Nahdlatul Ulama “Go Warga” (Wawancara)

Sumber Foto: https://finance.detik.com/moneter/d-6744563/bpr-berubah-nama-jadi-bank-perekonomian-rakyat

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kini berat tubuhnya 93 kilogram, kacamatanya minus 15. Toh Abdurrahman Wahid, 50 tahun, cucu pendiri NU K.H. Hasyim Asy’ari ini, tetap lincah dan ulet. Dan penggemar nonton bola ini tetap suka membikin terobosan-terobosan. Kali ini, soal bank.

Berikut petikan wawancara dengan wartawan TEMPO Wahyu Muryadi, di rumahnya, di kawasan Jagakarsa, Jakarta, Ahad pagi pekan ini. (Ia memang tak hadir dalam silaturahmi warga NU di rumah K.H. Masjkur, sesepuh NU, di Jakarta pagi itu). Dalam wawancara selama sekitar tiga jam itu Gus Dur-berkemeja batik cokelat dengan lengan digulung, dan bersarung kotak-kotak- kerap menguap, meski tetap rileks.

Bagaimana persisnya NU sampai akan mendirikan BPR dalam jumlah besar?

Ada sejumlah kebijaksanaan dasar. Pertama, NU harus mengambil porsi peningkatan taraf hidup rakyat. Sebab NU itu di situ tempatnya. Ndak betul kalau kami lalu terus maju ikut tanding bikin konglomerat sendiri. Tapi bagaimana terobosannya? Mereka ini ‘kan kekurangan segala-galanya. Bagaikan telur dan ayam, darimana mulainya?

Kami coba dengan pengembangan usaha kecil. Selama ini usaha ini berjalan secara alami saja, tanpa sentuhan yang betul. Ya, berjualan tempe di pasar, buka warung makan, warung cukur, kios koran, kios bensin di pinggir jalan meskipun range-nya tidak sangat kecil.

Definisi pemerintah mengenai usaha ini adalah yang omsetnya Rp0 sampai Rp 600 juta. Jadi, kita coba, deh. Nanti warung-warung itu bukannya sekadar tempat titipan barang dari grosir atau konsumen yang ngedrop barang ke desa, yang labanya diambil persentase. Jadi, kita harus berpikir menyediakan toko-toko, misalnya, dan barang-barang jualan milik mereka sendiri walaupun dalam bentuk utang. Kalau dalam toko ada barang senilai Rp 50 juta, tapi milik sendiri ‘kan, ya, lain. Gitu, lho.

Nah, untuk bisa mengembangkan usaha kecil sampai pada taraf itu, atau menciptakan usaha baru lagi yang langsung menuju taraf yang omsetnya mendekati Rp 600 juta, tentu harus ada lembaga penopang. Lembaga penopang itu, menurut saya, yang paling tepat ya, BPR. (Bank Perkreditan rakyat) karena memang didesain pemerintah khusus untuk itu.

Kalau mendapat izin dari Syuriah, dalam rapat gabungan pada 30 Mei pekan lalu, rapat memutuskan bahwa PBNU diperkenankan mendirikan BPR dengan ketentuan dan syarat-syarat yang akan ditetapkan PB Syuriah sendiri. Tentu, itu menyangkut bunganya. Inilah prosesnya. Tentunya, kita yakin beliau-beliau juga tidak langsung memutuskan hari ini bahwa BPR tanpa bunga uang. Tidak bisa. Itu ‘kan harus dikembangkan melalui eksperimen, percobaan mencari model yang paling tepat.

Jadi, Pembungaan uang dalam bank itu nantinya jalan terus?

Ya, tapi untuk sementara. Sebagai suatu hal yang akhoffuddharurat, layrok tulibait, barang yang lebih ringan di antara dua yang sama-sama berat. Yaitu membiarkan rakyat yang ditekan ijon atau utang dan lintah darat, menggantikannya dengan bank yang lebih ringan. Jadi, di sini diutamakan darul mafaasid muqaddamuala jilbil mashaalih. Mencegah kerusakan di utamakan karena membawa kebaikan. Ini kaidah hukum agama yang selama ini kita pegang.

Idenya sejak kapan?

Sejak deregulasi perbankan diberlakukan. Tapi baru jelas setelah ada paket deregulasi Januari 1989, antara lain tentang usaha kecil itu. Walhasil, kami melihat bahwa di situ ada peluang melayani orang kecil. Dan kami menemukan bentuk ketika kawan-kawan di Jawa Timur membuat BPR.

