Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan

Foto Diambil dari; lansano.com

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

(1)

Ada dua pendekatan dapat digunakan dalam memandang kaitan antara agama dan pembangunan:  suplementer dan komplementer.

Menurut pendekatan pertama, agama adalah penunjang bagi upaya membangun, karena ia mempengaruhi pola tingkah laku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Karenanya agama harus “memberikan sumbangan ” dengan jalan melegitimisir upaya mencapai sasaran-sasaran kerja yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Kasus Keluarga Berencana dapat ditunjuk sebagai contoh pendekatan ini. Pertimbangan ekonomis dan lain-lain menuntut pelaksanaan sebuah program nasional di bidang kependudukan, dengan sasaran penurunan angka kelahiran hingga ke titik tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Agama diminta jasa-jasanya untuk melegitimisir upaya berencana tersebut, tanpa dilibatkan dalam penentuan sasaran yang hendak dicapai.

Pendekatan komplementer justru bergerak kebalikannya. Pendekatan ini meminta keterlibatan agama (setidak-tidaknya lembaga-lembaga keagamaan) dalam menetapkan sasaran pembangunan, metode dan sarana yang diperlukan untuk itu, serta menetapkan orientasi pembangunan itu sendiri. Agama dengan demikian terlibat dalam pembangunan sejak semula. Bersama dengan unsur-unsur lain dalam pembangunan, agama berperan saling tunjang menunjang dalam menetapkan tujuan pembangunan dan cara-cara menyelenggarakannya.

Karena pendekatan pertama terlalu berbau manipulasi agama untuk tujuan-tujuan lain dari yang difahami kalangan agama sendiri, tidak perlu dibicarakan panjang lebar pendekatan tersebut, karena dampak yang diakibatkannya (baik di masyarakat maupun di lingkungan agamawan) tidaklah memiliki arti yang berjangka panjang. Pendekatan kedua menuntut pemberian perhatian lebih dalam dari kita semua, karena dampaknya amat luas dan menyangkut masa depan kita semua.

(2)

Agama memiliki sasaran idealnya sendiri bagi kehidupan manusia, sasaran ideal mana dibentuk oleh pandangan dunia dan etos kerja yang berkembang dalam hidup keagamaan para penganutnya. Keyakinan agama memberikan bekasnya, yang seringkali amat dalam, kepada sasaran ideal kehidupan itu melalui perumusan pandangan dunia (worldview) dan etos kerja tersebut. Peranan merumuskan sasaran ideal kehidupan secara tidak langsung ini tidaklah berarti kecilnya komponen keyakinan agama dalam upaya tersebut. bahkan kebalikannya yang menjadi kenyataan selama ini.

Keyakinan agama menentukan lembaga-lembaga keagamaan yang dikembangkan di kalangan penganutnya, seperti lembaga gereja dalam agama Kristen dan lembaga ‘ulama dalam agama  Islam. Lembaga keagamaan itu mengembangkan dalam dirinya mekanisme untuk menangani masalah-masalah kehidupan dari sudut pandangan keagamaan, adakalanya dengan penyusunan ajaran-ajaran resmi agama (ensiklik Paus dalam lingkungan kelembagaan Katholik dan hukum fiqh di kalangan agamawan muslimin) dan adakalanya dengan penyusunan program peningkatan kualitas kehidupan duniawi (terutama di bidang pendidikan, pelayanan sosial dan sebagainya). Kedua jenis penanganan itu adakalanya dipadukan dalam perumusan sebuah masyarakat agama yang berstruktur kenegaraan dan pemerintahan yang bercorak agama, seperti sedang dicoba di Iran saat ini. Tetapi kebanyakannya justru sebaliknya, yaitu dilakukan pemisahan yang tajam antara lembaga-lembaga keagamaan di satu pihak dan lembaga bukan agama di lain pihak.

Dalam keadaan terpisah itu, biasanya lembaga-lembaga keagamaan mengambil pendekatannya sendiri kepada kehidupan, yaitu dengan melakukan identifikasi hanya pada kegiatan-kegiatan tertentu saja sebagai kegiatan keagamaan. Sedangkan selebihnya diserahkan kepada pihak-pihak “non agama”, dengan akibat munculnya semacam ketidak-pedulian di kalangan lembaga-lembaga keagamaan untuk turut menangani masalah-masalah yang mendesak hanya karena dianggap tidak berkaitan dengan agama. Kegiatan merumuskan dan mengindoktrinasikan ajaran formal agama lalu menjadi kerja utama kalangan agamawan, sedangkan kegiatan kemasyarakatan yang lainnya diabaikan. Kalaupun digarap juga, biasanya hanya dalam kerangka karikatif.

(3)

Dengan demikian, muncul kesulitan untuk menyusun sebuah kerangka operasional bagi kegiatan yang mencerminkan partisipasi agama secara komplementer dengan unsur-unsur kehidupan yang lainnya. Di satu pihak, terdapat sikap tak acuh dari lembaga keagamaan untuk menangani masalah-masalah kemasyarakatan “di luar dirinya”, di pihak lain diperlukan kesediaan lembaga-lembaga seperti itu untuk memberikan peranan lebih penuh kepada agama dalam pembangunan.

Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan jalan merangsang terlebih dahulu perubahan mendasar dalam pandangan dunia dan etos kerja, melalui pengembangan keyakinan baru dalam hidup keagamaan. Theologia (‘aqidah) agama harus ditempatkan dalam kerangka penglihatan yang baru, seperti menyoroti masalah kemiskinan dan ketidak-adilan dalam perspektif yang dinamis (tidak hanya pasrah kepada nasib).

