Yang Marah Cuma Sedikit (Wawancara)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Gus Dur tetap tegar meski menghadapi cercaan dan makian dari kiri-kanan. Gus Dur menerima wartawan EDITOR di rumahnya hingga tengah malam. Ia tidak takut menghadapi penentangnya. Malah, ia ingin menjelaskan keseluruhan pemikirannya, serta problem ketakutan umat Islam terhadap semua persoalan yang dikeluhkan.

Apa sebenarnya gagasan utuh pemikiran Anda selama ini?

Transformasi kehidupan bangsa kita. Ya, semacam perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan bangsa kita.

Banyak orang kaget oleh pikiran-pikiran Anda.

Reaksi itu biarkan saja, kalau memikirkan reaksi ya saya nggak ngomong. Saya nggak peduli dengan reaksi, selama apa yang saya pikirkan itu baik.

Tapi banyak orang marah.

Yang marah kan cuma sedikit, yang lain tidak. Sekarang coba lihat, orang yang bawa jerigen untuk membakar kantor Monitor, yang melempar batu, suara pemimpin umat yang gaduhnya kayak begitu, termasuk yang mengajak boikot Kompas dan Gramedia apa ya jalan. Itu artinya, batang tubuh umat tidak terpengaruh reaksi itu. Berarti suara minor, nggak perlu dianggap.

Batang tubuh umat itu siapa?

Ya seluruh kaum muslimin, nyatanya ya sekarang tidak apa-apa. Batang tubuh umat kita ini sudah mengerti pentingnya saling menjaga perasaan, saling tepo seliro dan saling menghormati. Karena sikap itu sudah mendasar, maka mereka tidak begitu ambil pusing, dengan kasus gendeng kayak kasusnya Arswendo itu. Artinya mereka itu tidak mau terganggu, pola pikir, dan pola perilaku, hanya karena adanya hal-hal semacam itu.

Bukankah pemerintah juga bereaksi?

Reaksi pemerintah kan untuk mencegah terjadinya reaksi lebih lanjut dari keberingasan-keberingasan yang konyol itu. Tapi bahwa seluruh batang tubuh umat tidak terseret, itu menunjukkan bahwa umat kita itu masih waras. Nggak ada apa-apa dengan umat ini. Yang marah ya hitung saja hanya beberapa ribu saja. Umat Islam di Indonesia 150 juta lho.

Para mubaligh NU juga mengkritik Anda?

Ya, itu hanya bagian kecil saja. Boleh saja para mubaligh itu nyerang. Dan ini tidak saja NU dan non-NU. Kaum marah itu ada di mana saja. Tapi jumlahnya sangat kecil tidak punya pengaruh apa-apa pada batang tubuh umat.

Mengapa Anda menuduh mereka rendah diri?

Nyatanya memang begitu kok. Sebetulnya itu kan rasa rendah diri yang diselubungi. Yang begitu itu, kalau kita tuding ya tambah ngamuk dan ngamuknya itu menunjukkan bahwa mereka itu betul-betul rendah diri.

Bukan marah karena agama dan Nabinya dihina?

Ini bukan soal marah atau tidak. Sebab kalau soal itu, saya sendiri juga marah kok. Tapi sikap untuk melakukan kekerasan-kekerasan, tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal, bahkan sampai kepada pencabutan SIUPP, itu semua kan menunjukkan sikap yang tidak wajar, yang nggak benar pada sebagian dari umat kita. Jumlahnya kecil tapi vokal, dan mungkin terorganisasikan lebih baik daripada mayoritasnya. Ini ditangkap oleh media dan dibesarkan. Tapi, sebenarnya tidak ada apa-apa. Nabi kita itu tidak akan rendah hanya karena diangketkan seorang Arswendo. Setiap hari satu miliar manusia sudah membacakan salawat untuk beliau kok.

Apakah kemarahan umat itu bukan karena Monitor selama ini sering menjual paha?

Begini, saya sendiri tidak pernah setuju dengan mingguan Monitor dan yang sejenis. Sama halnya saya juga tak setuju dengan pakaian orang Islam yang tak menutup aurat. Juga, kelakuannya bapak-bapak pemimpin Islam yang merusak umatnya, yang munafik, yang berebutan tempat dan melupakan rakyat kecil, yang asyik dengan kebesarannya mereka masing-masing itu. Bukankah itu semua juga merusak umat. Podo wae. Tapi apakah kita lalu ngamuk pada mereka, kan tidak.

Tuntutan agama sendiri bagaimana kalau ada orang menghina Nabinya?

