Pergumulan Islam dengan Masalah-masalah Pembangunan

Foto Diambil dari; https://www.musthafa.net/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

(1)

Dalam pergumulannya dengan perubahan sosial yang terjadi selama satu setengah abad ini, Islam ternyata menemukan ‘lawan gumul’ paling sulit ditundukkan justru pada diri proses yang bernama pembangunan. Proses perubahan yang dilakukan secara berencana, menggunakan tahapan-tahapan yang jelas dan ditujukan kepada pencapaian sasaran-sasaran yang sudah diperhitungkan secara teliti sebelumnya. Dengan sendirinya, proses yang berlangsung seperti itu akan membawakan perubahan sangat intensif dalam lingkup sangat luas serta mengenai nilai-nilai paling fundamental dari kehidupan kaum muslimin.

Pada akhir abad yang lalu, pemunculan sebuah sistem ekonomi global yang sepenuhnya didasarkan pada kerja sama antara modal swasta di negeri-negeri yang sudah maju dan pemerintahan kolonial di negara-negara jajahan dan setengah-jajahan memang telah membawakan tantangan-tantangannya sendiri, yang mengakibatkan perubahan cukup mendasar. Tantangan sistem pendidikan sekolah dalam lingkup massal, umpamanya, bagaimanapun juga telah berhasil merubah wajah kehidupan negara-negara terjajah secara drastis. Munculnya pelapisan masyarakat dalam bentuknya yang baru, yaitu pelapisan antara golongan yang masih berpegang pada nilai-nilai keagamaan secara gigih dengan hasil orientasi kehidupan yang sepenuhnya beragama dan golongan yang tidak lagi memiliki orientasi keagamaan dalam hidup mereka, tidak lain adalah hasil dari sistem pendidikan dalam bentuk ‘sekolah umum’ yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial. Tetapi, seberapa drastisnya sekalipun akibat yang ditimbulkan oleh tantangan di zaman kolonial itu, ia tidak seberapa menimbulkan kegoncangan bila dibandingkan dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh proses pembangunan sebagaimana di’definisi’kan di atas.

Proses pembangunan membawakan sebuah faktor baru yang tadinya tidak terdapat dalam ‘tantangan zaman kolonial’ itu, yaitu munculnya kehendak untuk merubah orientasi kehidupan SELURUH bangsa. Kalau pemerintahan kolonial merasa cukup dengan penciptaan kelas menengah dan atas yang mampu mengikuti kerangka kerja yang diciptakannya untuk kepentingan ‘negara induk’ (motherland) yang memegang kedaulatan atas negeri yang bersangkutan, tanpa ada keperluan untuk merubah orientasi kehidupan bangsa-bangsa terjajah secara keseluruhan, maka ‘kendali pengekang seperti itu tidak terdapat dalam proses pembangunan. Yang dituju adalah tingkat kehidupan yang disebut ‘maju’, atas mana seluruh kehidupan harus dibandingkan. Tolok ukur yang bernama ‘kemajuan’ itu dirumuskan sebagai kebutuhan mutlak dari SEMUA sektor kehidupan, sehingga dengan demikian harus dinetralisir faktor-faktor ‘penghambat’ bagi tercapainya tujuan mencapai ‘kemajuan’, itu. Karena proses pembangunan sesuatu bangsa tidak dapat dilepaskan sama sekali dari ketergantungan kepada jasa-jasa baik pihak lain, dengan sendirinya kriteria ‘kemajuan’ itu juga harus dirumuskan dalam bentuk yang paling mudah diterima oleh dunia internasional, terutama pihak pemberi bantuan dan kalangan penanam modal, untuk mana dilakukan penetapan kriteria yang diatur oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional.

Tidak dapat dihindarkan lagi, orientasi kehidupan masyarakat yang hendak dituju oleh proses yang dialami pembangunan itu lalu bersifat materialistis, dalam artian pemberian tekanan kepada aspek-aspek material daripada aspek-aspek yang tidak begitu mudah dirumuskan dengan angka dan sebagainya. Kalau telah diambil kriteria yang memiliki kriteria materialistis, dengan sendirinya menjadi wajar pula kalau lalu muncul orientasi untuk menegakkan wibawa aspek-aspek materialistis itu dalam mengarahkan kehidupan bangsa secara menyeluruh. Dalam terjemahannya yang bersifat abstrak, pengarahan kehidupan bangsa itu mengambil bentuk kongkrit munculnya tendensi sekularistis dalam kehidupan bangsa. Ukuran ‘keberhasilan’ pembangunan tidak lagi hanya ditentukan berdasarkan indikator-indikator spiritual, tetapi lebih banyak lagi oleh indikator-indikator yang berlawanan dengannya. Sudah begitu jauh dominasi pengarahan kehidupan secara sekuler ini, sehingga aspek-aspek spiritual dari kehidupan masyarakatpun turut tertangani secara sekularistis. Jumlah anggaran yang disediakan untuk ‘kepentingan agama’, umpamanya, memperlihatkan pendekatan sekularistis itu, seperti dalam kecenderungan untuk menyamakan kehidupan beragama dengan berapa banyak masjid dibangun, madrasah direhabilitir dan guru yang ditatar. Pemerintah berkewajiban “hanya’ menyediakan sarana utama, seperti sekian juta eksemplar kitab suci yang dicetak, selebihnya diserahkan kepada masyarakat untuk memanfaatkannya dalam kerangka kegiatan yang dinamai ‘kehidupan beragama’. Dipisahkanlah di situ ‘kegiatan makro keagamaan’ oleh pemerintah dan ‘kegiatan mikro keagamaan’ oleh masyarakat (di bawah jurisdiksi para agamawan, baik secara individual mau pun organisatoris).

