Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam tulisannya di Jurnal Indonesia (terbitan Cornell University) edisi Oktober 1984, Sidney Jones membuat sebuah pengamatan menarik. Dalam artikel itu ia menunjukkan perubahan-perubahan dalam pengertian yang dimiliki kata “umat Islam” dari waktu ke waktu, di kalangan Nahdlatul Ulama.

Perubahan-perubahan arti itu berjalan mengikuti meluas atau menyempitnya wawasan perjuangan gerakan-gerakan Islam yang ada. Semula, dalam abad-abad yang lalu umat Islam hanya meliputi sesama kaum muslimin yang tinggal di sebuah kawasan, yaitu ketika masyarakat suku-suku bangsa Indonesia masih dijajah oleh pemerintahan kolonial.

Setelah itu, kata tersebut berkembang, meliputi semua kaum muslimin di seluruh dunia, yaitu ketika bangsa-bangsa muslim dijangkiti rasa gairah untuk memerdekakan diri dari penjajahan. Kemudian kata tersebut berubah liputannya, menjadi hanya sesama kaum muslimin yang membentuk nasion Indonesia.

Makin kemudian lagi, kata “umat” lalu hanya meliputi mereka yang masuk (atau dimasukkan ke dalam) gerakan-gerakan formal Islam. Dan demikian seterusnya, kata tersebut akan senantiasa mengalami pemekaran dan penyempitan kelompok yang diliputnya. Strategi perjuangan yang diikuti juga akan senantiasa berubah-ubah, mengikuti perubahan arti yang dimaksud dengan kata “umat” tersebut.

Spektrum jumlah manusia yang dimasukkan ke dalam kategori “umat” itu lalu juga memperlihatkan variasi yang kaya sekali dari masa ke masa, dari yang merupakan gugusan kelompok-kelompok kecil hingga seluruh kaum muslimin.

Tolok Ukur

Bagi para pelaku di panggung percaturan umat sendiri, perubahan arti dari waktu ke waktu itu tidak begitu dirasakan, karena apa pun maksudnya, ia selalu menggambarkan “kelompok perjuangan yang benar”, yang memiliki ciri-ciri sebagai muslim yang sebenarnya. Dengan kata lain, “umati dilihat sebagai tipe ideal, yang bersedia berkurban untuk mencapai cita-cita yang dibawakan Islam.

Terlepas dari sempitnya atau luasnya liputan kata “umat” itu, secara kualitatif gambaran-abstrak yang ditampilkannya adalah citra ketulusan perjuangan bagi kepentingan “kejayaan Islam dan kaum muslimin” (‘izzul Islam wal muslimin) dan “pengagungan sabda Allah yang luhur” (i’la-i kalimatillah hiyal ‘ulya).

Dalam operasionalisasinya, tujuan tersebut memang dapat saja dikongkritkan menjadi bermacam-macam slogan, seperti Darul Islam-nya Kartosuwiryo, negara Pancasila-nya para perumus Piagam Jakarta, masyarakat Islami-nya sementara kalangan muda di kampus-kampus saat ini, atau pun hanya sekedar ciri-ciri kekhususannya Partai Persatuan Pembangunan menurut versi hasil Muktamar I di Ancol.

Jalur yang dilalui perjuangan seperti itu —yang masih mencantumkan sasaran formal Islam sebagai tujuannya— dengan sendirinya memerlukan format tersendiri, yang tidak dapat begitu saja disamakan dengan perjuangan orang lain. Kekhususan format itulah yang sebenarnya membedakan gerakan-gerakan Islam dari gerakan-gerakan lain, yang tujuan formalnya dirumuskan secara sangat global: “mengajak kepada perintah Allah dan mencegah larangan-larangan-Nya” (amar ma’ruf nahi munkar).

Tidak ada gerakan Islam yang mampu menghindarkan diri dari format perjuangan ini, sedangkan penggunaannya oleh pihak lain di luar gerakan Islam justru memperkuat hubungan simbiosis antara umat dan format perjuangan tersebut. Bagi mereka yang diketahui tidak turut menghayati perjuangan gerakan Islam, kesediaan untuk memakai format itu justru dirasakan sebagai manipulasi oleh umat, setidak-tidaknya oleh kalangan pimpinannya.