Menghina dan tidak menghina itu tunggu dulu. Apa benar sih itu penghinaan? Jika ya, siapa yang menghina? Wong yang nulis itu orang Islam (616 suara). Kalau satu per satu kita tanyai, mereka itu sebenarnya ingin memuliakan nabinya. Cuma tidak tahu mendudukkannya. Itu kan cuma soal ilmu pengetahuan saja. Mereka tidak punya niat apa-apa kok, saya yakin. Orang kayak Arswendo memuat itu, ya karena kegoblokannya saja. Gendheng-nya dia itu, sok menganggap dirinya sudah paling tahu. Jadi nggak mau menyalami perasaan orang lain, kan cuma itu saja. Saya sendiri marah dengan kejadian itu. Tapi saking picik untuk menganggap bahwa Arswendo itu punya niat gini-gitu. Dia itu terbawa ke-kenes-annya saja. Ini bagian dari ke-kenes-an seseorang yang cepat sukses.

Soal bukunya Salman Rushdie juga Anda sepertinya membela?

Lho, ini lain. Saya tahu bukunya Salman itu menghina, main-main, dan saya betul-betul marah membaca buku itu. Tapi bagaimanapun juga hak mengatakan pendapat, itu sesuatu yang sangat berharga. Ini yang dijaga oleh Islam. Lho, kok tahu-tahu kita tanpa mengadilinya dengan tepat, langsung hukuman mati in absentia. Itu kan emosional saja.

Apakah warga NU juga setuju dengan sikap Anda?

Tak ada perubahan sikap dari umat hanya karena saya membela haknya Salman Rushdie untuk berbicara. Karena dia salah, lalu harus kita tindak itu soal lain. Sikap saya itu ditulis di media sebelum Muktamar NU. Kalau pikiran saya itu ditolak oleh umat, kan saya tidak terpilih lagi. Nyatanya saya terpilih secara aklamasi.

Banyak yang berpendapat, Anda lebih pantas kalau jadi budayawan atau intelektual ketimbang ketua PBNU. Sebab Anda sering bikin resah warga.

Ya itu tadi. Nyatanya saya terpilih secara aklamasi di Muktamar. Umat itu memegang yang paling dasar dari cita-cita kita. Yakni, meningkatkan taraf hidup umat itu sendiri, menghilangkan kemiskinan, kebodohan, mengubah struktur masyarakat kita yang masih serba timpang ini supaya lebih seimbang antara kewajiban dan wewenang negara di satu pihak dan wewenang dan kewajiban masyarakat di lain pihak, supaya ada kedaulatan hukum yang tuntas. Jangan kayak sekarang ini, pengadilan kok diatur. Mbok ada kebebasan berbicara tanpa takut SIUPP-nya dicabut. Selesaikan lewat pengadilan. Pak Domo itu eks Pangkopkamtib, bisa memahami itu, kok para intelektual muslim minta dicabut SIUPP, ini kan ya nggak masuk akal kita kan.

Jadi, Anda tidak setuju dengan pencabutan SIUPP?

Saya tidak pernah setuju dengan pencabutan SIUPP apa pun. Bawalah ke pengadilan, itulah penyelesaian yang terbaik. Bung Karno zaman kolonial dia dihukum oleh pemerintah kolonial, tapi dia membuat pledoi dalam Indonesia Menggugat, dan itu yang menjadi pegangan hidup bangsa kita saat ini.

Sikap reaktif seperti itu apa untung-ruginya menurut Anda?

Ya kalau suatu umat yang banyak relatif, timbul persoalan-persoalan intern. Misalnya, sikap menghakimi seseorang seenaknya, sikap marah-marah kepada orang lain. Seperti saya sekarang ini. Pekan-pekan ini, setiap hari di masjid-masjid yang dikelola non-NU, kalau kuliah subuh mereka memaki-maki saya. Tapi, saya bilang alhamdulillah karena dengan cara itu malah mengurangi dosa saya, ha…ha…ha… Saya cuek saja.

Tak khawatir mengurangi integritas pribadi Anda?

Nggak, saya dari dulu sampai sekarang ya begitu. Tidak ada perubahan. Yang berubah itu mungkin visi, rumusnya, tapi kalau orientasinya tetap dari dulu begini. Saya ingin kaum muslimin ini mendewasakan diri dalam pandangan agama mereka sendiri.

Maksudnya?

Melakukan hal-hal yang konstruktif, pemekaran cakrawala umat, pembinaan kembali akhlak umat yang memiliki hingga mencapai keseimbangan optimal antara emosi dan rasio.

Apa sekarang tidak begitu?

