Timur Tengah: Panorama Pergolakan Tak Kunjung Berhenti

Foto: Theglobalreview https://theglobal-review.com/perang-tak-berujung-di-afghanistan/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam filsafat telah lama diterima ajaran tentang satu-satunya hukum tetap yang berlaku dalam kehidupan: tidak adanya ketetapan itu sendiri. Barangkali tidak ada tempat di mana ajaran ini dapat diterapkan lebih nyata daripada kawasan Timur Tengah, perubahan sebagai variabel tetap dalam kehidupan kawasan tersebut tampak menonjol, dengan segala manifestasinya dalam segala aspek kehidupan dan segenap akibat bagi konstelasi percaturan politik dunia. Ini dapat dilihat nyata dari perkembangan terakhir di Iran, pergolakan antara berbagai sekte Islam di Turki, dan tahap-tahap menentukan yang dilalui oleh prakarsa perdamaian antara Mesir dan Israel dewasa ini. Kalau seorang pengamat politik terkemuka menamai Afghanistan sebagai “kawah pertentangan”, maka kawasan Timur Tengah patutlah disebut sebagai panorama pergolakan yang tak kunjung berhenti.

Manifestasi yang nyata dari tema pergolakan yang berlangsung secara menetap ini dapat dilihat dalam dua kenyataan berikut: “fungsi” kawasan Timur Tengah dewasa ini sebagai wadah konflik ideologis antara negara-negara dan bangsa-bangsa yang mendiaminya. Konflik antara superpowers tampak nyata sekali peranannya dalam sengketa Arab-Israel yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Pada mulanya, sengketa yang terjadi adalah perbenturan kepentingan antara berbagai pihak, yaitu antara Inggris, Prancis, dan Uni Soviet, segera setelah usainya Perang Dunia II. Inggris yang mencoba mencari titik penyelesaian bagi keinginannya untuk tetap menguasai wilayah Palestina sambil dapat menampung aspirasi bangsa Yahudi yang tergabung dalam gerakan zionisme dan menginginkan berdirinya negara Israel, memandang dengan penuh kecurigaan kepada langkah-langkah Uni Soviet di utara Iran, di mana mereka mencoba mencaplok wilayah Azerbaijan. Inggris mendukung upaya Syah Iran Reza Pahlavi untuk memukul mundur pasukan-pasukan Rusia dari wilayah negaranya itu.

Upaya itu berhasil, dan sebagai akibatnya Uni Soviet lalu mengambil sikap menentang upaya Inggris untuk mencari penyelesaian di wilayah Palestina. Sikap ini terus dilanjutkan ketika sepuluh tahun kemudian Amerika Serikat mengambil pimpinan Dunia Barat (yang untuk kawasan Timur Tengah merupakan akibat dari kegagalan Inggris-Prancis untuk menundukkan Gamal Abdul Nasser dalam Perang Suez di tahun 1956). Setiap kesalahan langkah diperbuat pihak Barat dalam mengambil sikap mengenai kemelut demi kemelut yang terjadi di kawasan Timur Tengah dieksploitir oleh Uni Soviet untuk kepentingan sendiri, dan sedikit demi sedikit ia berhasil menancapkan pengaruhnya di kawasan itu.

Sebaliknya, pihak Barat pun tidak melalaikan kesempatan untuk mengkonsolidir pengaruh mereka melalui berbagai cara, termasuk ketekunan untuk mengusahakan tercapainya penyelesaian sengketa Arab-Israel secara damai, seperti terbukti dengan kesungguhan Presiden Carter untuk menjadi perantara dalam mempertemukan Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin. Kelengahan Rusia untuk mengakomodir aspirasi-aspirasi pragmatis dari Sadat sewaktu ia menegakkan kekuasaannya setelah Nasser meninggal dunia (bahkan Uni Soviet mendukung lawan utamanya, bekas Wakil Presiden Ali Sabri) dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk mendorong Sadat menempuh jalan baru bagi negerinya, seperti mengambil orientasi ekonomi baru yang berbentuk politik buka pintu bagi barang-barang luar negeri untuk memasuki pasaran Mesir.

Sebaliknya, sikap negara-negara yang menolak prakarsa perdamaian Sadat-Begin didukung oleh Uni Soviet, walaupun dukungan itu sendiri tidak berarti langkanya friksi bilateral maupun multilateral antara Rusia dan negara-negara tersebut. Bahwa campur tangan superpowers dalam sengketa Arab-Israel itu tidak hanya membawa akibat-akibat “praktis-operatif” belaka, tetapi membawa akibat-akibat lebih bersikap fundamental bagi kehidupan di kawasan Timur Tengah, terbukti antara lain dalam dua kali perubahan bentuk kenegaraan Suriah. Pada akhir tahun-tahun lima puluhan, ia melebur diri ke dalam fusi dengan Mesir dan Yaman Utara, yang dinamai Republik Arab Persatuan. Belasan tahun setelah fusi itu bubar, kini Suriah membentuk uni baru dengan Irak, entah dalam bentuk federasi atau fusi, kita belum lagi tahu.

