Penafsiran Teoritis Terhadap Hasil Penelitian Orientasi Sosial-Budaya di Lima Daerah

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid [1]

Pendahuluan

Suatu penelitian sosial akan berhadapan dengan data yang selanjutnya perlu diolah secara bertahap. Dalam rangka penyelenggaraan penelitian “Orientasi Sosial Budaya” di lima daerah di luar Jawa, [2] tulisan ini berusaha memberikan kerangka teoretis untuk mengungkap gejala-gejala sosial serta membacanya secara bermakna dalam bentuk penafsiran-penafsiran yang dapat membantu perumusan kebijaksanaan dalam bidang sosial-budaya. Pada dasarnya terdapat beberapa pendekatan dan metode untuk mencapai tujuan tersebut, namun mengingat lingkup tujuan yang lebih luas dari penelitian, makalah ini akan menampilkan pendekatan dan metode struktural, yang bersifat makro, menurut hemat kami mampu membawa kita mencapai tujuan yang diinginkan, tentu saja sejauh syarat-syarat yang dituntut benar-benar terpenuhi.

Pendekatan struktural ini pada dasarnya telah dimulai oleh F. De Saussure dalam linguistik modern dan dikembangkan dalam antropologi oleh Levi-Strauss, dalam psikoanalisa oleh Jacques Lacan, dalam epistemologi oleh Jean Piaget, dan dalam kehidupan religi oleh F. Houtart.

Kami berusaha menerapkan pendekatan struktural ini dengan cara pengolahan kami sendiri sejauh dibutuhkan, tanpa terlalu mengikat diri pada unsur-unsur spesifik yang menandai pendekatan mereka masing-masing. Maka untuk melengkapi kemampuan pendekatan tersebut, tentu saja kami tetap terbuka terhadap manfaat pendekatan lain. Inti permasalahan dalam penelitian di sini bukan saja memahami secara obyektif kenyataan-kenyataan yang struktural dalam kehidupan masyarakat melalui gejala-gejala sosialnya melainkan juga bagaimana mengubah pola hidup masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.

Rangkuman Penemuan

Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari keseluruhan hasil penelitian tentang “Orientasi Sosial Budaya” di lima komunitas itu, maka dapat dibuat rangkuman untuk melihat pandangan apa yang paling banyak dianut (populer) dan pandangan yang paling tidak populer di kalangan responden.

Pandangan tentang makna hidup, fungsi kerja, keberhasilan, dan penggunaan uang berlebih

Pertama, pandangan tentang hakikat hidup yang paling populer di kalangan responden adalah pandangan yang mengatakan bahwa hidup itu untuk bekerja, berprihatin (82,2%); yang paling tidak populer adalah “hidup untuk beramal”, berbakti, beribadah (4,67%).

Kedua, mengenai pandangan tentang fungsi kerja yang paling populer di kalangan responden adalah pandangan yang menyatakan bahwa kerja itu adalah untuk “nafkah mempertahankan hidup” (79,1%), dan “anak cucu” (63,55%). Yang paling tidak populer adalah “kerja untuk mengabdi, amal” (22,67%).

Ketiga, dalam hal pandangan tentang sebab-sebab keberhasilan usaha, mayoritas responden memandang bahwa faktor utama yang menentukan keberhasilan utama adalah “usaha sendiri” (62,89%). Yang paling tidak menonjol adalah “usaha sendiri dan bantuan orang lain” (8,89%).

Keempat, di kalangan responden remaja tampak bahwa pandangan tentang tujuan menabung yang paling populer adalah pandangan yang menyatakan bahwa tujuan menabung itu adalah untuk “kepentingan pribadi” (80,44%). Yang paling tidak populer adalah untuk “membantu orang lain” (3,11%), dan untuk “kepentingan masyarakat” (1,33%).

Kelima, mengenai pandangan tentang penggunaan uang yang berlebih dan tujuan menabung, mayoritas responden menjawab bahwa “bila ada uang berlebih ditabung” (67,78%). Yang kurang menonjol adalah “untuk dimanfaatkan” (32%).

Untuk antargenerasi, orang tua dan remaja, dalam kelima butir di atas tak ada perbedaan signifikan, kecuali dalam hal tujuan menabung tampak ada perbedaan persentase mayoritas antara orang tua dan remaja (orang tua = 67%, remaja = 82%).

