Mencari Perspektif Baru dalam Penegakan Hak-Hak Asasi Manusia

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid [1]

I

Untuk berterus terang, masalah-masalah hak-hak asasi manusia semakin lama semakin menjemukan untuk diperbincangkan di negara-negara sedang berkembang. Kenyataan yang ada secara sinis menunjuk kepada hal-hal tidak menggembirakan yang berlangsung di mana-mana di seluruh dunia. Kegairahan pemerintahan Presiden Carter untuk membuat promosi HAM sebagai salah satu tulang punggung politik luar negerinya kini ternyata telah mengendor. Sebagian karena upaya sistematisasi sebuah kebijaksanaan menyeluruh yang menyangkut HAM membutuhkan pengendapan pemikiran dan penyederhanaan permasalahan itu sendiri (guna memungkinkan penyusunan yang lebih mantap bobotnya, tetapi lebih jauh jangkauannya), seperti tampak dalam upaya merumuskan kriteria yang lebih matang lagi guna meletakkan negara-negara di seluruh dunia dalam kategori “pemenuhan hak-hak asasi manusia” yang lebih realistis dan lebih terasa impaknya; sebagian lagi karena kenyataan pahit dalam hubungan internasional memaksakan kesulitan-kesulitan luar biasa untuk tetap taat asas (konsisten) kepada kehendak semula.

Dalam waktu hanya beberapa tahun saja “perjuangan” HAM yang dicanangkan Carter itu sudah jarang terdengar lagi gemanya. Secara ironis kita dihadapkan kepada perkembangan yang mencengangkan: segera setelah Carter mundur dari kebijaksanaan semula untuk menyudahi kehadiran berarti pasukan-pasukan Amerika Serikat di Jazirah Korea, sebuah putusan yang berarti pukulan berat bagi aspirasi perjuangan HAM di sana, Park Cung Hee terbunuh dan bentuk pemerintahan yang lebih longgar mulai berkembang di Korea Selatan; sedangkan karena pembelaannya kepada masa lampau bekas Syah Iran yang penuh penindasan, kini Carter dihadapkan pada dua hal yang saling bertentangan: yaitu tidak berdayanya Amerika Serikat menangani masalah penyanderaan warganya di Teheran, dan kenyataan bahwa dakwaan (klaim) para mahasiswa Iran akan penggunaan para diplomat sebagai mata-mata negara lain (sebuah pelanggaran kedaulatan di samping pelanggaran HAM bangsa Iran untuk tidak dimata-matai, katakanlah semacam freedom from being spied on) memiliki validitasnya sendiri.

Yang lebih ironis lagi, dalam hanya beberapa tahun saja penguasa-penguasa represif dengan cepat mampu mengembangkan perlawanan terhadap asumsi-asumsi yang melandasi kebijaksanaan HAM yang dilancarkan Carter. Secara pasti Ferdinand Marcos naik ke mimbar sebuah forum internasional di bidang HAM dan menyuarakan “aspirasi” keadilan ekonomi dalam skala internasional sebagai prasyarat bagi tercapainya perlakuan berperikeadilan bagi warga negara secara perseorangan. Dengan lantang seorang menteri luar negeri sebuah negara berkembang mengajukan klaim negerinya sebagai wadah perjuangan kemanusiaan: “Walaupun ada penangkapan sementara tahanan politik di tempat kami, tetapi pemerintah kami dengan gigih memperjuangkan terwujudnya Orde Ekonomi Internasional Baru sebagai kerangka umum perjuangan kemanusiaan.” Seolah-olah pencanangan HAM sebagai bagian politik luar negeri Amerika Serikat justru menjadi vaksinasi anti-HAM: berikan dalam dosis kecil, ia akan melawan penyakitnya.