Ketika permintaan datang bertubi-tubi kami pikir ini harus dibuat jaringannya. Lalu saya usulkan di PBNU supaya dibentuk Perseroan Terbatas (PT). Maka dibentuklah PT Duta Dunia Perintis, Maret lalu. Didirikan oleh ex officio Ketua Tanfidziyah dan Rais Am Karena kami, menurut Anggaran Dasar, mewakili organisasi keluar. Kita mengangkat pengurus.

Apa Peranan PT. Duta Dunia Perintis (DDP) itu nantinya?

PT itu ‘kan hanya sebagai holding company. Keuntungannya, ya, balik ke kas NU lagi. Itu pun kalau kita bisa memberikan deviden, karena pada dasarnya PT ini nonprofit. Setiap menerima uang, dipakai untuk membuat BPR lagi.

(Menurut akta notaris H. Asmawie Amin S H disebutkan bahwa PT. DDP didirikan oleh K. H. Achmad Siddiq dan H. Abdurrahman Wahid, masing-masing selaku Rais Am dan Ketua PBNU. Komisaris utamanya adalah H. Saiful Mudjab, dengan komisaris: H. M. Yusuf Hasyim, Hasyim Latif, Ma’ruf Amin, Hafid Usman, Musthafa Zuhad. Direktur Utamanya dijabat oleh Ali Ridwan. Modal disetor Rp 100 juta, dengan komposisi Rais Am Rp 30 juta, ketua PBNU Rp 20 juta, dan anggota Rp 50 juta)

Pasti keputusan ini mengundang pro dan kontra.

Oh, ya, memang. Di PB juga ada (yang tidak setuju). Karena itu, keputusan Syuriah PBNU bukannya menghalalkan, tapi memperkenankan, bersikap toleran. Itu sudah cukup untuk kita.

Untuk mengegolkan ini, Katib Am (Sekretaris Umum Syuriah, yakni K. H. Ma’ruf Amin) sampai ngotot supaya ini dihalalkan. Alasan dia, salah penempatan pinjaman. Pinjaman dalam bahasa Arabnya qurdlun. Padahal ini, ‘kan bukan meminjamkan uang tapi memutarkan uang. Uang si A ditaruh di bank B, untuk diputar oleh C, ini suatu siklus. Bukan qurdlun, tapi qiradl, pemutaran untuk pemanfaatan uang. Qiradl oleh agama tidak dilarang. Yang dilarang qardlun, yakni pinjaman yang membawa nilai lebih.

Bukankah masalah bank dan bunganya sudah dibahas dalam Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten?

Soal bunga bank sudah dibahas di sana. Hukumnya khilaf. Ada yang mengatakan bahwa bunga bank itu halal, ada yang haram dan subhat. Akhirnya mauquf, dipending. Lalu hal itu dibawa ke Pengurus Besar. Dalam rapat PB, ternyata putusan halal dengan catatan, yang tidak menyetujui silakan meninggalkan rapat, he….. he. Ternyata masih banyak yang tetap tinggal di dalam rapat.

Tapi bukankah dalam salah satu Muktamar, bunga koperasi simpan pinjam pernah diharamkan?

Saya tak tahu persis. Di (Muktamar) Situbondo, 1984, juga tak jelas, mauquf.

Tapi bagaimana kalau di luar banyak yang kontra terhadap putusan ini?

Tak apa-apa. Yang kontra itu yang tidak pergi ke bank. Begitu saja, kok, repot-repot, he….he… Di NU itu baiknya ‘kan begitu. Kalau tak setuju, ya, jalan terus. Walaupun dulu waktu Mbah Wahab (Abdul Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri NU) Mbah Bisri (Bisri Syansuri, juga pendiri NU) ribut ketika DPR Gotong Royong diusulkan Bung Karno, NU masuk apa tidak. Itu ‘kan perang tanding, sampai tiga hari tidak selesai, sampai akhirnya jalan sendiri-sendiri.

Kiai Wahab dkk. Termasuk ibu saya, masuk DPR-GR, karena niatnya baik, daripada diisi oleh PKI. Mbah Bisri tetap berpendapat bahwa DPR-GR itu ghasab. Menggantikan sesuatu yang sah, yakni DPR terpilih yang dibubarkan Bung Karno.

