Saya Nomor Tiga: Tentang Suksesi NU, ICMI, dan Pak Harto (Wawancara)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Agaknya sudah nasib KH. Abdurrahman Wahid untuk selalu diburu-buru kuli tinta. Jangankan soal kemelut di tubuh NU. Perkara ia mengganti sandal dengan sepatu tatkala menerima duta besar saja bisa muncul di sudut koran. Namun, sepak terjang ketua umum PBNU ini bukan cuma mengundang berita. Sikapnya yang cuek tanpa beban, sederhana dan blak-blakan kerap memancing benci dan cinta, kekaguman dan rasa gelisah, serta mendatangkan baik kawan maupun lawan.

Kendati ini kali ketiga- setelah Januari 1987 dan Me 1992- Matra mewawancarainya, tetap saja sulit mengejar waktu luang ayah empat gadis ini. Jadwalnya tak pernah kosong. Tubuh yang ekstra subur rupanya tak sedikit pun mengurangi mobilitasnya yang tinggi. Setelah menanti kurang lebih dua minggu, kami berhasil menemui mantan Sekretaris Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, ini di ruang tamu rumahnya yang berhiaskan lukisan kaligrafi, pertengahan puasa silam, selepas pukul 21.00.

Wajahnya masih bersaput kelelahan. Namun, ia ndak kehabisan energi untuk menjawab pertanyaan wartawan MATRA Hermien Y. Kleden, Tantyo Bangun, dan Irfan Budiman selama kurang lebih dua jam. Pembicaraan yang diselingi tilpun hampir setiap sepuluh menit ini berlangsung lancar, diselingi humor-humor Gus Dur, sebutan akrabnya, menyandarkan tubuh dan kepalanya ke sofa abu-abu yang mulai pudar warnanya. Sembari sesekali menyeruput teh hangat manis, ia menjawab setiap pertanyaan dengan mata terpejam. Petikannya:

Bagaimana prospek penyelesaian seluruh konflik di NU sekarang?

Pertama-tama, harus dilihat landasannya dulu, yaitu hasil keputusan Muktamar Cipasung. Sebab, kalau tidak, kita tidak punya landasan organisatorisnya lagi. Artinya, pengurus besar harian inti tidak bisa diubah. Dengan kata lain, Abu Hasan kek, siapa kek, tidak bisa masuk ke PB harian.

Lalu apa alternatifnya?

Saya tawarkan nantinya –kalau memang ada mediasi– Pak Idham Cholid, Abu Hasan, dan Pak Yusuf Hasyim kita jadikan Mustasyar. Mustasyar itu semacam dewan pertimbangan, penasihat. Itu terhomat secara protokoler, tapi bukan eksekutif dan bukan pengambil keputusan.

Sementara Anda termasuk yang mengambil keputusan?

Orang ‘kan menganggap saya ini pemimpin, pengambil keputusan di NU. Itu tidak betul. Saya ini hanya pelaksana harian dari keputusan Pengurus Besar Syuriah yang dipimpin K.H. Ilyas Ruchiyat, dengan wakil K.H. Sahal Mahfudz. Di bawah beliau-beliau ini ada 8 rais dan 4 katib (sekretaris). Jadi, ada 14 orang. Ini yang mengambil keputusan. Saya anggota ex officio sebagai ketua eksekutif. Setelah ada keputusan, saya yang melaksanakan bersama teman-teman. Mengambil keputusan di NU tidak sesederhana yang dikira orang. Makanya, orang heran, kok saya masih dibela terus. Saya ini hanya melaksanakan keputusan orang. Gimana mereka nggak mbelain? Nah, proses dan anggota dalam Syuriah atau Tanfidziyah ini tidak bisa diubah. Jadi, cara satu-satunya, ya, dewan kehormatan. Dan memang dihormati orang kalau jadi mustasyar. Sebab, dan sekian banyak ulama, hanya beberapa orang yang bisa diangkat jadi mustasyar.

Anda menyebut-nyebut soal mediasi. Bukankah K.H. Ilyas dalam wawancaranya dengan media massa menyebut ini urusan intern NU, tidak perlu mediasi?

Lho, mediasi ini ‘kan tidak harus dari luar. Kiai Ilyas itu sama dengan saya, tidak menghendaki mediasi dari pemerintah karena ini urusan intern organisasi. Secara teknis, sebetulnya, apa sulitnya mengatur pertemuan saya, Kiai Ilyas, Kiai Sahal, Abu Hasan, Pak Idham-Kalau memang ada orang yang bisa mengorganisir hal ini. Tapi, yang jadi soal, ada nggak orang yang mau melakukan hal itu.

Kenapa begitu?

Karena ulama-ulama di bawah itu justru nggak mau. Mereka menganggap semua ini sudah jelas. Otoritas dan fungsi mereka tidak terganggu apa-apa. Jadi, untuk apa bikin insiatif baru? Nanti ruwet lagi, mundur lagi. Istilah mereka, “Yang ruwet-ruwet itu di atas. Di bawah sini ya nggak ada apa-apa.” Mending didiemin aja. Sebab, mereka juga tidak ingin ada gelombang pemberitaan terus-meneru suatu yang bisa menganggu kegiatan rutin mereka. Jadi, mereka bilang. “Terserah orang mau ngomong apa. Yang penting, sampean jalan terus. Dia nggak bisa mengganggu kita” Artinya, kalau Abu Hasan mau bikin event yang sifatnya nasional kayak kemarin itu, nggak akan ada lagi yang datang.

Kembali ke soal usulan mustasyar di atas, kira-kira kapan hal itu dilakukan?

Dilaksanakannya, ya, setelah PBNU pleno mengadakan sidang. Sebab, untuk melengkapi kepengurusan, harus ada sidang pleno. Itu tidak bisa diatasi hanya dengan sidang pengurus harian. Sudah ada tatanannya. Kalau Anda lihat AD/ART-nya NU, itu jauh lebih ruwet daripada Golkar, PPP, dan PDI. Bukan apa-apa. Anggaran dasar kami ‘kan dari tahun 1920.

