Negeri Ini Kaya dengan Calon Presiden (Wawancara)

Sumber Foto: https://www.nu.or.id/fragmen/mengapa-gus-dur-membentuk-fordem-gxpqv

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Badai menyerang Abdurrahman Wahid dari dua arah. Pak Kiai yang akrab dipanggil Gus Dur ini dituding warga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjagokan Jendral (Purn.) L.B. Moerdani sebagai calon presiden mendatang

Lalu, belum lagi isu suksesi “serius” ini teredam, acara halal-bihalal Forum Demokrasi di Taman Ismail Marzuki (TIM) dilarang oleh petugas keamanan. Ketua Tanfidziah Nahdlatul Ulama (NU) ini gagal membacakan makalah berjudul Menambuhkan Daya Kritis Masyarakat lantaran tidak punya “izin keramaian”.

Tokoh ini membeberkan banyak hal. Mulai dari kekecewaannya, masalah politik, demokrasi, pemilu 1992, hingga isu dirinya yang mencalonkan Benny Moerdani. Berikut ini serangkaian wawancara wartawan Forum dengan Gus Dur

Halalbilhalal Forum Demokrasi, kok, dilarang pihak kepolisian. Sebenarnya ada apa sih?

Ya, nggak tahu. Jangan tanya saya, dong Itu orang lain. Yang melarang memang saya?

Katanya tidak ada izin dan tidak sesuai prosedur?

Sudah, sudah… Pokoknya kita mengajukan perizinan sepuluh hari sebelumnya, titik. Dioper-oper. Dari sini disuruh kesana, sana suruh ke sini. Ya, sudah, akhirnya nggak pernah jelas. Yang gimana, ukurannya apa, “kan Nggak ada. Ya, udah. Iha, kita “kan ngikuti!

Pada waktunya nggak boleh, mau diapakan? Kita juga nggak maksa. Seterusnya kayak apa? Ya, tanggung-tanggung sendirilah.

Masyarakat kan bisa menilai sendiri. Katanya zaman keterbukaan lho, kok masih begini? Jadi, kita nggak memperpanjang masalah.

Ada yang menyarankan agar diajukan ke PTUN?

Ah, nggak usah ngapain,sih? Kita juga sudah tahu. Memangnya menang kita di sana? Nggak juga. Kok, pakai ke PTUN segala Kita serahkan pada sejarah… Nggak usah repot-repot, masa depan ‘kan masih panjang.

Nggak, ah… Kita kemarinkan bukan soal mengetes, kok. Kita Cuma mengadakan pertemuan di TIM. Anda kira ngetes apa?

Rapat Akbar NU yang lalu tidak dilarang, tapi kenapa halal bihalal Forum demokrasi dilarang?

Ya, karena NU orangnya banyak.

Orang yang melarang jadi takut?

Bukan begitu. Karena orangnya banyak, jadi gampang ketahuan. Karena banyak yang ribut, orang sudah keburu tahu. Ini (Forum Demokrasi) hanya beberapa orang saja, nggak ada yang tahu. Tahu-tahu sudah dilarang saja.

Anda ‘kan dekat dengan banyak pejabat pemerintah, tapi kok perizinan seperti ini dipersulit?

Anda tafsirkan saja sendiri

Atau karena Anda kurang dekat dengan aparat keamanan?

Iya, memang nggak kenal.

(Ribut-ribut soal pelarangan halalbilhalal Forum Demokrasi, secara bersamaan, muncul juga ribut-ribut surat-menyurat antara Gus-Dur dan Ismail Matereum. Gus Dur mendengar selentingan, di lingkungan warga PPP beredar isu dirinya disebut-sebut tak lagi mendukung kepemimpinan Presiden Soeharto. Terbetik kabar, di PPP juga ada kasak-kusuk Gus Dur menyetujui posisi itu bakal ditempati oleh Menhankam L.B. Moerdani.

Mendengar kabar burung ini, Gus Dur dalam kapasitas sebagai ketua Tanfidziyah NU segera melayangkan surat kepada K.H. Ismail Hasan Matereum, “saya Cuma mau tanya saja,” ujar Gus Dur.

Segera pula Buya Ismail Hasan melayangkan surat jawaban. Ia membenarkan tanda-tanya Gus Dur. Namun diakuinya, “sikap politik” Gus Dur diketahuinya melalui cerita Prof Ismail Sunny. Apa yang didengar Buya Ismail Hasan?