Di NU caranya ‘kan begitu. Kalau ada perbedaan pandangan yang tajam, tetapi cukup besar jumlahnya, ya, sudah. Bukan lalu berarti yang setuju memaksakan kehendaknya kepada yang tidak setuju.

Apakah tidak ada alternatif lain?

Disilakan kemukakan alternatifnya. Kami tidak bisa menunggu diam saja sampai ada alternatif.

Banyak pihak yang merencanakan mendirikan bank Islam.

Silahkan. Itu tidak harus dianggap sebagai bertabrakan. Bikin saja bank Islam. NU juga pada waktunya akan bikin. Tapi kapan persisnya saya belum tahu, kami belum punya uangnya dan segala macam, termasuk partner yang mau memberi uang.

Lalu, apa pandangan Anda terhadap konglomerat dan konglomerasi bisnis?

Ada perbedaan pandangan yang menganggap konglomerasi hakikatnya sesuatu yang salah. Saya menganggap tidak.Artinya kita melihat dari kapitalisme, setiap orang punya hak untuk berkembang sebebas-bebasnya. Dari Sosialisme, kita ambil kontrol sosial terhadap orang itu, agar kalau dia sudah gedhe, punya tanggung jawab sosial membantu yang lemah.

Kalau kita akui ukuran secara relatif, Sayidina Umar, Usman, dan Abubakar yang khalifah itu semuanya kaya. Sedangkan Abu Hurairah orang melarat, juga yang lain-lain. Bahkan berapa di antaranya ada budak-budak yang ditebus oleh orang kaya, dijadikan manusia merdeka. Kalau dilihat dari analogi ini, ‘kan Islam juga mengenal, relatif lho ya, tokoh konglomerat he….he…

Yang penting fungsinya. Dia monopoli atau tidak. Kalau dia tidak memegang monopoli, ya, baik-baik saja. Jadi, ya yang kita koreksi itu fungsinya, bukan kehadiran konglomeratnya.

Lalu, di mana posisi NU di antara konglomerasi itu?

Ya, posisi kita mendorong adanya perubahan fungsi-fungsi pada konglomerat untuk membantu pengembangan usaha kecil. Itu ‘kan masalah kita bersama. NU ‘kan cuma mengajak. Yang mengambil insiatif. Kami percaya, nanti juga ada yang mau menanggapi. Buktinya cuma dua bulan saja kita keluarkan ide ini. Bank Summa sudah nyahut. Walaupun Edward (bos Bank Summa) dikatakan itu karena perubahan Bank Summa sendiri. Mereka tahu bahwa sumber uang itu tidak hanya yang kaya-kaya saja, tapi yang kecil-kecil bisa juga jadi sumber modal secara akumulatif.

Bagaimana kalau banyak yang menyesalkan sikap NU yang mengakrabi konglomerat ini?

Semua banyak yang omong menyesali NU ini. Ya, silakan. Itu saya anggap mematikan gas silakan. Wong mereka juga niatnya baik. Untuk kontrol bagi NU. Siapa tahu, NU dalam mengambil sikap begini ini, yang moderat terhadap konglomerat, nanti hanyut dibuang uang.

Jadi, langkah NU ini upaya mengerem laju konglomerat?

Ya, harus kita bikin. Potensinya ada. Sebab banyak aturan pemerintah sebetulnya sudah diarahkan atau dirumuskan untuk mengerem monopoli, namun tidak dilaksanakan. Kita gembira bahwa aturan itu ada, tidak gampang dilaksanakan, tapi bisa peluang untuk itu cukup besar. Apalagi untuk organisasi sebesar NU ini, dan yang melakukan hal itu secara perlahan-lahan.

Bagaimana pula dengan kisah bangkrutnya Bank Haji dan Bank Nusantara yang didirikan orang-orang NU dulu itu?

Bank Nusantara nggak ada urusan dengan NU. Ada beberapa tokoh NU mendirikan Bank Nusantara. Policy-nya nggak jelas.  Akhirnya sekadar jadi bank orang NU di Jakarta.

Tentang Bank Haji, itu dikelola oleh Yayasan Mu’awanah Lil Muslimu (Yamualim) di Semarang. Itu sudah mati, habis. Tapi mati karena tak ada konsepnya yang jelas.

Kenapa Anda memilih Bank Summa atau kelompok Astra?