Cepat atau lambat, tudingan jari ke arah para “manipulator” itu akan dilakukan oleh mereka yang merasa lebih berhak mewakili perjuangan Islam, seperti dialami Presiden Zia ul Haq di Pakistan saat ini. Oleh kalangan mahasiswa militan muslim ia dituduh menggunakan Islam hanya untuk sekedar mempertahankan kekuasaan belaka.

Ketiga unsur yang digambarkan itu —batasan arti umat, tujuan perjuangan dan format perjuangan— merupakan tolok ukur dari sebuah tilikan yang lengkap tentang perjuangan massa Islam di sebuah kawasan. Sudut pandangan yang dikemukakan Sidney Jones untuk melihat perjuangan massa Islam dari konsep keumatan yang digunakan oleh suatu gerakan Islam, akan mampu mengorek hakikat kesadaran keagamaan gerakan tersebut, karena ia akan menentukan orientasinya: apakah eksklusif, inklusif, utopis, atau justru mendunia?

Ia juga akan mengungkapkan kesadaran kesejarahan yang dimiliki gerakan tersebut: apakah sebagai bagian dari sebuah perjuangan umum kemanusiaan atau justru ingin merombak visi kemanusiaan yang umum diterima? Demikian pula, pengertian umat itu sendiri juga sangat menentukan dimensi politis dari perjuangan yang dilakukan, dalam arti bentuk kongkrit masyarakat yang akan dituju.

Tujuan perjuangan juga merupakan sudut pandangan yang menarik untuk melakukan tilikan atas perjalanan sebuah gerakan Islam. Tujuan yang dirumuskan secara kongkrit dan langsung akan memberikan aura yang berbeda atas perjuangan yang dilakukan, bila dibandingkan dengan tujuan yang sifatnya samar-samar.

Ketika Masjumi sebagai partai politik mencanangkan “negara sejahtera yang diridhoi Allah” (baldatun tayyibatun warabbun ghafur) tahun 1950-an, sudah tentu bekasnya pada kiprah para warga lalu menjadi sangat berbeda dari tujuan perjuangan partai Nahdlatul Ulama di kurun waktu yang sama, yang dirumuskan sebagai “menegakkan ajaran Islam menurut paham ahlussunnah wal jama ‘ah” saja.

Yang dimaksudkan dengan bekas-bekas itu adalah dampak dalam bentuk rumusan operasional perjuangan yang akan dilakukan, seperti lingkup bidang yang akan digarap, struktur kepemimpinan yang dibentuk dalam gerakan itu sendiri, dan proses pengambilan keputusan yang digunakan. Demikian juga, tawaran bentuk-bentuk kemasyarakatan yang diajukan kepada “kelompok sasaran” juga menjadi berbeda.

Format perjuangan juga menyajikan jendela yang menarik untuk melakukan telaah atas perilaku sosial gerakan-gerakan Islam di sebuah kawasan. Pada format yang canggih dan kompleks —seperti rumusan program sebuah partai politik Islam— selalu ada unsur untuk meletakkan diri dalam situasi “kita” melawan “mereka”, dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya.

Kasus pertentangan warga Nahdlatul Ulama yang oleh keadaan (seperti karena menjadi anggota KORPRI) tidak mungkin menjadi pendukung PPP di satu pihak dan kawan-kawan seorganisasi induk yang mendukung PPP adalah contoh menarik untuk dikemukakan dalam format perjuangan ini.

Begitu format perjuangan NU diubah oleh Muktamar XXVII di Situbondo, Desember 1984, yaitu ketika dinyatakan bahwa NU tidak lagi mempunyai kaitan organisatoris dengan partai/organisasi politik mana pun, perubahan besar dalam hubungan kedua belah pihak lalu langsung terjadi.