Gambaran sekilas yang mengecilkan hati ini adalah apa yang tampak di permukaan dari sebuah proses besar yang tengah berlangsung dalam perjuangan HAM di seluruh dunia. Proses penetapan kembali tujuan, sasaran, dan garapan perjuangan itu sendiri, dan dalam kapasitas lain yang lebih bersifat melengkapi (complementary), menetapkan landasan-landasan yang lebih kokoh baginya. Mungkin yang paling jauh dapat disepakati saat ini adalah perlunya menciptakan kesadaran massif di kalangan rakyat di negara-negara yang berpemerintahan totaliter dan semi-totaliter akan hak-hak mereka yang fundamental sebagai manusia. Hanya dari sudut pandangan seperti inilah baru dapat dimengerti kegunaan perjuangan mahasiswa di satu-dua negara berkembang untuk menumbangkan rejim
militer setempat dan pembelaan para pejuang HAM untuk membela mereka di muka sidang pengadilan dalam selimut “bantuan hukum”. Secara politis, tindakan para pembela mahasiswa itu hanya akan membawa kepada semakin ketatnya cara kerja aparat keamanan atas kerugian masyarakat secara umum; di pihak lain hanya akan menghasilkan pahlawan-pahlawan sensasional kecil yang memprodusir pembelaan pleidoi berjudul hebat-hebat sebagai “sumbangan literatur” perjuangan HAM itu sendiri. Secara kultural, ia adalah bagian inheren dari proses penciptaan kesadaran yang dimaksudkan di atas, jadi memiliki validitasnya sendiri.

Tidak heranlah jika dalam proses pencarian bentuk menetap bagi perjuangan HAM itu sendiri lalu diajukan sejumlah pertanyaan mendasar oleh berbagai kalangan yang merasakan keterlibatan kepada pembelaan perikeadilan. Pertanyaan-pertanyaan itu ada yang meresahkan, karena menghancur-leburkan beberapa asumsi dasar yang selama ini dianut. Tulisan ini bermaksud untuk menghadapkan diri kita kepada pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam mencari asumsi-asumsi dasar yang baru, yang nantinya dapat dikembangkan ke dalam sebuah konsep yang lebih bulat dan utuh.

II

Sejumlah pertanyaan diajukan dengan sejumlah validitas landasan idelogis dari HAM, yang diterima selama ini di kalangan negara-negara yang mempraktikkannya, katakanlah negara-negara industrial kapitalistis yang sudah maju di Dunia Pertama. Aswab Mahasin mempertanyakan kebenaran pengambilan oper begitu saja landasan yang ada selama ini, dan dengan sendirinya bentuk-bentuk perjuangan yang dilakukan. Benarkah anggapan selama ini, bahwa penafsiran liberalistis dari HAM itu sendiri memang menjadi kebutuhan nyata rakyat di negara-negara berkembang? Ternyata tidak, karena kebutuhan nyata mereka adalah penemuan identitas diri melalui serangkaian upaya sosial-ekonomis untuk meningkatkan kualitas hidup mereka sendiri. Atau dengan kata lain, harapan terletak pada dukungan kepada kelas menengah yang lemah untuk mengembangkan diri dan menumbuhkan kekuatan mereka dari bawah. [2] Perjuangan HAM baru ada arti pentingnya, jika didukung oleh aspirasi mereka yang membutuhkan perlindungan hak-hak praktis mereka dari jarahan kekuasaan negara. Mereka yang tidak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan, karena hidup dalam siklus kultur kemiskinan yang tidak pernah berhenti, sudah tentu tidak merasakan keperluan akan perlindungan tersebut.