Sebelum pleno ini, “kan, harus ada rapat gabungan Syuriah dan Tanfidziyah, yang fungsinya cuma mengusulkan. Nanti pleno dilakukan sembilan bulan sekali- yang memutuskan. Nah, rapat gabungan ini tidak tepat untuk saat ini karena mereka pada mau naik haji. Setelah bulan Sura (Mei), baru kami bisa rapat lagi. Kalau usulan mustasyar ini diterima di rapat, baru kami bisa melemparkannya ke pleno. Di sini nanti rapat lagi. Jadi, tidak otomatis begitu saja.

Apa saja pertimbangan usulan ini?

Itu pikiran saya, lho. Belum tentu yang lain setuju. Abu Hasan itu ‘kan sudah di beri waktu sampai Lebaran kemarin untuk ruju’ ilal haq, “kembali kepada kebenaran”-dalam hal ini kepada aturan main organisasi. Di situ akan dilihat, apa dia akan jadi fungsionaris NU atau salah satu organisasi bawahannya. Kalau dia tidak kembali, otomatis dia terkena sanksi administratif. Nah, kini dia hanya anggota biasa karena jabatannya sebagai Ketua Lembaga Sosial Mabarrot NU sudah kadaluwarsa sejak Desember kemarin. Jadi, usulan itu hanya bisa dilaksanakan jika PBNU pleno menerimanya. Dan itu kalau mereka mau. Kalau nggak, ya sudah. Malah, saya dengar sekarang pernyataan-pernyataan Abu Hasan lebih gencar lagi.

Kalau tidak mau, apa lalu dipecat?

Ini namanya sanksi administratif, bukan memecat. Mereka selalu mengumandangkan seolah-olah kami mau memecat. Jadi, keanggotaan itu tetap, sampai ada yang mengusulkan di muktamar agar dia dipecat lalu muktamar benar-benar menyetujuinya. Sebab, pemecatan hanya boleh dilakukan lewat muktamar. Paling jauh, rapat pleno PBNU dapat mengusulkan pemecatannya pada muktamar. Tapi itu pun masih panjang urusannya. Sebetulnya, kami ini ‘kan nggak bisa juga melakukan tindakan apa-apa, kecuali tindakan administratif.

Apa umat tidak bingung, Gus?

Bingung gimana? Anda lihat ‘kan Kiai Masruli, Rais Syuriah Cabang Brebes, tadi menilpun? Dia tanya, ada apa. Ya, saya jelaskan. Kan nggak bingung. Pak Nursaid. Ketua Dewan Pimpinan Cabang PPP Kabupaten Malang, tadi menilpun. Beliau bilang, ini ada, banyak umat, 100 ribu orang yang perlu penjelasan. Ya, saya jelaskan. Jadi, warga NU tidak bingung. Mereka belum mengerti. Tapi tidak bingung  Nanti, pada saatnya mereka akan mengerti. Salah satu yang sedang kami siapkan agar warga NU mengerti duduk perkaranya adalah buku putih tentang Muktamar. Yang sentral dalam hal ini adalah bahwa pihak Abu Hasan yang diwakili NU Jambi meminta kepada tim perumus jatah-jatah. Artinya, mereka mengakui sahnya tim perumus. Kok, sekarang, tim perumus dibilang cacat hukum? Ini yang nanti kami jelaskan kepada warga. Ini ‘kan sikap oportunis, dong, hanya yang menguntungkan yang diterima.

Ada kritik bahwa figur Anda begitu sentral dalam organisasi ini sehingga nyaris meniadakan peran-peran pemimpin pada lapis-lapis di bawahnya.

Lho, figur sentralnya itu ‘kan Syuriah. Wartawan memang selalu nanya saya, dan tiap hari itu keluar di koran, tapi saya ini bukan penentu. Penentunya itu Kiai Ilyas. Coba kalau Kiai Ilyas dan Kiai Sahal berdua ngajak sidang Syuriah dan mengakui Abu Hasan, saya mau bilang apa? Jadi, Anda jangan salah tangkap. Popularitas di NU itu tidak menentukan. Koran-koran ini ‘kan nggak mengerti. Dibilang orang nomor satu di NU, saya ketawa aja. Gimana nggak ketawa? Gua nomor tiga, kok, bukan nomor satu. Seandainya kemarin Kiai Ilyas dan Kiai Sahal mengatakan saya tidak boleh saja, ya, sekarang ini orang lain yang jadi ketua umum.

Lalu, saya juga tidak pernah memandang diri saya sentral. Sebab, begitu Anda memandang diri Anda menjadi sentral, dengan sendirinya jadi berat karena ada pretensi. Saya nggak merasa sentral, karena suara saya bukan orisinal. Saya ini hanya pelaksana.

Lalu soal konspirasi yang ingin menggeser Anda seperti Anda sebutkan di media massa beberapa waktu lalu. Dengan memaparkan hal ini, apa konflik tidak makin terbuka?

Pertentangan semakin terbuka, memang. Tapi antara siapa dan siapa? Kalau batang tubuh umat ini kuat, yang di luar ini tidak ada artinya. Maaf, pemerintah juga salah memperhitungkan. Karena Pak Idham itu ada di belakangnya, jadi dianggap gede? Lho, Pak Idham itu dihormati, dicintai, dan didukung banyak orang selama tidak bertentangan dengan NU.

Lalu tentang Pak Yusuf. Posisi beliau itu sebenarnya bagaimana?

Beliau itu senangnya ngumpulin orang brengsek dalam satu keranjang. Nah, begitu sudah masuk semua ke dalam keranjang, lalu diikat dan dibuang ke laut. Tapi, sebelum keranjang masuk ke laut, dia melompat keluar. Dia selamat. Yang ikut konyol. Ini bukan niatnya mau ngeledek beliau. Sama sekali bukan. Tapi ada satu peran unik dari Pak Yusuf Hasyim di NU. Ya, ingin mengkoreksi begitu.