Kerangka berpikir yang baru, terutama tentang hubungan agama dan kewajiban meningkatkan kualitas hidup sebagai prasyarat tercapainya pemahaman yang matang atas wujud Tuhan dan kebenaran-Nya, dengan sendirinya merupakan kerja utama yang harus didorong munculnya pada tahap ini. Kerja menyusun kerangka berpikir dinamis dalam melihat hubungan agama dan kehidupan seperti ini harus memasukkan ke dalam dirinya pilihan antara dua pendekatan, yaitu pendekatan untuk memelihara status quo dan pendekatan untuk melakukan transformasi struktural dalam kehidupan bernegara. Tanpa melakukan pilihan, maka hanya kekacauan penanganan masalah saja yang akan terjadi. Upaya edukatif evolusioner, kerja karitatif dan penyadaran revolusioner akan bertemu dalam sebuah wadah kegiatan yang tidak jelas arah dan tujuannya. Justru bahaya ini yang harus dihindarkan. Pilihan yang dilakukan tidak hanya menyangkut pilihan hubungan dengan wadah-wadah kegiatan yang lain dan dengan pemerintahan yang ada, melainkan juga dengan kelompok-kelompok sasaran (target groups) yang akan digarap.

Gerakan ‘Theologia Pembebasan’ (liberation theology) di kalangan sejumlah kelompok Katholik radikal di Amerika Latin umpamanya, menentukan negara egalitarian yang murni demokratis dan bebas dari eksploitasi kapitalistis sebagai tujuan akhir upaya mereka. Dengan sendirinya tujuan tersebut mengharuskan sikap menentang kepada pemerintahan yang ada, menolak kerjasama dengan organisasi lain yang tidak berwatak revolusioner, dan hanya menggarap kelompok sasaran petani dan buruh miskin. Sebaliknya, kerja yang dilakukan oleh sejumlah orang Katholik melalui organisasi Bina Desa, Dian Desa dan lain-lainnya di bumi Nusantara ini jelas tidak bertujuan demikian.

(4)

Dalam melakukan kerjanya, upaya pengembangan masyarakat melalui pendekatan keagamaan juga dihadapkan kepada pilihan metode kerja yang akan dilaksanakan, yang seringkali berkaitan sangat erat dengan tujuan yang dirumuskan dan pendekatan struktural yang digambarkan di atas.

Upaya pengembangan karitatif akan berkembang dalam pola individual yang saling lepas satu dari yang lain, seperti dapat dilihat pada kasus panti asuhan yang memiliki latihan ketrampilan dan pendidikan kepemimpinan di dalamnya. Upaya yang berwatak transformasi struktural tentu lebih ditekankan pada kerja menciptakan hubungan organisatoris antara gerakan-gerakan sejenis, guna memungkinkan berlangsungnya proses penyadaran massal yang mereka rumuskan sebagai ‘conscientization’, seperti terjadi di Amerika Latin dan Filippina saat ini. Upaya non-karitatif tetapi juga tidak menginginkan transformasi struktural secara revolusioner, biasanya memelihara hubungan antara sesama gerakan dalam bentuk yang longgar, sebagai cara untuk melakukan pertukaran informasi dan meningkatkan effisiensi kerja.

Upaya karitatif hampir selamanya berbentuk kerja tanpa kerangka pemikiran (‘ideologi sosial’) yang berskala makro, tetapi upaya non-karitatif yang tidak mengingini perubahan revolusioner hampir selalu dipaksa untuk merumuskan ‘ideologi sosial’ yang akan mengarahkan kegiatan yang dilakukan. Upaya transfer teknologi pedesaan ke desa-desa kita, umpamanya, haruslah didukung arah perkembangannya oleh semacam keyakinan akan perlunya menolak teknologi tinggi yang bersifat ‘capital intensive’. Keyakinan itu tentu tidak berdiri sendiri, ia harus pula dikaitkan dengan keyakinan akan perlunya masyarakat yang lebih egalitarian, struktur perekonomian yang lebih mementingkan rakyat kecil dan orientasi sosial yang lebih populistik. Upaya transformasi struktural secara revolusioner menuntut adanya ‘ideologi sosial’ yang menolak pemberian hak kepada usaha-usaha ekonomi kapitalistis atau pola pembangunan ekonomi yang diorientasikan kepada pertimbangan-pertimbangan non-politis.

Pada jenis pertama dan kedua, jelas sekali wilayah garapannya adalah ‘kerja nyata’ di tingkat bawah dalam kehidupan masyarakat, seperti proyek-proyek pendidikan ketrampilan pada upaya karitatif dan proyek transfer teknologi pedesaan dan pengembangan organisasi ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan rakyat kecil (pra-koperasi berbentuk usaha bersama dan sebagainya) pada upaya non-karitatif yang tidak menginginkan perubahan revolusioner. Motif keagamaan untuk meningkatkan kualitas, penyadaran masyarakat akan pentingnya arti perbaikan nasib dan perlunya orientasi sosial yang berwatak populistis haruslah disusun dalam sebuah konsep yang bulat mengenai kedudukan manusia dalam kehidupan, kewajiban melestarikan kehidupan dalam tingkat yang tinggi dan seterusnya. ‘Ideologi sosial’ yang bernafaskan pertimbangan keagamaan, yang memasukkan ke dalam dirinya visi agama tentang pengaturan masyarakat secara ideal, merupakan pra-syarat mutlak bagi upaya pengembangan masyarakat melalui pendekatan keagamaan. Dari ‘ideologi sosial’ itulah baru dapat ditentukan cara, wilayah dan sasaran kerja yang harus dipilih.