawancara pun sementara berakhir, karena teman-teman Gus Dur yang akan menghadiri rapat sudah datang).

***

Hari kamis di kala kalender menunjukkan tanggal merah, sekitar pukul 9.30 Gus Dur masih mengenakan sarung berbincang dengan Rais Am (Ketua Umum) Syuriah NU Jakarta Pusat yang berkunjung ke rumahnya, Jl Paso 1. Ciganjur, Jakarta Selatan. Tidak lama kemudian sang tamu pulang, dan Gus Dur mandi untuk kemudian menghadiri undangan di rumah Utomo Dananjaya di daerah Cipinang, Jakarta Timur. Gus Dur mengatakan, ia merasa harus hadir pada acara yang semula tidak diagendakan tersebut karena, “Terus terang saja ini bener-bener lagi perang dingin. Perang dingin antara eks HMI dengan saya. Bukan dari sayanya… Karena itu lalu dikhawatirkan oleh Utomo Dananjaya dan kawan-kawan, akan merusak persahabatan saya dengan Nurcholis Madjid, “katanya. Maka berangkatlah Gus Dur –yang semalaman begadang karena nonton TV mengikuti pertandingan sepakbola- ditemani dua anaknya, Nita yang sudah di SMP dan si bungsu Lia yang masih duduk di kelas tiga SD. Anak-anak Gus Dur berkomunikasi dengan ayahnya meng-gunakan bahasa Jawa ngoko.

***

Kok anak-anak pintar bahasa Jawa, pada hal di Jakarta?

Di rumah memang bahasa Jawa. Adik-adik saya itu, sayangnya anak-anaknya pada nggak bisa bahasa Jawa. (Nita menyambung dengan bicara masalah keluarga besar mereka). Ada seorang kiai datang ke saya, dia punya rencana. Saya bilang, bikin proposal. ‘Proposal itu apa?’ tanyanya. Sudahlah, sekarang kamu berdoa saja, nanti hasilnya tahu sendiri, ha..ha…ha… Kiai ‘asli’ ya begitu itu.

Berarti usianya sudah 80-an.

O, ndak. Di bawah saya, malah. Memang nggak tahu pendidikan umum sama sekali. Tapi dia lihat Anda ‘jebret’, gitu. Sudah tahu, oo, ini dulu pernah sakit berat. Istrinya cerewet nggak cerewet, hebat.

Kemampuan seperti itu sebenarnya bagaimana?

Itu esoterik, ilmu yang esoterik yang kata orang Jawa ngelmu.

Setiap orang bisa mengupayakannya?

Upaya, sih bisa, tapi hasilnya juga termasuk bakat. Saya ini nggak pernah upaya apa-apa, bakat punya, saya. Tapi kalau saya harus latihan segala macam, sayang Artinya, keinginan saya jadi ‘kan. Cara hidup saya harus berubah. Sayang, saya itu sering ini, umpamanya naik mobil begini ya, tahu-tahu, lho. Saya pernah mengalami.’ Terus saya bisa memprediksikan mimpinya panjang. Jadi terus enak, karena sudah tahu salahnya.

Apa yang dikatakan orang laduni itu?

Kalau laduni itu salah satu bentuk dari pengetahuan esoterik, Tapi yang itu hanya punya penguasaan terhadap materi ilmiah. Punya pengetahuan yang diperoleh secara mendadak. Ya belajar, tapi sangat cepat. Geniuslah, geniusitas. Saya itu sering kok nggak sengaja ngomong. “jangan begitu, deh, nanti begini-begini.” Menurut saya, sih, rasio. Tapi tahu-tahu kejadian benar. Orang geger. Dia percaya saya ini punya ilmu tingkat tinggi.

Di NU ada tradisi cium tangan, ya?