Konon, cerita yang didengarnya itu berasal dari suatu diskusi khusus dengan seorang diplomat Amerika Serikat. Dalam diskusi itu, empat tokoh ICMI- Ismail Sunny, Nurcholis Madjid, Sri-Edi Swasono, dan Muslimin Nasution-yang hadir di sana dimintai komentarnya tentang kepemimpinan nasional.

Ceritanya, sang diplomat bertanya kepada Nurcholis Madjid, “Bagaimana jika L.B. Moerdani menjadi presiden yang akan datang?”

Nurcholis Menjawab, “Umat Islam tidak akan menerima. “Lalu diplomat tadi bertanya kembali, apakah Abdurrahman Wahid dapat menerimanya?” Kembali Nurcholis menimpali. “Kalaupun Abdurrahman Wahid dapat menerimanya, kiai-kiai NU tidak dapat menerimanya.”

Selanjutnya, dalam suatu pertemuan dengan warga PPP, hasil diskusi tersebut ternyata “dibocorkan” Prof. Ismail Sunny. Entah bagaimana, cerita Ismail Sunny tadi juga tercium oleh pers. Isu pun bergulir. Tuding-menuding pun dimulai. Tapi Gus Dur, seperti biasanya tidak bergeming menghadapi masalah yang meributkan dirinya itu.

“Cuek..cuek Saya sudah kebal,” katanya sambil tertawa.

Bagaimana reaksi Pak Harto mendengar isu ini?

Eh, saya ‘kan sudah bilang, Pak Harto ketawa saja dengar begituan. Ini badut-badut apa lagi yang muncul, ha ha…ha.

Pak Harto mengatakan begitu?

Ya, paling-paling begitu. Kalau saya jadi Pak Harto, saya pun akan bilang begitu. Nah, yang sulit itu ‘kan orang lain. Pendukungnya Pak Harto ‘kan tersinggung. Sama saja, dari dulu tetap sama. Penilaian saya tetap saja.

Apakah beliau akan terpilih lagi menjadi presiden?

Ya, terserah, bukan urusan saya. Itu urusannya MPR.

Menurut Anda, bagaimana syarat-syarat bagi seorang pemimpin nasional?

Saya nggak usah jawab, dah. Nanti Anda pakai saya untuk diajak apa? Disuruh menilai Pak Harto saya tidak mau.

Mengenai pencalonan L. B. Moerdani bagaimana?

Saya nggak punya komentar apa-apa. Ah, yang lainnya juga dekat, kenapa?

Benarkah menurut logikanya L.B. Moerdani tidak bisa jadi presiden karena agamanya Katolik?

Bukan logika…. realitas politik itu begitu.

Melihat kualitas pribadinya, apakah dia memungkinkan jadi presiden?

Itu banyak, ada beberapa orang, nggak hanya satu.

Siapa saja itu, Gus Dur?

Ah, nggak usah saya sebut. Kenapa harus saya sebutkan, cari saja sendiri.

Apakah Anda melihat ada calon dari orang pemerintah atau non pemerintah?

Enggak usah saya sebut, deh. Negeri ini cukup kaya dengan orang-orang yang bisa jadi presiden. Tapi, realitas politiknya ‘kan memang tidak bisa.

Kalau dalam kabinet mendatang Anda diangkat menjadi menteri agama, misalnya, Anda mau menerimanya?

Wah, jadi yang begini-begini saja cukup. Biar ngegembel saya juga sudah puas.

Kalau jadi wakil presiden?

Orang saya kerjanya Cuma mengumpulkan “coleng” kok, ya dijamin nggak jadi, deh.

Kalau tiba-tiba ada yang mengusulkan jadi presiden, bagaimana?

Presiden Taksi saja, deh. Masak saya dicalonkan jadi presiden? Harus mengukur diri, dong. Nanti orang yang mendengar geli. Saya jadi bupati saja nggak pantas.

Bagaimana mengenai isu suksesi

Ngapain ribut-ribut soal suksesi, sudah siap calonnya belum? Sebenamya ‘kan kita belum siap ke sana. Kalau sudah siap, baru dipersoalkan. Sekarang mau ngomong apa? Apa sudah ada yang siap menggantikan dia? Daripada capek-capek lebih baik tenang-tenang saja sampai tahun 1994. Kalau sudah sampai situ, mau berantem, berantemlah sana.

Jadi Anda tidak melihat ada calon lain sekarang ini?

Lha, Anda mencalonkan siapa?

Rudini sudah mulai dicalonkan orang?

Kekuatannya kurang.