Masing-masing jendela penglihatan tersebut memang menarik untuk digunakan sebagai alat tela’ah, namun harus dalam keterkaitan satu dengan yang lain, guna memperoleh kebulatan gambaran yang diperlukan untuk memahami pola perilaku gerakan-gerakan Islam dalam kurun waktu yang berbeda-beda.

Untuk hanya melihat format perjuangan Muhammadiyah saja saat ini, tentulah sulit untuk mengetahui mengapa sebagian warganya merasa berat untuk menerima Pancasila sebagai asas organisasi tersebut. Gambaran yang utuh baru diperoleh, jika digunakan pula sudut pandangan pengertian umat yang dimiliki orang-orang Muhammadiyah tersebut, dan tujuan perjuangan mereka untuk menegakkan nilai-nilai dan pandangan hidup ke-Islaman dalam kehidupan masyarakat bangsa kita di masa depan.

Bagi mereka, nilai-nilai dan pandangan hidup tersebut sudah merupakan sesuatu yang baku, dan ditakutkan justru Pancasila sebagai asas organisasi akan mengurangi keadaan telah terbakukannya nilai dan pandangan hidup itu.

Memahami perilaku gerakan-gerakan Islam dengan ketiga sudut pandangan itu akan membawa kepada tela’ah yang menekankan proses terbentuknya suatu sikap, bukannya pendataan sikap atau pandangan yang telah selesai dan mantap. Pendekatan seperti ini sangat diperlukan, karena pengenalan proses itu akan memberikan wawasannya sendiri dan memperkaya khazanah bacaan yang selama ini terlalu menekankan situasi statis gerakan-gerakan Islam.

Ia juga dapat digunakan untuk melakukan prediksi atas perilaku massa Islam jangka panjang, setidak-tidaknya kecenderungan utama yang dapat timbul dari situasi tertentu yang dijalani kaum muslimin.

Organisasi Modern Islam

Jika ditilik dari ketiga sudut pandangan tersebut, menarik sekali untuk melihat perjalanan organisasi Islam moderen pertama di negara kita —Sarekat Dagang Islam yang didirikan H. Samanhudi di permulaan abad ini di Solo. Yang menarik adalah bahwa organisasi ini telah menampilkan citra modernitas, yang sebelumnya tidak dimiliki kaum muslimin di tanah jajahan Hindia Belanda.

Pertama, karena “umat” yang ingin dijangkau adalah lapisan tertentu dari masyarakat, sehingga ada pembedaannya dari apa yang dikandung oleh istilah “kaum muslimin” yang hanya berkonotasi umum belaka. Sudah tentu pilihan arti kata “umat” yang dilakukan Sarekat Dagang Islam (SDI) itu menentukan tujuan dan format perjuangannya. Umat yang diharapkan akan mendukung adalah lipisan pedagang; itu pun diutamakan dari kalangan saudagar belaka.

Format perjuangannya dengan sendirinya harus mampu merefleksikan kelompok pendukungnya, yaitu perjuangan praktis untuk meningkatkan kemampuan sosial-ekonomis, di samping pelaksanaan ajaran-ajaran agama para saudagar itu dalam kehidupan niaga mereka. Format yang demikian mencerminkan orientasi kekinian itu sudah tentu sangat berbeda dengan orientasi kaum tarekat misalnya.

Demikian pula, tujuan perjuangan yang mau tidak mau harus dikongkritkan dalam sasaran dan capaian rasional yang mungkin dicapai, tentunya sangat berbeda dari hanya sekedar tujuan umum “menyebarkan ajaran Islam” yang menjadi kesadaran kelompok-kelompok muslim lainnya.

Kalau dilakukan perbandingan lain yang lebih menarik, yaitu dengan benih-benih gerakan kaum muda di Sumatera Barat pada kurun waktu yang relatif bersamaan, apa yang dicapai SDI adalah sesuatu yang unik. Kaum muda di Sumatera Barat memang menginginkan terbentuknya kekuatan dan pola hidup yang berbeda dari kalangan tua yang mereka tentang, tetapi perubahan itu sendiri masih lebih banyak berwatak puritanisme agama (atau, dengan kata lain, modernisasi interen) daripada bertekanan hubungan keluar, seperti yang dialami SDI.