Pandangan mengenai jenis kemapanan dan karakteristik serta pergaulan remaja

Pertama, mengenai jenis-jenis kemapanan yang paling populer di antara para responden di lima masyarakat adalah “memperoleh pendidikan yang baik” (67,26%), dan “menjadi orang terpandang” (32,29%). Jenis kemapanan lainnya hanya disebut oleh kurang dari 10% responden lainnya, yang paling tidak populer ialah menjadi pengusaha.

Kedua, mengenai jenis karakteristik yang dicita-citakan oleh para responden ialah “menjadi orang yang bertingkah laku baik” (47,2%) dan “berjiwa pemimpin” (20,71%), “berjiwa pendidik” (12,55%). Jenis karakteristik lainnya tidak populer; hanya disebut oleh kurang dari 10% responden. Yang paling kurang populer ialah “berjiwa seni” (0,44%). Sebagian responden (12,55%) belum tahu atau tidak mengajukan karakteristik yang mereka cita-citakan.

Ketiga, dalam hal pergaulan remaja masa kini secara umum dapatlah dikatakan bahwa sebagian terbesar responden orang tua (46,9%) maupun remaja (52,2%) berpandangan bahwa pergaulan remaja masa kini “berbeda dari masa lampau”, dalam arti “remaja masa kini lebih bebas, berani, terbuka, dan tidak kolot”. Namun demikian cukup banyak pula di kalangan remaja (14,3%) tetapi terutama di antara responden orang tua (26,8%) yang menilai pergaulan remaja masa kini terlalu bebas, kurang sopan, kurang taat kepada adat. Hanya sebagian kecil (orang tua 1,8%, remaja 8%) saja yang berpendapat bahwa pergaulan remaja masa kini tidak berbeda dengan masa lampau.

Pandangan tentang kesenian tradisional

Mengenai kesenian, pandangan yang paling populer di kalangan responden bahwa “kesenian tradisional perlu dilestarikan” (68,8%) dan disusul oleh pandangan bahwa “kesenian tradisional perlu dikembangkan” (19,1%). Yang menarik adalah bahwa hampir tak ada orang yang menyebutkan keuntungan uang atau keagamaan sebagai alasan perlunya pertunjukan kesenian tradisional, meskipun dalam masyarakat pertunjukan kesenian tradisional sering dihubungkan dengan masalah keagamaan atau komersialisasi.

Kerangka Teoretis

Sosiologi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan berusaha membahas gejalagejala kehidupan manusia, sejauh itu semua merupakan produk sosial. Dalam hal ini kehidupan pembahasannya bergantung pada dan ditentukan oleh kerangka metodologi yang dipergunakan. Pada kenyataannya terdapat berbagai pendekatan dalam sosiologi untuk merangkum dan menganalisa data-data yang diperoleh.

Pendekatan struktural salah satu pendekatan yang mulai banyak dipergunakan terutama untuk menemukan unsur-unsur yang pokok dalam kehidupan masyarakat. Tujuan pendekatan ini adalah mengungkapkan struktur yang imanen dalam gejala-gejala sosial yang dapat diamati dengan cara menganalisa sistem-sistem yang terkandung di dalamnya.

Menurut teori struktural, masyarakat merupakan satu kesatuan struktural, di mana terdapat berbagai sistem yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Dalam kesatuan struktur itu masing-masing sistem hanya dapat dipahami sepenuhnya sejauh dikaitkan dengan dan diletakkan dalam kerangka sistem-sistem lainnya. Di situ terdapat sistem-sistem ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, ideologi, religius, dan lain-lainnya.

Dilihat dari segi proses penyelenggaraan kehidupan sosial, maka pada dasarnya masyarakat bertumpu pada sistem ekonomi, yang tercermin dalam kekuatan produksi, yaitu cara produksi dan hubungan produksi. Kekuatan produksi ini mendorong terwujudnya sistem sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem sosial adalah manifestasi sistem ekonomi masyarakat. Selanjutnya sistem sosial mendorong lahirnya sistem-sistem politik masyarakat. Dengan demikian sistem politik mencerminkan hubungan-hubungan kekuasaan yang mempertahankan pranata-pranata sosial yang ada. Dan akhirnya sistem politik akan mencerminkan diri dalam bentuk-bentuk kesadaran, seperti sistem nilai, ideologi atau keyakinan/agama yang berfungsi sebagai sistem legitimasi.