Kekuatan apa?

Ya, kalau mau jadi pemimpin harus punya perangkat pendukung. Ini terdiri dari konfigurasi kekuatan. Sekarang saya Cuma melihat ada dua orang punya itu, yakni Pak Sudharmono dan Pak Benny. Satunya punya dukungan kuat di birokrat, Cuma apakah dia didukung ABRI! Satunya lagi punya basis kuat di ABRI, tetapi beragama Katolik.

Lalu siapa yang pantas dicalonkan selain Pak Harto?

Mana saya tahu? Orang-orang di atas sana sulit dibaca. Setahu saya, mereka Cuma ribut sebatas wakil presiden. Kelihatannya, mereka rebutan Cuma ingin jadi wakil presiden. Ke atas lagi tidak ada yang berani.

Pak Benny juga ingin ke sana. Pernah dia mengobrol dengan saya untuk minta pendapat. Dia bilang, “Saya nggak mungkin pindah agama karena jabatan. “Lha, saya juga nggak bisa jawab, gimana harus menjelaskannya kepada umat?

Kalau realitas politik kita begitu, berarti bangsa Indonesia kurang dewasa atau kurang demokratis?

Eh, nggak bisa dibilang begitu saja. Contohnya sekarang, Partai Republik tidak punya calon selain George Bush. Apa berarti partai itu kurang dewasa. Itu kan namanya leading position. Karena posisinya leading.

Anda banyak bicara tentang suksesi tapi tidak mencalonkan orang. Bagaimana ini?

Lho, saya bicara tentang proses. Saya nggak dukung siapa-siapa. Bukan saya nggak punya pilihan. Melainkan saya menghormati hak MPR. Itu saja.

Apa yang Anda maksud dengan proses suksesi?

Ya, melalui MPR, bukan dengan ribut-ribut di luar

Sekarang ini, sudah tepatkah bagi kita untuk membicarakan soal suksesi?

Boleh-boleh saja, dong, untuk bicara. Ya, memang seharusnya itu dibicarakan. Cuma bisa tidaknya saya nggak tahu, gitu lho, Kita ‘kan bicara dengan kenyataan, belum tentu sama. Jadi kita juga harus berani membicarakannya. Kalau tidak pernah dibicarakan, ya, dialog kita itu tidak ada artinya. Kita jadi nggak pernah dialog.

Yang Anda maksud kita tidak ada dialog itu, dialog tentang apa?

Ya, artinya dialog kita seharusnya sudah menyangkut soal suksesi. Kalau tidak ada itu, ya nggak ada dialog.

Apa sebab tidak ada dialog itu sekarang ini?

Nggak tahu… jangan tanya saya. Seluruh bangsa tidak mau, ya sudah… memang sembarangan begini.

Anda kelihatannya mulai frustrasi menghadapai keadaan ini?

Ndak, siapa yang bilang saya frustrasi. Kita bicarakan saja. Kita ajak orang untuk berbicara. Kalau tidak mau nggak apa-apa. Kita terus bicara. Yang kecil-kecil dijaga, lama-lama ‘kan jadi ruwet.

Anda sudah cukup lama memperjuangkan demokrasi, misalnya, ternyata tetap tidak ada perubahan?

Oh, yakin dong. Ini masih panjang. Dan, perjuangan juga bisa diwariskan.

Apa reaksi warga NU terhadap isu surat-menyurat Anda dengan pemimpin PPP?

Nggak, ada. NU, sih dewasa.

Sejak isu-isu itu muncul Anda pernah bertemu Buya Ismail Hasan?

Ah, belum

Lewat Tilpun?

Belum. Nggak perlu. Orang saya tidak mau ngapa-ngapain, kok. Saya kan Cuma bertanya, “Ini ada kabar begini, bagaimana nih?” terus kirim surat, dan dia menjawab. Sudah dijawab, ya, sudah selesai.

Anda sadar bahwa Anda sering dapat serangan seperti ini. Apa Anda tahu, ada maksud kelompok tertentu terhadap diri Anda?

Ya, biarkan saja. Dari dulu juga saya diserang terus. Saya nggak ambil pusing. Anda kira serangan itu baru sekarang saja. Sejak tahun 1970-an saya juga setiap hari diserang orang.

Kok bisa begitu?

Biasalah, kalau orang membawa pikiran-pikiran baru, ‘kan selalu ada yang nggak terima. Kita tidak boleh berhenti. Dengan hanya tidak diterima lalu berhenti, ya, sudah jangan berpikir.

