Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik

“The Sprouting of Revolutionary Fists,” mural by Zoo Project in Tunis, Tunisia.

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tahun-tahun setelah Perang Dunia II mengumandangkan sebuah perkembangan baru dalam percaturan politik: deideologisasi dalam lingkup sangat luas. Ideologi-ideologi besar di dunia harus memberikan tempat kepada pemunculan kehidupan politik tanpa ideologi. Kalaupun ideologi masih dipertahankan, ia hanyalah sebagai semacam formalitas yang tidak meyakinkan siapa pun. Segera setelah sekian puluh negeri terjajah berhasil memerdekakan diri, bukannya ideologi utama yang berupa nasionalisme yang berkembang, melainkan serangkaian varian dari sebuah ideologi yang umum, yang bentuk utamanya adalah paham kebangsaan di luar nasionalisme sebagai ideologi.

Paham kebangsaan sementara bekas negeri-negeri terjajah hanyalah gambaran samar dari kobaran api nasionalisme semula, ia hanyalah sekadar kekuatan pengikat yang tak memiliki daya dobrak apa pun. Kebangsaan seperti itu terlihat, umpamanya. pada “nasionalisme“ Malaysia segera setelah angkatan pemimpin berorientasi kepada Inggris memegang tampuk pemerintahan, seperti Teuku Abdurrahman Putera.

Kalau diluaskan jangkauan paham kebangsaan seperti itu, maka ia dapat dilihat di hampir semua benua. Di Mesir, nasionalisme yang membakar “Uraby Pasha” tinggal bingkai tanpa isi belaka. Ditahan serangkaian politisi yang mengabdi Raja Farouk menjelang pemakzulannya pada tahun 1953 oleh gerakan Opsir Merdeka di bawah pimpinan Gamal Abdul Nasser. Memang kemudian Nasser berhasil menggemakan kembali secara lantang paham kebangsaan itu dalam kuasi-ideologinya, nasionalisme Arab (yang disebut sosialisme Arab secara formal).

Namun ternyata kematian Nasser juga berarti kemunduran semangat kebangsaan di Mesir, terbukti dari penampilan sangat lemah paham itu di bawah pemerintahan Anwar Sadat, hingga saat ini. Melemahnya semangat kebangsaan itulah yang antara lain membuat mudah pendekatan antara Mesir dan Israel, tanpa mengindahkan perasaan negara-negara Arab lain. Dengan tidak bermaksud merendahkan arti penting dari tercapainya langkah pertama ke arah perdamaian yang lebih instan di Timur Tengah, namun jelas sekali langkah itu sendiri tidak akan dapat dilakukan, jika nasionalisme Arab dari era Nasser masih memiliki daya dobrak penuh.

Pelacakan seperti ini masih dapat dilakukan atas melemahnya semangat kebangsaan dari era nasionalisme ideologis, untuk digantikan oleh paham kebangsaan yang serba praktis dan sempit jangkauannya. Di negeri kita demikian juga keadaannya. “Era nasionalisme“ dari dasawarsa tiga puluhan dan empat puluhan abad ini dalam tahun-tahun lima puluhan tampak jelas sekali menurun. Walaupun masih cukup kuat untuk mendorong penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika di Bandung dalam tahun 1955. Sementara postur Indonesia sebagai “biang nasionalisme“ masuh ditampakkan dengan nyata dalam forum-forum internasional. Di dalam negeri bermunculan gerakan separatis yang hanya dengan susah payah dapat dipatahkan.

Merosotnya Peranan Ideologi

Nasionalisme lama itu perlahan-lahan memudar, digantikan oleh perbenturan antargolongan dan antarkelompok. Bahkan upaya darurat Presiden Soekarno untuk menolong semangat kebangsaan kita dari pemudaran dalam bentuk Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 setelah kemacetan di Konstituante untuk disusul dengan demokrasi terpimpin tetap tidak dapat menolong memudarnya nyala api nasionalisme itu.

Segala macam usaha seperti pemaduan berbagai ideologi dalam slogan Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) guna merangsang semangat kesatuan yang akan mendukung persatuan nasional dalam artinya yang dalam akhirnya hanya berkesudahan pada kemacetan ideologis yang dicoba diatasi dengan menciptakan ancaman bahaya dari luar, yaitu Nekolim (neokolonialisme) dan sebagainya.

