Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis

Foto: https://gusdur.net/pesantren-pendidikan-elitis-atau-populis/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Seleksi dan Pesantren

Arah Pendidikan ditentukan oleh mereka yang berkelibat dalam kegiatan pendidikan. Untuk siapakah seluruh sistem pendidikan pesantren? Bilamana hal ini dipertanyakan untuk siapakah seluruh sistem pendidikan pesantren, jawaban bisa diberikan dalam bentuk konstatansi tentang pesantren dalam kalangan pesantren sendiri sebagai berikut: bilamana dari puluhan ribu santri yang tinggal di pesantren setengah persen saja diantaranya dapat menjadi ahli agama, itu sudah merupakan hasil yang “maksimal”. Hal tersebut mencerminkan proses seleksi yang ketat sekali dalam pesantren masa sekarang. Inilah titik balik dari perkembangan pesantren yang menjalani masa hidupnya ratusan tahun hingga sekarang. Penyaringan yang ketat adalah penanaman benih Elitisme dalam pesantren. Hal seperti ini sebenarnya berbeda dengan pesantren sebagaimana dapat ditelusuri kekhasannya pada titik mulanya yang paling awal. Di masa-masa yang lalu pesantren itu adalah satu-satunya lembaga pendidikan. Dalam saat di mana semua mereka yang memiliki darah biru kebangsawanan dan mereka yang karena hubungannya dengan keraton dididik dalam lembaga pendidikan kekeratonan, pesantren menampung semua lapisan masyarakat yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan keraton.karena itu dulunya pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga pendidikan umum; didalamnya tidak hanya diajarkan agama.

Dalam perkembangannya akhir-akhir ini tampak kecenderungan untuk menciptakan pesantren sebagai lembaga pencetakan para ulama. Penyempitan kriterium dengan sendirinya bergerak menuju penciutan lapangan bagi orang yang akan dikirim ke pesantren yaitu orang-orang yang merasa dirinya santri dan memiliki komitmen kepada Islam sebagai ideologi. Dengan mempertahankan kriterium semacam ini maka bisa dilihat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan dimana tingkat drop-out cukup besar.

Itulah perkembangannya pada tahun menjelang kemerdekaan sampai kira-kira tahun tujuh puluhan ini. Pada tahun-yahun terahir timbul elemen baru di mana pesantren merupakan penampung ribuan bahkan puluhan ribu mereka yang karena alasan tertentu tidak dapat ditamping di sekolah-sekolah luar baik karena faasilitas, biaya dan lain sebagainya, maupun karena tak dapat memenuhi standarnisasi etah itu akhlak atau persyaratan lain yang terdapat di sekolah umum. Bahkan pada tahun-tahun terakhir pesantren itu juga dapat tambahan fungsi untuk menampung anak-anak nakal yang tidak dapat diatasi oleh sekolah-sekolah lain atau oleh orang tuanya. Malah pesantren juga menjadi menampung anak-anak yang menjadi korban erosi kultur dalam kota-kota besar.

Jadi dengan demikian, tidak dapat ditentukan dengan persis dari mana asal-usul kalangan yang mengirim anak-anaknya ke pesantren. Ia selalu berubah menurut perubahan fungsi dari pesantren itu sendiri. Sepintas kelihatan semua pesantren sama. Di atas ada kiai, santri, dan tempat penampung. Akan tetapi selebihnya berbeda, seperti sidik jari yang senantiasa berlainan menurut telapak setiap tangan.

Bisa saja dikatakan bahwa ada orientasi elitis dalam pesantren. Itupun tergantung lagi pada pemahaman kita tentang elitisme. Bilamana dengan orientasi elitis dimaksudkan tingkat sosial-ekonomis dari orang tua anak yang dikirim ke pesantren, juga dalam hal ini tidak dapat dilihat kesamaan dari pesantren yang satu ke pesantren yang lainnya. Bisa disebut beberapa contoh seperti pesantren tarekat dan Pesantren Tebuireng yang kebanyakan menampungmereka dari kalangan bawah. Seddangkan pesantren seperti Gontor jelas kelihatan bahwa yang di tampung disana adalah mereka dari kalangan pedagang dan intelektual. Anak-anak dari mereka yang dianggap kaum pemikir dalam masyarakat, guru dan lain sebagainya. Dari segi ini bisa dilihat orientasi elitis di sana.

Pada pihak lain konsep elitisme dalam pesantren juga tak bisa diterima secara serta-merta. Melihat tempatnya yang di desa dia menampung mereka yang karena alasan sosial ekonomis tidak tertampung di tempat lain. Ini berarti juga dia menampung mereka yang tidak memiliki privilese-privilese sosial. Hasilnyapun dapat dilihat. Pesantren senantiasa menghasilkan pemimpin masyarakat yang pandangan hidupnya populis, baik itu dari kalangan ABRI maupun dari Parpol/ormas yang tidak terikat pada stratifikasi sosial yang beraneka ragam itu.

Mengubah Wajah Pesantren: Matangkan Kerangkanya

Bahwa pesantren lebih memberikan kesan sebagai lembaga pendidikan keagamaan mungkin itu adalah kesan yang sulit dielakkan. Akan tetapi pengertianya harus dijelaskan terlebih dahulu. Karena ada memang pesantren di mana dikhususkan pendidikannya untuk mencapai spesialisasi dalam bidang keagamaan. Misalnya di Tebuireng dimana diadakan spesialisasi tentang Hadis, Ilmu Tafsir, atau di Krapyak dimana dibuat spesialisasi tentang ilmu-ilmu bahasa Arab. Akan tetapi ada juga yang hanya memberikan pelajaran agama sebagai dasar. Dan tidak sampai menuju kepada spesialisasi.