Pembaharuan kaum muda di Sumatera Barat adalah pembaharuan penafsiran agama secara formal-legalistik belaka, sedangkan pembaharuan SDI adalah perumusan kembali wawasan kolektif para pendukungnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini tidak berarti wawasan kaum muda di Sumatera Barat tidak memiliki dimensi kebangsaan dan kenegaraan, namun yang jelas telah ada kesadaran untuk mendudukkan SDI pada kerangka kemasyarakatan yang telah mengandung unsur-unsur kebangsaan dan kenegaraan.

Pada Sarekat Islam (SI), yang didirikan setelah masa SDI itu, lebih jelas lagi tampak wawasan kebangsaan dan kenegaraan. Yang dipersoalkan bukan lagi masalah apakah Islam terkait dengan masyarakat bangsa —dan dengan demikian harus memiliki wawasan kenegaraan— melainkan bagaimana harus dirumuskan lingkup dan jangkauan wawasan yang akan ditumbuhkan.

SI melihat dimensi kebangsaan dari kehidupan masyarakat terjajah di Hindia Belanda sebagai ikatan dasar yang meliput tidak hanya kelompok-kelompok yang memiliki persamaan primordial saja —seperti asal-usul etnis atau bahasa— melainkan juga memiliki kesamaan ideologis. Dalam konteks ideologis itu SI harus berkembang, yaitu sebagai pembawa ideologi tertentu yang sudah memiliki kejelasan rumusan —kerakyatan.

Atas dasar itulah SI menentukan format perjuangannya—perjuangan semesta untuk turut dalam percaturan kekuasaan pada sebuah negara yang memiliki otonomi sendiri, kalau bukan memiliki kemerdekaan politis sebagai sebuah negara yang berdaulat. Bahwa kemudian dalam SI muncul wawasan kenegaraan lebih kongkrit, —ketika SI Merah dengan ideologi komunistiknya— sama sekali tidak mengurangi kenyataan bahwa SI selama hidupnya yang pendek di masa penjajahan memiliki format perjuangan semesta itu.

Dalam wawasan seperti itu, massa Islam diajak untuk berkiprah di semua bidang kehidupan, dan sebuah kelompok pimpinan elite di puncak organisasi akan memusatkan seluruh kekuatan yang ditimbulkan oleh semua kiprah semesta itu ke dalam sebuah agenda perjuangan politik.

Dengan demikian, ada sebuah lompatan besar dari SDI ke SI, suatu lompatan berupa pertumbuhan dari kesadaran yang semula hanya untuk memajukan kesejahteraan dan kualitas hidup anggota belaka, menjadi kesadaran akan perlunya sebuah sistem kekuasaan yang akan menciptakan kesejahteraan yang diinginkan itu.

Ada semacam lompatan berbentuk kongkretisasi sarana penunjang yang dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita adanya negara yang dikuasai “pihak sendiri”. Masyarakat yang tadinya hanya digambarkan sebagai gugusan manusia dalam gerak-gerak individual dalam gambaran-cita yang dirumuskan SDI, lalu dipadatkan menjadi sebuah negara sebagai perangkat fungsional yang akan memberi warna ‘ke-Islaman’ (Islamicity) kepada kehidupan bangsa secara keseluruhan.

Lompatan SI itu, yang melibatkan massa Islam kepada sebuah upaya mendirikan atau membentuk masyarakat yang diletakkan dalam konteks bernegara, memberikan wawasan baru dalam kehidupan berbangsa kaum muslimin —wawasan berbangsa dalam artian nasion. Apa yang oleh Ibnu Khaldun dirumuskan sebagai “keterikatan kelompok” (‘ashabiyah) ternyata memiliki liputan yang tidak hanya terbatas pada sebuah unsur dominan belaka —seperti ras, bahasa dan adat-istiadat— melainkan oleh sesuatu yang lain.