Batang tubuh umat sebenarnya tidak ada masalah. Mereka sudah memahami. Anda pikir saja, nggak mungkin program KB bisa sukses, kalau umatnya tidak memahami. Artinya, mereka bijaksana, bisa mengambil dari policy atau kebijaksanaan pemerintah, mana ekses yang harus dijauhi dan mana esensi yang harus diambil. Mereka tidak bersikap apriori menolak atau menerima begitu saja, mereka melakukan seleksi. Siapa mereka, ya umat Islam. Jadi pada dasarnya batang tubuh umat itu nggak ada masalah, mereka berkembang baik-baik saja. Bahwa di dalamnya masih ada yang galak-galak, yang marah-marah, sedikit-sedikit tersinggung, saya anggap wajar-wajar saja. Tidak usah diperhatikan.

Apa kerugiannya umat Islam gara-gara kasus Monitor?

Reputasi Islam agak tercemar dengan kegalakan dan kebringasan. Tapi, ya nggak lebih dari itu. Sebentar lagi juga orang lupa kepada mereka dan apa yang mereka perbuat. Hanya ini bisa berakibat traumatik bagi kelompok minoritas agama di negeri ini. Inilah yang harus kita pikirkan sebenarnya. Kalau dari sudut Islam sih nggak ada masalah. Tapi dari segi kehidupan bangsa itu lain lagi. Saya sebagai orang yang diserahi memimpin organisasi Islam yang besar seperti NU, saya berpikir tidak hanya NU atau umat Islam saja, tapi keseluruhan bangsa. Nah di sini, terus terang saya dengan sengaja melakukan tindakan menentang arus, untuk menunjukkan kepada minoritas agama di negeri ini bahwa suara mereka itu -orang-orang galak itu- bukan representasi Islam. Suara Islam itu adalah suara yang diam the silent majority, mayoritas yang diam yang tidak bilang apa-apa tapi tetap bergaul dengan baik dan bekerja dengan baik. Itu yang harus mereka lihat, jangan melihat yang garang-garang itu. Itu tujuan saya.

Ada kesan Anda ini tidak sayang kepada umat Islam tapi lebih ngeman ke umat lain?

Biar sejarah nanti akan menilai. Saya kalau tidak ngeman umat saya, tidak akan diserahi pekerjaan untuk menjadi Ketua PBNU. Kiai-kiai di pondok pesantren para ulama, ya, batang tubuhlah, mereka mengerti kalau saya ngeman. Tapi, ngeman itu bukan memanjakan, tapi memberi mereka bekal, membuat mereka memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah untuk maju ke depan.

Kemarahan di balik kasus Monitor ini, sebenarnya karena akibat siapa, sih? Adakah kaitannya dengan persoalan-persoalan perpindahan agama yang terjadi akhir-akhir ini?

Saya rasa masalah perpindahan agama itu, terlalu dilebih-lebihkan saja oleh orang. Kita lihat sajalah hasil sensus nanti. Kalau saya melihat sebaliknya, orang Kristen itu sekarang begitu giat penginjilannya, begitu hebat kegiatannya, sebenarnya hanya untuk bertahan saja.

Maksudnya?

Lho, mereka itu sekarang di tengah-tengah kaum muslimin yang begini aktif. Coba Anda pikir kalau Anda jadi orang Kristen, atau Hindu atau Buddha. Masjid begitu giat, umat begitu hairah kalau nanti ketemu dengan cakrawala hidup yang benar cakrawala pemikiran yang benar dan skill yang cukup serta ada dana, kayak apa lajunya Islam nanti, bisa ketelan semua, masuk Islam semua. Nah, antisipasi terhadap inilah mereka menguatkan diri mereka. Sebetulnya itu yang terjadi. Saya tahu persis bagaimana pikirannya orang kayak Jakob Oetama, Pemred Kompas, kawan baik saya. Dia itu ingin orang Katolik itu memperbaiki diri bukan menarik orang masuk Katolik. Ia bahkan menyalahkan Arswendo ketika masuk Katolik. Kenapa? Karena Arswendo menyatakan ketika ditanya, “Disuruh istri saya.” Oleh Jakob dimarahi. Masuk agama kok karena istri, bukan karena keyakinan.

Kabarnya sebagian orang NU juga marah terhadap sikap Anda ini?

Soal orang pemarah itu adanya ya di NU maupun di luar NU. Di NU seperti Pak Syaichu dan Pak Syukron, itu kan langganan lama. Apa saja yang saya buat mereka pasti marah. Pak Syukron boleh maki-maki saya di mana saja. Habib Syaikh Al Jufri Condet, boleh ngamuk di mana saja gara-gara soal Monitor dan BPR. Dia itu bolak-balik ngepruki saya. Mari kita lihat nanti, mana yang benar dalam sejarah.

Kembali ke kasus Monitor, kalau dikaitkan dengan proses arah demokratisasi?

Ya, dicabutnya SIUPP itu kan satu kerugian bagi kebebasan pers di negeri ini, apa pun sebabnya. Lho kalau ada orang yang tidak senang dengan Monitor itu, saya yang paling tidak senang. Ada paha dan rangsangan murahan. Tapi, kan harus menciptakan pengimbangan, pendidikan agama yang baik, pendidikan akhlak yang baik, penciptaan suasana kehidupan beragama yang baik. Itulah.