Dari segi pandangan lain bisa dikatakan sebagai berikut. Pendidikan keusahawanan misalnya bukanlah suatu yang asing dalam pesantren. Terutama tentang konskuensi dari pendidikan semacam itu yaitu etos kerja keras. Hal semacam itu selalu menjadi tekanan pokok dalam pendidikan di pesantren. Akan tetapi pendidikan kepengusahaan tersebut tidak terkoordinir dan tidak direncanakan dan untuk itu dibuat kerangkanya. Akibatnya akan keluar usahawan-usahawan yang mencari-cari jalan sendiri. Mereka akan menjadi usahawan-usahawan yang otodidak, yang tidak mendekati masalahnya dari segi-segi ilmiah tetapi berdasarkan intuisi.

Akhir-akhir ini ada upaya memasukkan kedalam pesantren pendidikan keterampilan. Usaha semacam itu adalah usaha yang terpuji dan bukanlah suatu yang buruk dalam pendidikan keterampilan semacam itu hanyalah keterampilan demi keterampilan dan meniru sekolah-sekolah ASMI misalnya. Sekolah-sekolah semacam itu adalah konsumsi kota besar, dia tidak berfunfsi bagi sekolah yang tempatnya di desa dan beriorentasi mneuju desa, karena memang bukan semua tamatannya akan menuju ke kota. Setenografi, demikian pula pelajaran mengetik tidaklah terlalu penting bagi masyarakat di desa. Yang jauh lebih penting ialah pendidikan pengusahaan yang menitik beratkan misalnya bagaimana melihat desa sebagai suatu potensi pasaran, serta bagaimana mengolahnya.

Dan kitapun melihat lagi perubahan sebagaimana yang dilakukan di pesantren Darul Falah di Bogor. Disana pelajaran agama sangat minim. Disana dilatih keterampilan pertanian, peternakan dan lain-lain. Sebenarnya hampir-hampir bisa dikatakan bahwa bukanlah pelajaran agama yang di berikan di sana, tetapi ilmu untuk menyadari pentingnya arti agama.

Yang terpenting ialah pada mereka di tanam kesadaran dan keinginan mengubah kehidupan masyarakat melalui penciptaan etos kerja berdasarkan suatu pandangan agama di bidang pertanian misalnya. Dan itu tidaklah menjadi soal. Ia bukanlah suatu yang buruk. Asal saja memang ada kerangkanya. Disinilah letak kelemahan program keterampilan yang diadakan departemen agama. Tidak diciptakan kerangkanya. Sepanjang yang saya dengar hanya untuk menumbuhkan sifat keterampilan di kalangan santri, agar santri bisa mencari makanannya sendiri. Akan tetapi yang lebih dibutuhkan ialah kerangka yang mampu menumbuhkan sikap jiwanya. Sebab kalau hanya keterampilan yang diajarjan, tanpa dibilang mengapa dan apa gunanya, hasilnya seperti yang disaksikan sekarang. Banyak pesantren yang menolak pendidikan keterampilan dari ddepartemen agama. Ini suatu kenyataan yang harus diakui. Program semacam ini hanyalah diterima oleh pesantren yang kecil saja sedangkan pesantren besar dan berpengaruh menolaknya. Kalaupun mereka menerima, hanyalah sebagai hiasa bibir belaka. Dan tidak ada yang menerima secara terbuka dan menjadikannya suatu program, karena memang tidak ada kerangkanya. Dan karena itu orang tidak merasa komitmen kepada suatu tujuan.

Hidupkan Sikap Sosial Penunjang

Perkembangan masyarakat banyak menuntut perubahan yang harus dilakukan oleh pesantren. Tentu saja hal semacam ini tidaklah mudah mengingat tradisi Lembaga pesantren yang sudah berabad-aabad lamanya. Banyak hambatan yang harus dilewatinya sebelum suatu jenis perubahan tertentu ditawarkan. Hambatan pertama adalah sebenarnya soal pimpinan. Kepemimpinan pesantren adalah suatu Lembaga yang turun-temurun atau modelnya hirarkis. Karena itu sulit untuk diadakan perpindahan yang wajar secara teratur baik pembinaan calon penggantinga. Ini yang harus dipecahkan dan cara pemecahannya adalah komikasi yang lebih efektif antara calon pemimpin pesantren. Bilamana mereka yang tua telah mapan dan sulit berubah, maka hal semacam itu haruslah lebih dituntut dari mereka yang lebih muda. Dari mereka yang lebih muda diminta suatu pemikiran dalam konteks makro, yaitu memikirkan pesantren secara keseluruhan dan bukannya pesantrennya sendiri saja.

Masalah kedua ialah masalah pembiayaan pesantren. Dulu pesantren didukung oleh masyarakat dalam pembiayaan dan sebagainya. Akan tetapi hal semacam itu pada masa dahulu merupakan suatu kebiasaan sosial dan karena itu tidak dilembagakan. Akan tetapi setelah kita sanggup lagi mengembangkan etik sosial yang membiasakan masyarakat membiayainya sekarang, akhirnya pesantren kekeringan biaya. Lantas mereka akan berbondong-bondong memalingkan mukanya kepada pemerintah untuk meminta bantuan. Sedangkan pemerintah sudah dibebani beban yang berat dalam pembiayaan pendidikan. Pada hemat saya inilah suatu kekeliruan. Kesalahanya bukan pada faktor memintakan bantuan kepada pemerintah. Akan tetapi kesalahan terbesar ialah puhak pesantren tidak mampu menciptakan sikap sosial tertentu yang memungkinkan atau mendorong masyarakat membiayai pesantren. Hanya kemauan yang kuat dari pihak pesantren dan masyarakat mampu menumbuhkan sikap sosial semacam itu.