Paham kebangsaan yang berwatak negatif yang dihasilkan oleh cara-cara untuk menolong keadaan itu, akhirnya tidak dapat menahan proses irelevansi itu. Setelah Orde Baru muncul, paham kebangsaan itu akhirnya disubordinasikan kepada sesuatu yang sama sekali tidak ideologis: pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi sebagai “kuasi ideologi” menghasilkan teknokrasi, yang secara umum memang “bebas ideologi”.

Bahkan dalam lingkungan nasionalisme yang bertradisi sangat kuat sekalipun, seperti India, dengan berbagai manifestasi ideologis dari paham kebangsaan yang agung, dari Satyagraha dan Swadeshi-nya Gandhi hingga militansi dan sosialisme demokrat yang dikembangkan Nehru, memudarnya ideologi itu tidak dapat dicegah.

Dalam tahun-tahun enam puluhan dan tujuh puluhan terlihat nyata sekali, bahwa komunalisme dengan segala pertikaian cabangannya memegang dominasi atas kehidupan politik India. Indira Gandhi dikalahkan oleh isu-isu sektarian, sementara Panai Janatha sebagai pemenang pemilihan umum justru lebih dikacau balaukan oleh komunalisme dalam berbagai bentuknya itu, seperti perbenturan antara kelompok industrialis pendukung Morarji Desai melawan kaum petani kaya.

Setelah memenangkan kembali pemilu, Perdana Menteri Indira Gandhi justru terbenam lebih jauh lagi ke dalam masalah-masalah komunalistik itu, sehingga tidak ada jalan lain kecuali menindak berbagai minoritas di India. dengan kesudahan dia sendiri dibunuh oleh para pengikut gerakan separatis Sikh.

Yang diwarisi oleh Rajiv Gandhi dari tradisi nasionalisme India yang agung di masa kakeknya tinggal satu bentuk manifestasi saja, yaitu kepemimpinan dalam Gerakan Non-Blok. Bahkan ada bahaya bahwa lompatan ke arah teknologi maju dan ilmu pengetahuan lanjut (advanced sciences) yang dikejamya justru akan lebih memudarkan ideologi agung.

Di Benua Afrika, keagungan tradisi kebangsaan dari Kwame Nkrumah segera disusul oleh kuatnya gerakan-gerakan separatis di satu pihak, dan kecenderungan teknokratik di pihak lain. Nigeria yang hanya sedikit melakukan pencarian ideologis di bawah Perdana Menteri Sir Abubakar Talawa Balewa, segera tertelan oleh perang saudara melawan Bialra, dan hingga kini secara ideologis masih banyak dirongrong oleh masalah-masalah sekunder.

Hanya di Angola dan Mozambik tekanan kepada ideologi terasa besar sejak kemerdekaan tercapai, dan akhir-akhir ini di Zimbabwe. Terobosan spektakuler Julius Nyerere di Tanzania untuk mengembangkan paham kerakyatan sebagai ideologi yang kuat, dengan gerakan u-jamaa yang dipopulerkannya ke seluruh dunia, akhirnya hanya sampai kepada kepudaran cahaya belaka.

Di Amerika Latin, tokoh-tokoh nasionalis seperti Kubitchek hanya dapat muncul sekali, untuk kemudian digusur oleh kudeta militer, sebagaimana halnya tokoh-tokoh sosialis seperti Allende. Masih menjadi pertanyaan apakah ideologi yang gamblang seperti sosialisme dapat memenangkan pertarungan damai melalui pemilu walaupun kemenangan Altonsin di Argentina dan Garcia di Peru masih memungkinkan munculnya situasi ideologis yang kuat.

Secara keseluruhan, kenyataan akan merosotnya kedudukan ideologi di kalangan negara-negara Amerika Latin. menunjukkan kenaikan peran kuasi ideologi seperti pragmatisme, teknokratisme, dan regionalisme (dalam arti ikatan regional antara beberapa negara menggantikan kedudukan paham kebangsaan yang kuat).

Merosotnya peranan ideologi di negara-negara dunia ketiga pada umumnya berlangsung cukup lama, yaitu sekitar dua dasawarsa. Banyak dilakukan percobaan dengan bentuk-bentuk baru pengaturan masyarakat, minimal dalam bentuk pengaturan kembali keseimbangan politik dalam negeri. Sebuah aliansi baru muncul secara merata di hampir semua negeri sedang berkembang, seperti antara kaum profesi, birokrat pemerintahan, dan militer.