Walaupun banyak unsur utama yang mendorong penyatuan Suriah dan Irak itu, seperti landasan ideologis berbentuk pan-arabisme yang dikandung oleh program jangka panjang Partai Ba’ath (yang berkuasa di kedua negara itu), tidak dapat disangkal bahwa eratnya hubungan Mesir-Amerika Serikat dan kekecewaan atas keanggotaan Uni Soviet untuk memberikan dukungan nyata yang penuh kepada sikap yang mereka ambil untuk menolak prakarsa perdamaian Sadat-Begin tentulah memainkan peranan tidak kecil dalam mendorong munculnya gagasan penyatuan Suriah-Irak itu sendiri. Penggandaan akibat (multiplier effect) perubahan-perubahan fundamental seperti ini jelas sekali memiliki pengaruh-pengaruhnya sendiri bagi perkembangan keadaan secara keseluruhan di kawasan tersebut, dan merupakan salah satu unsur utama dari pergolakan menetap yang terjadi di sana.

Di samping sengketa Arab-Israel, pengaruh campur tangan superpowers juga tampak nyata dalam sekian banyak konflik politik dan ekonomis yang terjadi antara sesama negara Arab sendiri. Perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam aliansi politis sepanjang sejarah perkembangan belasan tahun di kawasan tersebut, di samping kemelut dalam negeri beberapa negara seperti Lebanon, Yordania, dan Yaman, jelas menunjuk kepada kuatnya pengaruh superpowers itu dalam sengketa negara-negara Arab sendiri. Latar belakang historis, kultural, dan ideologi dari pertentangan tak berkeputusan antara mereka memang menunjuk kepada asal-usul lebih dalam yang tidak hanya bersifat politis belaka, tetapi tidak dapat dipungkiri peranan dari perebutan pengaruh antara superpowers sendiri untuk mendominir kawasan tersebut, setidak-tidaknya dalam mengeksploitir sebab-sebab historis, kultural, dan ideologis itu untuk kepentingan mereka sendiri. Sebagai contoh, serangan mendadak oleh angkatan udara Mesir atas pangkalan-pangkalan udara dan peluru kendali Libya dua tahun yang lalu, jelas menunjukkan kecurigaan Amerika Serikat atas motif pemberian bantuan militer yang ultramutakhir dari Uni Soviet kepada negara yang jelas belum mampu menggunakannya dengan baik. Serangan itu menghancurkan sekitar 80% kekuatan militer Libya dan membawa kepada ketegangan luar biasa antara kedua negara, yang mengakibatkan terurainya kembali hubungan ekonomis, administratif, dan kultural (terutama penggunaan tenaga pengajar Mesir di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Libya semenjak sepuluh tahun ini dalam skala masif) yang telah terjalin semenjak puluhan tahun, yang tampaknya sulit untuk diperbaiki dalam waktu beberapa tahun mendatang ini.

Penggunaan kawasan Timur Tengah sebagai wadah konflik antara superpowers juga tampak nyata dalam sengketa tak berkeputusan antara negara-negara Arab dan non-Arab yang mendiami kawasan tersebut. Sengketa Irak-Iran yang baru beberapa tahun ini saja dapat disudahi, selain bersumber pada kedengkian historis antara watak senofobis dari ideologi pan-arabismenya Partai Ba’ath di Irak dan kosmopolitanisme kaum ningrat yang memerintah Iran, juga mencerminkan perbatasan konfrontasi (frontier of encounter) pengaruh Rusia melawan pengaruh Amerika Serikat di wilayah “bulan sabit subur” (the fertile crescent) yang sangat vital bagi strategi hegemoni masing-masing superpowers. Sebagaimana Eropa Tengah merupakan perbatasan konfrontasi antara pasukan-pasukan NATO dan Pakta Warsawa dan merupakan wilayah strategis pertama yang harus direbut dalam suatu konflik bersenjata, maka wilayah “bulan sabit subur” yang meliputi negara-negara Lebanon, Suriah, Yordania, dan Irak merupakan kunci bagi penguasaan kawasan Timur Tengah secara keseluruhan (bahkan di zaman dahulu pintu bagi penguasaan dunia, seperti tercermin dalam penaklukan dan penjarahan yang dilakukan oleh Iskandar Yang Agung dari Macedonia).

Demikian pula konflik Arab-Turki yang tercermin dalam berbagai aspek hubungan mereka seperti dukungan negara-negara Arab kepada Siprus dalam sengketanya dengan Turki, hambatan-hambatan administrasi yang berlebihan dalam arus lalu-lintas barang dan manusia antara perbatasan Turki-Suriah dan Turki-Irak, sebagai akibat perlawanan bangsa-bangsa Arab terhadap pemerintahan Dinasti Usmaniyah (Ottoman empire) Turki yang menjajah mereka dan akibat pandangan rendah dari sekularisme Turki yang ditujukan kepada fanatisme hipokrit yang diperlihatkan bangsa-bangsa Arab kepada agama Islam. Tetapi kembali menjadi eksploitasi rasa permusuhan dan saling merendahkan itu bagi kepentingan superpowers, yang terbukti dari membaiknya hubungan Arab-Turki setelah pemerintahan nasionalis Turki mampu meningkatkan hubungan bilateralnya dengan Uni Soviet.