Apakah Anda merasa kredibilitas NU dirugikan dengan kasus ini?

Ada atau pun tidak ada kredibilitas, tidak ada yang berubah, begitu-begitu saja. Orang juga tahu dari dulu saya begitu. Kalau ngomong, ya apa adanya, blak-blakan. Kalau kurang, ya, saya akui kurang. Kalau salah, ya salah. Seperti kasus Nation in Waiting. Mau diputar, dibalik, ya, salah saya. Nanti, kalau ketemu Pak Harto, ya, minta maaf. Udah, ‘kan? Jadi, dengan cara begitu, saya nggak tahu masyarakat memandang apa, kredibel apa nggak. Yang penting, saya jujur kepada mereka. Pesan kejujuran ini yang sampai ke bawah.

Begini, Gus, sejauh ini ada saja kalangan yang menilai Anda moderat. Kalau benar begitu, kenapa harus ada konspirasi yang menggeser sosok Anda? Apa sikap moderat di anggap berbahaya? Atau…..

Begini, ya. Di Indonesia ini ‘kan politiknya terlampau praktis (too practical politics). Semua orang berlomba-lomba mencari dukungan dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Kembali pada sejarah, kita lihat, salah satu ciri utama penataan politik orde baru adalah dekonvensionalisasi atau, istilah kita, “dealiranisasi” politik. Jadi, politik itu sudah nggak ada alirannya. Bahkan, nasionalisme sendiri, yang mengikat kita semua sebagai bangsa, juga tidak boleh berkembang menjadi aliran.

Lho? Buktinya?

PNI dipojokkan habis, disamakan dengan Sukarnoisme. Yang boleh ada hanya wawasan kebangsaan karena wawasan kebangsaan milik semua orang. Golkar hanya bisa berfungsi kekaryaan. Kekaryaan ‘kan bukan aliran, nggak ada ideologinya. Jadi, akhirnya yang dikembangkan adalah ideologi Pancasila. Sekarang, Pancasila sudah menjadi ideologi nasional kita dilengkapi sekian butir dalam P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Kalau tidak? Mungkin sampai hari ini pun kita nggak punya ideologi. Dan penting, Pancasila ini lalu mengikat kita.

Nah, ini semua dipisahkan dari aliran-aliran. Yang diperkenankan keluar hanyalah orientasi: keagamaan pada PPP, kekaryaan pada Golkar, kerakyatan pada PDI. Artinya apa? Aliran ini tidak mendapat tempat dalam politik kita. Institusi yang memiliki watak atau perwujudan aliran, itu ditebas. Lalu, dibikin penyederhanaan partai dan fusi-fusinya. Eh, kok muncul kekuatan politik. Rupanya, yang dulu namanya aliran, sekarang, muncul dalam kekuatan politik tanpa nama.

Lalu di mana kira-kira letak kekuatan politik Islam?

Ya, di dalam NU, Muhammadiyah, HMI. Lalu, gerakan mahasiswa tahun 1970-1980-an, kekuatan militer, birokrasi melalui Korpri. Golkar, PPP, PDI, Golongan Kristen. Besar kecilnya menurut tempatnya masing-masing. Kekuatan politik itu ‘kan kehadiran aliran dalam bentuk yang tidak diakui negara. Mereka disantuni. Kayak NU, itu disantuni kehadirannya-bukan sebagai aliran, melainkan sebagai tokoh-tokoh. Jadi, dianggap ormas (organisasi massa) saja. Kalau muktamar, dikasih bantuan duit. Tapi, kalau diminta duit secara teratur, ya, nggak mau. Di suruh mengakui peranannya dalam GBHN, ya, nggak ada.

Kan, organisasi politik formal kita hanya tiga?

Betul. Tapi berangsur-angsur kekuatan politik itu- yang gede dan yang bisa bertahan-bertambah gede. Di antaranya ya, kekuatan Islam. Politik Islam ini ‘kan terbelah dua: yang seperti NU dan yang tidak seperti NU. Artinya, dalam batang tubuh kekuatan politik Islam, ada dua orientasi. Pertama, orientasi fungsi. Bagi NU, Islam itu munculnya dalam fungsi: Islam menyejahterakan, memperjuangkan keadilan, dan lain-lain. Nah, Fungsi-fungsi ini dalam rumusan Orde Barunya namanya partisipasi. Kita akan berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Di sini letaknya. Tapi juga muncul yang lain. Mereka tidak muncul dalam fungsi, tapi bendera. Harus ada bendera Islam dalam kekuatan politik kita yang nantinya akan disusupkan dalam institusi politik yang ada. Ini adalah ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Semacam legitimasi baru, begitu?

Betul. Nah, seperti yang saya katakan di atas, politik kita terlalu praktis. Jadi, dukungan dicari dari semua kekuatan politik, tanpa peduli bahwa yang dimintai dukungan juga kadang-kadang melakukan hal yang bertentangan dengan kebijakan Orde Baru sendiri.

Misalnya?

Kan, ICMI dikasih tempat, fasilitas. Pak Habibie membangun kekuatan dengan menghimpun para intelektual muslim dalam satu wadah dengan bendera Islam. Muslimkan bendera Islam, yang bertujuan mendominasi lembaga politik yang ada. Jadi membendera Islamkan lembaga politik yang ada. Contohnya, mereka sangat bangga. “Golkar sudah kita kuasai.” Begitukan mereka bilang? Lalu, kalau nggak mau ikut, dianggap menentang Islam. Nah, ketika kami, yang dikatakan moderat-dalam arti tidak mau mengibarkan panji- panji Islam- hanya usaha mengembangkan peranan Islam secara fungsional saja, dianggap berkhianat kepada Islam.

Salah satu peran yang hendak dijalankan dengan kembalinya NU ke Khittah adalah menjaga kelangsungan demokratisasi. Seberapa efektifnya memperjuangkan demokratisasi dari luar pagar “panggung politik”?

