Pengkajian Keagamaan Islam Sebagai Bidang Penelitian Kebudayaan

Foto Diambil Dari; https://www.detik.com/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

(1)

Selama ini telah ditempuh dua jalan yang saling bertolak punggung dalam pengkajian keagamaan Islam di negeri ini. Di satu pihak, pengkajian keagamaan Islam yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengetahuan keagamaan Islam (Badan Litbang Agama, IAIN, berbagai lembaga swasta dan sebagainya), memperlakukan kehidupan beragama Islam sebagai sebuah bidang penelitian yang berada di luar masalah-masalah kebudayaan. Asumsi dasarnya adalah kesepakatan mereka untuk menganggap Islam sebagai sebuah kebulatan, sehingga penanganan penelitian atasnya harus dilakukan secara global pula. Kalaupun dianggap perlu melakukan pengkajian atas bidang kebudayaan dalam hubungannya dengan kehidupan beragama Islam, maka ia dilakukan atas ‘kebudayaan Islam’ atau aspek-aspek budaya daripada kehidupan beragama Islam itu sendiri.

Di pihak lain, pengkajian keagamaan Islam yang dilakukan oleh lembaga-lembaga non-keagamaan Islam senantiasa memperlakukan sasaran penelitiannya itu sebagai bagian kecil dari kehidupan kebudayaan bangsa (atau bahkan umat manusia) yang luas. Akibatnya, adalah penetapan prioritas penelitian, kerangka dan metodologi penelitian, dan sasaran penelitian yang tidak memperlakukan kehidupan beragama Islam sebagai sebuah entitas yang berdiri sendiri. Contohnya adalah masih umumnya digunakan kerangka Kluckhohn dalam melakukan pengkajian atas orientasi nilai kelompok muslim tertentu, walaupun jelas salah satu bagiannya (orientasi terhadap kerja) tidak dapat diterapkan begitu saja tanpa membawa hasil yang dapat dipertanggungjawabkan. Pengkajian keagamaan Islam lalu hanya menjadi salah satu ‘bidang eksotika’ tentang kekhususan-kekhususan anthropologis dari kelompok muslim yang diteliti, seolah-olah kelompok-kelompok muslim adalah masyarakat terasing yang ada di pelosok-pelosok terpencar.

Tidak heranlah jika terasa langkanya penelitian bermutu di bidang kehidupan beragama Islam di negeri ini, semenjak ‘proyek Mojokuto’nya Geertz dan kawan-kawan berakhir lebih dari dua puluh tahun yang lalu; itupun dengan catatan bahwa proyek Geertz itu masih memperlakukan kehidupan beragama sebagai bagian dari ‘bidang eksotika’ yang mencari kelainan-kelainan kelompok muslim dari cara hidup kelompok-kelompok lain, dengan hasil trikotomi abangan-priyayi-santri yang begitu banyak diserang orang. Penelitian strategis di bidang pengkajian keagamaan Islam lalu diambil alih oleh beberapa penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga luar negeri, dengan beberapa daerah atau lokasi di negeri ini sebagai kancah penelitian. Hisako dan Mitsuo Nakamura (dalam penelitian terpisah), Horikoshi, Siegel dan Dhofier sedikit banyak telah melakukan terobosan-terobosan baru di bidang metodologi penelitian yang digunakan di lapangan, semuanya dalam proyek penelitian yang tidak berasal dari lembaga pengkajian di dalam negeri. Nakamura suami isteri telah memunculkan apa yang oleh Mitsuo dinamai ‘pendekatan internal’, sebagai kritik atas ‘pendekatan eksternal’ yang dilakukan oleh Geertz dan umumnya peneliti tentang Islam selama ini (yang masih menggunakan acuan-acuan umum yang tidak dapat mengungkapkan kenyataan terdalam dari sistem kepercayaan kaum muslimin dengan tepat dan sebagaimana. dimengerti kaum muslimin sendiri).

Horikoshi mempertanyakan dan kemudian menolak validitas pendapat Geertz, bahwa kiyai adalah ‘cultural brokers‘ dalam proses modernisasi yang terjadi di pedesaan, karena ternyata kiyai dalam polanya sendiri berperan justru sebagai ‘agents of change’. Siegel membuka cakrawala baru dalam memandang penghayatan dan pengamalan ajaran Islam di negeri ini dari sudut baru: pandangan total diperlukan untuk memahami sebuah fenomena yang kecil. Sedangkan Dhofier mengemukakan terbatasnya kegunaan dikotomi tradisional-modern dalam pengkajian keagamaan Islam dan salahnya anggapan bahwa pesantren sebagai lembaga tradisional tidak mampu bertahan terhadap gempuran-gempuran sistem pendidikan sekuler yang terjadi di pedesaan-pedesaan kita.