Kalau pada Mahasin perjuangan HAM memiliki konotasi sosial-ekonomis, hal lain juga dapat disaingi dari pendapat-pendapat lain yang berkembang di berbagai negara. Henry Shue misalnya, mengemukakan apa yang dinamakannya sebagai hak memperoleh kehidupan wajar (right of subsistence) sebagai kebutuhan yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali. [3] Hanya saja, kalau Mahasin memberikan rumusan yang lebih diarahkan kepada penciptaan kelompok tertentu di masyarakat, betapa besar sekalipun kelompok itu sendiri, Shue lebih memusatkan perhatian kepada pengembangan diri manusia sebagai perorangan melalui pemenuhan hak hidup yang sedemikian itu. Arah taktis dari kedua strategi yang bersamaan ini lalu menjadi berbeda satu dari yang lain. Pada Mahasin, kelompok ekonomis dari kelas menengah ini harus dikembangkan dari bawah, berarti pada waktunya nanti akan berhadapan secara diametral dengan kekuasaan (kalau masih ada) yang mengurangi atau meniadakan hak-haknya atas perlindungan dari perampasan hak-hak milik dan akibat-akibat lain yang muncul dari perampasan atas hak milik itu. Pada Shue, beban menyelenggarakan hak atas kehidupan yang wajar pada dasarnya tidak menghadapkan rakyat kepada pemerintah yang mau memenuhi hak itu sendiri, sehingga watak konfrontatif lalu menjadi langka dari hak tersebut. Kalau Mahasin menganggap penciptaan kelas menengah yang kuat sebagai bagian dari perjuangan HAM, katakanlah sebagai titik tolaknya, maka pada Shue perjuangan tersebut justru terpusat pada watak sosial-ekonomisnya itu sendiri.

Dalam bentuknya yang lain, pendekatan sosial-ekonomis tersebut juga digunakan dalam klaim perjuangan HAM dari perjuangan menciptakan Orde Ekonomi Internasional Baru. Dengan penuh kemarahan Walter Lacquer [4] menyerang impotensi lembaga-lembaga internasional yang menangani masalah HAM. Setelah Persatuan Bangsa-Bangsa berhasil menegakkan prinsip universalitas masalah HAM, secepat itu pula universalitas itu dikebiri dengan menghentikan kemungkinan campur tangan PBB dalam urusan dalam negeri anggota-anggotanya. Ini membuat mustahil penerimaan protes mereka yang kehilangan hak-hak mereka oleh PBB, dan secara efektif mematikan prinsip universalitas yang sudah diterima itu. Komisi HAM lalu hanya menjadi forum lelucon yang tidak lucu, di mana tampak jelas impotensi PBB di hadapan dunia secara keseluruhan. Hak-hak kelompok minoritas agama, etnis, dan bahasa tidak pernah disepakati, dan dengan sendirinya tidak tertampung dalam klausul Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang diprodusir PBB.

Menghadapi kemarahan seperti itu, berbagai lembaga dalam lingkungan PBB berusaha mencari jawaban pada “pemecahan universal” yang berukuran makro tetapi diterapkan pada warga negara secara perorangan. Mulai dari hak-hak akan kebutuhan dasar (basic needs) yang dirumuskan Organisasi Perburuhan Internasional, hingga kepada hak atas makanan (right of food) yang dicanangkan FAO, melalui sederetan hak lain seperti hak atas pelayanan utama (basic service) di bidang nutrisi bagi anak-anak yang diselenggarakan UNICEF, kesemua jawaban PBB itu merangkum pendekatan sosial-ekonomis yang langsung ditujukan kepada kebutuhan warga negara secara perorangan. Dikaitkan kepada pendekatan perorangan dalam skala makro ini adalah upaya untuk mencapai kesepakatan tentang Orde Ekonomi Internasional Baru dalam UNCTAD, sebagai upaya pengikat yang menjamin terlaksananya pendekatan perseorangan tersebut dengan baik. Ini tercermin antara lain dalam berbagai perhitungan yang dikemukakan untuk mendukung argumentasi bagi penciptaan orde tersebut, seperti perhitungan Bank Dunia bahwa pemindahan 2% pendapatan kelas atas di negara-negara berkembang ke kelas 40% terbawah (the bottom 40%) dalam jangka 25 tahun akan memungkinkan tercapainya pemberantasan kemiskinan di seluruh dunia. Pemindahan kekayaan seperti itu dapat dilakukan hanya dalam konteks struktur perekonomian internasional yang lebih adil.