Setiap orang bekerja di tempat masing-masing. Kita sudah tahu, yang boleh bekerja secara formal di bidang politik adalah ABRI, birokrasi, serta orsospol (organisasi sosial politik). Kami-kami, ya, di luar. Apa bisa melakukan proses demokratisasi dari luar? Bisa kalau yang di luar bekerja, di dalam bekerja. Kalau di dalam tidak ada perubahan, ya, tidak ada perubahan, ya, tidak akan bisa.

Berarti sia-sia?

Tidak. Sebab, kita siapkan warga masyarakat untuk jadi manusia demokrat yang berwatak demokratis. Kalau mereka sudah dididik dalam suasana itu, nanti mereka yang akan mengubah lembaga-lembaga tadi. Wong, nanti mereka yang akan masuk ke mana-mana. Jadi, saya tidak pernah cemas. NU itu tidak punya ambisi untuk berkuasa. Itu soalnya. Ini juga membuat orang lain kerap nggak paham. Kami dianggap berbahaya, dianggap saingan. Lembaga segede kami ini pada umumnya berusaha mencari kekuasaan. Padahal, kami tidak. Dengan kata lain, dunia pemikiran politik kita belum punya tempat yang pas untuk ormas-ormas kayak NU.

Sebetulnya, mayoritas umat Islam itu di Indonesia ini seperti kami. Mereka tidak mau terlalu pusing dengan politik. Mau mereka, sudahlah, jangan ditarik-tarik dalam proses pemeliharaan dan pencapaian paham kekuasaan. Sayangnya, politisi kita tidak memahami itu dan masih memaksa-maksa juga.

Apakah aspirasi politik warga NU –setelah NU kembali ke Khittah- kemudian terserap dan mendapatkan kanal di PPP?

Tidak juga, karena kami membebaskan warga. Pertama, kami menganalisasikan, menyalurkan aspirasi politik warga, menurut alurnya masing-masing. Kalau you mau jadi politikus, terserah, tinggal pilih salah satunya dan kami dukung secara moral. Kiprahnya, ya, di sono, jangan di kami. Yang tidak berkiprah politis tidak usah ikut-ikut. Mereka cukup melaksanakan hak politiknya dengan memberikan suara dalam pemilu. Lalu ada yang ke ABRI, birokrasi, itu semua ‘kan kanal. Warga yang tidak berpolitik, ya, bebas aja mau nyoblos apa. Pokoknya, kami bebaskan warga NU dari “belenggu” PPP; kalau dulu PPP, sekarang kami adil-adil saja.

Tentang peran kiai sebagai penghubung antara local tradition dan the great tradition of Islam atau antara politik lokal dan politik nasional. Dengan kembalinya NU ke Khittah, Peran ini masih tetap ataukah hilang dengan sendirinya?

Anda harus tahu bahwa Orde Baru itu mengalami perkembangan yang tidak terduga sebelumnya. Setelah mereka melakukan “dealiranisasi” politik, tidak ada nasionalisme, tidak ada Islamisme, sosialisme. Yang ada, ya, cuma ikut Pancasila doang. Maka, terjadi penggusuran lembaga atau institusi politik, termasuk parpol (partai politik) Islam. Tapi ternyata, dengan kehilangan parpol itu- menjadi ormas- eks parpol ini tidak kehilangan basis dan kekuatannya. Dengan kata lain, hilang institusi politiknya tapi tidak kehilangan kekuatan politiknya. Itu terjadi secara mencolok di beberapa tempat.

Contohnya begini. Keluarga Berencana itu tidak bisa berhasil tanpa dukungan ulama. Begitu pula transmigrasi, lingkungan hidup, koperasi dan kesehatan masyarakat. Semuanya ke ulama. Bahkan, untuk indomie atau biskuit juga orang perlu ke ulama, ‘kan? Dengan demikian, para kiai dan ulama dibutuhkan. Karena dibutuhkan, dia jadi kekuatan politik, padahal dia bukan institusi politik. Dengan begitu, ormas-ormas Islam bisa bergerak menjadi kekuatan politik tanpa harus menjadi lembaga politik. Di situ Anda lihat besarnya peranan kiai. Mereka mengendalikan gerak langkah organisasi yang tidak politis tapi punya kekuatan politis.

Ketika berkiprah di masyarakat, warga NU akan tersebar ke dalam berbagai kepentingan. Apakah ikatan “primordial” kepada NU bisa mengatasi perbedaan kepentingan? Dalam jalur politik, misalnya.

Kenapa tidak? Dari dulu, NU harus melayani berbagai kepentingan. Mereka punya kemampuan survive yang tinggi, bahkan untuk mengatasi berbagai “jebakan”. Bahwa mereka akan digojlok oleh keadaan, iya, juga dari sudut ilmu agama. Mereka harus menguasai ini semua karena mesti menjawab berbagai persoalan dalam masyarakat. Mereka sekarang punya keuntungan karena ada akses besar ke bidang informasi; telpon, fax, koran, segala macam. Jadi apa yang harus dikhawatirkan? Kalau Anda ikut lingkaran diskusi di NU, topiknya sangat luar biasa dan beragam. Antara lain di Jember pernah dibicarakan status DPR dilihat dari sudut prinsip syuro (permusyawaratan), adakah lembaga kerakyatan ini sesuai dengan prinsip syuro dan sudah mampu jadi media yang sesuai dengan prinsip syuro dalam Islam.

Sudah sangat substansial begitu?

Oh, iya dong. Itu namanya memeriksa hukum tata negara kita dari sudut fikih, ‘kan? Mereka muda-muda dan bagus-bagus.

Wah, kok bagus semua. Apa tidak ada kelemahannya?

Waduh, banyaaak…. sekali. Pertama, kayak-kayaknya nih, NU itu nggak doyan administrasi. Datang jam tiga pagi, nggak telpon dulu. Tentu saja semua ini karena dorongan sense of belonging terhadap NU. Ini yang membuat orang spontan, terdorong rasa memiliki tadi. Namun, sulitnya bukan main, lho, mengatur yang begini ini. Kemudian sudut penglihatan yang terlalu eksklusif sehingga NU itu, kayaknya orang ketinggalan terus. Coba, Anda kira Anda sudah paham semua kata di NU? Tiba-tiba keluar yang namanya ruju’ilal haq. Pusing, ‘kan, semua? Mudah-mudahan ketua berikut nanti lebih mampu menerapkan asas kelembagaan.

