Pengenalan Islam Sebagai Sistem Kemasyarakatan

Sumber Foto: studiislamfarmasi.blogspot.com

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tulisan ini tidak bermaksud untuk memperkenalkan secara mendalam Islam sebagai sistem sosial/kemasyarakatan. Studi mendalam tentang itu belum pernah dibuat secara bersungguh-sungguh, didasarkan atas pengamatan empiris di samping pengkajian literatur secara mendalam. Satu-satunya karya ilmiah yang mendekati usaha seperti itu adalah bukunya Levy [1], (The Social Structure of Islam). Gib [2] dan kawan-kawan telah melakukan serangkaian studi tentang beberapa masyarakat lokal dengan mayoritas penduduk muslim, tetapi secara keseluruhan kesemua karya mereka belum memberikan gambaran lengkap tentang sistem kemasyarakatan Islam dalam semua tahap-tahap perkembangannya. Karenanya, sangat naiflah jika tulisan ini ditujukan kepada kerja seperti itu. Lebih tepatlah kiranya jika dikemukakan cara-cara untuk melakukan pengkajian mendalam dan terperinci seperti itu, karena bagaimanapun juga ia merupakan kerja raksasa yang harus dilakukan oleh banyak orang. Kesamaan landasan, kerangka dan cara kerja akan sangat membantu tersusunnya karya-karya mendalam tentang Islam sebagai sistem kemasyarakatan.

Yang dimaksudkan dengan studi sistem kemasyarakatan (social system) bukanlah tentang struktur kehidupannya yang bersifat organisatoris belaka, melainkan “pengaruh tata kehidupan masyarakat atas tingkah-laku para warganya”. Dengan demikian, yang akan dikaji adalah sebuah proses timbal balik antara tata kehidupan dan tingkah laku para warga sebagai dua komponen yang masing-masing berdiri sendiri (independen), tetapi yang sekaligus berstatus interdependen dengan masyarakat lain.

Untuk mengetahui proses tersebut dalam dinamikanya, ada sejumlah perangkat yang diamati pertumbuhannya dalam tata kehidupan masyarakat yang bersangkutan, yaitu perangkat-perangkat berupa orientasi-nilai (value-orientation) pola kelembagaannya, motivasi penyimpangan (demance motivation) di dalamnya, mekanisme kontrol sosial di dalamnya, dan tata keyakinan (belief-system) yang dimilikinya. Kesemua perangkat itu, baik secara institusional maupun secara komplementer memberikan warna tersendiri atas corak kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Warna itu sering dikenal sebagai ciri, watak atau gaya kehidupannya.

Pemahaman yang berkembang di kalangan kaum muslimin selama berabad-abad jelas sekali akan sangat beranekaragam, tergantung dari faktor-faktor geografis, historis dan sosiologis yang mempengaruhi pemahaman masing-masing. Tetapi, kalau ditarik garis umum atas kesemua jenis dan ragam pemahaman yang pernah direkamkan secara tertulis atau diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, dapatlah dikemukakan watak-watak umum pemahaman itu sebagai berikut:

Terlalu mengidealkan masyarakat Islam itu sendiri, sehingga yang dihasilkan adalah spekulasi-spekulasi indah (ideal speculatives) yang tidak mencerminkan keadaan nyata;

  1. Pendekatan yang dilakukan berwatak sangat subyektif, yang terbawa oleh keterlibatan terlalu dekat (close attachment) dengan obyek upaya pemahaman itu sendiri. Ini tidak mengherankan, karena bagaimana pun juga, setiap muslim diperintahkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar, yang tidak lain berarti perintah mewujudkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Kewajiban ini membuat mereka sangat mendambakan terwujudnya masyarakat ideal di muka bumi ini, sehing ga mau tidak mau kedambaan itu mempengaruhi hasil pemahaman yang dilakukan, menjadi tidak lagi realistis sepenuhnya.
  2. Non-kompromistis dalam penggambaran ciri-ciri, watak dan gaya kehidupan masyarakat Islam, sehingga pemahaman yang dihasilkan terlepas hampir seluruhnya dari konteks/kerangka kesejarahan. Dapat dicontohkan di sini tendensi untuk terlalu sesisi dalam penggambaran masa emas (the golden age) kehidupan masyarakat di kurun-waktu (age span) kehidupan para sahabat [3] dan tabi’in.[4] Seolah-olah masyarakat waktu itu demikian sempurna, menjadi “Civitas Dei” (kota Tuhan) yang hanya dihuni para malaikat.