III

Sebuah varian lain dari pendekatan sosial-ekonomis ini perlu juga dicatat di sini, yaitu pendekatan “kekirian” yang menganggap bahwa segala sesuatunya akan menjadi beres apabila semacam “demokrasi ekonomi” dapat ditegakkan di mana-mana. [5] Hak-hak perorangan untuk memperoleh perlindungan dari penangkapan, penahanan, perlakuan dan hukuman sewenang-wenang, harus dikalahkan kepada tujuan ini. Dalam perkembangan lebih lanjut, pandangan ini berujung pada “perjuangan” untuk menghindarkan dunia dari kancah Perang Dunia yang diakibatkan oleh “imoralisme militer” yang dilancarkan negara-negara Dunia Pertama. HAM harus diwujudkan dalam kemampuan menghindarkan umat manusia secara keseluruhan dari kehancuran, dan dengan demikian usaha-usaha perdamaian melalui perlucutan senjata menjadi bagian pokok dari HAM. Pengembangan solidaritas internasional antara Dunia Kedua (negara-negara sosialis) dan Dunia Ketiga yang sedang berkembang adalah tiang pokok dari “perjuangan” kemanusiaan ini.

Walaupun pandangan ini ditolak oleh hampir semua pihak yang secara tulus memperjuangkan HAM, pengaruhnya tidak dapat dianggap kecil, setidak-tidaknya dalam mengilhami sejumlah koalisi untuk menyatukan perjuangan menentang rejim-rejim represif di sementara negara-negara berkembang. Landasan marxisme dari pandangan ini jelas menunjukkan bekas yang mendalam pada perkembangan sementara kalangan agamawan yang menggunakan pisau analisisnya dalam upaya mereka mencari jawaban atas situasi status quo yang semakin memperkokoh kedudukan pemerintah totaliter dan otoriter. Munculnya sejumlah teologia dan pandangan ideologi-keagamaan selama dasawarsa terakhir ini jelas sekali dipengaruhi, baik secara langsung sebagai pihak penerima maupun tidak langsung sebagai reaksi dan umpan balik, oleh kerangka “demokrasi ekonomi” ini. Sedikit-dikitnya, penghadapan kelas tidak berpunya dan melarat melawan lapisan atas yang menyalahgunakan amanat kekuasaan untuk melakukan penindasan dan eksploitasi.

Terlepas dari pendekatan sosial-ekonomis yang mengutamakan pembentukan Orde Ekonomi Internasional Baru, yang dalam pandangan mereka hanya akan memperkokoh penindasan dan penghisapan belaka, pendekatan “demokrasi ekonomi” ini justru memusatkan perjuangan mereka untuk menentang penguasaan ekonomi dalam negeri oleh satu kelompok pengusaha saja dan menolak kehadiran upaya menciptakan kantong-kantong ekonomi untuk melayani kepentingan internasional dari perusahaan-perusahaan multinasional belaka, seperti pembuatan bonded warehouses, wilayah niaga bebas (free trade zones), dan sentra-sentra industri kecil untuk kebutuhan ekspor. Hak untuk memperoleh kehidupan yang bersih dari pencemaran, misalnya, dapat dilihat dalam konteks pemindahan teknologi yang membawakan pencemaran di negara-negara Dunia Pertama ke Dunia Ketiga, sehingga perlindungan sumber-sumber alam tidak dapat dilepaskan dari upaya pembebasan dari penguasaan modal dan teknologi Dunia Pertama atas negara-negara yang sedang berkembang itu. Pada taraf berikutnya, hak-hak para konsumen untuk memperoleh penyajian barang konsumsi yang jujur dan benar, memperoleh kerangka lebih besar sebagai bagian dari perjuangan melawan penguasaan modal dan teknologi yang disebutkan di atas.

