Judul |
---|
Prisma Pemikiran Gus Dur |
Penulis |
Abdurrahman Wahid |
Editor (Penyunting) |
Muh. Shaleh Isre |
Penerbit |
LKiS Yogyakarta, Januari 2010 (cetakan ke-3) |
Kategori |
1A Kumpulan Tulisan GD, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2010 |
Judul Tulisan
- Agama, Ideologi dan Pembangunan
- Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik
- Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan
- Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah
- Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus dari Jombang
- Mencari Perspektif Baru dalam Penegakan Hak-hak Asasi Manusia
- Nilai-nilai Indonesia: Apakah Keberadaanya Kini?
- Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis?
- Mahdiisme dan Protes Sosial
- Timur Tengah: Panorama Pergolakan Tak Kunjung Berhenti
- NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini
- Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama
- Republik Bumi di Sorga: Sisi Lain Motif Keagamaan di Kalangan Gerakan Masyarakat
- Persaingan di Bawah Justru Lebih Hebat
- Intelektual di Tengah Eksklusivisme
- Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa
- Penafsiran Teoritis Terhadap Hasil Penelitian Orientasi Sosial-Budaya di Lima Daerah
Sinopsis
Secara isi, cetakan ketiga yang diterbitkan oleh LKiS ini tidak ada yang berbeda dari cetakan sebelumnya. Hanya covernya saja yang diubah oleh penerbit. Isinya masih sama, tentang tulisan-tulisan Gus Dur yang pernah dimuat di Jurnal Prisma.
Jurnal Prisma pertama kali terbit pada November tahun 1971. Jurnal ini menjadi primadona para intelektual atau cendekiawan hingga sekarang. Bedanya Prisma dengan majalah atau jurnal pada masa itu—seperti Basis, Horison, Budaya Djaja, dan lainnya—adalah orientasi pembahasannya, lebih sebagai penyelesaian masalah (problem solving). Menurut Hairus Salim dalam pengantar buku ini, orientasi Prisma lebih kepada program dan sikap oposisi dari sikap ideologis, yang anti politik.
Tulisan-tulisan Gus Dur dalam jurnal tersebut mencoba mengurai problem yang terjadi pada tahun 70-80an. Total ada 17 artikel di dalam buku ini, namun tidak semuanya ditulis oleh Gus Dur. Ada empat tulisan (yakni pada bab 8, 12, 14, dan 15) adalah hasil olahan wawancara redaktur Prisma. Tulisannya relatif pendek dan lebih ringan dicerna, dibanding dengan tulisan Gus Dur sendiri yang panjang dan sangat akademik.
Membaca tulisan di buku ini, kita tidak cukup ‘sekadar membaca’nya, namun lebih jauh lagi, harus mengetahui konteks yang terjadi pada waktu itu. Era Orde Baru yang serba seragam dan sentralistik. Dalam Jurnal Prisma, adalah upaya urun rembug Gus Dur atau berbagi gagasan dalam menuntaskan persoalan yang mendera bangsa kala itu. Tentang hubungan agama dan budaya, ideologi, hak asasi manusia, dunia pesantren, dan masih banyak lagi.
Kalau kita ingin mengetahui qaul qadim (pemikiran lama) Gus Dur yang mendalam berbentuk tulisan, buku Prisma Pemikiran Gus Dur ini menjadi bacaan wajib.
Dalam mendiskusikan masalah, Gus Dur merujuk beberapa kasus yang tengah terjadi di dunia internasional tentang gerakan politik dan semangat keagamaan seperti yang terjadi di Iran, Filipina, dan Mesir, dalam tulisan “Agama, Ideologi, dan Pembangunan”. Diterangkan bahwa gerakan-gerakan keagamaan di negara itu toh masih bisa survive walaupun dalam tekanan (represi) penguasa.
Dari penggambaran di luar, lalu Gus Dur menghadapkan dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia, yang mana pemerintah Orde Baru merencanakan program yang tidak sejalan dengan orientasi organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan kelompok Islam politik. Dalam hal ini, Gus Dur mengkritik pemerintah yang salah paham dalam memaknai gerakan agama dan ideologi yang dianut oleh negara.
Masih menyangkut persoalan ideologi, pada tulisan Reideologisasi, dan Retradisionalisasi dalam Politik, yang ditulis pada Juni 1985, menarik untuk kembali disimak, karena saat itu masih dalam pengaruh kedigdayaan Orde Baru yang semaunya. Ideologi formal negara coba dipaksakan sebagai alat kontrol melalui penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila), salah satunya.
Dari kasus itu lalu muncul perlawanan simbolik dari kalangan Islam kultural, melalui pendidikan, kesenian, dan penguatan identitas keislaman seperti penggunaan jilbab. Gagasan Gus Dur mencerminkan kritik atas apa yang dilakukan oleh negara yang hanya untuk melanggengkan kekuasaan, serba mekanistik, cenderung mengabaikan aspirasi rakyat kecil.
Dalam tulisan Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan, berbeda dengan tulisan di bab sebelumnya, yang dalam tulisannya ini banyak referensi (footnote) atau bahan bacaan, keterangan-keterangan penting untuk memperjelas maksud dari isi tulisan. Gus Dur menyertakan istilah-istilah yang seringkali dipakai oleh kalangan fuqoha’ (ahli fikih), seperti kaidah fikih: ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh. Tulisan yang khusus ditujukan kepada kalangan yang pernah terpapar dengan kajian-kajian kitab kuning, seperti di lingkungan pesantren.
Penulis buku Biografi Gus Dur, Greg Barton, turut serta memberikan pengantar dalam buku ini. Greg menulis banyak kritik dan catatan penting untuk Gus Dur. Pertama, manuver politik Gus Dur seringkali membingungkan yang tujuannya tak lain adalah supaya tidak terjadi kekerasan antar kelompok. Kedua, kecintaan Gus Dur pada Islam dan tradisi, dan ketiga, Gus Dur orangnya tidak takut dengan risiko alias nekadan. Greg juga mencatat ujian-ujian yang dialaminya dari sejak kecil, peristiwa kecelakaan bersama ayahnya, dan peristiwa-peristiwa lain di tahun 1998-1999 yang dapat mengganggu kondisi fisik dan psikologisnya.
Dalam buku ini, Gus Dur sangat terlihat—mengutip istilah yang dipakai Hairus Salim—sebagai cendekiawan bebas. Ia yang bukan lulusan dengan latar belakang sebagaimana penulis-penulis Prisma, mengenyam pendidikan ilmu sosial di kampus ternama, baik di luar maupun di Indonesia sendiri, namun Gus Dur mampu menawarkan gagasan-gagasannya yang otentik itu dengan nuansa non-teknokratis, yang berpusat pada nilai-nilai sosial, kearifan, dan etika.