Nilai-Nilai Indonesia: Apakah Keberadaannya Kini?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pada dasarnya terdapat tiga bentuk refleksi tentang apa yang dianggap sebagai karakteristik manusia Indonesia. Pada ujung yang satu kita dapati mereka, seperti Mochtar Lubis, [1] yang menilai bangsa Indonesia dewasa ini sebagai bangsa malas, bersikap pasif di hadapan tantangan yang dibawa proses modernisasi dan paling jauh tidak mampu melakukan sesuatu yang berarti atas prakarsa sendiri. Mereka menyalahkan hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun dan diwarisi dari masa lampau, struktur pemerintahan yang tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala bidang dan kekuatan politik begitu mutlak dari elite yang mampu memperoleh begitu banyak dai karya yang tidak sebanding artinya dengan pentingnya kedudukan yang mereka pegang.

Pandangan ini, yang dikemukakan para kritikus sosial yang menjelaskan begitu banyaknya hal-hal baik yang lenyap dari tangan dan jangkauan bangsa dalam tiga dasawarsa terakhir ini, merupakan introspeksi yang paling menyayat dan gaya flamboyan yang terkadang naif dari para penulis (literati) tua. Mereka harus menanggungkan derita selama perjuangan kemerdekaan sebelum 1945 dan perjuangan mempertahankan liberalisme pemberangusan hak-hak pribadi warga negara oleh pemerintahan pertama Sukarno dalam paruh kedua tahun lima puluhan dan tahun-tahun enam puluhan. Pandangan ini adalah cara yang tajam dan keras dari kalangan literati tua itu untuk menanamkan rasa pertanggungjawaban yang penuh atas masa depan bangsa dalam diri generasi muda. Sebagaimana diamati oleh seorang intelektual terkemuka saat ini di Jakarta, kedudukan mereka sebagai kritikus sosial menuntut diri mereka kesediaan untuk mengemukakan penyakit-penyakit utama dalam kehidupan bangsa dalam ungkapan setajam mungkin. Tanpa kemampuan melakukan hal itu, mereka akan kehilangan relevansi dalam kehidupan intelektual bangsa.

Idealisasi Nilai-nilai Luhur

Di sisi lain dari spektrum pandangan yang ada, sikap sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa meletakkan kesemua nilai itu pada kedudukan yang sangat diagungkan sebagai prinsip pengarah yang telah membawa bangsa pada kejayaan kemerdekaan, dan dengan sendirinya harus membawa bangsa kepada upaya tak berkeputusan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip-prinsip itu mengambil bentuk “sikap bijaksana” seperti “keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”, kesediaan berkorban untuk mengorbankan kepentingan sendiri untuk kepentingan orang lain, melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan (sepi ing pamrih, rame ing gawe), kesabaran dalam kesulitan dan penderitaan, dan seterusnya. Karena adanya sikap yang demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia menjadi bangsa pencinta perdamaian, sopan kepada orang lain tanpa sedikit pun menyerahkan diri kepada akibat-akibat koruptif dari modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan yang kaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi tekun dalam membangun masyarakat yang adil bagi masa depan. Walaupun bahan kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) [2] yang terkenal itu.

Idealisasi kekanak-kanakan atas “nilai-nilai luhur bangsa” ini tak terhindarkan lagi hingga berbenturan dengan pengamatan kritikus-kritikus sosial seperti Adnan Buyung Nasution, Sutan Takdir Alisjahbana, J.B Mangunwijaya, M.A.W Brouwer, dan Mahbub Djunaedi. Penggambaran yang sering satiris dan parodi mengiris yang mereka ungkapkan mempertanyakan validitas klaim begitu tinggi akan kejujuran sebagai “nilai bangsa” di hadapan kenyataan akan meluasnya korupsi endemik dalam hampir setiap lapisan masyarakat. Atau kesatriaan di hadapan penderitaan kalau di ingat mayoritas bangsa, terutama kaum intelektualnya, [3] tidak mau mempertahankan dan membela warga negara yang tak bersalah dari penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan bahkan dibunuh secara kolektif, seperti yang terjadi dalam pergolakan sosial yang dahsyat segera setelah “percobaan penggulingan kekuasaan oleh kaum komunis” tahun 1965. Manusia hanyalah mampu bersabar secara pasif di hadapan rezim-rezim tidak demokratis yang datang secara berurutan, tanpa mampu menumbuhkan keberanian moral yang dibutuhkan untuk mempertahankan hak-hak asasi mereka yang paling mendasar.