Dengan demikian, HAM harus memiliki kerangka makro yang lebih luas jangkauannya dari hanya sekadar pengadilan terbuka dan adil, penegakan kedaulatan hukum, dan pengembangan lembaga-lembaga pengawasan yang benar-benar kuat. Menurut pandangan ini, perjuangan kemanusiaan meliputi pembagian tanah secara adil untuk buruh tani dan petani penggarap, pengaturan kembali struktur kehidupan ekonomi yang terlalu memberikan untung kepada pemilik modal, dan penghancuran lembaga-lembaga finansial yang eksploitatif. Alasan-alasan keagamaan untuk menumbuhkan asas persamaan (egalitarian principle) memberikan kredibilitas cukup besar dalam pandangan ini, karena dengan demikian aspirasi perjuangannya lalu memiliki dimensi moral yang kokoh dan pola sosialisasi yang manusiawi.

Ini tidak berarti kelompok-kelompok keagamaan yang terlibat dalam perjuangan yang berlandaskan pandangan ini lalu begitu saja dapat digolongkan pada ideologi “kiri” yang marxistis. Mereka menerima analisis Marx hanya sampai titik pandangan tertentu, seperti tampak dalam penolakan mereka atas determinisme politiknya. Paling jauh mereka hanya menerima metode dialektisnya dalam melakukan analisis tentang penghadapan agama kepada persoalan-persoalan pokok dalam kehidupan manusia. Ini tampak antara lain dalam upaya menentang penindasan rejim-rejim militer yang represif di Asia dan Amerika Latin, yang struktur perekonomian dan penghapusan ekses-ekses struktur yang ada, seperti terlihat dalam perjuangan menentang penghisapan buruh kanak-kanak, pengekangan hak-hak wanita, penindasan kelompok-kelompok minoritas, dan seterusnya. Belum jelas bentuk operasional dari masyarakat yang akan dibangun oleh perjuangan itu, serta cara-cara untuk menegakkan bentuk itu sendiri. Namun menarik untuk dilihat bagaimana upaya mereka untuk menetapkan orientasi, sasaran, dan sarana perjuangan yang memiliki akar-akar kultural yang sangat dalam, kuat, dan hidup di masyarakat.

Kesemua yang diuraikan di atas membawa kepada sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari: kesulitan merumuskan hubungan antara wawasan liberalistis (liberal notions) atas hak yuridis-formal dari perorangan dan wawasan ekonomis yang lebih menekankan diri pada pencarian sebab-sebab yang lebih mendasar dari terkikisnya hak tersebut. Kita semua merasakan kesulitan sangat besar untuk mempertemukan kedua wawasan tersebut, sehingga ia tampak sebagai saling tolak (concelling entities). Kesulitan inilah yang selama ini membuat setiap upaya perjuangan kemanusiaan terasa belum terpadu dan memiliki kekurangan yang mendasar.

Beberapa upaya telah dilakukan untuk memecahkan persoalan ini, seperti yang dilakukan Fouad Adjami dalam karya yang disebutkan di atas. Ia menolak pemisahan wawasan moral, yuridis, dan ideologis dari wawasan sosial-ekonomi dalam perjuangan menegakkan HAM. Menurut Adjami, penekanan pada wawasan sosial-ekonomis hanya akan mengokohkan disparitas teknologis dalam skala global, yang antara lain berakibat pada penggunaan sumber-sumber dana untuk pembelian persenjataan mutakhir yang membuat semakin parahnya pola-pola penindasan yang ada sekarang. Hanya mementingkan wawasan moral saja, apalagi hanya mementingkan aspek-aspek perjuangan penegakan kedaulatan hukum bagi kepentingan perorangan belaka, tidak akan memecahkan pahitnya kenyataan akan berlangsungnya penindasan itu dalam jangka lebih lama lagi. “Saya percaya bahwa konsep HAM yang benar-benar sesuai bagi sebuah tatanan dunia yang adil harus lebih jauh lagi dari hanya pencapaian kebutuhan-kebutuhan politis dan ekonomis,” tulisnya. [6]