Ya, kalau cium tangan Katolik juga begitu. Kennedy itu sama Paus cium tangan, lho. Sama uskupnya saja cium tangan, padahal Presiden Amerika. Makanya pangkat saya ini” sudah naik sekarang”. Waktu saya masuk rumah sakit, dokternya langsung cium tangan saya. Saya pikir ini kok ada dokter NU. Biasanya ‘kan Muhammadiyah. Teman-teman yang tahu langsung menyahut. “NU apa. Katolik itu, “Wah kalau begitu saya sudah uskup sekarang, bukan pastor lagi, ha ha ha… Ada lagi gelar saya, waktu halal bilhalal Jakarta. Mereka nggak ngerti istilah-istilah Islam, Maksudnya mau bilang ‘dai” “Kita bersyukur malam ini kita didatangi penceramah yang kita tunggu-tunggu yaitu Kiai Abdurrahman Wahid, ‘doi’ besar….(Terburu terpingkal-pingkal. Cukup berkepanjangan juga. Tapi kemudian, setelah meladeni keterlibatan anak-anaknya dalam bincang-bincang sejenak, Gus Dur berbicara mengenai beberapa organisasi pemuda dan mahasiswa) Saya itu, yang namanya PMII, IPPNU, Ansor, belum pernah ikut campur. Malahan kongresnya, kadang-kadang datang pun tidak. Saya berpendapat, kemandirian generasi muda itu penting sekali. Lucunya, NU yang tradisional, yang kolot malah menerapkan sesuatu yang sebetulnya modern, tidak campur tangan.

Waktu muda Anda termasuk mendapatkan iklim yang mandiri?

O, iya, sak karepe dewe. Saya itu, riil ya, pandu, pandu itu tiap tiga bulan pindah. KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), Pandu Rakyat Indonesia, Ansor, HW (Hisbul Wathan) Saya pernah pandu HW, pandunya Muhammadiyah, ha ha..ha.. terus pandu-pandu yang Iain (Mengangkat kaki kanannya ke paha kirinya). Terus sekolah, pesantren, terus ke Kairo. Di Kairo saya aktif di PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia), sekretaris sampai jadi wakil ketua. Di Kairo saya cuma dua setengah tahun. Terus kuliah Di Bagdad, di sana saya ketua PPI Independen, saya.

***

(Nita dan Lia selalu menyemarakkan suasana dengan tebakan-tebakan atau cerita-cerita lucu. Abdurrahman Wahid sesekali ganti melemparkan tebakan-tebakan atau pun cerita-cerita lucu buat mereka. Dan ketika sampai di rumah Utomo Dananjaya, Nurcholis Madjid sudah duduk di beranda berbincang dengan, antara lain, suami Tuti Alawiyah. Setelah bersalaman, Abdurrahman Wahid langsung ke dalam, sementara Nurcholis Madjid tetap di beranda. Acara di rumah Utomo Dananjaya ini dihadir pula keluarga para undangan. Setelah dibuka oleh Eky Syahruddin, dialog tidak formal pun berlangsung. Sempat terjadi suasana yang agak tegang. Namun, akhirnya terjadi pemahaman bahwa sebenarnya cita-cita mereka sama, sehingga kelompok pengajian tersebut tetap menjadi intelectual society bagi Abdurrahman Wahid. Tapi Gus Dur tidak lantas pulang bersama anak-anaknya -dan karena itu tak jadi ke supermaket pula- sebab waktu yang ditentukan untuk pertemuan dengan tamu dari Australia di Hotel Hilton, tinggal sedikit lagi. La diantar rekannya langsung ke sana).

Minggu pagi tiga hari berikutnya, wawancara berlangsung lagi. Ketika sampai di rumah kontrakannya, kolektor rekaman-rekaman musik klasik yang pernah belajar di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, dan Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak ini sedang berbincang dengan Taufik dan Darma, dua orang temannya yang kebetulan bertamu. Tidak lama kemudian mereka diantar ke Wisma Sejahtera IAIN Ciputat, menghadiri acara yang diadakan oleh Foksika (Forum komunikasi dan Silaturahmi keluarga Alumni) PMII Cabang Ciputat.

***

Yang begitu selalu jadi dilema bagi orang-orang sibuk, ya?