Mereka yang sibuk dengan upaya mendudukkan “nilai-nilai luhur bangsa” pada tempat yang agung menjawab serangan di atas dengan jalan menunjukkan kemampuan bangsa untuk mengatasi tantangan paling dasar terhadap kehidupannya, dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan separatis dan bahkan pertentangan intern yang tajam di lingkungan kelompok yang memerintah, tanpa kehilangan sedikit pun kerukunannya dan solidaritas sosial yang menjadi landasan kehidupannya. Manusia Indonesia tetap berhasil mempertahankan cara hidup mereka, apa pun tantangan yang mereka hadapi dan penderitaan yang mereka hadapi dan penderitaan yang mereka alami dalam kehidupan. Adakah bukti lebih konkrit dan kesatriaan mereka dari kenyataan adanya “nilai paling Indonesia” di antara semua “nilai-nilai luhur bangsa”, mereka mampu bangkit dari kegagalan dan kehancuran tanpa kegetiran dan kepahitan sikap terhadap kehidupan itu sendiri? Kalau sikap seperti itu dianggap manusia Indonesia sebagai bangsa melempem, apa boleh buat! Catatan sejarah telah menunjukkan manusia Indonesia mampu menjadi orang-orang revolusioner dalam sekejap mata, kalaupun mereka ingin. Tetapi manusia Indonesia sebagai bangsa cukup bersabar untuk menumbuhkan pendekatan gradual mereka sendiri untuk mengangkat derajat mereka dari belenggu sejarah.

Pada gilirannya, para kritikus sosial dapat mengemukakan argumentasi bahwa kejadian pembunuhan tak manusiawi atas diri orang atau kelompok tak bersalah di kala ada ledakan kemarahan berumur pendek yang terjadi dalam urutan waktu yang teratur menunjukkan bahwa kegetiran dan kepahitan menguasai jiwa bangsa, dikembangkan oleh watak terkenal manusia Indonesia untuk tersenyum sopan sambil membenci separuh hati dan dilindungi oleh kecenderungan manusia Indonesia untuk lempar batu sembunyi tangan. Tetapi tugas tulisan ini hanya untuk menunjuk kepada dua ujung berlawanan dalam pandangan atas karakteristik bangsa, bukannya terlibat terlalu jauh dalam pertengkaran mereka.

