Muhammadiyah dan Kebangkitan Islam di Indonesia

Foto Diambil Dari; https://suaraaisyiyah.id/muda-mudi-muhammadiyah/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

(1)

Untuk mengetahui sampai di mana Muhammadiyah menjadi bagian dari kebangunan Islam di negeri kita pada permulaan abad baru Hijriyah ini, terlebih dahulu kita harus mampu melakukan identifikasi atas tempat Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan di lingkungan bangsa sebagai sebuah sistem kehidupan, dan di lingkungan umat Islam sebagai sub-sistemnya. Dari pengenalan akan tempatnya itu, kita akan mengenal, kekuatan dan kelemahan Muhammadiyah sebagai gerakan, dan selanjutnya merumuskan tempatnya dalam proses kebangkitan yang dimaksudkan di atas.

Tinjauan historis secara sepintas itu, kalau dilakukan dengan ketajaman pandangan untuk mengenal titik pusat perkembangan yang terjadi, akan membawakan kepada kita wawasan (inziht) yang mendalam atas dinamika sebuah gerakan yang mengalami serbabagai pengalaman dalam kehidupannya yang sudah berjalan lebih setengah abad. Akan tergambar dari wawasan itu independensi Muhammadiyah dari dan sekaligus kaitannya dengan gerakan-gerakan Islam yang lainnya di satu pihak, dan gerakan-gerakan non-Islam di negeri kita.

Salah satu prasyarat untuk dapat memperoleh gambaran yang segar tentang aspek-aspek di atas, perlu digunakannya sebuah pendekatan faktual, bukannya penggambaran idealistis yang tidak bersumber pada pengamatan empiris. Hanya dengan cara beginilah dapat diperoleh obyektivitas yang diperlukan untuk melihat perjalanan hidup sebuah gerakan keagamaan sebesar Muhammadiyah, sebuah kompleksitas tersendiri yang memerlukan jendela penglihatan tersendiri pula.

Apa yang dikemukakan di bawah ini menjelaskan gambaran yang dicoba berwatak seperti itu, walaupun sudah tentu belum merupakan kesimpulan akhir yang tuntas dan secara metodologis sudah bebas dari kelemahan-kelemahan mendasar. Semoga rintisan ini akan dapat membawa kita kepada pendalaman lebih lanjut lagi dalam waktu dekat ini, terutama dari kalangan Muhammadiyah sendiri.

Diskusi mendalam atas kesimpulan dan gambaran yang akan disajikan mungkin dapat merubahnya sama sekali, atau justru membuktikan ketidak benarannya sekali, tetapi bagaimanapun juga akan membawa kepada apresiasi pendekatan objektif itu sendiri. Tujuan memegahkan pendekatan obyektif inilah yang sebenarnya paling perlu memperoleh perhatian, bukannya pembuktian salah benarnya sesuatu kesimpulan.

(2)

Muhammadiyah adalah bagian dari gerakan pembaharuan atau reformasi yang terjadi di seluruh dunia Islam semenjak dua abad atau tiga abad yang lalu (semenjak Ibn Taimiyyah dan Muhammadiyah ibn Abdil Wahhab mengemukakan pandangan pemurnian mereka). Ia membawakan sebuah pola keyakinan agama yang sama sekali baru di kalangan kaum muslimin Indonesia, sehingga terjadi perubahan revolusioner yang bersifat mendasar dalam keyakinan yang tidak hanya bersifat keagamaan murni belaka, melainkan melimpah juga ke sektor-sektor lain (seperti pendidikan, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan sebagainya).

Kalau tidak seluruh kaum muslimin di negeri ini secara resmi menjadi anggota Muhammadiyah, setidak-tidaknya dampak (impact) perubahan keyakinan gerakan Muhammadiyah terasa cukup besar di kalangan kaum muslimin yang menjadi pengikut gerakan Islam yang lainnya (seperti NU, SI dan lain-lain). Proses saling mempengaruhi ini mengakibatkan perubahan mendasar dalam keyakinan agama semua golongan Islam di negeri kita, dan pada gilirannya juga memberikan bekasnya dalam perubahan pandangan dunia, sistim nilai dan sikap hidup golongan Islam secara keseluruhan. Tidak hanya itu, dampak ‘revolusi keyakinan agama’ yang dilancarkan gerakan Muhammadiyah juga terasa besar dalam keseluruhan hidup bangsa, karena semua golongan’ (nasionalis, sosialis, komunis, agama-agama non-Islam dan lain-lain) juga terkena pengaruhnya.