Sebetulnya kalau secara normal nggak apa-apa. Istri saya itu orangnya perfeksionis. Jadi, protokoler. Kalau nganterin ya sampai habis gitu, lho. Waktu itu, malamnya ada adik saya ulang tahun, saya tanya dia, tadi gimana hasilnya? “Memang perlu tahu kesehatan saya,” tanya istri saya sambil marah. Saya marah juga. Yang bikin dia marah itu komentar saya, sebetulnya. Bukannya saya minta maaf. Malah tanya begitu (Di antara pria, kisah begini menjadi bahan cerita yang segar dan mengundang tawa). Sebetulnya istri saya itu tahan menderita, tahan segala macam. Cuma kadang-kadang jahil saya ‘kan keluar. Kalau lagi marah begitu, malah saya ledekin, dan itu yang bikin dia marah, sampai seminggu. “Memang perlu tahu kesehatan saya,” marahnya. Saya bilang, ngurusin orang serumah sakit nggak repot seperti ngurusin satu orang begini. (Gelak tawa meledak lagi). Terus kayak kemarin juga, ‘kan dia harus periksa lagi. Tapi, karena marah, nggak mau saya anterin. Cuma minta anaknya ngantar. Saya bilang, ‘kebetulan, bebas tugas.” (Tertawa dan tertawa ber sama-sama)

Istri Anda selalu mengikuti setiap sepak terjang dan perkembangan pemikiran Anda?

Nggak, istri itu yang terbaik kalau nggak ikut campur urusan suami. Dan suami yang baik itu nggak mau tahu urusan istrinya. Yang penting menghormati hak masing-masing. Saya nggak pernah cerita-cerita. Dan dia nggak pernah tanya. (Taufik, teman yang duduk di jok depan kiri, juga bercerita tentang kesibukannya mengurus pekerjaan dan organisasi, dan istrinya). Sama saja. Istri kita itu sebetulnya tahan menderita. Orang nggak tahu ya, zaman saya susah, pulang dari Mesir, saya ‘kan ngajar di pondok pesantren. Untuk nambahnambah penghasilan istri saya tiap malam goreng kacang dan bikin es lilin. Kadang-kadang sampai pukul 02.00 pagi. Esok harinya dijual diwarung-warung. Dan dia tidak guncang. Sampai hari ini. Saya selalu ingat saat saya menderita dulu itu. Sampai hari ini istri saya independen dari saya. Duit, cari sendiri. Itu, bunga anggrek yang ada di pojokan rumah itu, jualan dia. Terus bikin bunga kering. Dia juga penulis di majalah Matra.

Anda tahu apa yang paling tidak disukai oleh istri Anda?

Tahu. Pulang malam, (bicara sambil tertawa, tanpa suara. Kedua temannya langsung tertawa terbahak-bahak, yang membuat Gus Dur akhirnya juga tertawa). Ada lagi, yang namanya kertas; entah itu koran, majalah, buku atau yang lain, sudah ditata rapi, saya datang berantakan lagi. Terus ketiga, teman. Orang yang datang ke saya, seperti Mas Taufik ini, istri saya paling nggak senang. Kan biasanya terus pergi, kadang-kadang sampai tengah malam. Istri saya itu paling open kepada istri teman-teman saya (sayang dan suka silaturahmi). Kecuali ke rumah rombongan yang urakan itu, seperti ke rumah Mas Taufik ini, saya ajak nggak pernah mau. Saya tanya, alasan dia, nanti jadi arisan penderita. Yang di sana juga sebel, ha..ha.ha… (Taufik tertawa sampai batuk-batuk). Tapi istri saya sebenarnya jarang marah. Paling sekian tahun sekali, tapi kalau lagi marah bisa setengah bulan.