Pandangan Kaum Akademisi

Pandangan ketiga, yang tumbuh di kalangan akademis dan berbentuk pendekatan beragama dalam melihat barang yang sama, tidak mengikuti baik metode penyesalan diri sendiri yang digunakan para kritikus sosial maupun pandangan berkebalikan untuk mengidealisir sejumlah nilai sebagai “nilai-nilai luhur bangsa.” Menurut pendapat ketiga ini, kita harus mengikuti pembuktian yang diikuti oleh kajian empiris yang dilakukan para sarjana sebagai disiplin ilmu. Dalam melakukan hasil pembuktian itu, para akademisi terpecah menjadi dua kelompok utama. Pertama-tama mereka yang menunjuk, sesuai dengan premis-premis antropologis dan yang sebangsanya kepada kenyataan bahwa sejumlah orientasi tertentu (biasanya mengambil bentuk sebuah nilai-nilai tradisional seperti ketundukan kepada cara hidup priayi keratin) ternyata menghadap kepada sikap-sikap dan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk mengambil inisiatif mengatasi tantangan menghadapi modernisasi. Contoh Prof. Koentjaraningrat, [4] yang menekankan kenyataan mentalitas priayi sebagai penghambat pembangunan, menunjukkan baik kekuatan maupun kelemahan pendekatan ini. Kekuatannya terletak dalam kenyataan bahwa pemusatan pada sejumlah nilai atau orientasi, umumnya dengan menggunakan teknik-teknik yang dikembangkan mula-mula oleh para peneliti seperti Clyde Kluckhohn untuk identifikasi skala orientasi kehidupan sekelompok manusia (persepsi mereka tentang penggunaan waktu, nasib dan sebagainya), pengukuran yang tepat atas nilai-nilai atau orientasi tersebut diperoleh dengan cara objektif. Lebih jauh lagi, banyak sekali pengertian objektif, umumnya dengan cara yang salah tetapi dianggap ilmiah, akan kekuatan-kekuatan yang bekerja untuk menyumbangkan sesuatu kepada nilai-nilai dan orientasi di atas, dengan hasil yang berbeda-beda di kalangan masyarakat yang beraneka warna di lokasi penelitian yang berlainan.

Tetapi pendekatan seperti ini untuk menggali pokok persoalan sering kali menghasilkan sesuatu yang menghindari pertanyaan pokoknya, yakni apabila konflik yang dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang dianggap negatif terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang dianggap positif bagi pembangunan? Keterbatasan ini timbul dari kenyataan bahwa pendekatan di atas cenderung untuk memperlakukan semua nilai dan orientasi sebagai sesuatu sebagai sesuatu yang harus dibeda-bedakan dan akhirnya dipisah-pisahkan dari faktor kehidupan yang lain, guna memungkinkan para pengamat mengidentifikasi dalam pengertian paling jelas unsur-unsur yang membentuk nilai dan orientasi itu sendiri, karakteristiknya dan seterusnya. Karena keterbatasan itulah lalu berkembang sebuah pendekatan lain di kalangan para ilmuwan sosial belakangan ini, yang berusaha memahami hubungan antara nilai dan faktor-faktor lain dalam kehidupan secara lebih koheren. Pendekatan ini dimulai dengan anggapan bahwa pada dasarnya tak ada kelompok atau orientasi bersikap negatif terhadap perubahan. Dalam lingkungan orisinilnya semula, orientasi setiap kelompok manusia menyediakan cara untuk menyerap dan mencernakan kebutuhan akan perubahan, untuk kemudian diberikan respons yang sehat oleh kelompok itu sendiri. Pendekatan ini tidak hanya memungkinkan para peneliti untuk mengenal cara-cara yang dikembangkan oleh berbagai masyarakat dalam menghadapi tantangan modernisasi belaka, tetapi juga untuk mengamati bagaimana lapisan-lapisan (lawyers) respon suatu masyarakat membentuk suatu tema persambungan (continuity) yang dibutuhkan masyarakat itu untuk memodernisir diri tanpa kehilangan dasar-dasar yang dianutnya.

Sebuah kajian belakangan ini atas orientasi sosial-budaya empat masyarakat di Jawa menunjukkan bahwa sikap-sikap yang diambil untuk meminimalisir apa yang dirumuskan sebagai “akibat-akibat negatif pembangunan” ternyata mengambil bentuk melestarikan satu atau dua aspek orientasi yang lama, tanpa keraguan sedikit pun untuk “membuang” sisanya, guna memberikan peluang kepada nilai-nilai baru yang lebih peka terhadap modernisasi dalam artiannya yang penuh. Upaya melestarikan “cagar-cagar sosial budaya” ini, sebuah analogi atas tanah-tanah reservasi suku bangsa Indian di Amerika Serikat, muncul dalam berbagai bentuk, yaitu penegasan kembali beberapa tradisi sosial-keagamaan, kesediaan untuk lebih menggunakan bahasa daerah melebihi bahasa nasional, kesediaan pekerja dalam hirarki ekonomis dan tradisi yang ada dan seterusnya. [5]