Pertama, karena saya melihat kelompok Astra itu bergerak bukan karena monopoli. Dia ‘kan jual mobil, dan tidak menghalangi orang lain untuk bikin mobil di sini. Dia adalah usaha yang sendiri, tapi punya ciri tidak terlalu terkait dengan pemerintah. sangat sedikit menggunakan jasa bank dan fasilitas pemerintah.

Kedua, Bank Summa ini kuat, punya afiliasi dengan bank-bank mereka yang lain yang ada di luar negeri, dan tergabung dalam Summa International. Ketiga, mereka juga ada kaitan dengan bank- bank besar di seluruh dunia. Kayak Societe Generale, di Perancis. Keempat, mereka punya strategi yang jelas, punya duit banyak, dan ingin mengembangkan uangnya secepat-cepatnya diputarkan, lalu melihat cara terbaik untuk itu adalah membuka cabang-cabang kecil.

Nah, lalu BPR muncul sebagai outlet mereka. Namanya ‘kan kreatif. Saya melihat di sini. Banyak hal positif yang membuat Bank Summa menarik. Nanti kalau dibikin dua ribu BPR, ‘kan sangat besar. Kalau masing-masing butuh likuiditas Rp 1 milyar saja, ‘kan sudah Rp 2 trilyun. Dananya dari mana? Summa juga belum tentu menyediakan. Kita harus bisa ke bank-bank lain.

Mari kita akui kenyataan bahwa bank-bank yang banyak lainnya di negeri kita ‘kan juga orang-orang Cina. Nonmuslim lagi, gitu lho. Mereka ‘kan perlu semacam afiliasi bahwa berurusan dengan NU itu nggak apa-apa. Aman-aman saja. Orang dagang ‘kan harus pakai common sense, akal sehat.

Bagalaman isi kesepakatan bersama itu?

Mereka akan membuat 250 bank bersama kita dalam lima tahun pertama. Ada kemungkinan 300-lah. Dalam 20 tahun, dua ribu, saya rasa itu juga bukan sesuatu yang besar. Masih bisa dilampaui, bangsa kita bangsa besar, kalau untuk menerima hadirnya tiga ribu atau lima ribu bank kecil masih bisa. Ini kunci untuk masa depan.

Tapi bukankah keputusan ini bisa menurunkan citra NU di mata warganya?

Orang NU itu kalau beli mobil juga mobil Astra, juga Suzuki. Beli sikat gigi juga Du Pont. Lha, itu miliknya siapa?

Jadi, tidak adakah kerugian yang Anda lihat dalam kerjasama ini?

Tidak semua usaha bersama dengan mendirikan bank-bank itu untung. Kalau kerugiannya di situ, mungkin ada. Tapi kalau program yang dilaksanakan demi kepentingan NU secara menyeluruh ini, saya rasa tidak ada kerugian apa-apa.

Jadi, Anda optimistis ini akan membawa keuntungan?

Ya, saya optimistis karena lahannya ada, pemerintah sudah kasih greenlight, bidang garapan sudah ada. Kita ambil paling tidak dari daftar sentra pengembangan industri kecil dan aneka industri dari Departemen Perindustrian. Di sana ada sekian ribu item mulai dari pisang selai sampai segala hal. Itu saja kita pakai sudah cukup banyak lahan.

Saya nggak berani masuk kalau nggak optimistis. Salah satu kuncinya adalah perjanjian itu menyatakan top manajernya pertama kali ditunjuk dari Summa. Di sini berlaku syarat profesional.

Kalau memang tidak menimbulkan masalah di masyarakat, mata sipit pun tidak apa-apa menjadi manajer BPR kita. Di Krian, Sundoro Sasongko itu (Direktur Utama BPR Sumber Nilaiarta) Cina, kok. Rakyat juga siap menerima itu. ‘Kan berangsur-angsur akan dipindahkan ke tenaga kita sendiri.

Dalam konteks ini Pak Harto sudah menawarkan kepada kami agar menggunakan BPR milik Bank Duta sebagai tempat magang bagi tenaga-tenaga BPR kami. Sambutan Kepala Negara begini bagi kami ‘kan menggembirakan.

Bagaimana dengan komposisi ketenagaan?

Terserah PT Duta Dunia Perintis dan Bank Summa. Urusan saya bukan soal teknis.

Kabarnya, keputusan ini diambil setelah kerja sama NU dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dikritik karena mendapat bantuan dari Yahudi?