Aktivisme kemasyarakatan (social activisme) menjadi watak hidup golongan Islam dalam abad ini, setelah berabad-abad lamanya pada watak hidup Muhammadiyah. Aktivisme kemasyarakatan ini adalah inti dari responsi ummat Islam terhadap berbagai macam tantangan yang dihadapinya kini, dari apa yang dirumuskan sebagai bahaya Kristenisasi hingga kepada bahaya sekularisme yang dianggap sebagai ekses-ekses terbesar dari proses pembangunan yang sedang kita jalani sekarang. Mitsou Nakamura menangkap dengan jelas aktivisme kemasyarakatan gerakan Muhammadiyah ini sebagai inti ke kuatannya dalam menghadapi triligi tantangan yang mengancam eksistensi gerakan ini di Kotagede yakni:

Proses Jawanisasi yang dipancarkan dari kraton Mataram, proses-sekularisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berpusat pada Universitas Gajah Mada dan IKIP, dan persaingan dengan pengusaha non-pribumi yang mematikan kewiraswastaan para saudagar Muhammadiyah yang bergerak di bidang kerajinan perak dan industri batik.

Aktivisme yang bersifat merakyat (dalam artian menyediakan sistim perawatan kesehatan sederhana melalui PKU, menyelenggarakan pendidikan rakyat melalui sekolah-sekolah di tingkat dasar dan pengajian umum, dan sebagainya) yang diidentifisir Nakamura di lokasi Kotagede itu, ternyata terdapat secara massif di seluruh penjuru tanah air. Aktivisme kemasyarakatan yang dilandasi etos kerja yang mengutamakan pengabdian, etik sosial yang menekankan pentingnya pengorbanan, dan sikap hidup untuk secara gigih memperjuangkan nasib dan tempat sendiri dalam kehidupan, tanpa terlalu bergantung pada orang lain.

(3)

Tempat Muhammadiyah dalam pola kehidupan umat Islam dengan demikian menjadi jelas bagi kita: ia menjadi pelopor dalam mengaktivir semua sumber dan daya yang tersedia, bagi perjuangan mempertahankan Islam dari tantangan-tantangan berat yang dihadapinya dalam suasana serba transisional di masa pembangunan ini.

Fungsi aktivisisasi ini menempatkan para fungsionaris Muhammadiyah dalam kedudukan kuat di lingkungan program bersama (joint programmes) dengan kelompok-kelompok Islam yang lain. Muhammadiyah dengan demikian menduduki tempat kunci dalam percaturan kehidupan bangsa, karena ia memberikan warna yang jelas kepada sikap yang diambil oleh umat Islam secara keseluruhan. Kalau NU berfungsi sebagai kelompok yang mengajukan pilihan-pilihan radikal dalam kehidupan berpolitik umat Islam (sebuah istilah yang dipinjam dari penamaan wataknya oleh Nakamura sebagai radical traditionalisme), maka Muhammadiyah justru memberikan pilihan-pilihan lebih beragam kepada umat Islam. dalam mencari jawaban atas masalah-masalah utama yang dihadap  umat Islam.

Kalau SI menyatakan diri dalam militansi intern yang ketat dan berorientasi satu (saat ini berakomodasi sepenuhnya kepada politik pemerintah), maka Muhammadiyah justru mengajukan pendekatan ganda yang dapat menyantuni semua pihak yang sedang bertarung. Kesemuanya itu bersumber pada aktivisme kemasyarakatan di atas.

Salah satu hal yang mendorong munculnya orientasi untuk cenderung kepada kegiatan praktis sebagai perwujudan diri, yang menjadi inti aktivisme kemasyarakatan itu, adalah watak egalitarian dari Muhammadiyah dalam pemikiran-pemikiran keagamaannya. Egalitarianisme ini tercermin dalam susunan Majlis Tarjih dan Majlis Tanwir-nya, yang tidak mendasarkan besarnya pesantren yang diasuh dan pengaruh massa yang dimiliki oleh para calon anggotanya. Reputasi dalam pengabdian, ketekunan dan ketaatan asas (konsistensi) dalam pandangan agama dan pengetahuan minimal di bidang ilmu-ilmu agama sudah cukup untuk menjadi anggota kedua lembaga tertinggi Muhammadiyah tersebut.

Egalitarianisme ini dengan sendirinya memunculkan orientasi kerakyatan yang berbentuk kuatnya pandangan yang bersandar pada kerangka kemasyarakatan (societal frameworks) yang jelas: tekanan pada sektor pendidikan, kesehatan, sosial-ekonomis dan sebagainya; dengan memunculkan lembaga-lembaga yang diperlukan untuk melakukan pengembangan di semua sektor itu. Kerangka kemasyarakatan ini sudah tampak jelas coraknya semenjak permulaan Muhammadiyah berdiri, seperti terbukti dari kuatnya dukungan kelas professional terhadap gerakan ini (kalangan kedokteran, pedagang, guru dan sebagainya adalah tiang punggungnya, dan justru sedikit sekali dari kalangan agamawan).