“Kebangsaan Modern”

Setelah melakukan tinjauan sepintas atas jenis-jenis utama refleksi tentang karakteristik bangsa, kita dapat lebih jauh melakukan pengamatan atas apa yang menurut penulis membentuk nilai-nilai yang membedakan manusia Indonesia dari manusia-manusia yang lain. Ia bukan dalam pengertian manusia memegang monopoli dan hak eksklusif atas nilai-nilai tersebut, tetapi dalam pengertian cara-cara yang digunakan untuk memanipulir, dan bahkan terkadang menyalahgunakan nilai-nilai itu di dalam faktor-faktor modernisasi. Tetapi sebuah aspek lain yang sangat penting guna memenuhi penumbuhan “bentuk terakhir” rasa menjadi “bangsa modern” haruslah diberi perhatian, sebelum kita dapat melangkah lebih maju dalam tulisan ini.

Secara historis, rasa “kebangsaan modern” berkembang sejak akhir abad yang lalu dan awal abad ini di kalangan dua kelompok yang sama sekali berbeda, apa yang dinamai “organisasi-organisasi pemuda daerah” dan “gerakan Islam”. Organisasi-organisasi seperti Jong Sumatra Bond dan gerakan Boedi Oetomo di Jawa menyediakan jalur unik pengembangan rasa “kebangsaan modern” itu. Di pihak lain, gerakan-gerakan Islam di waktu itu telah berhasil untuk mencapai sebuah rasa solidaritas yang tak dapat dibatasi pada sebuah daerah saja. Setelah beberapa abad penyebaran agama mereka di antara penduduk bermacam-macam di daerah yang berbeda-beda, yang menghasilkan penggunaan huruf Arab dalam penulisan bahasa lokal di kalangan lapisan masyarakat yang dapat membaca, di luar lingkungan terbatas keraton Jawa, di samping gerakan-gerakan tarekat yang lebih kurang berwatak nasional karena tersebar melampaui perbatasan administratif dan politis kerajaan-kerajaan yang ada, sudah wajar kalau berkembang rasa “kebangsaan modern” di kalangan gerakan Islam. Kenyataan di atas, menjelaskan mengapa gerakan keagamaan seperti Sarikat Islam tersebar begitu cepat dan luas, sehingga menjadi gerakan pertama yang benar-benar berwatak “nasional”.

Perkumpulan-perkumpulan pemuda daerah adalah hasil langsung dan upaya mendidik anak-anak para bangsawan lokal dan pejabat pemerintahan dari semua daerah dan mengirimkan mereka ke kota-kota besar di Jawa untuk jarak waktu cukup lama. Para siswa belia itu segera merasakan kebutuhan untuk mendirikan perkumpulan menurut pengelompokan daerah, bukan lokal masing-masing. Demikianlah, pemuda-pemuda Aceh, Batak, Minangkabau, Bengkulu, dan Sumatera Selatan merasakan kebutuhan untuk dikenal sebagai “Pemuda Sumatera”. Bermula dari ikatan primordial sebagai sesama warga sebuah daerah yang sama dan dari tujuan sederhana memiliki perkumpulan untuk tempat berkumpul bulanan dan wadah untuk saling membantu di kala kesulitan, perkumpulan-perkumpulan itu segera berkembang menjadi sesuatu yang lain. Bagaimana primordialnya sekalipun watak mereka pada permulaan, dengan segala rasion d’etre yang lebih rasional terasa dibutuhkan oleh para pendiri perkumpulan-perkumpulan itu. Mereka harus mencari pembenaran bagi bantuan keuangan, atau bahkan hanya memperoleh izin berorganisasi untuk perkumpulan yang mereka dirikan. Kebutuhan akan tujuan lebih rasional dari hanya berorganisasi sekedar untuk berorganisasi saja akhirnya membawa sesuatu yang lain dalam pandangan hidup mereka, sebuah rasa memiliki dunia lebih luas dari dunia mereka semula, yang dibatasi oleh lokalitas orang tua mereka.