Omong-omong, bagaimana hubungan NU dengan Pak Harto sekarang?

Pada dasarnyan tidak ada masalah. Cuma sekarang PBNU belum diterima Pak Harto. Nah, bila hubungan yang tidak ada masalah dianggap pembuktiannya harus lewat diterima oleh Pak Harto, itu nggak mungkin dilakukan.

Ada apa rupanya?

Karena pertemuan itu akan dianggap sebagai suatu koalisi politik baru. Dan ini akan mengubah keseimbangan politik yang sudah ada. Jadi, ruwet lagi nantinya, Nah, dalam rangka memelihara balance of power yang ada, tidak diadakan pertemuan, tapi pada dasarnya sudah ada pengertian antara kami dan Pak Harto. Apa yang kami inginkan, kami sarankan, kami pikirkan, semua itu sampai kepada beliau. Sebaliknya, yang beliau inginkan dari kami juga nyampe semua. Jadi, secara kualitatif ada perubahan hubungan antara kami dan Pak Harto-kembali seperti dulu lagi.

Bicara soal balance of power, kekuatan kita sekarang dan boleh dikatakan terdiri atas ABRI, Golkar-Birokrasi, dan Islam. Bagaimana komentar Gus tentang posisi NU kira-kira dalam pemilihan umum mendatang?

Ya, NU nggak punya posisi, karena kita hanya menganjurkan supaya warga menggunakan hak pilih. Jadi, tuduhan bahwa saya akan menggiring umat ke PDI itu tidak beralasan Kenapa? Orang NU nggak akan mau digiring. Kan, sudah Khittah, mereka sudah paham banget dengan pesan saya. Dan kalaupun ada sedikit kecintaan kepada saya, ya, itu semata karena saya menghargai martabat mereka sebagai manusia bebas, bukan digiring kayak kerbau. Masa, modal seperti ini mau saya hancurkan sendiri? Jadi, kalaupun nantinya ada warga NU yang menyeberang ke PDI, itu ‘kan karena percaturan di luar NU itu sendiri.

Maksudnya. PDI lebih menarik?

Karena warga NU yang masih bertahan di PPP masih berpikir dalam kerangka ideologis. Orientasi politik mereka ya ideologi, ya, Islam itu. Sedangkan Golkar bebas nilai dalam soal-soal beginian. Nah, kalau orang NU kecewa di PPP, dia tidak masuk ke alur yang bebas nilai ini. Dia kepingin mencari nilai lain. Ya, adanya di PDI, nilai-nilai kerakyatan, pembelaan terhadap orang kecil, dan sebagainya. Jadi, nggak usah diajak juga ada yang ke sana karena kesadaran politik mereka sendiri.

Jadi, kembali ke khittahnya NU ini, menurut Anda, sama sekali tak punya pengaruh terhadap balance of power dari kekuatan riil politik yang ada sekarang?

Kita ‘kan nggak mengarah ke situ.

***

Kami hadir pada acara lembaga Dakwah NU (LDNU), Februari silam, mengikuti Gus Dur yang menutup acara pelatihan dai se-Jabotabek dalam rangka mengisi kegiatan bulan puasa. Malam sebelumnya, ia terpaksa begadang sampai pagi karena mesti menemui banyak tamu jauh yang sudah menginap berhari-hari di kediaman nya, di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Toh, jawaban-jawabannya untuk aneka ragam pertanyaan para dai muda itu sama sekali jernih jauh dari kesan ia dalam keadaan “setengah tidur”.

Namun, budayawan dan alumnus Fakultas Sastra Arab Universitas Bagdad ini tertawa terbahak-bahak ketika ditanya apa benar ia punya “kelebihan khusus” sehingga selalu menjawab pertanyaan walau sudah nyaris tidur: Ha-ha-ha… Ada-ada saja. Semua itu dongeng. Itukan cuma kebiasaan. Saya memang sering ketiduran dalam rapat. Begitu bangun, saya ingat apa yang terakhir saya dengar. Terus, langsung saya bisa nyambung. Itu ‘kan karena pengalaman semata-mata, bukan karena yang lain-lain.”

Dalam sambutannya tatkala menutup acara itu, ia berterima-kasih kepada dai-dai muda yang tak segan menyampaikan kritik terhadap dirinya dan NU: “Dibutuhkan keberanian dan kejujuran hati untuk menyampaikan semua itu. Dan saya bangga Anda melakukannya.” Kepada MATRA, cucu pendiri NU ini membisikkan, ia tidak pernah cemas terhadap masa depan organisasi raksasa ini. “Tidak ada organisasi yang punyah kancah perkaderan seluas NU,” katanya.

***

Dalam pertemuan LDNU kemarin, tampaknya, masih ada yang mempertanyakan pendapat Anda tentang presiden Indonesia dari golongan Kristen. Bagaimana penjelasan yang sebenarnya?

Sebelum Pemilu 1992, saya diundang bicara di Monash University, Melbourne. Saya ditanya, kalau NU berwawasan kebangsaan, apakah bersedia menerima calon presiden non-Muslim seperti Benny Moerdani. Saya katakan, melihatnya dari dua sudut: teoretis dan faktual. Itu realitasnya. Secara teoretis, ‘kan, tidak mungkin bagi NU menolak calon presiden non-Muslim, karena UUD mengizinkan.