Sesuatu itu, yang oleh Bung Karno selalu dikemukakan sebagai apa yang dimaksudkan Ernest Renan sebagai raison d’etre bangsa, adalah kesadaran akan persamaan nasib sebagai warga bangsa yang satu. Kesadaran berbangsa itu sendirilah yang melandasi keterikatan sebagai bangsa. Wawasan kebangsaan yang dimiliki SI sejak masa dini perjuangan kemerdekaan kita, adalah sumbangan terbesar SI bagi sejarah modern Indonesia.

Upaya-upaya untuk memperjuangkan pembebasan dari ikatan penjajahan Belanda sebelumnya, sebenarnya belum dapat dikatakan perjuangan kemerdekaan bangsa. Perang Aceh maupun perang Diponegoro, misalnya, tidak lebih adalah hanya perjuangan kemerdekaan dalam arti pembebasan teritorial tertentu dari kekuasaan penjajah.

Dalam kapasitas demikian, perjuangan SI adalah titik mula perjuangan kemerdekaan bangsa, dan inilah benang merah yang senantiasa terdapat dalam perjuangan semua organisasi masyarakat dan partai politik yang muncul dengan bendera Islam semenjak itu hingga kini. Muhammadiyah, yang sebenarnya justru lebih tua dari SI sebagai partai politik, pada awal berdirinya belum mengembangkan “semangat kebangsaan” seperti yang dikemukakan di muka. Baru setelah SI mengembangkan wawasan kebangsaan yang berdimensi nasion itulah Muhammadiyah lambat-laun mengembangkan hal yang sama dalam dirinya.

Demikianlah peranan besar SI dalam memulai dan kemudian mengarahkan kesadaran berbangsa kaum muslimin kepada wawasan yang baru. Itulah yang membuat begitu banyak gerakan Islam turut terlibat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, berkulminasi pada berdirinya Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang kemudian diikuti Masyumi.

Namun, perkembangan orientasi berbangsa ini kemudian menyempit kembali, ketika kelompok-kelompok muslim justru mengembangkan sesuatu yang baru sebagai dimensi kenegaraan dari kesadaran berbangsa yang dirintis SI itu. Dimulai dari serangkaian perdebatan tentang hakikat apa yang harus dimiliki negara yang dicita-citakan setelah kemerdekaan nantinya tercapai, segera muncul kesadaran baru yang dirumuskan sebagai “ideologi Islam”. Menurut kesadaran baru itu, negara yang harus didirikan seharusnya berdasarkan ajaran-ajaran dan wawasan keimanan Islam. Bahkan, kalau dimungkinkan, negara yang didirikan selayaknya secara formal disebut negara Islam.

Perdebatan berkepanjangan antara pemimpin-pemimpin Islam dan para pemimpin nasionalis seperti Soekarno adalah wahana utama ekspresi ideologis Islam tersebut dalam tahun 1930-an dan awal 1940-an. Kalau disimak secara seksama tulisan-tulisan M. Natsir masa itu akan tampak adanya keyakinan membara bahwa Islam adalah sistem kemasyarakatan yang harus didirikan di Nusantara.

Pertanyaan yang harus diajukan dalam hal ini adalah bagaimana massa Islam memandang persoalan hubungan Islam dan negara sebagaimana diperdebatkan para pemimpin mereka saat itu. Ternyata massa Islam tidak menghayati permasalahan tersebut, karena terbukti semua gerakan Islam tidak mampu melakukan mobilisasi kekuatan massal untuk mendukung gagasan para pemimpin muslim itu.

Sebagian besar kaum muslimin justru lebih cenderung untuk hanya menggelorakan kesadaran berbangsa dalam artian yang umum, tidak seperti yang diajukan para pemimpin Islam itu. Kenyataan pahit ini terbukti dari sedikitnya respons tertulis maupun terorganisir yang diberikan kepada gagasan-gagasan mereka.