Secara psikologis, rasa memiliki dunia yang lebih luas dari dunia mereka semula ini juga membawakan sebuah hal lain, yaitu pelarian dari tugas mendefinisikan hubungan masing-masing dengan dunia semula dengan cara hidupnya yang spesifik. Pandangan hidup dan orientasi yang telah berubah di kalangan siswa-siswi belia itu memaksakan sebuah proses penuh kesakitan untuk melakukan pilihan antara ketundukan kepada cara hidup tradisional yang sudah tak dapat mereka terima lagi, dengan tata caranya mencekik dan peranan seremonial yang membosankan di satu pihak serta kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan baru yang dapat diperoleh dengan mengikuti pola kehidupan modern di pihak lain. Para siswa daerah itu menemukan pemecahan bagi persoalan mereka dengan cara yang mudah untuk menggantikan kesetiaan semula dengan kesetiaan kepada entitas kemasyarakatan yang baru, seperti kesetiaan kepada masyarakat Sumatera sebagai pengganti kesetiaan kepada lokalitas masing-masing. Dengan menjadi pemuda Sumatera, seorang siswa Minangkabau dapat menghindari tuntutan untuk mendefinisikan rasa keterikatan kepada sebuah “dunia Minangkabau”. Dalam pengertian ini, keberadaannya sebagai seorang pemuda Sumatera memungkinkannya untuk tetap menjadi seorang Minangkabau yang baik, tanpa membuatnya harus mempertanyakan validitas banyak aspek dan praktik kehidupan Minangkabau yang tidak sesuai dengan hati nuraninya.

Perspektif yang sama dapat juga diterapkan pada kasus gerakan-gerakan Islam sejak perempat pertama abad ini, terutama Sarikat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Solo sekitar tahun 1905 dan Sarekat Islam di bawah Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Dengan mengembangkan identitas baru, yang akhirnya berujung pada pencarian sebuah rasa kebangsaan yang baru bagi semua suku bangsa yang ada, para muslim yang taat (santri) itu menggantikan kebutuhan merumuskan posisi mereka sendiri dalam kaitan dengan tradisionalisme agama mereka sendiri, dengan rasa menjadi muslim baru, sebuah pertukaran yang dapat disifati sekarang ini sebagai pembaharuan tanpa terputusnya ikatan dengan masa lampau. Hal inilah yang menyebabkan mengapa Sarikat Islam (SI) segera dihadapkan kepada kesulitan-kesulitan intern dalam mengembangkan identitas diri ketika anggota-anggota Muhammadiyah, sebuah gerakan pembaharuan total yang memutuskan sama sekali ikatan-ikatan dengan masa lampau kaum muslimin di kepulauan Nusantara, memasuki keanggotaannya (atau lebih tepatnya, ketika banyak anggota Sarekat Islam juga menjadi anggota Muhammadiyah).

Pengembaraan rohani dari dunia lama ke dunia baru inilah dengan lanskap dan perbatasan yang belum jelas, yang membawakan kebutuhan untuk mengembangkan nilai-nilai dan orientasi baru, bahkan pemikiran-pemikiran sosial dan ideologi politik yang baru. Demikianlah terjadinya pemunculan spektrum begitu luas dalam pemikiran sosial dan ideologi politik di kalangan gerakan Islam dan perkumpulan pemuda daerah di tahun-tahun 1930-an. Juga munculnya komunitas orang dari kalangan anggota gerakan-gerakan Islam seperti Sarekat Islam, hal yang tidak mungkin terjadi belakangan di kalangan organisasi tersebut ketika pengembangan rohani itu berakhir pada pemukiman-pemukiman tetap yang bernama kelompok-kelompok politik dalam wilayah Republik Indonesia.