Jadi, kalau sampai ada calon yang diterima oleh fraksi-fraksi dan kemudian jadi, menurut konstitusi, NU juga harus tunduk. Tapi, dalam praktek, tidak mungkin semua fraksi setuju seorang non-Muslim menjadi presiden. Ini sama saja dengan di Amerika: orang hitam tidak mungkin jadi presiden. Padahal sudah mencapai 20-30% penduduk dan sama-sama satu agama. Bedanya Cuma di etnis. Padahal, perbedaan agama itu jauh lebih besar dari pada perbedaan etnis. Nah, di sini, umat non-Muslim ini belum ada 15% Jadi, gimana mungkin? Itu penjelasannya. Tapi lalu diisukan bahwa saya menerima orang Kristen jadi presiden. Buat saya nggak apa-apa. Malah, ini memberi peluang bagi saya untuk menjelaskannya.

Apakah Anda punya pola dalam menjelaskan suatu isu, misalnya?

Saya gunakan dialog di luar NU untuk merangsang pemikiran di dalam NU. Jadi, menambah kejelasan masalah dan sebagainya.

Tentang tradisi suksesi dalam NU, bagaimana mekanismenya?

Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam hal ini. Pertama, ucapan dari Masdar F. Mas’udi bahwa NU dikuasai oleh feodalisme “darah biru” putra-putra kiai pesantren besar Jawa. Saya tolak pendapat itu dengan beberapa bukti. K.H. Subchan Z.E., bukan anak kiai, bisa jadi ketua PBNU. Lalu, Pak Idham Cholid, Yang anak kiai tapi tidak melalui tradisi pesantren Jawa, melainkan di luar Jawa bisa juga jadi ketua PBNU selama 27 tahun. Juga Ichwan Syam, anak orang biasa, kok bisa jadi wakil Sekretaris Jenderal PBNU.

Masdar mencontohkan bahwa sekarang yang dibina adalah Fajrul Falaakh, putra Dr. Tholchah Mansur, yang anak-cucu K.H. Wahab Hasbullah, salah satu pendiri NU. Kalau ini sih masalah comparative advantage saja. Anak pemimpin, ya, mendapat sekolah yang lebih baik. Saya pribadi sama sekali nggak mikir itu anaknya siapa. Saya memang berkepentingan membina tenaga-tenaga muda yang mumpuni, berpengetahuan, berkepribadian, dan sebagainya. Semua itu kebetulan saya peroleh pada Fajrul Falaakh. Tapi nantinya ‘kan Fajrul harus berkompetisi dengan yang lain-lain. Anda lihat, ‘kan, bagaimana ketangguhan Choirul Anam – Ketua Ansor, organisasi pemuda NU- di Jawa Timur? Dia digangguin segala macam, tapi tetap survive. Dan jangan lupa, semua “pertarungan” berlangsung di arena terbuka. Jadi, kalau Fajrul tidak bisa menghasilkan apa-apa, jangan harap dia nanti akan diterima. Menurut saya, Masdar kurang cermat. Dia hanya mengambil contoh-contoh yang sesuai. Yang tidak sesuai dia diamkan.

Anda Sendiri apa bukan salah satu bukti “darah biru” kiai pesantren Jawa?

Seperti yang saya katakan di atas, kebetulan saya ini cucu pendiri. Jadi, saya mendapat comparative advantage tadi: pernah pesantren, pernah ke Timur Tengah, dan mendapat previlese untuk belajar sana-sini. Tapi advantage apa pun, kalau tidak bisa kita manfaatkan, ya, tidak akan ada hasilnya. Kalau memang dasarnya keturunan, kenapa bukan Pak Yusuf Hasyim yang jadi ketua? Lho, dia ini ‘kan paman saya. Gampangannya, dia lebih tepat mewakili Bani Hasyim, bukan saya.

Bagaimana kira-kira perkembangannya ke depan?

Belum tentu gus, belum tentu anak kiai, belum tentu anak siapa-siapa. Siapa pun dia, tidak peduli anak siapa, bisa saja naik. Contohnya Ketua PWNU Jabar, H. Habib Syarif Muhammad, di Jawa Barat Selama ini, ‘kan, Jawa Barat melempem terus. Sekarang muncul ketua wilayah yang berani, membuat semacam konsekuensi baru, merebut komitmen dari banyak orang. Naiknya seseorang sangat bergantung pada daya tarik ide-ide yang ditawarkan, kepribadian yang dia tampilkan, dan kesungguhan kerjanya dalam menangani masalah orang lain. Pokoknya, terlalu sedikitlah urusan kepemimpinan di NU ini dengan masalah darah atau keturunan.

Bisa memberi gambaran di luar Jawa?

Sama saja. Daerah-daerah basis kita yang sangat kuat adalah Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Selatan, Timur dan Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan seluruh Pulau Jawa. Saya melihat bahwa putra-putra daerah juga menghasilkan kader-kader brilian yang terus menanjak. Sumatra Selatan sudah melahirkan Kemas Hadani Idrus, salah satu Ketua PB yang sekarang.

Bagaimana dengan Timor-Timur? Apa NU ada niat membuka cabang di sana?

Saya pernah ditanya soal itu ketika Muhammadiyah mengatakan akan membuka cabang di Tim-Tim. Saya katakan, dari sekian ratus ribu penduduk Tim-Tim, yang muslim paling hanya 15.000. Jumlah sekecil ini ‘kan tidak memadai untuk mendukung sebuah cabang. Kedua, pembukaan cabang di NU tidak pernah dibikin dari atas, tapi dari bawah. Nah, sejauh ini, belum ada permintaan. Jadi, menurut saya, ya, wajar saja kalau sekian puluh tahun juga belum ada cabang di Tim-Tim.

Bisa cerita soal pengkaderan di NU?

Saya rasa nggak ada organisasi yang kadernya sesiap NU. Kancah pengkaderannya itu luas sekali. Banyak sekali peluang untuk maju. Dari yang berantem sampai orientasi. Kader-kader yang nongol ini harus meletakan diri begitu rupa sehingga tidak tersedot oleh pusaran air. Ini ‘kan menjadi mereka kuat. Contohnya Ketua NU Jawa Timur, H.A. Hasyim Muzadi. Dia dulu Ketua Ansor Jawa Timur. Nah, Ansor ini ‘kan anak, organisasi pemudanya. Sewaktu orang tuanya lagi ribut, bisa saja dia ikut tersedot pada salah satu fraksi. Tapi dia mencoba mengembangkan dirinya sendiri dengan satu sikap yang konsisten. Artinya, dia membela prinsip-prinsip, bukan orang. Lewat tempaan berbagai persoalan, proses pengkaderan itu dimatangkan. Juga pendidikan. Kader-kader kita dulu, ‘kan, pendidikannya compang-camping. Sekarang, banyak sarjana yang sudah mau mengabdikan diri untuk NU di kampung-kampung, di daerah-daerah basis. Itu kepemimpinan organisasi.