Lalu, serangan ini, ‘kan bisa berdampak terhadap warga NU karena Anda pemimpin mereka?

Orang NU jadi dewasa karena saya cuek. Bukan warga NU-nya cuek. Kalau saya cuek ‘kan warga NU akan bertanya, berpikir, membanding-bandingkan sendiri. Lama-lama ‘kan, “Oh, iya, benar juga si Gombal Ketua Umum,” he..he….

Bagaimana sebenarnya urusan Anda di Forum Demokrasi?

Di sana saya juga tidak ingin apa-apa. Saya hanya ingin menyumbang tenaga. Perkara saya jadi dipilih jadi ketuanya, itu karena saya diangkat. Tapi, kalau ada yang pingin pegang, saya lebih senang lagi. Dari dulu saya berpendapat, pengabdian tidak perlu dengan kedudukan apa-apa. Orang mengabdi bisa dalam kapasitas bermacam-macam, sama saja. Tergantung orangnya.

Apa sebenarnya tujuan Anda mendirikan organisasi itu?

Bukan saya sendiri dong, melainkan bersama teman-teman. Kita bermaksud membuat suatu wadah yang menampung semua pendapat mengenai demokrasi. Kita juga mengadakan evaluasi. Siapa pun boleh bicara disana, kita terbuka, kok.

Apa hal ini tidak menimbulkan friksi dengan pemerintah?

Memangnya kita salah apa? Diawasi intel? Biarlah… Kalau kita memang membahayakan pemerintahan, buktinya sampai sejauh ini tidak ada tindakan apa pun terhadap kita.

Pembentukan Forum Demokrasi ini apa ada hubungannya dengan pemilu 1992?

Nggak ada hubungannya. Apa kami pada berebutan jadi calon anggota legislatif? Memang, dulu ada yang bilang kita punya ambisi ke sana. Namun, apa logis mereka mengatakan begitu? Siapa sih orang yang kumpul di sana? Sudah dijamin, deh, nggak lolos caleg.

Sepertinya Anda banyak melibatkan diri dengan masalah. Sikap dan tindakan Anda sering kontroversial.

Siapa bilang? Saya Cuma ingin melemparkan gagasan-gagasan yang perlu dipikirkan bangsa Indonesia. Kalau nggak ada yang melemparkan gagasan nanti tidak dipikirkan. Jadi bukan cari masalah, melainkan meminta kepada masyarakat, mari kita berpikir tentang soal ini, soal itu, bagaimana sebaiknya. Cuma itu saja.

Nantinya ‘kan jadi polemik?

Ya, bukan. Cuma mengajak berpikir, kok. Minta perhatian masyarakat tentang suatu hal itu bukan berarti cari polemik. Syukur jika tidak ada polemik. Berarti orang dapat menerima, “kan bagus.

Anda pernah mengatakan, orang banyak bicara tentang demokrasi tapi maksudnya lain-lain. Ini apa maksudnya?

Ya, ‘kan mereka ngomong sudah ada demokrasi dengan mengatakan sudah ada lembaganya. Ada MPR, ada DPR, ada BPK. Ya, semacam itulah. Itu juga demokrasi. Namun, saya sendiri beranggapan, demokrasi itu harus utuh, tidak hanya lembaga tapi juga perilaku orangnya juga harus demokratis. Nyatanya perilaku kita nggak demokratis.

Yang Anda maksud orang di sini, rakyat atau birokratnya?

Semua, secara keseluruhan

Bagaimana caranya agar orang-orang ini dapat berperilaku demokratis seperti yang Anda maksudkan?

Itu proses yang saya nggak bisa ngomong. Ya, harus dibicarakan sama-sama.

Anda bertanya begitu pun membuktikan Anda tidak mengerti demokrasi. Bentuk konkretnya seperti apa kita juga tidak tahu. Sebab, demokrasi itu ‘kan nggak pernah berhenti mencari bentuk sendiri.

 Jadi, sampai kapan kita bisa mencapai demokrasi sesuai dengan yang kita kehendaki?

Ya, sampai pada masyarakat yang setidaknya sudah melaksanakan demokrasi, walaupun itu nggak sempurna. Jadi, hal-hal yang mendasar dalam kehidupan demokrasi itu dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Nah intinya, menurut saya, ada beberapa hal. Yaitu, kebebasan pendapat betul-betul dijamin undang-undang. Undang-undang dasar menjamin. Tapi kalau undang-undangnya justru membungkam dia. Sedangkan Mahkamah Agung tidak mempunyai wewenang untuk mengoreksi undang-undang ya bagaimana? Yang terjadi sekarang ini ‘kan begitu.