(Kemudian Gus Dur juga berkisah tentang teman-teman seper-juangannya, yaitu kiai-kiai yang, menurutnya banyak yang “aneh-aneh”. Ini Pula antara lain yang membuat pencandu film sejak sekolah SMEP di Yogya-apalagi ketika kuliah di Kairo-yang anggota BSF ini sering punya acara di luar yang sudah diagendakan. Seperti yang mungkin akan terjadi nanti malam, sebab ia akan kedatangan seorang kiai yang, biasanya, suka mengajak ke tempat-tempat tertentu, ketempat-tempat yang oleh kebanyakan orang disebut “keramat”. Gus Dur akrab dengan kiai-kisi yang-menurut istilahnya-sangat ditakuti orang karena kemampuan supranaturalnya).

Ada juga seorang kiai datang ke saya, bilang mau naik haji tapi hanya punya uang separuh. Usaha bersama, akhirnya dapat. Tapi pada saat-saat terakhir, malah nggak jadi. Lho, kenapa nggak jadi? “Jangan tahun inilah, akan banyak yang mati kelihatannya tahun ini.” E, benar, terowongan. Gila nah, orang-orang begini ini banyak ke tempat saya. Aneh-aneh yang dimintanya. Ayo kita ke makam Banten, atau ke Luar Batang. Orang begitu ‘kan senangnya ke makam-makam. Karena saya rajin meladeni mereka, makanya saya menang. Ada 400-an orang seperti itu, di Jawa ini. Ada yang tiap hari didatangi ribuan orang untuk minta tolong.

Ada yang mengatakan, kemampuan-kemampuan seperti itu termasuk yang dijadikan objek para psikolog. Apa betul begitu?

Saya nggak bisa bilang. Itu nggak bisa diilmukan, deh. Orang bertahun-tahun nggak bisa menyelesaikan utangnya. Lapor, nangisnangis-orang dagang kecil-kecil itu lho– pulang, tahu-tahu dapat untung besar, kita mau ngomong apa lagi. Kalau dilihat dari sudut hukum alam ‘kan nggak ada kausalitasnya. Tapi kita merasa ya itu ada kaitan, cuma, kalau kita ngomong begitu diketawain sama para ilmuwan. Makanya, saya sudah nggak mau menerangkan secara ilmiah. Kalau memang Anda percaya ya percaya, nggak ya nggak apa-apa. Mereka juga nggak butuh dipercayai kok.

(Tidak lama kemudian mobil sampai di tempat yang dituju. Dua kawannya langsung balik. Gus Dur, begitu turun dari mobil, langsung disambut oleh para penunggunya. Banyak yang mencium tangannya. Gus Dur berceramah dengan gaya yang khas, dan sepanjang ceramahnya sangat sering mengundang aplaus dan tawa bergemuruh hadirin. Sekitar dua jam pada acara tersebut Gus Dur ke rumah ibunya di Matraman Dalam sebelum memenuhi undangan John Pronk).

Gaya ceramah Anda asyik sekali……

O, Anda belum pernah lihat saya cearamah di depan umum, ya? Itu, saya mbanyol terus, dua jam orang nggak bergerak. Orang bilang Zaenuddin MZ segala macam, sama saja, saya juga bisa. Itu ‘kan sebetulnya soal manajemen saja. Saya mulai belajar pidato sejak di pesantren, umur 18 tahun saya ‘kan sudah jadi guru di pesantren.

Anda sibuk sekali, bagaimana waktu untuk istri dan anak-anak?

Ada saja. Lagi pula anak-anak itu ‘kan sebenarnya nggak membutuh waktu yang banyak. Yang penting kita selalu memperhatikan kebutuhan mereka. Jadi apa yang mereka butuhkan, kita harus tahu dan kemudian kita tanggapi. Anak empat, macam-macam. Ada lebih dekat ke saya, ada yang lebih dekat ke ibunya. Alisa, anak saya yang sulung, agaknya lebih dekat ke saya. Untuk masalah yang duit, mereka pasti ngomong pada saya. Mungkin ada juga masalah-masalah tertentu yang mereka nggak mau ngomong sama saya.

Setelah di Kairo dan Bagdad, Anda pernah tinggal lama di mana lagi?

