Kembali ke 1A Kumpulan Tulisan GD

Muslim di Tengah Pergumulan

1A Kumpulan Tulisan GD
Muslim di Tengah Pergumulan
Judul
Muslim di Tengah Pergumulan
Penulis
Abdurrahman Wahid
Penerbit
LEPPENAS Jakarta, September 1981 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Sinopsis

Ada 16 esai dalam buku ini. Judul buku Muslim di Tengah Pergumulan telah menggambarkan isi dari esai-esai yang ditulis pada tahun 1978-1981. Pun demikian, catatan-catatan dalam buku ini masih relevan dengan kondisi sosial keagamaan kita hari ini—karena sebagian besar tema yang dibicarakan termasuk kategori timeless.

 

Satu hal yang menarik untuk dicermati dalam esai Gus Dur adalah cara penulisannya. Menggunakan sistematisasi angka (1, 2, 3, 4—bahkan ada poin yang sampai angka 7). Kerangka penulisan itu tampak berbeda dengan cara penulisan di buku-buku lainnya. Misalnya, Bunga Rampai Pesantren (yang secara tahun bersamaan ditulis pada era 70-80 an), unda-undi. Dalam hal ini, Gus Dur tahu siapa mukhatabnya, yang sedang diajak bicara.

 

Kehadiran esai-esai Gus Dur ini tidak hadir pada ruang kosong. Tetapi ada kejadian yang melatarbelakanginya. Esai ditulis ditujukan untuk mengisi atau tengah menjadi narasumber pada suatu acara. Entah itu seminar, diskusi, ceramah, atau pun lokakarya. Namun ada juga esai yang ditulis hasil kolaborasi dengan Zamachsjari Dhofier, dimuat di Jurnal Prisma edisi April 1978.

 

Sebab itu, dalam pengantarnya Gus Dur menggarisbawahi, esai-esai ini ada yang ditujukan untuk publik terbatas (pengambil kebijakan/decision makers), ada juga yang ditujukan untuk kalangan umum, tak dibatasi, seluas mungkin, tergantung kelompok mana yang saat itu mengundangnya. Gus Dur juga menuliskan catatan pergumulan dalam buku ini untuk warga Muhammadiyah saat mengisi diskusi panel dengan warga Muhammadiyah di Jakarta tahun 1981.

 

Dalam esainya, Gus Dur juga memberikan referensi atau bahan bacaan apa saja yang dirujuknya. Seperti buku The Age of Jackson dan Structure of Islam (Levy) dalam tulisan Pengenalan Islam sebagai Sistem Kemasyarakatan. Ada juga bacaan-bacaan lain yang kemudian disajikan dalam bentuk catatan kaki—dalam hal ini, Gus Dur khusus menulisnya untuk Jurnal Prisma.

 

Secara garis besar, pergumulan yang dibicarakan adalah hubungan dengan umat islam sendiri (internal) maupun hubungan sosial keagamaan dengan agama-agama lain (eksternal). Lebih tepatnya esai-esai ini untuk bahan materi  diskusi psikologi agama, karena Gus Dur tengah mengamati gejala-gejala sosial dalam umat beragama.

 

Seperti dalam tulisan Islam, Seni, dan Kehidupan Beragama, Gus Dur menulis ekspresi keagamaan umat beragama yang berbeda-beda, hal itu dipengaruhi oleh modernitas. Gus Dur menulis bahwa gereja Kristen dulu lebih menyukai lagu-lagu paduan suara (hymne), namun kemudian bergeser seni suara perorangan (soul dan blues). Sementara dalam pembacaan maulid dziba dan al-Barjanzi, sebagian umat Islam ada yang memilih menggunakan bahasa Arab, namun ada yang lebih meresapi dengan bahasa Jawa, karena pengaruh kraton Mataram.

 

Pesan yang ingin disampaikan oleh Gus Dur bahwa kesenian-kesenian Islam itu tidak hanya sebatas ‘label’, namun justru kesenian yang tidak menggunakan jubah/label Islam, seperti ludruk, pesan-pesannya malah islami. Yakni tentang demokratisasi, kebebasan berekspresi.

 

Dalam tulisan lainnya yang ditujukan untuk internal Islam, Gus Dur mengkritik umat Islam yang ‘terlalu’ memuja-muja romantisme peradaban masa lalu, golden age atau kejayaan Islam. Gus Dur lalu memberikan beberapa teori atau syarat penyusunan teori sistem kemasyarakatan Islam yang ideal.

 

Pesan-pesan Gus Dur dalam buku ini adalah berbicara tentang manusia, sebagai ciptaan terbaik (ahsana taqwim), sekaligus sebagai khalifah. Sebab itu, hak-haknya harus dipenuhi, jangan ada pengekangan termasuk kebebasan berpendapat.

 

Sebagai khalifah, manusia juga berperan untuk mencari kemaslahatan dan menghindari kesalahan atau mafsadah (kerusakan). Tak lupa Gus Dur mengingatkan supaya kita mencari solusi dari setiap masalah kehidupan diselesaikan sesuai tuntunan ajaran al-Qur’an. Terutama problem kemanusiaan, yang harus sesuai dengan hak asasinya.

 

Narasi yang ditekankan oleh Gus Dur bahwa problem atau pergumulan kita dari dulu sampai sekarang adalah tentang ketidakadilan, kebodohan, dan kemiskinan. Jika umat Islam ingin bangkit maka harus fokus pemecahannya pada ketiga hal itu. Jangan terjebak pada perdebatan yang itu-itu saja, tak pernah selesai. Buka ruang dialog, kerjasama yang tulus, dan hilangkan sikap saling curiga atau watak-watak eksklusif.