Dengan demikian terdapat satu rangkaian unsur-unsur yang secara konstitutif menentukan struktur masyarakat, yaitu sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik, dan bentuk-bentuk kesadaran masyarakat. Dalam kesatuan struktur ini ekonomi merupakan bagian yang infrastruktur terhadap sistem-sistem lainnya, karena secara dasariah menentukan corak dan sifat-sifat sistem-sistem lainnya sebagai suprastrukturnya, tanpa mengingkari adanya kemungkinan bahwa bagian-bagian suprastruktural memberikan pengaruh terhadap sistem kehidupan ekonomi.

Dengan demikian, tampaklah bahwa untuk dapat mengungkapkan sistem-sistem masyarakat tersebut di atas dan menunjukkan kaitan struktural antara sistem-sistem itu, perlu diperoleh data-data yang dibutuhkan dalam masing-masing sistem itu.

Penafsiran

1. Pandangan mengenai makna hidup dan kerja serta sikap-sikap yang berkaitan dengan kehidupan ekonomis menunjukkan bahwa masyarakat hidup dalam kelugasan. “Tujuan yang paling penting adalah pangan serta uang untuk hidup.” [3] Ini berarti bahwa sebagian masyarakat masih hidup dalam taraf kebutuhan minimal, yaitu dalam sistem ekonomi yang subsisten.

2. Ekonomi subsisten ini berlangsung dalam keadaan masyarakat yang berkembang secara tidak seimbang, karena adanya kepentingan sosial-ekonomi. Dalam kehidupan ekonomi subsisten ini timbullah beberapa sikap:

a. Individualisme negatif, yang didasari oleh desakan untuk survival, yang memanifestasikan diri dalam mentalitas “menggusur” (evection mentality). Kekejaman, mumpung, rayahan, dan sebagainya. Hal ini terjadi terutama pada kelompok yang mempunyai derajat kekuatan tertentu.

b. Apatisme terhadap keadaan lingkungan yang tak mampu menyelami rasa makna hidup karena tidak berkesempatan untuk memperluas cakrawala pandangan kehidupan.

3. Dari lain pihak, dalam kelugasan ini terkandung potensi-potensi positif yang dapat melahirkan tindakan-tindakan yang mencerminkan kesediaan untuk memikul tanggung jawab dalam rangka menciptakan kesejahteraan bersama. Potensi semacam ini akan terwujud apabila ketimpangan-ketimpangan sosial-ekonomi semakin dikurangi dan dihilangkan.

4. Jadi, kelugasan dalam suasana yang penuh dengan ketimpangan akan melahirkan sikap individualistis negatif, sedangkan kelugasan dalam suasana yang dirasa adil akan melahirkan sikap mandiri yang positif.

5. Cara mengatasi ketimpangan tidak cukup dengan penanaman ideologi saja, tetapi harus disertai perubahan struktural. Setiap perubahan struktural memerlukan pelaku-pelaku yang mempunyai sifat-sifat yang didambakan.

6. Terlihat di sini adanya kesenjangan antara ideologi formal dan penghayatan kehidupan sehari-hari.

7. Untuk membentuk moralitas sosial, yang penting pertama-tama bukan ajaran lengkap, tetapi model-model tokoh. Sayang bahwa yang didapat adalah tokoh-tokoh mitologis. Mereka tidak memperoleh model-model yang hidup pada masa kini. Dalam masyarakat sekarang yang diketemukan adalah tokoh-tokoh yang negatif. Dari data terlihat bahwa yang didambakan sebagai tokoh panutan ialah: yang bertingkah laku baik, berjiwa pemimpin dan berjiwa pendidik, serta patuh kepada agama.