Di samping konflik antara superpowers dalam memperebutkan hegemoni di kawasan Timur Tengah (yang tak lama lagi tentu akan tambah diramaikan pula oleh kehadiran Republik Rakyat Cina minimal, sebagai “penganggu” atau spoiler bagi Rusia), perkembangan di kawasan tersebut juga diwarnai oleh pertentangan ideologis di antara nasionalisme, marxisme, dan monarki absolut. Pada saat ini pertentangan baru mulai muncul pula, yang jelas akan sangat mewarnai perkembangan di masa depan, yaitu konfrontasi antara kesemua ideologi di atas dengan fundamentalisme Islam, baik secara terselubung seperti di Tunisia, Mesir, dan Irak; maupun secara terbuka seperti di Iran.

Perbenturan itu tadinya bersifat argumentatif belaka, dan dapat ditelusuri dengan mudah. Partai-partai nasionalis di Maroko, Aljazair, Mesir, Suriah, dan Irak telah memainkan peranan penting untuk merebut kemerdekaan, setidak-tidaknya kedaulatan nominal bagi negara masing-masing dari tangan penjajah. Pimpinan pemerintahan waktu itu dikendalikan golongan elite yang berorientasi budaya “serba Barat”, dengan penggunaan slogan-slogan demokrasi, kedaulatan wilayah, dan harga diri bangsa sebagai alat ideologis untuk mencakup semua lapisan masyarakat. Partai-partai seperti Wafd di Mesir dan Istiqlal di Maroko merupakan perwujudan dari nasionalisme itu. Perkembangan kemudian berubah dengan munculnya beberapa gerakan baru, seperti munculnya gerakan sosial-demokrat di Turki dan beberapa negara Arab.

Marxisme yang melandasi pandangan ideologis mereka, betapa demokratnya sekalipun membawakan warna baru dalam kancah kehidupan politik di Timur Tengah: sistem pemerintahan satu partai, atau setidak-tidaknya dominasi satu partai atas keseluruhan cakupan kehidupan politik sesuatu negara. Gerakan ini bersama-sama munculnya secara relatif dengan gerakan-gerakan marxis yang radikal, seperti munculnya gerakan Opsir Merdeka yang memunculkan Nasser dan kawan-kawan di Mesir dan FLN di Aljazair, munculnya sayap militer dari ideologi pan-arabika yang dibawakan oleh Partai Ba’ath di Suriah dan Irak, serta munculnya pula gerakan-gerakan kiri radikal di Lebanon dan Yaman (yang berkesudahan pada berdirinya negara Yaman Selatan yang terpisah dari Republik Yaman, yang sekarang juga biasa disebut Yaman Utara). Munculnya pemerintahan militer di Libya di bawah pimpinan Mu’ammar Qaddafi, yang berpegang pada doktrin “ekspor revolusi” yang telah dikawinsilangkan dengan ideologi Islam fundamentalis, fenomena mana di kalangan sementara pengamat diberi julukan “radikalisme kiri-kanan” (kiri dalam retorika dan metode yang dipakai, kanan dalam aspirasi politisnya).

Pada saat yang bersamaan dengan kesemua perkembangan nasionalisme lama yang kemudian digantikan oleh berbagai jenis ideologi kiri yang radikal dan moderat itu, ideologi monarki absolut juga mengalami perkembangan sendiri. Baik melalui sistem kepartaian (seperti Maroko dengan partai tunggalnya ataupun Yordania yang bersifat multipartai) maupun tanpa partai (seperti di Saudi Arabia), monarki absolut mengalami proses konsolidasi dengan semakin kuatnya monarki itu sendiri di berbagai negara dan tersingkirnya monarki yang lemah (seperti di Mesir, Irak, Libya, dan Yaman). Dengan ditunjang oleh kekuatan baru yang dibawakan oleh petro dollar yang mengalir ke tempat mereka (seperti di Saudi Arabia, Kuwait, dan negara-negara Teluk Persia yang lainnya) atau oleh kemahiran melakukan penyesuaian yang sekadar dianggap perlu (rujuk politik dengan PLO oleh Raja Husein di Yordania dan identifikasi dengan gerakan Non-Blok oleh Raja Hassan di Maroko), monarki absolut tampaknya masih sanggup bersaing dengan berbagai ideologi marxis yang berkembang di kawasan Timur Tengah untuk jangka waktu yang dapat diperkirakan di masa depan ini, walaupun kita tidak boleh mengabaikan kekuatan berupa gerakan yang bertujuan menghalau monarki (seperti oposisi bawah tanah di Maroko yang dikendalikan oleh serikat buruh kiri yang kuat).