Ah, tidak. Orang harus tahu hubungan antara NU dan LSM. LSM itu ‘kan upaya rintisan. Jadi, kalau pun dapat dana dari mana pun, sangat terbatas karena sifatnya rintisan. Jadi, bukan karena dikritik atau tidak kritik.

Kerjasama dengan LSM juga diteruskan. Bahkan mungkin, karena NU nanti akan punya outlet yang namanya BPR, tentu kerjasama dengan LSM itu bisa lebih mantap karena yang dirintis LSM itu bisa dicoba di BPR-BPR. Asal sesuai dengan kebutuhan BPR sendiri.

Apakah sebelumnya sudah coba kerjasama dengan selain Bank Summa?

Kami sudah mencoba ke Dirut BBD, tapi habis itu nggak ada follow up-nya. Ke BDN ketemu Direktur Kredit. Tapi nggak ada kelanjutannya. Mungkin karena bank pemerintah agak lamban menghadapi segala sesuatu karena dia harus hati-hati sekali karena itu ‘kan dana pemerintah.

Kami juga akan bekerja sama dengan Bank Susila Bhakti (kini BSN Bank), tapi polanya kecil. Nggak apa-apa. Itu lebih menekankan bentuk-bentuk yang nantinya menuju bentuk-bentuk sistem perbankan yang konon Islami.

Pokoknya kita ini sudah pasang jaring macam-macam. Mana yang diperoleh ya, itu. Dan tidak ada hard feelings. Artinya, kita juga nggak menyesali siapa-siapa. Orang ‘kan nggak bisa dipaksa. Apalagi dalam soal bikin seperti ini. Mungkin BBD skala prioritasnya ke tempat lain.

Berapa lama negosiasi dengan Edward?

Saya cuma sekali ketemu. Saya tanya simpel saja ketika omong-omong. Dia bilang bagaimana kalau kerjasama. Saya bilang, kalau saya mau begini-begini. Lalu dia bilang, saya rasa Bank Summa bisa meladeni. Kalau begitu, saya tanya balik kenapa Anda pilih NU.

Jawabnya itu yang meyakinkan saya. Katanya, NU itu kohesinya tinggi. Rakyatnya loyalitas kepada pemimpin tinggi juga. Solidaritas di antara warga NU itu kuat. Kemudian mereka juga tidak punya cacat dalam sejarah, sehingga hubungan dengan pemerintah tak berubah. Ini semua kalau diterjemahkan secara bisnis, kata dia, ‘kan uang. ‘Kan jujur jawabannya.

Saya baru ketemu Presiden Direktur Bank Summa kemarin, ketika Edward ulang tahun. Setelah itu disusul pertemuan teknis Rozi Munir dkk. Dengan Presdir. Bicara panjang lebar. Lalu Rozi Munir balik membawa MOU (Memorandum of Understanding) yang ditandatangani. Pertemuan keempat sudah tanda tangan.

Yang juga penting artinya Nasir Tamara. Ada kemungkinan dia masuk Bank Summa. Nasir yang mengatur pertemuan saya dengan Edward di Gedung Mercantile. Kami omong-omong, kelar sudah.

Kalau dalam konsepsi Anda, bank Islam itu bagaimana?

Wah, tidak tahu saya. Saya nggak pernah berpikir ke situ karena memang bukan bidang saya.

Kabarnya, Anda juga melakukan kontak dengan Inkoveri, Induk Koperasi Veteran RI, untuk apa?

Dalam rangka pengembangan koperasi melalui pesantren. Itu belum apa-apa, baru tingkat mempertemukan gagasan dengan Pak Sutiyono sebagai Ketua Umum Inkoveri. Saya respek kepadanya. Dia tentara yang pandangan ekonominya nasionalis. Lainnya ‘kan internasionalis.

Pak Surtiyono perwira ABRI yang agak berat menerima modal asing di sini. Kita perlu orang seperti gitu. Kalau tidak, bisa kayak sekarang, negeri ini bisa dijadikan ajang modal asing. Saya sedih melihat perusahan-perusahan kita, kerjasama dengan bank-bank tahu-tahunya sahamnya cuma 50%. Sebelumnya milik sama.

Bagaimana komposisi saham PT. Duta Dunia Perintis dengan Bank Summa?

PT. DDP memegang 60%, Summa 40%. Yang punyanya PT. DDP. Tetap pada angka 60%. Yang 40% pada Bank Summa nanti phasing out , perlahan-lahan diganti dengan uang warga. Sehingga akhirnya setelah 30 tahun, semua BPR akan jadi milik warga NU dan PT. DDP sebagai perwakilan NU yang ditunjuk.