Sebaliknya, dari pengkajian yang menggunakan pendekatan memperlakukan ajaran formal Islam sebagai satu-satunya sasaran penelitian, seperti dilakukan lembaga-lembaga keagamaan Islam sendiri, tidak banyak yang dapat diharapkan. Baik karena masih mudanya usia pendekatan itu (termasuk langkanya orang yang mampu menggunakannya dengan baik), maupun karena memang secara metodologis mencari sesuatu yang berarti dari pendekatan seperti itu, yang dihasilkan umumnya hanyalah sekedar deskripsi bagaimana kelompok muslim yang berbeda-beda menghayati dan mengamalkan ajaran agama mereka tanpa mengemukakan signifikansinya sama sekali bagi kehidupan kultural kita yang sedang dilanda perubahan-perubahan nilai yang bersifat mendasar.

(2)

Jelaslah dari uraian yang dikemukakan di atas, bahwa diperlukan sebuah kerangka acuan pengkajian keagamaan Islam yang mampu menampilkan kehidupan beragama Islam dalam keragamannya yang begitu besar sebagai entitas tersendiri dengan kebutuhan metologisnya sendiri, tetapi yang tidak terlepas dari perkembangan kehidupan budaya kita sebagai bangsa secara umum.

Untuk menumbuhkan sebuah pengkajian keagamaan Islam yang tuntas, memiliki dampak yang besar dalam pengambilan kebijaksanaan dibidang kebudayaan dan mampu merumuskan pandangan-pandangan baru yang akan membawa perluasan cakrawala pemikiran kita semua, diperlukan sebuah program pengkajian yang berlingkup luas dan memiliki skala prioritas yang jelas. Kecenderungan untuk ‘merutinkan’ pengkajian keagamaan Islam dengan sederetan penelitian deskriptif berukuran kecil (seperti grant YIIS/Ford Foundation untuk penelitian ‘Agama Dalam Kehidupan Masyarakat Nelayan Di Daerah Sendang Si Kucing, Kendal’ dalam periode 1981/82), hanyalah akan menghasilkan tumpukan laporan penelitian yang tidak berbicara banyak terhadap perubahan-perubahan mendasar di bidang kebijakan kebudayaan kita, khususnya yang menyangkut hubungan antara kebudayaan dan kehidupan beragama Islam.

Pembuatan sebuah program pengkajian seperti itu pada tingkat nasional, yang melibatkan beberapa lembaga pemerintahan (seperti Ditjen Kebudayaan, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam, Badan Litbang Agama, LRKN dan LIPI sendiri), bukanlah tujuan makalah ini, mengingat luasnya lingkup yang harus dibahas tidak sesuai dengan keterbatasan makalah ini sendiri. Pembahasan akan lebih ditekankan pada beberapa hal yang sudah harus disepekati terlebih dahulu, sebelum program pengkajian bertaraf nasional seperti itu dapat dirumuskan. Hal-hal yang dikonstatir pun hanyalah akan dikemukakan dalam garis besar saja, tidak sampai kepada kajian yang bersifat tuntas, untuk memberikan ruang bergerak lebih besar dalam menajamkan persoalan yang dibahas itu sendiri nanti. Demikian pula, tidak diusulkan sebagai cara pemecahan yang bersifat menyelesaikan permasalahan (close ended solution), melainkan lebih ditekankan pada identifikasi masalah-masalah yang masih membutuhkan pemecahan di masa mendatang (open ended approach).

‘Pintu masuk’ paling strategis bagi penyusunan sebuah program pengkajian keagamaan Islam yang berlingkup luas adalah (1) wilayah kajian (study areas) dan (2) beberapa pendekatan yang diperlukan untuk membuat penelitian yang lebih berkelayakan (feasible researches). Karenanya, pembicaraan selanjutnya akan dibatasi pada kedua hal tersebut, dengan tidak mengurangi kemungkinan tumpang tindihnya (overlapping) dengan hal-hal lain. Begitu juga, betapa salahnya sekalipun penetapan sebuah sasaran pengkajian di masa lampau, seperti pengkajian tentang Kebudayaan Islam (yang timbul dari asumsi adanya masyarakat ideal civitas dei di mana seluruh ajaran formal dan aspirasi idealistik kaum muslimin dapat diwujudkan, dengan implikasinya sendiri bagi tingkah laku budaya umat manusia dalam bentuk munculnya sebuah kebudayaan ideal sebagai alternatif terhadap kebudayaan yang ada sekarang ini), haruslah dikaji dengan cermat dan tidak boleh begitu saja dianggap tidak ada. Setidak-tidaknya, penetapan sasaran pengkajian seperti itu adalah sebuah kenyataan yang harus diperhitungkan dampaknya pada kesadaran keagamaan (religious consciousness) para penyelenggara lembaga-lembaga keagamaan Islam dan berbagai gerakan keagamaan Islam dalam abad ini. Bahkan lebih jauh lagi, kesadaran keagamaan itu sendiri sebagai sebuah fenomena sosial-budaya, haruslah dikaji dengan tuntas, guna mengetahui peta permasalahan di dalamnya, bagi kepentingan penyusunan strategi kebudayaan. berlingkup nasional (dan berdampak internasional) di masa depan.

