Prospek Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia

Foto Diambil dari; https://www.goodnewsfromindonesia.id/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

(1)

Sebelum dapat dilakukan pembahasan lebih lanjut, patutlah kita ajukan pertanyaan lain kepada diri kita masing-masing: mengapakah pertanyaan tentang prospek perguruan tinggi Islam di negeri ini justru muncul? Adakah keraguan terhadap prospeknya di masa depan? Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas, perlulah didudukkan persoalannya terlebih dahulu. Tanpa melakukan hal itu, maka semua pembahasan yang dilakukan akan terlepas dari kerangka situasional yang demikian mendasar bagi penumbuhan dan kemudian pengembangan sebuah perguruan tinggi, apapun jenisnya dan bagaimanapun tujuannya dirumuskan. Apalagi kalau kejelasan tentang sebab timbulnya pertanyaan tentang prospek perguruan tinggi itu dihubungkan dengan gawatnya masalah kepemudaan kita, yang masih dihantui oleh bermacam-macam persoalan yang bersifat mendasar: (1) apakah orientasi kehidupan yang diharapkan dari mereka nanti, guna memungkinkan pelestarian nilai-nilai utama kehidupan bangsa tanpa mematikan kreativitas mereka? (2) kehidupan ilmiah apa yang diharapkan berkembang di kalangan mereka, sehingga tercapai perimbangan yang tepat antara pemenuhan kebutuhan mereka sendiri dan keharusan melestarikan kehidupan bangsa bagi generasi setelah mereka? (3) bagaimanakah menempatkan rencana pembinaan mereka secara non-paternalistik dalam keseluruhan sebuah strategi pengembangan kebudayaan nasional yang dinamis?

Pertanyaan tentang prospek perguruan tinggi agama Islam patut diajukan guna memenuhi kebutuhan berikut: (1) mengenal orientasi ilmiahnya, agar sesuai dengan arah perkembangan orientasi sosial-budaya bangsa; (2) memeriksa kembali fungsi perguruan tinggi agama Islam dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan keagamaan bangsa; (3) memperkirakan kesulitan-kesulitan yang akan timbul dari ketidakjelasan orientasi ilmiah dan fungsinya saat ini; dan (4) menyusun serangkaian tindakan pendahuluan guna melakukan koreksi operasional atas orientasi ilmiah dan fungsi kemasyarakatan dan keagamaan yang dimilikinya kini, jika memang dirasa perlu adanya tindakan korektif.

 Jadi pembahasan tentang prospek perguruan tinggi agama Islam menjadi relevan bagi kita, bukannya karena masih dirasakan keraguan akan perlunya perguruan tinggi agama Islam itu sendiri, melainkan untuk keperluan pengembangan lebih lanjut sebuah lembaga yang memang telah dirasakan keperluannya oleh masyarakat.1)

(2)

Hasil pendahuluan dari sebuah penelitian lapangan yang sedang dilakukan LIPI atas empat buah komunitas (Jakarta, Sunda/Periangan, Jawa Tengah dan Jawa Timur) menunjukkan besarnya orientasi sosial-budaya bangsa kita, kalau dapat dilakukan generalisasi atas hipotesis-hipotesis umum dari penelitian itu sendiri. Pandangan tentang hakekat hidup yang dianut umumnya (di atas 78%) menganggap kehidupan ini sebagai ‘bekerja dan mengabdi’, yang merupakan jumlah global dari orientasi yang menganggap kehidupan sebagai (a) untuk bekerja, belajar dan berprihatin; (b) untuk beramal, beribadah dan berbakti kepada Tuhan; dan (c) untuk mengabdi pada keluarga dan masyarakat. 2)

Orientasi yang kuat pada aspek keagamaan dari hidup itu terlihat lagi dalam pandangan tentang masa depan remaja, pandangan tentang bahasa dan pandangan tentang seni. Pandangan tentang masa depan remaja, yang menyangkut profesi apa yang diharapkan akan dipegang oleh remaja, jumlah anak yang diinginkan dan pola pemukiman yang diingini, kesemuanya itu menunjukkan kepada besarnya orientasi keagamaan bangsa kita di komunitas yang diteliti. Sedangkan orientasi penggunaan bahasa nasional disamping bahasa ibu semula, walaupun tidak langsung menunjuk kepada besar-kecilnya orientasi keagamaan itu, sedikit-dikitnya tidak menunjukkan kecenderungan yang bertentangan dengan orientasi di kedua bidang lain tersebut di atas. Pandangan tentang seni, dalam pilihan antara corak kesenian tradisional atau yang baru, menunjukkan hal yang sama pula.