Itu juga memungkinkan Bank Summa untuk menekan ongkos. Dia bisa menjual sahamnya di BPR, lalu bikin lagi yang baru dengan PT. DDP. Jadi, semacam revolving capital, kapital yang berputar sendiri. Kalau konglomerat begini ini disebut go public. Karena kita bukan konglomerat, ya ‘go warga”, he…he..

Saya rasa naluri bisnis Anda tajam juga..

Ah, tidak. Saya nggak bisa bisnis, kok. Kalau mau sukses bisnis, nomor satu orang itu harus cinta duit. Lha, saya ini terlalu cinta bola, cinta NU, cinta ilmu sosial, cinta LSM, cinta keluarga.

Anda pernah mengatakan bahwa etika bisnis kaum santri pernah hilang…Bagaimana jelasnya?

Ia, ya. Bisnis santri memang hilang. Sebab, pertama dia masih tradisional, terikat oleh beberapa hal yang akhirnya menggilas dia. Misalnya, mereka berprinsip nggak mau pakai bank. Ini di masa lampau. Karena itu, jasa bank dipakai Cina. Dalam persaingan, mereka kalah karena kalah likuiditas. Ini sumber utamanya karena mereka tidak fully homo economicus. Mereka ragu-ragu. Kemudian juga karena memang ada masalah, bisnis Islam itu terancam oleh fragmentasi modal. Karena diwariskan. Kalau diwaris, ‘kan anak lelaki dapat dua kali lipat anak perempuan. Jadinya rusak.

Kalau begitu, mestinya bagaimana?

Nggak tahu saya. Tapi kalau dalam sudut bisnis, ‘kan akumulasi modal itu penting. Dalam bisnis tradisional orang NU, yang terjadi kebalikannya. Bukan akumulasi, tapi malah fragmentasi.

Kemudian mungkin juga karena tekanan para santri pada perjuangan politik. Dengan sendirinya para santri terbaik segan jadi pengusaha. Ya, lebih baik jadi anggota DPR, pemimpin partai, dan lain-lainnya.

Sekarang, dengan munculnya kelompok profesi, santri kita mulai menguat. Anda lihat saja, Citibank akhirnya jadi tempat pendadaran pengusaha muslim. Saya pikir lambat laun akan kembali juga kewiraswastawan santri di tingkat atas. Justru di tingkat bawah yang harus kita kembangkan melalui BPR-BPR itu.

Anda juga berhubungan dengan bank?

Sebagai Ketua NU, ‘kan saya harus punya rekening bank. Kalau nggak, bagaimana menyimpan uang nantinya. Jadi, itu rekening PBNU di bank pemerintah. Asalnya ya, dari ketua ke ketua.

Maksud saya, Anda dalam kapasitas pribadi apa juga menyimpan uang di bank?

Kalau berurusan dengan bank, lha duit saya dari mana?

Jadi, Anda pribadi tidak berhubungan dengan bank sama sekali?

Ya, mesti berhubungan, mau nggak mau. Saya punya account pribadi di sebuah bank. Segala kiriman honorarium tulisan dan segala macam saya jatuhkan ke situ.

Lalu, persepsi Anda terhadap bank konvensional sekarang ini bagaimana?

Baik-baik saja. Bank itu suatu bagian yang mutlak perlu dalam kehidupan ekonomi modern. Jadi, kita pegang teguh. Perkara lalu kata modifikasi bentuk dan caranya, itu soal lain. Arab Saudi, yang begitu kukuh memegang Al-Qur’an dan Sunah, bikin bank. Masa kita nggak boleh.

Kalau begitu, dari sisi apanya bank itu Anda manfaatkan? Apa termasuk bunganya?

Saya memanfaatkan bunga itu kalau saya punya deposito. Tapi saya hanya punya sekadar giral. Account saya tidak cukup untuk didepositokan.

Tapi, kalau punya uang lebih, juga disalurkan ke bank?

Saya tanam saja dalam perusahaan. ‘Kan Anda bilang tadi saya punya sense of bussines. Ya, akan saya tanam dalam perusahan. Kalau saya punya duit, tak usah repot-repot, kok. Di kepala sudah ada beberapa….. Tapi cinta saya pada organisasi, pada kegemaran saya sekarang, rasanya tidak memungkinkan.