Di Eropa Barat, setahun saya di sana, setengah tahun di Belanda, empat bulan di Jerman, dan dua bulan di Perancis. Ketika itu saya ‘kan kandidat Master (S2) di Sorbonne. Tapi setelah saya pikir-pikir, waktunya kok terlalu lama, gitu. Di sana tiap akhir minggu, Sabtu dan Minggu libur, saya kerja. Kerjanya macam-macam, membersihkan kapal, angkut-angkut barang di stasiun, pokoknya jadi kuli kasar benar, deh. Gajinya besar. Apalagi kalau hari Sabtu dan Minggu, dua kali lipat dari hari-hari biasa. Kalau nggak kerja begitu wah sangu saya dari mana? Waktu di Kairo saya juga sebenarnya sudah mulai bekerja, di KBRI. Waktu di Bagdad saya bekerja di perusahan importir asing di kota itu.

Filosofi hidup Anda sebenarnya apa, sih?

Saya memandang hidup ini dari manfaatnya saja. Ini saya ambil dari ajaran Islam. Agama Islam itu ‘kan mementingkan asas manfaat.

Secara ekonomi, saat ini sudah merasa cukup mapan?

Ya, cukuplah. Rumah saya masih ngontrak karena surat-suratnya belum beres. Mudah-mudahan minggu depan IMB-nya sudah keluar. Insya Allah, tahun depan saya sudah punya rumah sendiri. Nanti pasti saya akan lebih produktif lagi menulis, karena saya akan punya kamar kerja sendiri.

Pertama kali menulis di media massa?

Sekitar tahun 1960-an. Di majalah Media punya HMI, kalau nggak salah, ketika itu saya nulis tentang novel-novelnya William Faulkner. Wah capek juga. Saya harus baca sekitar 30-an novel Faulkner dalam bahasa Inggris. Sebenarnya saya juga ingin nulis novel Indonesia yang saya senang. “Jalan Tak Ada Ujung”, dan “Keluarga Gerilya”.

Ada hal tertentu yang dapat membuat Anda marah?

Apa, ya. Saya orangnya jarang marah.

Tapi paling tidak ‘kan Anda pernah sakit hati.

Ya, pernah tapi nggak di NU. Yang saya sedihkan sekarang ini adalah tuduhan bahwa saya tidak memikirkan umat, tidak memikirkan Islam. Nah, kalau mau dibilang sakit hati, barangkali, sakit hati saya itu di sini.

Muhammad Abduh, ketika baru pulang dari menjelajah Eropa, pernah berkata bahwa di Barat ia menemukan Islam dalam tindakan, tapi begitu kembali ke Timur ia menemukan Islam hanya dalam kata-kata.

Tapi saya nggak seekstrem itu. Mungkin zamanya Abduh seperti itu, tapi sekarang ‘kan lain. Saya ini merasa diberi peluang untuk turut serta mengadakan perubahan. Saya mengeluarkan pemikiran-pemikiran, karena saya tahu masyarakat sedang berubah.

Anda pernah merasa bingung?

Kalau yang menyangkut hal yang pribadi, sepertinya belum pernah. Tapi kalau menghadapi hal yang dilematis pernah. Yaitu, ketika menghadapi keputusan Asas Tunggal. Kita kan, harus mempelajari sampai sejauh mana batas-batasnya apakah lalu kita nggak boleh memakai identitas Islam, dan sebagainya. Bila menghadapi seperti itu, biasanya saya minta pendapat, bertukar pikiran, dengan teman-teman saya atau kiai-kiai yang dekat dengan saya. Kalau mengenai masalah-masalah Islam saya biasanya dialog dengan Mas Johan Effendi atau Muslim Abdurrahman. Kalau teman yang pribadi, dimana nggak ada lagi hal yang saya tutupi, itu dengan Pak Gaffar (Sekjen NU) dan Eko Tjokrojoyo.

Anda tidak takut ditangkap atau dipenjara?