Gerakan Islam fundamentalis (sebuah penamaan yang membingungkan dan seringkali tidak tepat untuk mengidentifisir kelompok-kelompok yang tergabung di dalamnya tetapi sudah terlanjur digunakan secara luas, yang menggambarkan pula sampai seberapa jauh proyeksi luar mempengaruhi proses identifikasi diri sendiri di kawasan Timur Tengah) muncul sebagai kelanjutan dari pan-islamisme yang dipelopori semenjak abad kesembilan belas oleh Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Walaupun sebagai gerakan ia telah mengalami beberapa pukulan berat (seperti pembunuhan dan hukuman mati atas diri para pemimpin gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir di masa pemerintahan Raja Farouk dan

Presiden Nasser), sebagai ideologi ia masih bertahan untuk terus hidup, melalui serangkaian proses penyesuaian dengan kebutuhan keadaan. Di Turki ia mengambil bentuk gerakan kebangunan agama sebagai penyelamat bangsa dari keporak-porandaan hidup sebagai akibat pemerintahan sekularistis yang ditegakkan oleh Kemal Attaturk. Dukungan gerakan kebangunan agama ini telah memenangkan beberapa partai dalam serangkaian pemilihan umum selama waktu tiga dasawarsa ini.

Di Mesir, gerakan kebangunan agama ini telah menolong Sadat dalam perjuangannya mengalahkan kelompok-kelompok kiri radikal. Di Lebanon, gerakan kebangunan Islam melahirkan beberapa jenis gerakan, dari kelompok militan yang ingin mengakhiri dominasi Kristen kanan atas pemerintahan hingga kelompok yang mengambil langkah-langkah konkret untuk mencapai rekonsiliasi dengan umat Kristen. Di Suriah dan Irak, gerakan Islam merupakan oposisi tersembunyi – yang melawan pemerintahan militer satu partai yang mereka nilai sebagai sekuler dan bahkan ateistis. Walaupun kekuatan mereka sangat kecil dan secara efektif dapat diisolir dari arus umum kehidupan masyarakat, tetapi ia memiliki potensi untuk berkembang nantinya menjadi kelompok “penegak demokrasi” kalaupun golongan kiri radikal yang berkuasa gagal mencarikan saluran bagi aspirasi-aspirasi demokrasi yang bagaimana pun tidak dapat dibendung munculnya. Dukungan pemerintah di Kuwait dan Saudi Arabia menetralisir kemungkinan perlawanan gerakan keagamaan terhadap monarki absolut, setidak-tidaknya selama belum dimungkinkan munculnya kelompok opsir kiri radikal seperti Qaddafi dan kawan-kawannya di Libya.

*****

Dari latar belakang penggambaran Timur Tengah sebagai kawasan wadah konflik antara superpowers dan konflik ideologi intern yang terjadi di sana, jelaslah bahwa pergolakan memang merupakan watak utama dari perkembangan keadaan selama beberapa dasawarsa ini. Walaupun pada permukaannya pergolakan itu berwajah politik, tetapi di bawah arus permukaan itu dapat ditemukan latar belakang yang lebih mendasar sifatnya, baik yang berwatak sosial-ekonomis maupun sosial-budaya. Tinjauan sepintas lalu atas stratifikasi sosial di Timur Tengah sudah cukup untuk menunjukkan betapa mendasarnya pergolakan yang terjadi di sana. Secara umum, dapatlah diambil gambaran yang dikemukakan oleh sosiolog Belanda, Nieuwenhuis, dalam satu dari beberapa tulisannya tentang sosiologi Timur Tengah: bangunan masyarakatnya berbentuk kerucut yang tajam. Di puncaknya bersemayam raja atau kepala pemerintahan, di bawahnya sejumlah kecil elite terpelajar didikan Barat (baik yang moderat dan pro-Barat maupun yang tidak puas dengan sikap itu dan menjadi militan dan anti-Barat), keduanya didukung oleh sejumlah kecil kelas menengah non-pribumi (Yunani di Mesir, Italia di Libya, Armenia di Lebanon, Palestina di Yordania, Prancis-Colon di Aljazair sebelum kemerdekaan, Melayu-India/Pakistan-Yaman di Saudi Arabia) yang menguasai perniagaan, industri, dan dunia keuangan.