Dapat dipahami mengapa perkembangan pemahaman kaum muslimin selama ini berwatak seperti di atas. Perkembangan sejarah Islam selama berabad-abad senantiasa menunjukkan dua perkembangan kembar berikut ini yaitu berupa semakin morosotnya kekuatan sosiopolitis kaum muslimin yang dibarengi oleh semakin berkembangnya kekuatan sosio-kulturalnya. Di satu pihak diakui atau dirasakan kemunduran besar yang menerbitkan pesimisme di kalangan mereka yang mencoba melakukan pemahaman itu, sedangkan di pihak lain diharapkan peningkatan sosio-kultural yang terjadi akan membawa masa keemasan baru. Hasilnya adalah pelarian kepada idealisasi masa lampau kehidupan masyarakat Islam secara keseluruhan. Dalam bentuknya yang lain, kecenderungan ini menimbulkan sikap yang menunjuk kepada “kelebihan-kelebihan” peradaban Islam atas peradaban lain. Kecenderungan ini terlihat nyata dalam perwatakan modernisasi Islam, yang hampir seluruhnya diarahkan kepada penciptaan sistem kehidupan masa lampau dengan baju ideologis masa sekarang. Hasilnya tidak dapat dihindarkan lagi, adalah pemahaman yang dangkal atas corak kehidupan peradaban Islam di masa lalu, yang dengan sendirinya berarti pula dangkalnya pemahaman Islam sebagai sistem kemasyarakatan.

Sebab-sebab utama dari pemahaman seperti itu adalah mentahnya pencernaan gagasan-gagasan dan pengetahuan yang diterima dari luar, dan faktor perkembangan historis tentang kemunduran sosio-politis dan peningkatan sosio-kultural yang digambarkan di atas. Kedua sebab ini saling bertali satu dengan yang lain dalam sebuah lingkaran setan yang tak berkeputusan. Ia sekaligus merupakan bagian dari perkembangan benturan budaya antara peradaban Islam dan peradaban-peradaban lain, dan percikan dari perkembangan itu sendiri. Sikap bertahan (defensive posture) terhadap “serangan-serangan budaya” (cultural penetration) dari luar yang dikombinir dengan sikap menyerang (agressive stance) yang dibawakan oleh keyakinan akan kebenaran sendiri membawa kepada mentahnya pencernaan dan sekaligus tidak realistisnya pemahaman.

Dari pengetahuan akan keadaan pemahaman yang ada di kalangan kaum muslimin sendiri dan sebab-sebab yang menimbulkannya, dapatlah disusun beberapa premis tentang pengenalan atas Islam sebagai sistem sosial secara lebih obyektif dan realistis. Premis-premis itu akan dituangkan di bawah ini, dalam dua bagian utama, yaitu: prasyarat ilmiah bagi penyusunan teori tentang Islam sebagai sistem kemasyarakatan, dan aspek-aspek Islam yang perlu diamati secara empiris dan non-empiris sebagai bagian dan sistem kemasyarakatannya.

Prasyarat penyusunan Teori Sistem Kemasyarakatan Islam, yang dikemukakan akan meliputi tiga bidang utama pula, yaitu bidang-bidang berikut:

  1. Pengenalan pertumbuhan Islam secara historis, melalui studi kesejarahan yang bersifat klasik. Termasuk dalam studi ini semua bidang yang bersangkut paut dengan perkembangan kesejarahan, seperti studi perkembangan bahasa dan budaya (cultural history), perkembangan perekonomian (economic history), perkembangan politis dan administratif (political and administrative history), dan seterusnya. Pengkajian kesemua bidang itu akan memberikan gambaran yang sebenarnya tentang kekuatan dan kelemahan Islam sebagai peradaban, gambaran mana sangat diperlukan untuk menyusun pengenalan yang mendalam atas watak-watak hidup Islam sebagai tata kehidupan.
  2. Pengenalan pemikiran sistematis yang relevan dengan kenyataan obyektif yang ada dalam tata kehidupan kaum muslimin selama jarak waktu berabad-abad, melalui studi empiris atas perangkat-perangkat yang telah disebutkan di atas. Pengenalan secara empiris ini akan menumbuhkan ketajaman pisau analisis di kalangan mereka yang ingin melakukan pemahaman mendalam dan terperinci atas Islam sebagai sistem kemasyarakatan.
  3. Pembenahan ideologis sebagai sarana bagi kedua jenis pengenalan di atas. Yang dimaksudkan dengan pembenahan ideologis itu adalah pemberian perhatian yang cukup besar di kalangan kaum muslimin atas pentingnya pengkajian mendalam tentang kehidupan beragama mereka sebagai sistem kemasyarakatan. Perhatian seperti itu akan membawa kepada pemberian prioritas kepada studi kesejarahan dan analisis empiris, yang merupakan prasyarat bagi pemahaman yang sehat dan berimbang.