Tidak heranlah kalau lalu muncul kecenderungan kuat untuk mengambil aktivisme kemasyarakatan sebagai watak hidupnya. Di sini terletak kekuatan Muhammadiyah sebagai salah satu pelopor gerakan keagamaan di Indonesia.

(4)

Yang jarang sekali disadari justru adalah kelemahan Muhammadiyah sebenarnya juga bersumber pada egalitarianisme tersebut. Orientasi serba egalitarian itu akhirnya memunculkan dominasi kaum professional kemasyarakatan (social professionals) seperti kalangan kedokteran, teknik, perdagangan, pendidikan dan sebagainya. Kedudukan kaum agamawan sebagai pengarah kehidupan Muhammadiyah lalu mengalami transformasi sangat besar.

Agamanya berfungsi menjaga kemurnian gerakan dari kemungkinan munculnya program kemasyarakatan yang bertentangan dengan keyakinan agama. Para agamawan Muhammadiyah lalu berfungsi sebagai pemberi legitimasi, bukannya pengambil inisiatif Prakarsa dan swakarsa lalu diambil oleh kalangan professional dengan pengayoman oleh para ulama Muhammadiyah,

Berdirinya sejumlah rumah sakit Muhammadiyah, sejumlah perguruan tinggi Muhammadiyah dan lembaga-lembaga kemasyarakatan Muhammadiyah yang lainnya adalah produk kalangan professional, bukannya inisiatif kalangan ulama Muhammadiyah.

Dalam menghadapi problema munculnya orientasi sangat beragam dari kalangan profesi yang bermacam-macam itu masing-masing dengan kebutuhan dan orientasinya sendiri membawa lingkungan pemberi legitimasi (yaitu para ulama itu) kepada keharusan mengambil pilihan tertentu sebagai tolok ukur terkecil (commonde-nominator). Keabsahan sesuatu program dari sudut ajaran hukum agama adalah tolok ukur sedemikian itu, berlangsung sebuah proses tawar-menawar (trade off) antara para ‘ulama Muhammadiyah dan para aktivisnya yang berasal dari aneka ragam professi kemayarakatan. Selama tidak melanggar ketentuan syari’, selama itu pula harus diberikan legitimasi.

Suasana trade off seperti ini, membawakan kelemahan mendasar pada Muhammadiyah, berupa semakin mengaburnya orientasi kerakyatan Muhammadiyah sebagai gerakan. Kalangan professional, sebagai suatu hal yang wajar, secara tidak sadar lalu mengutamakan peningkatan mutu dan pemusatan sarana pada upaya mensukseskan kualitas professional dari kerja mereka. Di dunia pendidikan, umpamanya, Muhammadiyah lalu terjebak ke dalam sikap untuk mendukung sejumlah sekolah elite seperti Al-Azhar di Kebayoran Baru. Di bidang kesehatan, tekanan lalu diberikan pada pengembangan rumah-rumah sakit modern dengan perlengkapan mahal dan diasuh oleh dokter-dokter ahli, yang membuat pelayanan kesehatan sangat mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat banyak.

Universitas Muhammadiyah lalu menjadi tempat pembibitan kaum profesional dengan pandangan hidup kelas menengah kota dan orientasi urban.

Semakin kaburnya orientasi Muhammadiyah itu secara ideologis sudah terasa kelemahan yang dibawakannya di kalangan Muhammadiyah sendiri. Sikap tegas untuk mempertahankan diri dan mempertahankan kemurnian identitas semula semakin sulit ditegakkan. Kasus sikap Muhammadiyah terhadap ‘gebrakan’ Menteri Daoed Jusuf untuk menghentikan subsidi Departemen P & K karena ‘pembangkangan Muhammadiyah dalam soal liburan puasa, sudah menunjukkan kelemahan diatas. Yang gigih menyuarakan kepentingan Muhammadiyah dalam kasus di atas justru orang-orang di luar Muhammadiyah, karena solidaritas Islam. Muhammadiyah sendiri justru bungkem seribu bahasa.

Akan diteruskankah pengikisan watak kerakyatan Muhammadiyah oleh munculnya profesionalisme yang bersumber pada egaliterialisme Muhammadiyah sendiri, dengan akibat semakin lemahnya Muhammdiyah dalam percaturan kehidupan bangsa karena terbaurnya identitas semula dengan kepentingan-kepentingan situasional? Warga Muhammadiyah sendirilah yang harus memberikan jawaban atas pertanyaan ini.