Bagaimana dengan kepemimpinan rohani?

Rohani ‘kan diperoleh dari penguasaan agama, ilmu-ilmu agama. Dari sini larinya, ‘kan, pengurus Syuriah, orang-orang pesantren. Mereka tetap punya jalur ke NU melalui upaya-upaya koreksi yang dilakukan jamaah kepada PB. Itu mekanismenya. Lalu, muncullah mereka-mereka itu. Ada K.H. Yusuf Muhammad dan Jember. K.H. Nazirrudin dari Tuban, dan Malik Madani di IAIN Yogya  Itu semua tokoh di bawah 50 tahun yang bisa memberikan input terus menerus kepada PB.

Dalam hal pola pendidikan, seberapa jauh saling pengaruh antara NU dan Muhammadiyah?

Tidak seberapa banyak. Sebab, pendidikan NU ini ‘kan pendidikan madrasah yang mengutamakan kitab kuning, yaitu kitab-kitab agama yang lama. Jadi, apa-apa dicari di situ. Kalau ada, ya sudah. Kalau tidak ada, baru dipikir. Kalau Muhammadiyah, ‘kan, dasarya Al-Qur’an dan Hadis. Kalau ada persoalan, dilihat solusinya, ada nggak di Al-Qur’an atau di Hadis. Jadi, dasamya saja sudah berbeda. Di NU diutamakan referensi yang sudah dikembangkan berabad-abad, hasil pengembangan pandangan. Kalau di Muhammadiyah, langsung dari Al-Qur’an dan Hadis.

Begini Gus, sebagai kekuatan sosial, NU memang diakui sangat kuat, tapi bagaimana dengan ekonomi? Anda banyak dikritik terlalu sibuk mengurusi politik dan melalaikan pengembangan ekonomi umat.

Ada dua hal yang harus diingat. Pertama, NU tidak ngurusin politik, tapi di forsir oleh keadaan. Campur tangan dari luar terus-menerus sejak tahun 1991 memaksa NU bergerak di bidang politik. Tepatnya, sejak adanya ICMI. Dengan demikian, perhatian terpecah. Kedua, kegiatan NU itu pada dasarnya terdesentralisasi. Anda lihat saja bidang pendidikan. Mana ada blue print NU bikin sekian sekolah? Ya, jadi juga. Sekarang ada sekitar 21.000 sekolah yang bernaung di bawah NU. Dengan kata lain, auto-activity adalah ciri dari gerakan NU. Dilihat dari sini, cukup banyak kegiatan ekonomi yang berlangsung dalam bentuk rintisan-rintisan. Kemajuan warga di bidang ekonomi antara lain tercermin dari hadiah Upakarti setiap tahun-separuh lebih penerimanya adalah warga NU.

Kegiatan ekonomi yang sifatnya proyek tidak ditekankan pada bidang usaha, tapi pada pengembangan masyarakat. Jadi, kegiatan ekonomi di kita itu masih terarah pada sarana meningkatkan penghasilan dan taraf hidup, pada pemenuhan kebutuhan pokok. Tapi memang masih banyak yang harus dilakukan dan koreksi untuk perbaikan bidang ekonomi ini.

Apakah Anda masih akan mencalonkan diri untuk tahun 1999?

Terus terang, saya sudah kepingin berhenti dari kemarin. Namun, karena keadaan saya, dengan musyawarah kawan-kawan, terpaksa maju lagi. Tapi ini benar-benar kali terakhir. Secara sistematis sudah saya kembangkan satu pola komunikasi dan partisipasi visi yang lebih baik. Saya yakin elemen-elemen negatif akan tersingkir dengan sendirinya. Pokoknya, kita cari yang baiklah. Saya sudah capek banget. Saya ingin kembali kepada dunia saya semula, menjadi penulis, pengamat. Saya punya beberapa gagasan dan orientasi soal wawasan kebangsaan, dan saya ingin menulis itu. Terutama, saya ingin membuat kajian antara Islam dan negara. Saya sudah berkali-kali ngomong tidak ingin jadi apa-apa. Saya hanya ingin jadi guru bangsa, kayak Ki Hajar, Ki Mangunsarkoro, kakek saya KH. Hasyim, dan sebagainya.

***

Mbak Nur, sebutan akrab Nuriah, istrinya, sedang menjalani operasi usus buntu di rumah sakit Koja, Jakarta Utara, ketika kami menemuinya awal Maret, selepas Hari Raya. Setiap saat, ia menerima tilpun dan kedua putrinya di rumah sakit, yang melaporkan perkembangan ibu mereka.

Perkawinannya dengan sarjana sastra Inggris ini membuahkan empat putri. Yang tertua Allisa Qotrunnada Munawaroh (Lisa), sedang menyelesaikan studinya di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, disusul Zannuba Arifah Chafsol (Yenny), mahasiswi Desain Grafis Universitas Trisakti, dan Anita Hayatunnufus (Nita), yang belajar sastra Cina Universitas Indonesia. Pasangan Gus Dur-Mbak Nur masih dikarunia Inayah Wulandari (Ina), siswi SMP 212, sebagai anak bungsu.

Gus Dur mengatakan, ikatan batin antara anggota keluarganya sangat erat dan mereka selalu saling mendukung dalam hal apa pun. “Saya memang jarang bercanda dengan anak-anak saya. Tapi mereka tahu, pintu hati saya selalu terbuka setiap saat untuk mereka. Apa pun masalahnya, mereka selalu bisa berbicara kepada saya atau ibunya. Ibaratnya, rapat PBNU pun akan saya tinggal kalau mereka membutuhkan saya.”