Aspek-aspek Islam sebagai sistem kemasyarakatan yang perlu dikaji secara mendalam, sebagai komponen inherent dari sistem kemasyarakatan Islam, meliputi hal-hal berikut:

  1. Aspek-aspek kelembagaannya
  2. Proses dinamisasi pranata hukum agama sepanjang sejarah Islam, yang meliputi sub-sub aspek berikut: iftâ’-tasyri-qadlâ’. Pranata hukum tidak henti-hentinya mengalami perubahan dalam fungsionalisasi dirinya dan perkembangan tak berkeputusan inilah yang dikaji secara mendalam.
  3. Proses perluasan wilayah “dogma/’aqidah” sepanjang sejarah perkembangan sejarah Islam sendiri. Proses ini tidak berjalan melalui garis perkembangan yang rata, melainkan dalam proses mengembang-mengerut-mengembang lagi, sehingga berbentuk pola zigzag. Tetapi secara keseluruhan, pola yang diperlihatkan adalah pola perluasan berjangka panjang.
  4. Proses perkembangan Islam sebagai gerakan. Gerakan keagamaan dalam Islam memegang peranan sangat penting, ia memberikan warna yang jelas kepada perkembangan tata kehidupan Islam sendiri.
  5. Proses reorientasi dakwah, yang terjadi terus-menerus, dalam kaitan dengan perkembangan politis-militer yang terjadi di sesuatu waktu:
  6. Aspek-aspek nilai, yang meliputi dua bidang berikut:
  7. Aspek tumbuhnya value-orientotion Islam yang bersifat universal (kesadaran akan perlunya penerapan hukum agama dalam kehidupan, penerimaan atas gagasan jihad sebagai kewajiban, dan sebagainya) dalam tahap-tahap perkembangan kesejarahan yang berbeda-beda.
  8. Institusionalisasi penyimpangan yang ditolerir, atau dengan kata lain-lain studi mendalam atas gerakan-gerakan pembaharuan dalam sejarah Islam yang panjang. Termasuk dalam kategori institusionalisasi penyimpangan ini adalah upaya dinamisasi yang biasanya tidak dimasukkan ke dalam gerakan pembaharuan, yang lebih sering dirumuskan sebagai reformasi dari pada sebagai interaksi antara reformasi dan reformasi-tandingan (counter-reformation).
  9. Aspek pandangan kaum muslim terhadap kekuasaan, yang meliputi kesemua proses de-ideologisasi dan re-ideologisasi yang pernah berlangsung dalam sejarah masyarakat-masyarakat dengan kaum muslimin sebagai warganya (baik selaku mayoritas penduduk maupun minoritas warga).

Kesemua aspek di atas, dengan pembidangan masing-masing lebih lanjut, merupakan bidang-bidang yang seharusnya digarap dalam upaya pemahaman Islam sebagai sistem kemasyarakatan. Aspek-aspek itu meliputi bidang-bidang ilmiah yang bersifat kultural dan non-kultural, karenanya pendekatan lain yang digunakan bersifat empiris, di samping pendekatan yang lazim dipakai dalam studi klasik.

Catatan Kaki;

  1. Reuben Levy, The Social Structure of Islam, Cambridge 1957. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Yayasan Obor Indonesia dalam dua jilid pada tahun 1989 dengan judul Susunan Masyarakat Islam.
  2. Hamilton Alexander Rosskeen (H.A.R) Gibb, adalah Islamolog ter- kenal asal Jerman. Bukunya yang legendaris antara lain Mohammedanism, An Historical Survey, 1950, Oxford Univ. Press reprint, 973.
  3. Sahabat dalam istilah sejarah Islam adalah orang atau generasi muslim yang sempat hidup bersama atau segenerasi dengan Nabi Muhammad.
  4. Tabi’in dalam istilah sejarah Islam adalah orang atau generasi yang sempat hidup bersama atau segenerasi dengan Sahabat tetapi tidak sempat hidup dan segenerasi dengan Nabi Muhammad.