Di pihak lain, pendekatan integral atas masalah HAM ini juga menyangkut bidang lain yang jarang ditelaah: pendekatan psikologis. Ashish Nandy [7] umpamanya, melakukan peninjauan itu, di mana asumsi-asumsi marxistis, psikoanalisis dari Freud, dan moralistis dari perlawanan Dami-nya Gandhi dihadapkan kepada persepsi manusia atas hak-hak asasinya. Kekuatan manusia untuk menanggungkan semua derita yang dialaminya selama ini berkaitan dengan proyeksinya kepada sebuah utopia yang memperhitungkan kenyataan-kenyataan psikologis tertentu.

Untuk memperoleh utopia yang memungkinkan pembebasan manusia dari belenggu penderitaannya sekarang, Dunia Ketiga harus memperhitungkan hal-hal berikut: akar ketahanan sistem penindasan itu sendiri, kontinuitas dialog penindas-tertindas -pengamat, dan simptom kesadaran yang opresif. Sistem yang menindas memiliki ketahanan besar untuk terus hidup, karena ada tiga faktor penting dalam dirinya: anti-psikologisme yang dikembangkannya, yang membuat manusia “berpandangan keras” dan menolak “kelemahan” untuk memandang kepada kekuatan spiritual dalam diri sendiri (seperti gerakan pembebasan wanita yang mencari kekuatan pada eliminasi dominasi kaum pria, tidak ada kemampuan mengembangkan diri sendiri); persambungan antara penindas dan tertindas, seperti kenyataan bahwa para serdadu dari kelas tertindas akan meniru dan menjaga kepentingan sendiri dengan mengembangkan teknik opresif yang diterimanya dari pihak penindas yang sebenarnya; dan keengganan manusia untuk memperhitungkan sepenuhnya kekerasan tindakan yang dapat diambil oleh sistem yang menindas.

Setiap peradaban, menurut Nandy, memiliki komponen-komponen utopis di atas dalam kadar dan perimbangan yang berbeda satu sama lain. Tetapi kesemuanya dapat dicari dalam diri setiap peradaban, termasuk peradaban yang menindas itu sendiri. Persambungan antara pemenang dan yang dikalahkan tidak dapat dielakkan. Sang penindas yang menang, membawa benih-benih penyakit dan kerusakannya sendiri, sebagaimana yang dikalahkan juga. Tak ada pemenang yang mengalahkan pihak lain tanpa menjadi korban sendiri. Implikasi dari pandangan ini jauh sekali: perjuangan menentang penindasan harus dilakukan tidak hanya di luar lingkungan kekuasaan yang menindas itu sendiri, melainkan juga dapat dikembangkan di dalam jantung hatinya. Bahwa Gandhi tidak hanya mengubah pikiran bangsanya untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka, tetapi juga mampu meyakinkan bangsa Inggris yang menjajahnya untuk menyerahkan kemerdekaan itu, adalah kontinuum yang menunjuk jelas kepada implikasi seperti itu. Pencarian otentisitas sebuah peradaban ini seringkali berarti pencarian “wajah lain” peradaban itu sendiri. Kerja ini membutuhkan tidak hanya kemampuan menafsirkan kembali tradisi kita sendiri, tapi juga kemampuan melibatkan aspek-aspek dominan atau resesif dari peradaban-peradaban lain sebagai sekutu dalam perjuangan menemukan kembali identitas kultural, kemauan untuk menjadi sekutu peradaban lain yang mencoba menemukan “wajah lain” masing-masing, dan keterampilan untuk memberikan lebih banyak pemusatan bagi pemahaman baru atas peradaban-peradaban dan keprihatinannya. Dalam pengertian ini, budaya-budaya yang ada membutuhkan dialog lebih dari hanya sekadar barter, tulis Nandy. [8]