Apakah Anda punya penghasilan tetap untuk menjamin ekonomi keluarga?

Ya, nggak. Tidak ada gaji. Saya memperoleh penghasilan dari ceramah dan seminar. Saya nggak memasang tarif. Tapi, kalau dikumpulin, banyak juga.

Bagaimana dengan kegiatan membaca atau menulis, mengingat kondisi mata Anda masih buruk sampai sekarang?

Anak-anak atau sekretaris yang membacakan kalau ada tulisan yang perlu diberi respons. Kini empat anak saya ikut membantu, bahkan yang kecil yang kelas dua SMP pun sudah banyak membantu.

Bagaimana Anda mengatasi cobaan selama Mbak Nur mengalami musibah sakit yang panjang karena kecelakaan mobil tiga tahun silam?

Bagi saya, sebuah keluarga itu hanya bisa berdiri kukuh di atas rasa saling mengerti yang sifatnya batin, kualitatif, bukan pada frekuensi pertemuan yang tinggi. Saya nggak muji-muji anak saya, tapi dua anak saya itu, selama ibunya sakit, tiap malam tidur merungkuk di lantai, di samping tempat tidur ibunya. Jadi, attachment mereka kepada ibunya itu tersalurkan di waktu malam. Padahal, sehari penuh mereka tidak di rumah, belajar. Saya juga jarang sekali bercanda dengan anak-anak.

Tapi satu hal, mereka tahu bahwa mereka selalu bisa datang setiap saat kepada saya untuk membicarakan apa pun. Pintu hati saya selalu siap terbuka untuk mereka. Ini yang membuat keluarga kami itu solid dalam menghadapi musibah. Kan, sudah tiga tahun ini istri saya sakit.

Anda sempat putus asa di antara waktu-waktu itu?

Enggak pernah. Yang desperate malah yang sakit. Dia ‘kan nggak sembuh-sembuh, padahal sudah sekian lama pengobatannya. Di situlah letak kekuatan keluarga. Kalau dia depresi, keluarga akan menghibur, mendukung. Sehingga, istilahnya, dia “normal” kembali dalam sikap.

Dilihat dari frekuensi waktu Anda yang begitu tinggi untuk masyarakat, apakah pendidikan anak-anak lebih banyak di tangan istri, atau bagaimana?

Ya, di tangan mereka sendiri. Wong, kita ini hanya mengarahkan. Misalnya kemarin, Nita, anak saya nomor tiga, ketika lulus UMPTN (Ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan mendaftar di Sastra Cina, saya tanya, “Lho, untuk apa belajar sastra Cina?” Dia bilang, “Begini lho, Pak, tahun 2000 ke atas nanti, hubungan Indonesia yang ruwet dan yang paling memerlukan tenaga untuk menanganinya, ya, hubungan dengan Cina. Maka, tenaga kayak kami-kami ini akan laku. Jadi, ambil sastra, tapi kegunaannya di hubungan internasional. “Saya bilang, “Oh, kalau begitu, saya tambahin. Inggris kamu sudah matang. Tapi, selama kuliah ini, kamu juga harus belajar bahasa Perancis dan Computer Programming. Dengan modal itu, seandainya kamu tidak bisa berkarier di bidang diplomatik analitik, kamu bisa bekerja di mana saja. Kamu bukan saja bisa memilih perusahan, tetapi juga kota tempat kerja. Bisa di Tokyo, Singapura, atau Hongkong.” Jadi, gitu lho, saya tidak maksain pikiran atau ngurusin mereka. Wong, mereka sudah gede. Tapi kita harus selalu ada setiap saat untuk ngasih atensi, pengarahan. Yang mengambil rapor, misalnya, selalu saya atau ibunya.

Sejujurnya, Anda pernah cemas tidak karena tidak punya anak laki-laki?

Enggak pernah. Sama saja. Malah lebih enak. Anak perempuan itu nggak jadi problem. Kalau anak itu laki-laki, kita mesti nyari kalau pulangnya nggak tentu. Anak-anak saya, rata-rata, paling malam pukul sembilan sudah di rumah. Kalau sampai jadi pikiran karena mereka pulang di atas pukul 12.00 malam, paling itu hanya satu- dua kali dalam setahun.

Anak laki-laki ini maksudnya dalam hubungan dengan kelangsungan Bani Hasyim.

Barangkali Anda nggak percaya, ya, tapi saya ini sudah nggak pernah berpikir tentang bani-banian ini. Saya tidak pernah meletakkan aktivitas saya pada keinginan bani. Bani Hasyim itu sama dengan bani-bani yang lainnya. Pengabdian yang dia berikan dan kerugian yang dia timbulkan sudah sama saja. Jadi, tidak ada relevansinya dengan bani. Yang ada relevansinya adalah kualitas keulamaan, angkatan ulama. Dan itu tidak terjemahkan dalam turunannya si ini atau si itu. Sebab, kalau iya, Baru Hasyim mana, sih? Generasi ketiga yang benar-benar bisa diharapkan dari segi qua pengetahuan untuk jadi kiai yang memimpin pesantren hanya seorang sepupu saya. Enggak tahu gimana generasi keempat nanti. Gimana jadi kiai? Keluarga kami ini lebih banyak dokter dan insinyurnya.

***

Pertemuan terakhir kami di rumahnya ditemani beberapa stoples kue Lebaran. Saat itu baru pukul 06.30. Masih dalam piama putih bergaris-garis biru, Gus Dur sudah menerima beberapa tamu yang datang sejak lepas subuh. Tatkala kami meminta pamit, beranda depan sudah dipenuhi antrean manusia: utusan kiai daerah, wartawan, pengusaha, atau musafir yang sekadar ingin mengucapkan selamat Lebaran. Agaknya sudah garis nasib kiai gendut penggemar Albert Camus ini bahwa ia tidak pernah bisa punya waktu untuk dirinya sendiri.