Di bawah golongan ini, dalam jumlah lebih besar, adalah kelas terdidik yang tinggal di kota-kota tetapi tidak memperoleh pekerjaan yang layak, diikuti di bawahnya oleh mayoritas berupa penduduk yang tinggal di perdesaan dengan keadaan menyedihkan (sebagian kecil menjadi petani pemilik sawah yang cukup luas, sebagian lebih besar petani dengan sawah sangat sempit, dan terbesar petani penggarap yang tidak memiliki sawah atau buruh tani yang tidak memiliki tanah garapan). Yang memimpin mereka adalah birokrasi yang tidak mau tahu dengan keadaan mereka di satu pihak, dan pimpinan agama di pihak lain. Dalam keadaan golongan menengahnya yang kuat adalah pribumi, mereka merasa tidak puas terhadap elite yang memerintah karena alasan keagamaan (di Iran elitenya dianggap dikuasai oleh Bahaisme yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam oleh kelas menengah), atau karena sebab-sebab kultural (di Tunisia, elitenya dianggap kehilangan identitas Arab dan terlalu francophile).

Langkanya kelas menengah pribumi (atau ada kelas itu, tetapi dengan keluhan sangat besar yang ditujukan ke alamat elite) membuat mudah sekali berkembang gagasan-gagasan radikal di kalangan penduduk wilayah perkotaan. Inilah yang menerangkan mengapa nasionalisme moderat tidak mampu bertahan terhadap serangan-serangan ideologi-ideologi radikal, baik dari kiri maupun dari kanan. Polarisasi dan sektarianisme menjadi ciri pokok dalam kehidupan pergerakan di kawasan Timur Tengah, dan ini tercermin antara lain dalam mudahnya terjadi perubahan-perubahan aliansi politis antara golongan yang berbeda-beda, yang sekaligus juga menunjukkan langkanya identitas diri di kalangan bangsa-bangsa di sana. Identitas yang tampaknya mengikat warga sesuatu bangsa hanyalah persamaan ras dan kebanggaan historis akan kejayaan masa lampau, sedangkan identitas kawasan barulah sampai pada tingkat kebanggaan akan peranan kawasan tersebut dalam percaturan dunia di masa lalu dan sekarang. Tetapi identitas diri serba terbatas itu diiringi pula oleh kehadiran kompleks rasa rendah diri yang dicoba ditutup dengan gaya ekspresi yang flamboyan dan fanatis kepada peranan “untuk” mereka dalam sejarah.

Stratifikasi masyarakat yang diuraikan di atas membawakan pula sebuah akibat lain yang bersifat mendasar: tidak samanya identitas kultural antara lapisan masyarakat yang berbeda-beda. Pada kasus Iran, kelas elite memiliki identitas kosmopolitan dalam kehidupan mereka: tidak terlalu mementingkan soal-soal spiritual, tidak terlalu mementingkan sentimen-sentimen kebangsaan, menganggap kekuasaan sebagai hak wajar mereka, dan seterusnya. Pada kelas menengah, kebalikannya yang terjadi: nasionalisme yang sangat sempit (mengarah kepada xenofobia), keterikatan sangat kuat dengan aspirasi dan lembaga-lembaga keagamaan, dan militansi yang timbul dari mereka yang merasa dilalimi pemegang kekuasaan. Kedua identitas kultural yang saling berlawanan inilah yang sebenarnya mendasari pergolakan yang terjadi di Iran sekarang ini, yang belum dapat diperkirakan hasil akhirnya. Kesenjangan identitas kultural seperti itu pula yang menjadi latar belakang ledakan amarah pemuda dan mahasiswa dalam demonstrasi yang merusak toko-toko di Kota Tunis awal tahun lalu.

Krisis identifikasi itu mengambil bentuk bermacam-macam, sebagai katalisator untuk menyalurkan frustrasi kolektif dalam isu yang konkret, seperti pertentangan bersenjata antara kaum muslimin Sunni “berhaluan kanan” melawan kaum Syi’i “berhaluan kiri” di berbagai kota di timur Turki akhir tahun lalu, yang menutupi kesenjangan identitas antara kedua kelompok masyarakat dari strata sosial yang berbeda-beda. Pertentangan ras (seperti di Lebanon), agama (seperti kejadian di Turki itu), bahasa (antara mereka yang arabophile dan mereka yang francophile di Tunisia), ekonomi (antara kelas menengah Palestina dan elite “pribumi” di Yordania), dan politik (seperti antara kaum nasionalis gaya lama dan kelompok-kelompok marxis yang militan di berbagai negara), kesemuanya itu memiliki latar belakang kultural yang sama berupa lemahnya identitas diri yang menyatukan mereka dalam konteks kehidupan yang satu kerangkanya. Masalah identitas ini menjadi semakin dipertajam oleh cepatnya berlangsung proses perubahan di kawasan tersebut. Bergesernya kekuatan ekonomi dari Lembah Nil ke Jazirah Arabia karena pengaruh petro dollar dapat dijadikan contoh.