(3)

Beberapa wilayah kajian (study areas) dapat dikemukakan sebagai ‘pintu masuk’ strategi bagi sebuah program pengkajian keagamaan Islam.

  • kajian interaksi antara ajaran ideal Islam dan persepsi budaya kaum muslimin. Kajian ini terutama ditekankan pada cara-cara yang dikembangkan kaum muslimin untuk ‘meleraikan’ ajaran formal agama mereka dan kenyataan kehidupan yang dibawakan oleh perubahan sosial;
  • kajian umum perkembangan berbagai ethos kemasyarakatan yang mengalami perumusan kembali di kalangan kaum muslimin, terutama dalam bentuk kecenderungan puritanistik, modernistik ataupun neo-orthodoks (terutama gerakan-gerakan keagamaan sempalan (religious splinter groups). Tidak dapat dikesampingkan dalam hal ini kajian tentang responsi orthodoksi terhadap tantangan neo-orthodoksi gerakan keagamaan sempalan itu, baik di kalangan orthodoksi tradisional maupun yang telah mengalami reformasi, serta interaksi antara keduanya dalam menghadapi tantangan neo-orthodoksi itu;
  • kajian sektor-sektor yang diperebutkan antara aspirasi keagamaan di kalangan kaum muslimin dan aspirasi pemikiran non-keagamaan, seperti hukum dan pendidikan. Dalam kajian ini termasuk penelitian tentang aspirasi untuk mene- gaskan kembali (self assertion) tempat agama dalam kehidupan, seperti kecenderungan untuk memunculkan sejumlah teori formal Islam bagi bermacam-macam bidang kehidupan, seperti ‘Teori Ekonomi Islam’ dan sebagainya;
  • kajian responsi kelembagaan (institutional responses) terhadap tantangan modernisasi secara keseluruhan di kalangan kaum muslimin, seperti kajian tentang pengembangan beberapa jenis pendidikan baru di pesantren dan dampaknya atas kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Keempat wilayah kajian di atas tidaklah berarti sudah mencakup keseluruhan bidang kajian yang bulat, tetapi setidak-tidaknya telah mengungkapkan sejumlah mata rantai yang akan membentuk kebulatan itu secara relatif. Sebuah penelitian yang utuh dapat juga menyentuh keempat wilayah itu sekaligus secara tumpang-tindih dalam komposisi yang tidak sama besar antara unsur-unsurnya.

(4)

Pendekatan yang digunakan dalam melakukan kajian sudah tentu sangat bergantung pada tujuan penelitian dan lingkupnya. Tetapi secara umum beberapa patokan dapat digunakan untuk menyusun pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan pembagian wilayah kajian di atas.