Faktor Komplementer

Betapa pahitnya kenyataan tersebut, yang jelas kekuatan ideologis Islam itu cukup besar dalam percaturan di tingkat atas dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, sebagaimana terbukti dari kehadiran para pemimpin berhaluan itu dalam upaya persiapan kemerdekaan Indonesia, dan kemudian dalam mempertahankan kemerdekaan melalui revolusi fisik 1945-1949.

Karena besarnya kekuatan di tingkat atas itulah lalu terjadi status quo mengenai hakikat negara, ketika persiapan kemerdekaan memasuki taraf terakhir. Kemacetan itu ditembus dengan rumusan sederhana, berupa rumusan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila tersebut merupakan simbolisasi besarnya kekuatan ideologis Islam, namun yang tidak mampu memegang dominasi percaturan di tingkat atas karena tidak memperoleh dukungan luas dari massa Islam sendiri.

Jika dukungan itu cukup besar, tentunya tidak akan begitu saja rakyat menerima bentuk kompromistik yang dicapai para pemimpin nasional kita waktu itu. Yang terjadi justeru sebaliknya, yaitu semakin mantapnya Republik Indonesia sebagai negara yang pada hakikatnya hanya bersendikan kebangsaan belaka.

Kenyataan inilah yang rupanya masih belum tuntas dipahami oleh sementara kalangan pergerakan Islam di Indonesia saat ini. Bahwa kesadaran berbangsa sebagai penggerak utama (prime mover) bagi cita-cita kehidupan kita sebagai bangsa, adalah sesuatu yang harus diterima sebagai fakta obyektif yang tuntas.

Secara bertahap tetapi pasti, penerimaan atas kenyataan ini telah berlangsung secara menetap di kalangan gerakan Islam. Muhammadiyah yang menyatakan diri tidak terlibat dengan partai politik mana pun sejak tahun 1970-an, tidak lain telah menyatakan secara tak langsung sia-sianya upaya “mengembalikan” perjalanan sejarah bangsa kepada sesuatu yang dirasakan “Islami”, entah apa pun maksud kata tersebut.

Demikian juga Nahdlatul Ulama, dalam rumusan hasil Muktamar ke-XXVII di Situbondo baru-baru ini justru menyebutkan Republik Indonesia sebagai bentuk final dari upaya kaum muslimin untuk membentuk negara di kawasan Nusantara.

Ketidakmampuan membaca perkembangan kesadaran kenegaraan kaum muslimin ini akan berakibat jauh, karena bagaimana pun juga akan muncul pandangan yang terlalu idealistik tentang hubungan Islam dan negara.

Ajaran Islam —sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara kita— seharusnya diperankan sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, bukannya faktor tandingan yang akan berfungsi desintegratif terhadap kehidupan bangsa secara keseluruhan.

Konstatasi yang bernada pamflet politik atau khutbah ideologis ini adalah penyimpulan penulis tentang perkembangan hakikat negara dan bangsa dalam pemikiran kaum muslimin, semenjak berdirinya SDI hingga kini. Dari kesadaran abstrak tentang perlunya sebuah masyarakat bangsa tanpa mempersoalkan bangunan negaranya, pemikiran itu kemudian berkembang menjadi kesadaran berbangsa yang memiliki wawasan nasional sebagaimana kita kenal sekarang.

Dari kesadaran berbangsa selaku nasion Indonesia itu, lalu tumbuh pemikiran untuk menumbuhkan negara yang berhakikatkan Islam, namun yang akhirnya terbentur kepada kenyataan langkanya dukungan massa Islam sendiri secara kongkrit untuk menembus status quo yang ada.

Walaupun dalam sidang Konstituante gerakan Islam masih mencoba sekali lagi untuk memunculkan hakikat negara seperti itu, namun dalam keseluruhannya kiprah gerakan Islam justeru menunjukkan kemampuan menerima kondisi obyektif tersebut, dan mencukupkan “perjuangan” yang mereka lakukan untuk menjadikan Islam sebagai salah satu faktor komplementer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi itu tidak menutupi kenyataan, bahwa masih cukup besar jumlah kalangan pergerakan Islam yang berpegang pada pola idealistik yang menganggap Islam sebagai pegangan hidup yang tidak seharusnya berfungsi komplementer terhadap ideologi atau paham-paham kenegaraan lain.