Di masa sebelum Perang Dunia II Mesir merupakan kekuatan ekonomi tersendiri di kawasan Timur Tengah, berkat ekonomi agraris yang memiliki tenaga kerja yang berlimpah-limpah dan mulainya tumbuh industri sedang dan primer di kota-kota besarnya. Tetapi biaya peperangan birokrasi yang membengkak dan ledakan penduduk akhirnya membuat kekuatan ekonomi Mesir menyusut secara drastis dalam masa dua dasawarsa saja. Tenaga terlatih dan setengah terlatih yang dimilikinya sulit menemukan penyaluran dalam bentuk lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian dan kebutuhan hidup mereka. Sedangkan pada waktu yang bersamaan muncul kekuatan ekonomi baru di Jazirah Arabia, berkat semakin meningkatnya harga minyak bumi. Penyerapan kelebihan tenaga terlatih dan setengah terlatih Mesir di negara-negara Saudi Arabia, Kuwait, Persatuan Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Libya (sebelum terputusnya hubungan bilateral antara kedua negara) ternyata tidak mampu mengimbangi produksi tenaga terlatih dan setengah terlatih yang terus meningkat tiap tahunnya, sehingga selamanya masih ada tersisa sejumlah tenaga kerja terdidik yang tak tersalurkan dengan baik. Friksi antara mereka yang tersalur dan tidak tersalur ke luar negeri lambat laun tumbuh menjadi kesenjangan identitas antara kedua kelompok itu.

Di samping perubahan-perubahan ekonomi yang berlangsung secara cepat, masalah identitas itu semakin tajam juga oleh perubahan-perubahan cepat dalam kehidupan kultural yang terjadi selama tiga puluh tahun terakhir ini. Mesir dan Lebanon umpamanya, semenjak puluhan tahun yang lalu memegang supremasi di bidang kebudayaan di kalangan bangsa-bangsa Arab di abad modern ini. Kehidupan intelektual kawasan Timur Tengah hampir seluruhnya ditentukan oleh kehidupan budaya kedua negara tersebut. Tetapi perubahan cepat dalam kehidupan politik memberi bekas-bekasnya sendiri. Karena Lebanon tetap berpegang pada orientasi budaya serba kosmopolitan dengan pemberian tekanan pada pengembangan seni bebas (liberal arts), sedangkan pemerintahan sosialistis Mesir di masa Presiden Nasser mengutamakan indoktrinasi marxistis dengan akibat pengarahan sesisi atas kehidupan budaya, dengan sendirinya lalu terjadi kesenjangan dalam orientasi budaya kedua bangsa, yang menimbulkan akibat-akibat tidak kecil pula bagi kehidupan budaya di semua negara-negara Arab. Ternyata perkembangan tidak berhenti sekian saja, karena segera datang perubahan lain secara cepat pula, yaitu berubahnya orientasi budaya di bawah pemerintahan Sadat. Dengan demikian, terjadi proses pembalikan yang cukup ironis. Kekacauan kehidupan di Lebanon akhirnya membawa Mesir kepada kedudukan memimpin kehidupan budaya liberal, sebagai ganti kedudukan yang dipegang Lebanon selama ini. Sedangkan petro dollar yang mengalir ke Irak dan buah jerih payah mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya ke Mesir dan Lebanon semenjak tahun-tahun empat puluhan telah memberikan buahnya sendiri, yaitu munculnya sentrum baru kebudayaan Arab di Lembah Mesopotamia, dengan orientasinya yang militan dan sosialistis.

Belum dapat dipastikan bagaimana pengaruh pembalikan orientasi budaya di negara-negara Arab itu atas kehidupan budaya di Turki dan Iran, yang bagaimana pun juga tidak dapat lepas begitu saja dari semua perkembangan itu. Sastra Persia memiliki jaringan sangat erat dengan sastra Arab di masa lampau, dan jalinan itu tentu memberikan pengaruhnya sendiri pula atas perkembangan budaya di Iran. Sedangkan kesadaran beragama yang secara pasti semakin meluas di kalangan budayawan Turki mau tidak mau akan membuat mereka harus berpaling terhadap kehidupan budaya bangsa Arab. Ini terbukti antara lain dari proyek bibliografi semesta tentang sastra Arab, yang dahulu dirintis oleh Carl Brockelman dari Leipzig dengan karyanya yang terkenal, Gesthichte der Arabischen Literatur, yang dari waktu ke waktu diperbaharui dengan suplemen yang berisi anotasi singkat karya-karya yang baru muncul tentang sastra Arab. Usaha itu kini dilanjutkan justru bukan oleh orang-orang Arab, melainkan oleh sarjana Turki Fuad Sezgin. Sebagai akibatnya muncullah edisi Turki dari suplemen Sezgin, yang mau tidak mau akan sedikit mengalihkan pandangan para budayawan Turki sendiri kepada kebudayaan Arab.