Dilihat dari perspektif ini dapat dimengerti masih terdapatnya kekaburan tentang apa yang merupakan nilai-nilai yang membentuk karakteristik bangsa ini. Rasa menjadi sebuah bangsa, lahir dari kebutuhan mencari alternatif bagi kewajiban tidak menyenangkan untuk merumuskan hubungan masing-masing dengan dunia semula, membawakan unsur kesementaraan (transitory element) yang kuat ke dalam kehidupan bangsa hingga saat ini, tiga perempat abad setelah munculnya getaran rasa kebangsaan yang baru dan tiga puluh lima tahun setelah kemerdekaan bangsa diproklamirkan dalam tahun 1945.

Sejauh dilihat dipahami penulis, yang “paling Indonesia” di antara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau. Kita dapat saja menamainya sebagai pencarian harmoni, walaupun dengan begitu bersikap tidak adil terhadap pencarian besar dengan peranan dinamisnya dalam pengembangan cara hidup bangsa dan menyalurkannya ke jalan baru tanpa menghancurkan jalan lama, semuanya dalam proses yang berurutan. Nilai-nilai lain yang bersumber pada pencarian ini, atau yang dikembangkan untuk menunjangnya, dengan demikian merupakan gugusan terbesar nilai-nilai Indonesia dewasa ini, berupa solidaritas sosial yang didasarkan pada rasa kebangsaan tanpa mengucilkan getaran rasa imperatif untuk mengutamakan kelompok-kelompok yang lebih sempit (kesetiaan suku dan seterusnya), nilai-nilai yang menampilkan watak kosmopolitan, yang masih diimbangi oleh rasa keagamaan yang kuat, kesediaan untuk mencoba gagasan-gagasan pengaturan kembali masyarakat (social engginering) berlingkup luas, tetapi dengan kendala sikap rendah hati yang timbul dari kesadaran akan kekuatan dasar masyarakat tradisional untuk mempertahankan kebutuhan diri di masa perubahan yang berlangsung secara cepat dan di hadapan tantangan dramatis terhadap keberadaan mereka sendiri, ad infinitum.

Catatan kaki:

[1] Lihat Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, Jakarta, Yayasan Idayu.

[2] Di masa pemerintah diktator Suharto, pemimpin Orde Baru, doktrin ini sangat terkenal dan hegemonik sekaligus menakutkan. Inilah alat Suharto untuk merepresi rakyatnya.

[3] Posisi kaum intelektual seperti itulah yang digambarkan oleh Julien Branda dalam karya klasiknya La Trahison des Cleres. Buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Pengkhianatan Kaum Intelektual. Posisi intelektual yang tidak peka terhadap persoalan masyarakat itu pulalah yang digambarkan Gramsci sebagai intelektual yang hanya berada di menara gading, dan bukan intelektual organik yang terjun dan berjuang bersama masyarakat dalam arti yang sesungguhnya.

[4] Koenjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Gramedia, 1974.

[5] Nilai-nilai itulah yang dalam diskursus ilmu-ilmu sosial disebut dengan pengetahuan lokal (local knowledge) (pembahasan tentang pengetahuan lokal bisa dilihat dalam tulisan Geertz, Local Knowledge, Further Essay in Interpretative Antropology, London, Fontana Press). Nilai-nilai lokal/kearifan lokal/atau tradisi seperti itulah sebenarnya yang menjadi model sosio-kultural kebangsaan kita. Karena, di dalam apa yang disebut dalam kultur lokal itu seringkali tersimpan pengalaman, jejak-jejak kreativitas dan pencapaian-pencapaian tertentu dari para jenius lokal dalam mengembangkan pandangan hidup, tata berpikir dan juga sistem sosial tertentu.