Dengan cara berpikir Anda ini ada yang menganggap makin menjauhkan dari ideasi-ideasi Islam?

Nggak ada. Apa sembahyang harus pakai undang-undang, kan tidak perlu.

Tapi secara politis?

Politik yang paling luhur itu ya menyejahterakan kehidupan warga masyarakat. Ukurannya terserah daerah setempat. Di bawah itu semua adalah politik kampungan. Benar Cak Nur, Islam Yes partai Islam No, sebab partai Islam itu adalah bagian dari pendidikan politik, penyempitan politik yaitu lembaganya saja. Lho, politik yang digarap Islam itu yang lebih luas, wawasan, orientasi dan pola kehidupan, bukan hanya lembaga saja. Suatu pemerintahan yang di dalamnya mengandung tiga unsur utama: keadilan, demokrasi, dan persamaan pada hakikatnya, dia sudah merupakan masyarakat muslim. Itu kan nggak perlu struktur pemerintahan. Coba sekarang lihat para penguasa di Timur Tengah sana, resmi negara Islam, tapi tukang mabuk. Di Indonesia mana ada?

Kalau minoritasnya dikhawatirkan menggerogoti kaum mayoritas?

Itu kan bahasa, kurang percaya diri. Apakah kita tidak lebih dulu melakukan pengecekan benar tidaknya? Dalam bahasa Arabnya disebut daf’u dororil ma’shumin (mencegah kerusakan orang yang terlindungi). Dalam kitab fiqih ditulis: baik orang muslim maupun non-muslim yang hidup dalam satu masyarakat, mereka harus dilindungi.

Tapi minoritas di sini kan sudah kaya-kaya?

Ah nggak, pergilah ke Batak, ke Seram, Irian. Kita ini selalu gampang membuat stereotipe. Yang konglomerat itu dari bangsa kita berapa, nggak bisa dong mengukur satu kelompok orang yang jumlahnya jutaan orang itu dengan sepuluh dua puluh orang, kan nggak bisa. Apa Anda kira konglomerat yang memeras itu pilih-pilih siapa yang diperasnya? Misalnya, hanya meras yang Islam. Gombal. Mereka memeras, ya siapa pun diperas.

Yang minoritas itu dalam kaitannya dengan kasus Monitor itu apa?

Hak orang-orang minoritas untuk diperiksa dengan hakim kalau mereka bersalah. Bukan dirusak korannya dong, apalagi dicabut SIUPP-nya.

Tapi dari riak-riak itu kelihatan, di masjid misalnya.

Ya itu indikasi kecil. Yang gedhe nggak apa-apa. Di NU itu nggak ada perasaan apa-apa. Di daerah tak ada apa-apa. Pernah Kiai Hamim merangkul saya di depan panggung sambil pegang mikrofon dia berkata, “Mari kita doakan Gus Dur ini jadi penggantinya Soejono Humardani.” Ha, dia kan kebatinan kayak gitu. Umat tenang-tenang saja. Kiai Hamim ini pasti ada maksudnya. Lalu saya tanya pada ketua-ketua cabang, apa maksudnya? Lama-lama saya gagas oh… maksudnya agar bisa ngomong pemerintah, bisa omongannya didengar pemerintah.

Proses keterbukaan ini menurut Anda bagaimana?

Ya sikap keterbukaan itu tergantung sikap siapa yang memerintah siapa yang melaksanakan pemerintahan, lalu kerangkanya apa, dan bagaimana sikap masyarakat di luar pemerintahan. Ini semua akan terjadi. Kalau prosesnya itu saling mengerti, saling mengembangkan cakrawala pemikiran, ya keterbukaan itu akan jalan. Siapa sih yang menduga 15 tahun yang lalu Pak Domo yang dulu panglima Kopkamtib, justru sekarang meminta supaya pencabutan SIUPP ditiadakan, apa pun motifnya, apa pun sebabnya dan pertimbangannya. Kenyataannya kan begitu. Saya nggak pernah berpikir ideologis dalam arti kalau ini mesti salah, kalau itu mesti baik. Itu menurut saya satu sikap yang sangat kaku. Di tiap yang salah, tentu ada potensi kebaikan, juga ada potensi kesalahan. Saling belajar satu sama lain.

Tanggapan Anda terhadap cendekiawan muslim yang reaktif terhadap Monitor?

Ya…. mereka perlu mendewasakan diri, jangan gampang-gampang ikut aruslah, justru harus berani menegakkan patokan-patokan. Kalau perlu yang tidak populer, demi untuk kepentingan bangsa kita dalam jangka panjang… Itu saja.