Sedangkan proses arabisasi karya-karya klasik Persia dan Turki (seperti puisi Hafiz dan al-Rumi) yang sudah berjalan hampir seperempat abad lamanya, tentu akan berkembang menjadi pengenalan lebih akrab akan sastra modern kedua negara itu di kalangan bangsa-bangsa Arab, terlebih dengan perubahan politik di Turki dan Iran yang akan semakin mendekatkan hubungan keduanya dengan negara-negara Arab. Dapat diperkirakan akan muncul aliansi budaya baru di kawasan Timur Tengah sebagai akibat perubahan politik itu. Kalau pemerintahan kiri radikal yang muncul di Iran, aliansi budaya baru itu akan tumbuh antara Suriah, Irak, dan Iran; kalau pemerintahan yang muncul nanti condong kepada fundamentalisme Islam, lebih mungkin aliansinya dengan Mesir. Realiansi itu bagaimana pun juga akan membawa pengaruh kepada upaya penemuan identitas umum di kawasan tersebut, entah pengaruh negatif (jika realiansi itu semakin membuat parah polarisasi liberal lawan marxis di kalangan negara-negara Arab), entah pengaruh positif (dalam hal realiansi itu justru membuahkan upaya bersungguh-sungguh untuk menjembatani kesenjangan identitas kultural yang ada sekarang ini).

Dislokasi sosial-ekonomis dan sosial-budaya yang diakibakan oleh perubahan-perubahan cepat itu, yang minimal dapat diamati dalam kerapuhan identitas kultural yang bersifat umum, sudah tentu pada akhirnya membawa kepada kebutuhan nyata untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian yang dianggap perlu. Alternatifnya tidak lain akan berupa fragmentasi lebih lanjut, dengan segala akibatnya yang sulit diperkirakan, terlebih-lebih mengingat saling ketergantungan yang mengikat kesemua bangsa dan negara di kawasan Timur Tengah itu. Proses itu pada waktu akhir-akhir ini telah dimulai, walaupun sebenarnya ia juga bermula dari perkembangan masa lalu, seperti benih-benih regionalisme yang ditanamkan oleh ideologi pan-arabik dari Partai Ba’ath sebagaimana dikumandangkan oleh para pendirinya seperti Michel Aflag dan Salah Bitar semenjak awal tahun-tahun lima puluhan. Proses penyesuaian yang bersifat integratif itu, kalau diamati dengan teliti, mengambil bentuk utama berupa aplikasi pragmatis dari ideologi-ideologi besar di kawasan tersebut dalam pengembangan budaya politik baru di masing-masing negara, yang umumnya dijadikan bagian dari proses pembangunan nasional yang direncanakan (planned national development).

Aplikasi ideologi pertama adalah dari monarki absolut, yang dicoba dikembangkan untuk menjadi monarki populis di mana aspirasi rakyat di bidang pemenuhan kebutuhan pokok dan akselerasi pengembangan kecerdasan bangsa mendapat prioritas utama. Modernisasi “non-ideologis” dilakukan di semua aspek kehidupan, terutama dalam pelayanan kepentingan umum yang bersifat teknis. Jaminan lapangan kerja, jaminan kesehatan, penyediaan penerangan dan sarana komunikasi dan angkutan yang memadai, kesempatan pendidikan yang sangat luas, pemeliharaan tingkat hidup cukup menyenangkan (sustaining comfort), dan keterbukaan parsial (controlled introduction) bagi manifestasi kebudayaan asing, kesemuanya itu diharapkan akan membawa lompatan kualitas hidup bangsa secara menyeluruh tanpa membawa kegoncangan politis yang dapat membahayakan kelangsungan monarki absolut itu sendiri. Sikap mengayomi kepada kebutuhan rakyat kecil itu mengingatkan kita kepada munculnya para raja penyantun (benevolent monarchs) dari masa lalu Eropa yang akhirnya harus mengakui kekalahan dalam bentuk direduksirnya monarki absolut itu sendiri menjadi monarki konstitusional di Eropa Barat dewasa ini. Perkembangan ini sangat menarik untuk diikuti dengan saksama, karena ia merupakan usaha terakhir dalam konteks regional untuk menyelamatkan monarki absolut, atau katakanlah untuk secara minimal mencegah digulingkannya monarki itu sendiri.

Proses aplikasi praktis dari ideologi yang kedua adalah munculnya nasionalisme pragmatis di Mesir, Sudan, Yaman Utara, dan Turki. Nasionalisme ini, yang di kawasan lain diidentifisir sebagai “nasionalisme pembangunan” (developmental nationalism), adalah kelanjutan dari nasionalisme lama yang oleh perkembangan masa telah menyerap unsur-unsur sosialisme yang moderat, menumbuhkan semacam kematangan pada nasionalisme itu sendiri. Bukti daripada sikap ini antara lain dapat dilihat pada keteguhan hati Sadat untuk mengawinkan kepentingan nasional Mesir dan solidaritas pan-arabik dalam paket usulnya bagi penyelesaian sengketa Mesir-Israel secara damai.