8. Suatu hal yang menggelisahkan ialah penemuan bahwa praktik pendidikan, termasuk pendidikan agama, yang sekarang berjalan tidak ikut membentuk moralitas masyarakat. Penemuan menunjukkan bahwa pada mereka yang tidak bersekolah maupun yang mendapat pendidikan pada perguruan tinggi, “hidup beramal” sama sekali tidak populer. Perbedaan pandangan tentang “hidup untuk bekerja” terdapat hanya pada kelompok yang bersekolah rendah. Kecuali itu, mereka yang hanya berpendidikan agama saja dan yang tidak mendapat pendidikan sama sekali tidak ada yang menganut “fungsi kerja untuk mengabdi/beramal”. Praktik pendidikan yang ada tidak dapat melahirkan moralitas yang menganjurkan “hidup untuk mengabdi atau beramal”. Segala perubahan sosial hanya mungkin kalau ada perubahan yang menyeluruh dalam sikap. Maka perlu adanya kekuatan yang mampu mengubah cita-cita “hidup untuk bekerja saja” dan “kerja untuk mencari nafkah”. Oleh karena itu perlu dilahirkan pemikiran yang mampu mengubah praktik pendidikan sehingga dapat membentuk moralitas yang inheren dalam perubahan struktural.

9. Kenyataan yang menunjukkan bahwa orang tua yang mempunyai pandangan yang positif terhadap remaja, yaitu bahwa mereka “lebih bebas, berani, terbuka, tidak kolot” mengundang pertanyaan apakah penilaian negatif terhadap remaja yang dikemukakan para pejabat daerah dengan kenyataan yang ada? Dalam hubungan ini dapat dikemukakan pandangan Margaret Mead. Mead melihat ada tiga corak kebudayaan: postfiguratif, kofiguratif, dan prefiguratif. Dalam kebudayaan postfiguratif anak terutama belajar dari orang tuanya dan membentuk identitas menurut orang tuanya. Dalam kebudayaan kofiguratif teman sebaya dan sezaman mengganti orang tua sebagai model tingkah laku. Dalam kebudayaan prefiguratif, yang ditandai oleh perubahan-perubahan yang pesat dalam segala bidang, orang tua harus belajar dari generasi muda. [4] Kalau pandangan ini benar, maka yang diperlukan ialah bahwa sebagai akibat akselerasi ilmu pengetahuan orang tua harus terbuka untuk hal-hal tertentu belajar dari generasi muda. Hal ini tampaknya sudah ada dalam masyarakat karena sebagian besar orang tua menyatakan bahwa generasi muda sekarang mempunyai sifat-sifat positif.

10. Adanya mayoritas responden yang mendorong penggunaan bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa kedudukan bahasa Indonesia sebagai lingua franca sudah cukup mantap. Itu membuktikan juga bahwa amanat Sumpah Pemuda “satu bahasa” boleh dikatakan telah terwujud. Dengan peningkatan hubungan antardaerah berkat peningkatan teknologi sekarang ini dapat diharapkan bahwa bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi nasional akan terus meluas dalam kehidupan bangsa kita. Dengan kenyataan perkembangan demikian itu, dapat pula diharapkan bahwa bangsa kita sekali-kali tidak akan dihadapkan kepada masalah bahasa nasional seperti yang dialami beberapa bangsa lain. Meskipun demikian, tidak terungkap jelas dari kesimpulan penelitian apakah benar-benar ada kesadaran akan arti bahasa Indonesia sebagai sarana pemersatu bangsa: tidak diperoleh keterangan apakah ada kebanggaan akan pemilikan bahasa Indonesia sebagai kekayaan kebudayaan nasional, sehingga ada keinginan dan usaha untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, termasuk misalnya usaha membakukan lafal, tata bahasa, peristilahan, dan sebagainya.