Bahkan di India sekalipun, yang dianggap sebagai negara sedang berkembang paling demokratis dan konsisten kehidupan demokrasinya, kaum politisi kawakan digeser kedudukannya oleh aliansi internal dalam tubuh Partai Kongres (I) yang memerintah, antara kaum profesi dan birokrat pemerintahan.

Dan jelas sekali kaum militernya mendukung aliansi seperti itu, walaupun tidak campur tangan langsung dalam kehidupan politik. Persetujuan kepada aliansi kaum profesi-birokrat pemerintahan itu tertuang dalam dukungan terhadap program penciptaan industri militer yang semakin hari semakin kuat, dengan orientasi kepada ekspor senjata di kemudian hari.

Dalam aliansi seperti itu, dengan sendirinya kepentingan konkret akan rekayasa masyarakat guna mendukung program pembangunan ekonomi secara massif akan menggeser kedudukan ideologi yang selama masa sebelumnya merupakan tumpuan kehidupan politik. Contoh yang paling dekat sudah tentu adalah negeri kita sendiri, yang secara sadar atau tidak telah menurunkan “suhu ideologis” kehidupan politik kita secara drastis dalam masa sekitar satu dasawarsa, yaitu segera sesudah Orde Baru dicanangkan.

Pelbagai rekayasa masyarakat di berbagai bidang, dari kehidupan politik hingga pendidikan, sudah tentu tak akan dapat dilakukan, kalau tekanan terhadap ideologi terlalu mendapat tempat. Berbagai pendekatan substitutif ditampilkan, untuk menghilangkan ketergantungan tertalu tinggi kepada ideologi, dan dorongan berolahraga hingga terbentuknya kelompok-kelompok minat di kalangan remaja dalam berbagai bidang kehidupan.

Kekuatan partai-partai politik dengan ideologi-ideologi lama (seperti nasionalisme, sosialisme, Islam) dipotong, untuk digantikan dengan munculnya partai-partai politik baru dan organisasi politik Golongan Karya (Golkar) yang dengan sengaja ‘menunda untuk sementara’ pengembangan ideologis kehidupan politik kita secara keseluruhan.

Titik terjauh dari upaya itu adalah dihilangkannya ideologi-ideologi di luar Pancasila, melalui rekayasa “asas tunggal”. Namun seperti segera akan diuraikan selanjutnya, proses yang muncul pada akhirnya bukanlah matinya ideologi-ideologi, melainkan justru muncul re-ideologisasi dan re-tradisionalisasi yang kuat di hampir semua kawasan negara-negara sedang berkembang.

Kembali kepada ldeologi

Proses reideologisasi itu mengambil bentuk munculnya kecenderungan kuat untuk menggunakan ideologi sebagai sumber penggerak bagi kehidupan masyarakat. Orang tidak lagi puas dengan mekanisme serba positivistik yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dalam menjelaskan rangkaian tindakan orang banyak dalam kehidupan masyarakat. Ternyata rangsangan dan tekanan tidak menghasilkan rekayasa yang diharapkan, melainkan justru menambah benang kusut permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Dalam keadaan demikian, orang lalu “kembali pada ideologi”, seperti ketika berbagai kesan dan rasa tak menentu akibat semakin rumitnya hubungan masyarakat hendak dipotong dengan mengemukakan sebuah kerangka solidaritas yang kuat dan menonjol. Kecintaan kepada tanah air adalah salah satu bentuk munculnya solidaritas seperti itu, yang di negeri kita muncul beberapa tahun yang lalu dalam rupa “mengingat kembali Bung Karno“, dengan segala warna-warni nostalgik kepada presiden pertama kita itu.

Proses reideologisasi itu mengambil dua pola perkembangan utama. Di satu pihak, langkanya ikatan ideologis dan kuatnya kaitan kepada rekayasa teknokratik membawa kepada munculnya kecenderungan menampilkan semacam ideologi alternatif yang diambilkan dari berbagai sumber, nasionalisme masa lampau, agama, atau ikatan komunalistik (seperti ditampilkan oleh tuntutan kaum Sikh militan akan negara sendiri di India).