Keengganan untuk memaksakan kebijakan autarkis yang mengabaikan pola peningkatan konsumsi rakyat adalah contoh juga dari kematangan upaya menyesuaikan pembangunan ekonomi yang disentralisir (centrally planned development) kepada kenyataan-kenyataan praktis yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seperti permintaan semakin meningkat akan perbaikan kualitatif dan diversifikasi pola konsumsi. Walaupun dalam beberapa aspeknya ia memiliki persamaan dengan “kuasi-ideologi” teknokrasi yang berkembang di Asia Tenggara, tetapi dalam aspirasi-aspirasi nasionalistisnya mempunyai dimensi yang lain sama sekali. Impuls-impuls regional pada nasionalisme baru ini sangat kuat, sehingga sulit sekali sebenarnya untuk mengkategorisir ideologi ini sendiri kepada nasionalisme. Oportunisme politik yang menjadi watak utama nasionalisme telah diganti oleh kesadaran akan saling kebergantungan regional. Lebih tepatlah kalau nasionalisme baru di Timur Tengah ini untuk digolongkan kepada apa yang secara samar-samar tersirat pada gagasan pembentukan ASEAN, sehingga benarlah penamaan seorang komentator Mesir atas gejala ini sebagai “regionalisme nasionalistis”.

Lawan utama dari nasionalisme lama di Timur Tengah adalah pan-arabisme, yang kini diwakili oleh Aljazair, Suriah, Irak, dan Yaman Selatan. Militansi akan kesadaran nasib bersama sebagai nasion Arab yang satu, kini secara berangsur-angsur juga mengalami proses penyesuaian dengan keadaan, sehingga pragmatisme juga mulai turut mewarnai aplikasinya dalam konteks nasional di keempat negara tersebut. Impuls-impuls populis yang diperolehnya dari pola pemikiran sosialistis dikawinkan dengan pengembangan watak mandiri secara meluas, melalui pilihan-pilihan strategis sasaran pembangunan yang dituju. Pengembangan koperasi-koperasi di daerah perdesaan yang dikombinir dengan proses industrialisasi secara bertahap (ringan, untuk kemudian ditekankan pada industri berat), membawakan watak manusiawi pada pola pembangunannya, hal yang tidak terdapat dalam pan-arabisme masa Nasser di Mesir, umpamanya. Pan-arabisme gaya baru ini, walaupun memiliki watak utama berupa penekanannya atas pengembangan solidaritas Arab, secara perlahan-lahan tetapi pasti mulai memunculkan sejumlah mekanisme politik baru untuk mengakomodir kepentingan nasional masing-masing dalam sebuah perimbangan sangat cair (fluid balance) yang kini belum lagi dapat diketahui dimensi-dimensinya. Diharapkan akomodasi ini akan mampu memelihara kredibilitas ideologi pan-arabisme itu sendiri pada tingkat nasional masing-masing negara.

Aplikasi ideologi ketiga pada perkembangan keadaan dapat dijumpai pada kasus sosialisme-demokrat di Tunisia. Sekularisme yang dahulu menjadi bagian inheren (tetapi tak dirumuskan secara jelas dan terbuka, melainkan terbersit dalam alienasi kultural) dari ideologi ini di negara-negara kawasan Timur Tengah, kini telah mengalami masa pendewasaan dalam bentuk pemberian tempat cukup besar kepada aspirasi-aspirasi keagamaan dan tradisi. Pengalaman pahit larangan implisit Bourgoiba untuk berpuasa di bulan Ramadan bagi buruh, tentara, polisi, dan pegawai negeri di tahun 1960-1962 menimbulkan perlawanan kultural cukup besar untuk memaksa pemerintah Tunisia untuk mengubah orientasi budayanya. Modernisasi yang dijalankan dengan demikian memperoleh warna nyata dari penyesuaian kepada aspek-aspek tradisional sampai tingkat tertentu yang cukup besar.

Kasus sosialisme-demokrat yang mendewasakan diri ini juga menarik untuk diamati, karena ia mungkin akan berkembang di Iran dalam waktu tidak lama lagi, jika memang anti-fundamentalisme Islam dan gerakan kiri radikal tidak berhasil menemukan pola penguasaan keadaan yang cukup memuaskan sepeninggal Syah Reza Pahlavi. Tetapi keadaan di Iran belum dapat diperkirakan akan mengambil bentuk apa, semuanya baru dalam taraf kemungkinan. Demikian pula perkembangan keadaan di Lebanon dan Libya. Di Lebanon, segala sesuatunya tergantung kepada sistem budaya politik sebagaimana yang disepakati bersama untuk menemukan rujuk sosial, sedangkan di Libya perkembangan masa depan masih belum dapat dipastikan akan seperti sekarang warna ideologisnya jika Muammar Qaddafi digantikan orang lain.

Dari semua hal yang diuraikan di muka dapatlah disimpulkan bahwa pergolakan hangat dengan intensitas ideologi tinggi merupakan watak hidup menetap di kawasan Timur Tengah, yang baru akan berakhir dengan menetapnya bentuk-bentuk penyesuaian ideologis yang dikemukakan di atas. Menunggu tahap itu, pergolakanlah yang menjadi hukum panorama pandangan kawasan yang sangat vital bagi percaturan perkembangan dunia itu.