Kadang-kadang takut juga. Makanya sejak lama istri saya sudah belajar mencari uang sendiri. Jangankan ditangkap, untuk orang-orang seperti saya, kemungkinan dibunuh juga ‘kan besar. Jadi ya saya pasrah saja. Saya berpikir begini saja; ayah saya meninggal umur 39 tahun, sekarang saya sudah 50 lebih. Berarti sudah kelebihan banyak. Tinggal bagaimana berbuat amal sebanyak-banyaknya di sisa hidup saya ini.

Sering berbeda pendapat dengan istri Anda?

Ya, kadang-kadang, seperti kasus Monitor kemarin. Dia sependapat dengan opini masyarakat umumnya. Kemudian saya jelaskan pendirian saya. Tapi dia juga nggak bisa menerima pendapat saya tentang masalah tersebut. Ya sudah, tapi kita tetap menghormati pendapat kita masing-masing.

Menurut Anda sendiri, kelemahan diri Anda itu apa?

Oh, banyak. Misalnya, saya ini orangnya terlalu terus terang. Secara makro mungkin positif ya. Orang jadi mengetahui dan paham diri saya. Tapi dalam pergaulan bisa juga jadi hambatan. Karena saya ngomong saja apa adanya, sehingga kadang-kadang orang tersinggung.

Kelemahan yang lain?

(Beberapa lama Gus Dur belum memberikan jawaban. Kami kira ia sedang berpikir, ternyata tidur. Tapi hanya kira-kira lima menit, bangun lagi).

Anda termasuk seorang penggemar fanatik sepakbola, ya?

Ya, sejak kecil saya sudah menggemari olahraga ini. Anda tahu nggak siapa teman saya waktu kecil main bola? Marsilam Simanjuntak, ha… ha… ha… Dia ‘kan tetangga saya dulu. Begitu masuk pesantren, ganti catur.

Ada kepuasan nonton bola?

Jelas ada. Saya puas, daripada nonton politik. Begitu juga dengan musik. Kalau musik seninya, sementara kalau bola, ya hiburannya, tapi saya bisa rileks dengan keduanya.

O ya, mengapa Anda selalu berprasangka baik pada orang?

Ya, tentu dengan tidak kehilangan kehati-hatian kita. Sebab memang kita harus begitu dengan orang lain, jangan menyangka yang tidak-tidak kecuali kalau kita melihat sendiri kejelekannya.

Anda terpengaruh oleh isu negatif?

Nggak. Saya sudah kenyang.

Anda kok bisa selalu tegar dan percaya diri, ya.

Asal kita percaya bahwa kita menjalankan sesuatu yang berguna itu sudah cukup. Penilaian orang bisa berbeda-beda, yang saya takuti adalah penilaian Tuhan. Kalau saya merasa bisa bertanggung jawab kepada Tuhan, ya sudah. Saya percaya betul pada pepatah Jawa becik ketitik ala ketara, yang baik akan kelihatan yang jelek akan tampak dengan sendirinya. (Berdecak kagum melihat sebuah gol yang terjadi).

Istri dan anak-anak Anda kok tidak pakai jilbab?

Pakai jilbab itu kewajiban. Lha lantas, mau kita laksanakan sebagai apa? Kalau kita pakai sebagai legalisasi sebagai hukum –maksudnya hukum agama–, atau mau kita jadikan sebagai etika sosial? Kalau sebagai etika sosial artinya nggak usah kita jadikan hukum, karena wajibnya wajib agama. Orang ‘kan ada yang bisa menjalankan kewajiban agama ada yang tidak, ada yang menyeluruh ada yang sepotong-sepotong, yah biarkan saja. Nanti suatu ketika kesadarannya akan membuat dia pakai jilbab. Karena tumbuh dari kesadarannya sendiri. Etika sosial di sini dalam arti kesadaran. Buat saya pribadi nggak ada masalah, Iha ibu saya kalau keluar juga pakai kerudung.

Siapa tokoh Indonesia yang Anda kagumi?