Kemudian kebebasan berorganisasi dan berserikat, kebebasan berpergian masuk dan keluar negeri tanpa dikaitkan dengan masalah politik. Orang yang mengkritik pemerintah setajam apa pun, itu bukan merupakan alasan untuk melakukan “Cekal”. Cekal itu hanya diperuntukkan bagi orang yang melakukan tindakan kriminal. Orang yang tidak melakukan tindakan kriminal tidak boleh dicekal, betapa pun keras kritikannya kepada pemerintah.

Apa kendala sebenarnya yang menghambat proses demokratisasi di negeri ini?

Ya, budayanya itu, lho. Budaya berdemokrasi belum tumbuh dan memasyarakat, serta kenyataan juga tidak diberi peluang untuk tumbuh.

Sudah siapkah rakyat kita sekarang untuk menerima demokrasi dalam arti sesungguhnya?

Dari dulu rakyat sudah demokratis. Di mana saja rakyat demokratis. Dimulai dari suku-suku sampai masyarakat yang berukuran besar.

Ada pendapat, salah satu kendala demokratisasi di negara kita disebabkan masih dianutnya budaya feodalisme, rakyat masih menunduk-nunduk kepada raja. Tapi, mereka tetap saja dikatakan negara demokratis.

Mana, Jepang lebih feodal. Cuma nunduknunduk itu kan tata cara. Bahwa mereka mengkritik raja, itu dibolehkan. Banyak teman saya orang jepang bilang, “Ah, nggak perlu Orde Baru,” bagaimana ini…..Masyarakat yang sudah menghargai pendapat perorangan sejauh itu apa bisa dikatakan feodal?

Siapa bilang kalau Sultan Hamengku Buwono feodal? Kurang apa, dia ‘kan Sultan. Tapi ia bukan feodalis. Perilakunya adalah perilaku seorang demokrat. Sebaliknya, seorang camat bisa saja dibilang frodalis kalau dia memaksa orang lain untuk menghormatinya, tunduk sama dia segala macam. Terus dia menciptakan perangkatnya sendiri untuk itu. Orang disuruh suruh menunduk di depan dia, muji-muji terus, Ya, kayak itulah…..Lha, ini ‘kan feodalisme baru.

Jadi, letak kendalanya sebenarnya dari penguasa?

Ya, semuanya…. pemerintah nggak mungkin begitu kalau tidak di kasih oleh rakyat. Nyatanya, rakyat diam saja. Bukan berarti rakyatnya nggak demokratis, melainkan karena struktur masyarakat dan kekuasaan tidak memungkinkan mereka berperilaku demokratis, ya, mereka jadi diam, mengikuti saja itu struktur dan sistem kekuasaan. Di ikuti saja…. tapi tanpa menghilangkan watak atau pandangan hidup mereka yang demokratis.

Ambil contoh, Rusia, yang 70 tahun diperintah komunis. Tapi pada saatnya, rakyatnya juga bisa demokratis.

Apa proses demokratisasi di Indonesia harus seperti Rusia?

Ya, bentuk perjuangan kita untuk demokratisasi tidak separah seperti yang di Rusia itu. Karena di sana partai komunis betul-betul tirani. Kita ini ‘kan otoriter, belum sampai ke taraf tirani. Tetapi pemerintah itu pada waktunya akan menempa rakyat untuk melakukan koreksi. Dan itu tidak bisa dihindari. Lihat saja Taiwan, Amerika Tengah, seluruh dunia lihat saja. Jadi ya, sebaiknya pemerintah itu mampu mengantisipasi kesadaran demokratis dari rakyat dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengakomodasikan terhadap kesadaran rakyat seperti itu. Nah, ini dilakukan di Taiwan sehingga tidak terjadi gejolak apa-apa.

Jadi, yang mulai duluan kesadaran seperti itu harus birokrat, dong.

Seluruh bangsa, bukan birokrat saja. Itu yang legislatif ‘kan bukan birokrat, Lalu. Legislatifnya diam saja. Di Timtim ada orang mati, diam saja kemudian yang kayak KNPI-KNPI, tidak malu- malunya dia marah kepada Australia. Menyobek bendera kita, ya, itu suatu penghinaan. Tapi, kita ‘kan tahu itu hanya segelintir orang Australia. Kenapa kita kayak anak kecil, ngamuk-ngamuk.