Orientasi sosial-budaya yang sedemikian itu sudah tentu menuntut dari sejumlah ilmuwan yang berkecimpung dalam studi keagaman sebuah orientasi ilmiah yang mampu menjabarkan orientasi keagamaan yang sedemikian besar itu dalam kerangka harapan, pandangan dan nilai yang secara kongkrit dirasakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Bagaimanakah grafik perkembangan orientasi keagamaan itu antara komunitas yang berlain-lainan letak geografisnya, antara kelompok umur yang berbeda-beda, antara situasi urban dan pedesaan yang saling berbeda, dan antara kelompok profesi yang berlainan pula? Apakah implikasi dari perbedaan garis-garis grafik itu bagi penyusunan sebuah kebijakan sosial-budaya dalam lingkup nasional? Mungkinkah dari penghadapan nilai-nilai ideal agama Islam kepada kenyataan situasional yang sedemikian itu disusun kebijakan keagamaan (religious policy) yang tanggap terhadap kebutuhan masa dan tempat yang berbeda-beda? Bagaimanakah nilai-nilai ideal itu diturunkan dari generasi ke generasi, dengan tidak terlepas dari keterikatannya kepada perkembangan situasional?

(3)

Berdasarkan proyeksi dari jawaban yang sebaiknya diberikan kepada pertanyaan-pertanyaan di atas, dapatlah diajukan di sini hipotesa-hipotesa berikut, yang memerlukan pengujian empiris dan telaah konsepsional lebih lanjut, sebelum dapat diberlakukan sebagai generalisasi prospek perguruan tinggi agama Islam di negeri kita nanti.

Hipotesis pertama adalah perlunya perombakan total dalam batang tubuh perguruan tinggi agama Islam, guna memungkinkan berkembangnya orientasi ilmiah yang lebih tanggap kepada kenyataan-kenyataan situasional dari orientasi sosial-budaya bangsa. Perombakan itu meliputi tujuan diselenggarakannya perguruan tinggi agama Islam itu sendiri, pembagian bidang-bidang studi secara lebih realistis, dan penyusunan kurikulum yang menunjang pendekatan empiris dalam melakukan pengkajian atas sesuatu fenomena keagamaan.

Hipotesis berikutnya adalah perlunya dilakukan pengkajian wilayah (area studies) guna memungkinkan pendalaman atas orientasi keagamaan yang beragam menurut acuan letak geografis, acuan generasional, acuan profesional dan acuan perbedaan situasi urban dan pedesaan. Lebih lanjut, pengkajian wilayah tersebut harus menunjang sebuah pengkajian strategis di bidang keagamaan yang bersifat global meliputi dunia Islam secara keseluruhan. Ini mengharuskan adanya pengkajian regional (regional studies) atas penghayatan keagamaan kawasan dunia yang berlain-lainan, dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara dan dari Uni Soviet hingga Afrika Selatan.

Hipotesis selanjutnya menunjuk kepada keharusan mendalami peranan aktif agama dalam upaya penyusunan kembali kerangka kehidupan secara transformatif. Ini menuntut keterlibatan perguruan tinggi Islam dalam penyusunan konsep keimanan yang mendukung penegakan masyarakat yang adil melalui transformasi sosial-budaya saja maupun transformasi politis, serta yang memberikan landasan aqidah bagi upaya menyusunan Tata Internasional Baru.

Hipotesis terakhir yang patut pula ditampilkan adalah pentingnya ditumbuhkan pendekatan untuk keterlibatan kongkrit dalam upaya-upaya rintisan untuk mewujudkan masyarakat yang digambarkan diatas. Kesediaan untuk ‘turun ke bawah’ dan ‘belajar dari masyarakat’ menjadi manifestasi utama keterlibatan kongkrit itu.

Hanya dengan mengemukakan sedikit-dikitnya keempat hipotesis di atas dirasakan ada perlunya kita lakukan pembahasan atas prospek perguruan tinggi Islam. Pendekatan lainnya, bagaimana pun idealnya, hanya akan memperpanjang ‘masa kesakitan’ (period of agony) yang menghinggapi dunia perguruan tinggi Islam kita saat ini.

Catatan Kaki:

1) Hal ini jelas dari disertasi yang sedang dipersiapkan Zamachsjari Dhofler bagi Australian National University di Canberra, dengan obyek penelitian pesantren Tebuireng.

2) Muchtar Buchari, Catatan-Catatan Pendahuluan Tentang Hasil Survey Sosial-Budaya, Proyek Studi Strategi Kebudayaan, LIPI, Jakarta, Agustus 1960, hal. 4 (tidak diterbitkan).