Munculnya pendekatan sekularistis terhadap kehidupan, sebagai bagian utama dari proses membangun, merupakan tantangan sangat berat yang harus ditangani oleh Islam sebagai agama yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Islam, sebagai agama yang mengajukan claim pengaturan hidup manusia secara individual dan kolektif secara menyeluruh melalui pranata hukum agama dan moralitas beragama dengan kerangkanya yang telah pasti, tentu tidak dapat berdamai dengan kenyataan munculnya pendekatan sekularistis tersebut. Tidak heranlah jika lalu muncul responsi bermacam-macam di kalangan kaum muslimin, sebagai upaya mengatasi tantangan pembangunan yang membawakan aspirasi sekuler itu.

(2)

Banyak juga sudut pandangan yang dapat digunakan untuk melihat keragaman jawaban kaum muslimin atas tantangan pembangunan itu. Pendekatan yang berbeda atas persoalan tersebut akan membawa sudut pandangan yang berlainan. Pendekatan politis, umpamanya, akan membawakan sudut pandangan untuk mengkaji bagaimana bangsa-bangsa muslim menyelesaikan persoalan di atas melalui penataan konflik antara kalangan pengambil kebijakan pembangunan dan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang membawakan aspirasi Islam. Pendekatan kultural justru akan membawakan sudut pandangan lain, yaitu bagaimana pranata-pranata sosial-budaya Islam disesuaikan kepada ‘kebutuhan’ pembangunan, seperti perumusan pandangan Islam tentang Keluarga Berencana, penataan kembali wewenang hukum antara lembaga-lembaga peradilan sekuler dan lembaga hukum agama, dan demikian seterusnya. Pendekatan sosiologis mungkin akan memuncul- kan sudut pandangan bagaimana pandangan dunia kaum muslimin berinteraksi dengan aspirasi pembangunan, melalui sebuah proses yang dikenal dengan nama perubahan sosial.

Sebuah pendekatan komprehensif terhadap responsi beragam dari kaum muslimin telah dibuat oleh pengamat muda dari Universitas Kebangsaan di Malaysia, Muhammad Kamal Hassan. Dalam disertasi yang ditulisnya tahun 1975 dan diterbitkan tahun 1980, berjudul “Muslim Intellectual Responses to ‘New Order’ Modernization In Indonesia”, Kamal Hassan membagi responsi yang diberikan kaum intelektual muslim di Indonesia kepada tiga jenis utama, yaitu responsi ideologis, responsi idealistis dan responsi akomodatif. Responsi ideologis lebih menekankan diri pada perumusan wawasan ke-Islaman dalam upaya menjaga kemurnian penafsiran ideologi negara dari pengaruh terlalu besar dari faham-faham sekuler. Responsi idealistis lebih menekankan perhatian kepada penciptaan wawasan Islam dalam bentuknya yang non-ideologis, seperti bidang pendidikan dan dakwah. Responsi akomodatif mengambil bentuk berbagai macam upaya ‘pembaharuan’, baik yang khusus dibidang strategi politik maupun yang menyangkut bidang aqidah.

(3)

Kemelut di antara berbagai macam responsi, tidak hanya terbatas kepada ketiga responsi diatas (yang hanya mencerminkan interaksi kaum intelektual muslim saja), memerlukan perumusan kembali batasan pergumulan Islam dan pembangunan, untuk menghindarkan simpang siurnya pemikiran dan benturan antara sesama kaum muslimin sendiri.

Salah satu batasan yang dapat dikemukakan, untuk mencari persamaan dasar dalam pergumulan dengan pembangunan di kalangan kaum muslimin, adalah meletakkan keterlibatan Islam pada penanganan masalah-masalah dasar yang dihadapi umat manusia, seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan dan sebagainya. Tanpa diikat oleh keterlibatan mencari pemecahan konkrit dan mendasar atas masalah-masalah utama seperti itu, pergumulan Islam dengan pembangunan hanya akan memiliki dimensi-dimensi yang berwatak parsial.

Penanganan masalah-masalah dasar seperti itu juga akan dapat dilakukan, tanpa melihatnya sebagai bagian dari sebuah perjuangan makro, yaitu menegakkan demokrasi yang murni, menciptakan struktur ekonomi yang lebih adil dan mengembangkan moralitas yang tanggap kepada kepincangan mendasar yang ada sekarang ini. Sedangkan untuk mengembangkan sebuah kerangka perjuangan makro seperti itu, diperlukan perombakan pemikiran kaum muslimin secara total di banyak bidang kajian, seperti masalah tempat manusia dalam kehidupan, wawasan keadilan dalam Islam dan seterusnya.

Dirasa cukuplah untuk menyudahi pembicaraan kali ini pada identifikasi pokok-pokok persoalan di atas, tanpa mencari cara-cara pemecahan secara terperinci.