  • sebanyak mungkin harus didekati persoalan yang dikaji dari sudut pandangan dan persepsi obyek yang dikaji, bukannya dari asumsi-asumsi umum yang sering kali tidak dapat menangkap secara tajam persepsi di atas. Sebuah kajian tentang pandangan hidup ulama di sebuah daerah tidak mampu mengungkapkan dengan baik orientasi tentang kerja menurut skala Kluckhohn, karena ternyata asumsi umum skala itu mengandaikan hanya ada satu jenis saja persepsi tentang kerja, pada hal dalam evaluasi ternyata ada tiga jenis persepsi di kalangan ulama muslim;
  • harus diperoleh terlebih dahulu pengertian yang benar dan akurat tentang metode penafsiran ajaran yang digunakan oleh obyek kajian. Kelompok reformis menganggap bahwakehidupan dunia mempunyai timbangan sama dalam pandangan agama. Dalil-dalil keagamaan yang sama yang diartikan demikian oleh kaum reformis, pada kalangan tradisional mempunyai arti lain: persambungan vertikal, di mana hal-hal duniawi hanyalah persiapan belaka bagi kebahagiaan kekal di alam baka nanti. Contoh ini secara jelas sekali menunjuk kepada halusnya garis pemisah antara berbagai pandangan, namun yang berakibat fatal kalau tidak diketahui oleh seorang peneliti dan dibedakan secara tajam;
  • kerangka penelitian harus secara seksama menyingkirkan hal-hal yang akan mengganggu ketajaman pandangan, seperti asumsi-asumsi umum yang telah diterima secara ‘universal’ selama ini: tajamnya dikotomi tradisional-modern, santri-abangan dan ‘kultur’ bawah-atas. Pemeriksaan mendalam atas tepat tidaknya digunakan asumsi-asumsi umum itu harus dilakukan secara tuntas sejak awal penyusunan kerangka penelitian itu sendiri;
  • haruslah dihindari pendekatan terpotong-potong, melainkan harus dilakukan pembuatan proyeksi gambaran permasalahan yang bersifat komprehensif, untuk meminjam istilah Kahane dalam kajiannya tentang penyebaran Islam di Jawa dan fungsi sosial-historis penyebaran itu. Kajian Kahane yang melihat obyek kajiannya dari keseluruhan fungsi-fungsinya secara kompehensif menunjukkan, bahwa motif utama bagi penyebaran Islam di Jawa bukanlah perniagaan atau propagasi mistik/tasawwuf, melainkan motif legitimasi kekuasaan pada tingkat dan lokasi berbeda-beda atas alasan berlain-lainan pula (lokal pendalaman, lokal pesisiran dan pusat pedalaman).
  • kemampuan menggali sumber-sumber informasi yang tepat, terutama dalam mencari penafsiran yang dihayati obyek kajian atas ajaran agama, haruslah benar-benar mampu mengintegrasikan aspek kontekstual dan tekstual dari penelitian yang dilakukan dengan baik. Tidaklah cukup ‘pendekatan anthropologis’ untuk membiarkan obyek kajian ‘berbicara’ lepas tanpa dikaji interaksinya dengan ajaran-ajaran agama yang dimuat dalam teks-teks keagamaan formal yang digunakan di lingkungannya. Studi tentang teks-teks itu sama besar artinya dengan telaahan atas catatan yang diperoleh dari pengamatan lapangan, untuk mengetahui latar belakang mengapa apa yang diamati itu mengambil bentuk yang diungkapkan oleh catatan dari lapangan itu. Telaahan Hisako Nakamura atas Al-Qur’an, Hadith dan sejumlah teks mengungkapkan apa yang dinamai ‘hukum adat’ ternyata adalah bentuk lain dari internalisasi ‘Hukum Islam’ dalam diri obyek kajiannya. Contoh ini mengungkapkan kekurangan sangat besar dalam penelitian-penelitian keagamaan Islam yang dilakukan selama ini, tidak hanya di negeri ini, melainkan juga di negeri-negeri lain, seperti dilakukan oleh Lerner dengan ‘karya epik’nya yang kini banyak dikritik orang, ‘The Passing Away Of A Traditional Society’.

Beberapa hal yang harus diperhatikan di atas, dalam membuat pendekatan yang memadai kebutuhan memperoleh informasi yang tajam dan menukik terhadap masalah yang dikaji, memperlihatkan bahwa pendekatan non-konvensional harus berani dilakukan dalam pengkajian keagamaan Islam di negari ini, mengingat kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan di masa lampau dan masih berlanjut hingga masa kini.

Dirasa dengan mengemukakannya di sini, dapatlah makalah yang tidak berpretensi terlalu jauh ini diakhiri, sebagai penjajagan sebuah kerangka acuan di kemudian hari, yang lebih memenuhi kebutuhan penelitian lapangan maupun kajian literatur yang mendalam dan saling menunjang. Gabungan antara penetapan wilayah kajian yang lebih relevan dengan kebutuhan dengan kebijakan makro di bidang kebudayaan dan pendekatan yang mampu melakukan pembedahan lebih tajam, rasanya akan mengungkapkan kekayaan informasi yang luar biasa besarnya bagi kita semua.

Tujuan lain yang dapat dicapai dengan ‘kerangka’ kajian seperti itu adalah munculnya kemampuan untuk menumbuhkan alat-alat kebutuhan yang kita butuhkan berdasarkan perspektif hidup kita sendiri. Pengalaman yang khusus diterapkan pada pengkajian keagamaan Islam itu dengan demikian akan mempunyai relevansinya sendiri bagi pengkajian-pengkajian lain di bidang kebudayaan, sehingga dalam jangka panjang akan tercapai sepenuhnya integrasi ‘alat-alat keagamaan’ ke dalam alat penelitian yang bersifat universal dan tidak mengenal tembok-tembok penyekat sama sekali.