Memang tidak dinyatakan secara eksplisit. Yang diajukan sebagai agenda adalah bagaimana menjadikan Islam sebagai “pemberi warna tunggal” bagi kehidupan masyarakat. Dengan ungkapan lain, Islam adalah alternatif terhadap apa yang ada dewasa ini —termasuk terhadap kesadaran berbangsa dalam arti nasion, begitu dominan mewarnai kehidupan bangsa hingga saat ini.

Untuk lebih memungkinkan pengukuran obyektif atas wawasan “pemberi warna tunggal” itu, seharusnyalah dilakukan tela’ah mendalam dan cermat atas keinginan massa Islam, dalam artian rakyat banyak yang tampaknya sudah berdamai dengan ideologi negara dan sekaligus masih mampu mempertahankan kehidupan mereka dalam konteks “Islami” tersendiri, yang berukuran lokal dan aplikatif hanya terhadap individu.

Massa Islam itu tampaknya puas dengan akomodasi yang dilakukan NU dan Muhammadiyah, sebagai perwakilan terpenting kaum muslimin di Indonesia, untuk menerima fungsi komplementer bagi Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini terbukti dari dukungan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan kedua organisasi tersebut maupun dari luasnya jangkauan keanggotaan mereka.

Dewasa ini massa Islam memang berada dalam situasi resah, karena berbagai faktor. Proses pembangunan bangsa secara keseluruhan masih belum jelas warna dasarnya, apakah akan menuju kepada tekanan semakin lama semakin berlebih pada pengembangan hak-hak masyarakat, atas kerugian hak-hak individual yang semakin hari semakin berkurang.

Perkembangan keadaan juga masih belum menunjukkan tanda-tanda asas kekeluargaan akan menjadi “warna dasar” struktur ekonomi kita, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 33 UUD 1945. Keterasingan kita satu dari yang lain kian hari kian terasa, karena distorsi konsep-konsep yang kita gunakan dalam mengatur kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya diakibatkan meluasnya penyalahgunaan wewenang semua pihak.

Semuanya itu memang merupakan sumber kegundahan bagi warga masyarakat selaku individu maupun sebagai anggota kelompok. Dengan demikian, tawaran alternatif senantiasa akan memperoleh sambutan, sebagai “obat penawar” bagi keadaan yang menggundahkan perasaan itu. Namun haruslah diingat, bahwa penerimaan seperti itu kepada sebuah tawaran alternatif hanya akan berumur pendek, selama sebab-sebab kegundahan hati itu masih ada.

Sedangkan bangsa Iran yang secara formal telah menerima “sistem sosial Islam” sebagai alternatif ideologis bagi semangat kebangsaan Iran yang dominan sebelumnya, masih juga harus membuktikan bahwa penerimaan Islam sebagai hakikat negara akan dapat bertahan setelah Ayatollah Khomeini meninggal dunia nanti.

Apalagi kalau “respons positif” itu hanya diperoleh dari kelompok-kelompok kecil yang berserakan. Selama kelompok-kelompok “tawaran alternatif” itu belum berhasil membuktikan penerimaan luas oleh masyarakat muslim sendiri, sudah selayaknya jika pandangan bahwa Islam adalah faktor komplementer bagi ideologi negara Pancasila dianggap sebagai representasi dominan di kalangan massa Islam.

Dengan demikian, pengertian kata “umat” Islam lalu menjadi umum, meliputi semua kaum muslimin di Indonesia. Demikian pula, format perjuangannya adalah partisipasi penuh dalam upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis, dan penuh keadilan di masa depan. Dan akhirnya, tujuan perjuangannya adalah memfungsikan Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari masyarakat kita. Ke sanalah hendaknya kesadaran massa Islam diarahkan dan dikembangkan oleh gerakan Islam di negara kita.