Menurut Anda, adanya angin keterbukaan ini datangnya dari dalam atau karena pengaruh globalisasi?

Pengaruh globalisasi sebetulnya nggak langsung. Ada juga sebab-sebab dinamika intern dari struktur kekuasaan di negeri kita juga.

Apa yang Anda maksud dengan dinamika intern?

Perbedaan antara kepentingan antara kelompok-kelompok yang ada di pemerintah. Perbedaan kepentingan itu ‘kan mendorong munculnya perdebatan. Itu berarti keterbukaan.

Banyak kalangan berpendapat, sekarang ini masih diperlukan militer untuk duduk di pemerintah. Sebab, kalau tidak, dikhawatirkan persaingan klasik antara golongan nasionalis dan Islam muncul lagi.

Sekarang pendapat itu sudah nggak laku lagi. Nasionalis itu siapa….PDI? Nanti ditertawakan PPP. Enggak bisa, pendapat begitu nggak berlaku lagi.

Mengenai ICMI, bagaimana komentar Anda?

ICMI sih, nggak ada urusan.

Anda ‘kan dulu pernah diajak masuk?

Iya, setelah setengah jalan, saya disodorkan untuk menjadi anggotanya, kalau mau masuk organisasi tentunya ‘kan saya lihat-lhat dulu asal usulnya, AD/ART-nya. Setelah saya baca-baca, saya lihat orang perorangnya. Saya tahu, dong, manusia yang bemam si A, si B. Si C. Ya, dia-dia lagi, saya langsung minggir! Itu orang dulunya ‘kan berorientasi kepada kekuasaan. Di situ semua orang berjuang bagi kepentingan Islam, yang tidak mau ikut dianggap mengkhianati perjuangan itu. Sudah itu, menganggap seolah-olah perjuangan ICMI itulah satu-satunya perjuangan Islam. Keenakan banget….lantas umat saya yang begini besar dianggap apa?

Mengenai gejala sektarianisme, siapa sebenarnya yang Anda tunjuk?

Bukan ICMI, kok. Begini, sekarang ‘kan ada gejala sektarianisme yang kuat. Ada saling tuding terhadap upaya Kristenisasi atau Islamisasi. Orang Kristen menuduh yang Islam melakukan Islamisasi. Lalu, orang Islam menuding orang Kristen melakukan kristenisasi. Lha, ini apa bukan sektarianisme? Kemudian pribumi dan non-pribumi saling menyalahkan. Yang non-pribumi bilang pribumi malas, tidak cakap. Lalu apa benar tudingan itu? Kenyataan-nya ‘kan karena yang pribumi tidak dapat peluang. Sebaliknya, pribumi bilang, non-pribumi mau menguasai saja. Ada yang betul begitu. Tapi toh kenyataannya kerja mereka mununjukkan kesung-guhan. Karena itu mereka berhasil. Persaingan di antara non-pribumi sendiri pun betapa besarnya, Jadi, karena itu mereka sanggup bersaing dalam intensitas yang demikian, secara keseluruan non-pribumi itu sukses bukan hanya karena mendapat kemudahan-kemudahan. Nah di sini berarti kita membiarkan prasangka-prasangka buruk kita yang sifatnya sektarian untuk menghukum dan menyalahi orang lain.

Anda pernah mengatakan, sistem ketatanegaraan kita dalam “suasana seolah-olah?

Ya, memang kita seolah-olah. Seolah-olah demokrasi, padahal belum. Seolah-olah orang itu bertanggung jawab kepada 1 orang saja. Seolah-olah kita sudah baik-baikan, nggak ada apa-apa, rapi- rapi… tapi kenyataan begitu banyak borok.

Kalau nggak ada borok, kenapa di Aceh ada gerakan pengacau keamanan, kenapa di Timtim ada persoalan, kenapa ada demonstrasi, kenapa masalah tanah masih diributkan orang? Itu, ya, seolah- olah semua beres, padahal nggak, toh? Seolah-olah kehidupan demokratis kita jalan, padahal tidak. Lembaganya yang jalan tapi jalannya terseok-seok. Jadi, ya, nggak demokratis.

Bagaimana mengenai Pemilu mendatang, apa sudah ada tanda-tanda demokratis?

Belum, masih jauh. Kalau calon masih dilitsus, mana bisa….Kalau belum ada komisi yang menjalankan pemilu secara independen… Sekarang ‘kan pemilu itu boleh dikatakan apa kata eksekutif.