Rasa kebangsaan yang baru itu, walaupun tidak sekuat getaran nasionalisme di masa kejayaannya, cukup menggerakkan kekuatan-kekuatannya sendiri dalam kehidupan masyarakat, seperti komunalisme orang Melayu di Malaysia. Dalam munculnya reideologisasi itu, agama merupakan sumber utama, seperti dapat dilihat pada berbagai gerakan fundamentalistik dan militan dalam Islam, dan pada teologia pembebasan pada sejumlah aktivis Katolik di Amerika Latin.

Untuk melawannya, sistem kekuasaan yang harus menghadapi munculnya ideologi alternatif itu lalu membuat refleksinya sendiri atas ideologi formal yang telah diterima semula, dan dengan cara demikian menegaskan kembali arti ideologi yang sudah mapan.

Penemuan kembali ideologi yang sudah mapan, tetapi hampir dilupakan, merupakan manifestasi utama dari sejumlah negara berkembang, termasuk dengan munculnya kembali minat kepada dimensi-dimensi dan berbagai aspek Pancasila di negara kita. Penegasan kembali itu dilakukan dengan berbagai upaya untuk memantapkan ideologi yang sudah mapan itu, seperti terlihat dalam pelbagai penataran P4 dan Kewaspadaan Nasional di negeri kita saat ini.

Pola pemantapan ini memperlakukan ideologi sebagai sebuah keutuhan pandangan dan cita-cita, yang menghimpun semua kekayaan hidup bangsa dalam sebuah kekuatan dahsyat guna mempertahankan negara dan mencapai tujuan pembangunan ekonomi serba pragmatik yang sedang dijalankan.

Dengan demikian, ideologi negara mendapatkan kedudukan luar biasa kuatnya, dan biasanya dimantapkan dengan menggusur paham-paham lain dari posisi ideologi masing-masing. Paham pemikiran, agama, dan rasa kebangsaan diperkenankan untuk berkembang, tapi harus berada di luar kerangka ideologi formal negara.

Posisi seperti itu dengan sendirinya lalu membawa kepada kebutuhan menampilkan tradisi kultural yang telah ada, guna memungkinkan pemberian otentisitas kepada ideologi formal yang ada sebagai pengejawantahan nilai-nilai yang telah ada sejak dahulu. Kebangsaan dinyatakan dalam bentuk munculnya tradisi lama, yang coba dihidupkan dengan berbagai cara, seperti berbagai adat daerah yang dicoba untuk ditopang kelestariannya dengan berbagai cara.

Di pihak lain, proses reideologisasi muncul dalam bentuk sangat kultural, yaitu ketika serangkaian nilai oleh masyarakat dicoba disusun untuk membentuk ideologi yang lengkap dan utuh. Nilai-nilai Islam yang telah lama menjiwai kehidupan kaum muslimin di Indonesia, umpamanya, coba dihidupkan kembali secara bulat dan utuh, dan ini mau tidak mau lalu membawa kepada kebutuhan kerangka ideologis. Mungkin “ideologi”nya tidak berupa ideologi politik, melainkan ideologi kultural, seperti desakan untuk menciptakan masyarakat Islam yang “tuntas”, yang di dalamnya nilai-nilai Islam berkembang secara penuh tanpa penyimpangan atau distorsi apa pun.

Proses yang seperti ini juga memunculkan retradisionalisasinya sendiri, yaitu ketika tradisi masa lalu direkatkan dan dikaitkan satu sama lain dengan sebuah kerangka tradisi yang utuh, antara tradisi dan ideologi, walaupun hanya ideologi kultural, lalu terjadi kaitan simbiosis untuk saling mendukung dan saling menguatkan. Kasus jilbab beberapa waktu yang lalu, jelas sekali terkait dengan kecenderungan kuat kepada Islam sebagai “ideologi kultural” yang mulai muncul di negeri kita dalam tahun tahun belakangan ini.

Perjalanan waktulah yang akan mengungkapkan bagaimana kelanjutan interaksi antara kedua macam ideologi yang formal mantap dan yang kultural itu. Akan mampukah diramu kesadaran ideologis baru dari proses reideologisasi yang bersimpang jalan itu? Ataukah justru masalahnya akan ‘berkembang’ kepada sebuah kontrontasi terbuka, seperti terjadi di Amerika Latin, India (kaum Sikh melawan pemerintah pusat), dan Iran (reideologisasi Islam melawan reideologisasi keagungan Persia/Arya di masa lampau)? Sejarah jualah yang akan memberikan jawaban.