11. Hal lain yang cukup membesarkan hati dari penelitian ini adalah cukup besarnya responden, yang di samping mendorong penggunaan bahasa Indonesia, juga menginginkan agar bahasa daerah atau bahasa ibu juga dipertahankan. Gejala ini menunjukkan kesadaran akan adanya prinsip yang kita anut, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Hanya tidak jelas dari data, dan kiranya perlu diadakan penelitian lebih lanjut apakah dugaan itu benar seluruhnya. Sebab dengan adanya pendapat yang mendorong berkurangnya atau membiarkan berkurangnya bahasa daerah, soalnya tidak terlalu sederhana. Apakah sebenarnya di belakang pendapat sekitar penggunaan bahasa daerah itu tidak terdapat pelbagai alasan tanggapan yang bertentangan satu sama lain? Pertama, dan ini motif yang sehat, ada dorongan untuk mempertahankan identitas dirinya sebagai kelompok etnik di dalam kehidupan sosial yang pluralistik seperti masyarakat Indonesia ini, justru agar ada keselarasan, keseimbangan, dan kewajaran dalam kehidupan nasional ini. Kedua, adanya dorongan yang bersifat pragmatik: kesadaran adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan sosial yang konservatif dan primordial untuk banyak urusan kepentingan, faktor bahasa dan tata krama daerah lebih dihargai. Dengan demikian penggunaan bahasa daerah lebih menjamin keberhasilannya (analoginya uang pelicin). Perlu dicatat pula adanya pendapat: “mendorong berkurangnya bahasa daerah dan mendorong penggunaan bahasa Indonesia”. Apakah di sini tidak ada semacam overkompensasi karena persaingan kedua bahasa?

12. Alhasil dapat disimpulkan bahwa kalau dalam hal bahasa nasional bangsa dan negara kita “sekali-kali tidak akan menghadapi masalah”, maka dalam menghadapi soal bahasa daerah diperlukan kebijaksanaan yang cermat dan hati-hati. Penelitian sederhana ini saja telah menunjukkan gejala-gejala ketidakmapanan, ketidakseimbangan, disorientasi, dan frustrasi. Kalau diadakan penelitian lebih dalam lagi di dalam lingkungan kelompok etnik yang merasa mapan dengan bahasa ibunya sekalipun, mungkin akan terungkap pula hal-hal yang sama. Misalnya, apakah bahasa ibu yang dipergunakan orang atau remaja Jawa itu bahasa Jawa yang baik dan benar? Masihkah dipahami benar-benar beda antara “ngoko” dan “kromo”? Apakah ada aspirasi akan sastra tulis Jawa? Ilustrasi demikian sudah tentu akan berlaku pula bagi kelompok Sunda, Madura, Bali, Minang, dan sebagainya. Tidakkah mungkin bahwa penelitian dalam hal-hal itu mengungkapkan adanya kecerobohan, ketidakacuhan, kesemrawutan, bahkan kekerasan atau kekasaran dalam penggunaan bahasa ibunya, sehingga itu pun merupakan pantulan hubungan seseorang dengan orang lain dan dengan masyarakatnya?

Kesimpulan: Tindak Lanjut

Data dari penelitian ini dapat dikelompokkan dalam empat permasalahan pokok: a. Masalah makna hidup (hakikat hidup); b. Masalah budaya dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi (fungsi kerja, keberhasilan usaha, menabung, penggunaan uang berlebih); c. Masalah budaya dalam kaitannya dengan integrasi nasional (masalah bahasa, hubungan antar generasi, kesenian, permainan); d. Masalah citacita untuk hari depan.

Sistem nilai sosial-budaya tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan sistemsistem lainnya: sosial, politik, dan ekonomi. Untuk dapat memberikan tafsiran yang lebih adekuat diperlukan kelengkapan gambaran tentang semua sistem-sistem ini.

Kendati keterbatasan penelitian ini, dapat dikatakan bahwa pembangunan untuk menciptakan masyarakat adil hanya mungkin terlaksana kalau ada perubahan struktural yang mampu menghapus ketimpangan sosial-ekonomi. Pendekatan melalui penanaman ideologis melulu tidak akan melahirkan sikap-sikap baru, kalau tidak disertai perubahan struktural yang didukung oleh pelaku-pelaku yang memiliki sikap-sikap yang didambakan.

Catatan kaki:

[1] Ditulis bersama dengan Soerjanto Poespowardojo, Sastrapratedja, dan Slamet Rahardjo.

[2] Daerah-daerah itu adalah Kalimantan Barat, Bali, Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Gambaran lebih lanjut tentang penelitian ini lihat tulisan Dr. Mochtar Buchori dan Drs. Wiladi dalam Prisma, No. 3, Maret 1982.

[3] James C. Scoot, Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, terjemahan Hasan Basari, LP3ES, 1981, hlm. 76.

[4] M. Mead, Culture and Commitment, A Study of the Generation Gap, (Panther Books, London, 1972).