Yah tergantung bidangnya. Dalam politik saya kagumi Bung Karno untuk semangat kebangsaannya, kecintaannya pada bangsa ini begitu kelihatan. Bung Hatta saya kagumi untuk sikap demokratisnya, dia betul-betul seorang demokrat, kompeten, kemampuannya tinggi. Syahrir untuk pandangannya yang jauh ke depan (diucapkan dengan mimik yang serius, tangannya dijulurkan ke depan seolah menggapai sesuatu) Agus Salim, Tan Malaka dengan kerakyatannya. Dia tak mengenal putus asa untuk memperjuangkan nasib rakyat. Ayah saya dekat lho dengan Tan malaka. Dekat secara pribadi. Dalam biografinya, Tan Malaka pakai nama samaran Husein untuk ketemu ayah saya, karena dia dikejar Jepang.

Apa yang Anda kagumi dari Ayah?

Yah karena jasanya yang tidak semua bisa diungkapkan, tapi saya rasa yang paling krusial mengenai Pancasila, soal Jakarta Charter. Mungkin dia yang bisa meyakinkan yang lain-lainya, sudahlah nggak usah pakai Jakarta Charter, sebab dia punya argumentasi yang lengkap mengenai itu yang akhirnya dipakai oleh NU. Selain itu orangnya necis, saya cukup dekat dengannya, saya sering diajak pergi. Yang paling berkesan pada ayah soal disiplinnya (pembicaraan segera beralih ke soal bola karena ada gol).

Anda bangga bertemu dengan pejabat luar negeri?

Ah, sama-sama manusia kok. Kebanggaan saya itu yah, sedikit sekali ya. Di antaranya yang membuat saya bangga itu ketika seorang pendeta Hindu dari India Swami Shanti Prakash datang ke sini. Lantas semua India di Pasar Baru umatnya, mereka semua kumpul duduk melingkar mengelilingi pendeta. Swami Shanti Prakash sendiri duduk di singgasana yang agak tinggi yang semuanya dibuat dari kembang. Ketika Dirjen Hindu Budha, Diputre datang dia tetap duduk saja. Lalu semua orang pada mencium tangannya, Prakash sendiri matanya buta dan berusia 80 tahun. Nah, sewaktu saya datang, dia dibisiki oleh pembantunya, dia langsung berdiri, semua (diucapkan dengan tekanan suara yang dalam, tangan kanannya direntangkan ke samping seolah-olah mengambarkan banyaknya hadirin). Dia berdiri kemudian merangkul saya. Apa katanya? Dia menitipkan umat Hindu di sini pada saya.

Kok bisa begitu?

Nah itulah, orang minoritas juga ‘kan punya hak. Swami Shant Prakash kenal saya lewat laporan anak buahnya. Tapi juga artinya sebagai orang buta dia punya mata hati. Ketika dia masuk, kontak batinnya itu lho (tangannya ditempelkan ke dada) pada saat itu saya betul-betul merasa bangga sekali diterima sebagai warga umat manusia. Rasanya nggak sia-sia hidup ini, ditentang jutaan orang juga biarin aja, yang satu ini bagi saya lebih penting dari yang lain-lain. Dia itu termasuk dari 20 orang pendeta yang tiap tahun kakinya dicuci oleh Presiden India sebagai air susu. Setiap hari dia memberi makan tiga juta orang, di seratus delapan candi yang dikelolanya. Dari dermanya orang kaya dikumpulkan, dipakai buat beli makanan. Coba bayangkan manusia yang begini apa bukan manusia yang mulia? Dia menerima saya sebagai saudaranya itu ‘kan bukan main.

Punya amalan khusus, semacam bacaan-bacaan?

Itu biasa, sesuai kebutuhan, ‘kan kiai-kiai suka bilang pada saya, tolong baca surat ini dengan puasa sekian hari sebelumnya.. (“Road to Wembley” berakhir, Gus Dur ganti baju, ganti sepatu, minta diri pada sang Ibu, untuk memenuhi undangan Jan Pronk).