Dalam keadaan sekarang ini, di mana pencarian jawaban yang lebih memuaskan belum menemukan hasil yang memadai, memang sulit bagi kita semua untuk secara cepat dan tuntas menentukan pilihan yang berbentuk apa untuk mengatasi masalah HAM yang kita alami sekarang. Tindakan gegabah untuk secara semangat “menegakkan kedaulatan hukum” dengan beramai-ramai mempersoalkan pola pertanahan dewasa ini, dalam jangka panjang hanya akan membuktikan betapa mudahnya kita dipancing untuk berbicara tentang masalah kemanusiaan secara sektoral saja. Paling jauh ia hanya akan menghasilkan kelas penguasa baru yang belum tentu lebih baik dari apa yang kita miliki sekarang. Masalah pertanahan berkaitan dengan kultur kemiskinan yang belum tampak tanda-tandanya dapat diatur kembali secara lebih manusiawi, masalah bantuan hukum (di luar pertumbuhan kebiasaan berani mengambil sikap moral serba terbuka dan etis) bersangkutan dengan struktur kekuasaan itu sendiri, dan masalah pelayanan kemanusiaan secara praktis kepada mereka yang memerlukan masih terlalu sarat dengan kaitannya kepada karitas cengeng.

Kesemua kerja di atas diperlukan, ia merupakan bagian dari perjuangan umum dengan kerangkanya yang lebih luas. Namun masing-masing tidak memiliki kemampuan cukup berarti untuk mengubah nasib manusia yang didera oleh kungkungan kemiskinan, kehinaan, dan kepapaan. Masing-masing hanya ada artinya jika mampu memberikan sumbangan kepada pencarian atas masalah utama bagaimana mengaitkan pendekatan liberal di bidang hak-hak yuridis dan politis kepada pendekatan struktural untuk menjamin persamaan kesempatan yang lebih adil bagi semua warga masyarakat. Pencarian jawaban ini akan membawakan perspektif baru dalam upaya memperjuangkan HAM secara lebih matang. Kalau kita semua lalu menyadari pentingnya upaya mencari perspektif baru ini, rasanya tercapailah sudah tujuan mengemukakan topik tersebut dalam tulisan ini.

Catatan kaki:

[1] Saya merasa berterima kasih atas bantuan Sidney Jones yang melengkapinya dengan bahan-bahan bacaan untuk tulisan ini.

[2] Aswab Mahasin, “Human Right and Social Stratification”, Prisma, edisi Inggris, no. 13.

[3] Henry Shue, Foundations for A Balanced U.S. Policy on Human Rights, Working Paper on Human Rights and Foreign Policy, Center for Philosophy and Public Policy, 1977.

[4] Walter Lacquer, “The Issue of Human Rights”, Commentary, vol. 63 no. 5, May 1977.

[5] Bagi penulis tidak jelas apa yang dimaksudkan Fouad Adjami dengan sebutan “kaum kiri (leftists)” bagi mereka yang menghendaki “pemerintahan bertangan besi” untuk menangani masalah-masalah gawat ledakan penduduk, proliferasi nuklir, dan ancaman ekologis (Fouad Adjami, Human Right and World Order Politics, Working Paper World Order Models Project, 1978). Sepanjang pengertian penulis, mereka bukanlah “kaum kiri”, melainkan lebih baik disebut “kaum kanan” yang menunjang rejim-rejim militer represif seperti yang ada di Brasil dan Marcos di Filipina.

[6] Ibid., hlm. 27.

[7] Ashish Nandy, “Oppression and Human Liberation: Towards a Third World Utopia”, Alternatives, IV, (1978-79), 165-180.

[8] Ibid., hlm. 180.