Kehidupan Beragama: Kasus Kaum Muslimin Indonesia

Sumber Foto; https://news.republika.co.id/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

(1)

Kehidupan beragama semua umat dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek perorangan dan aspek kemasyarakatannya. Kedua aspek tersebut berkaitan sangat erat, tetapi pada saat yang sama dapat dibedakan dengan jelas satu dari yang lainnya. Kehidupan beragama yang bersifat perorangan sangat berkaitan dengan pengalaman pribadi seseorang, persepsinya tentang sesuatu yang gaib yang hadir dalam kehidupannya dan intensitas pengalaman dengan sesuatu yang gaib itu, yang akhirnya menghasilkan keharuan, kesyahduan, ketakutan ataupun ketundukan yang tulus kepada sesuatu yang gaib dan supernatural yang berada di luar jangkauan pemahaman akalnya tetapi sepenuhnya dapat dirasakannya hadir secara penuh dalam kehidupan itu sendiri.

Pengalaman begitu intens dapat timbul dari keputusasaan hidup, ketakutan yang luar biasa akan sesuatu hal, kekecewaan sangat besar yang ditemui, kesedihan sangat dalam yang dialami, ataupun justru karena kegembiraan dan rasa terima kasih yang tulus. Ia dapat juga muncul dari ketidak mengertian, kebingungan ataupun kemelut lain-lainnya. Walhasil, sesuatu yang tak terduga yang mempengaruhi jalan hidupnya secara mendasar, seringkali membawa kepada kesadaran beragama yang lebih tinggi dari yang semula dialami. Kisah orang jahat yang karena suatu hal lalu menjadi orang yang sangat taat beragama, orang baik-baik yang tadinya tidak begitu peduli kepada ajaran agama yang lalu berbalik menjadi orang saleh dan cerita-cerita lain yang bernada sama, sering memunculkan wajah intens dari pengalaman luar biasa yang kemudian membelokkan arus kehidupan orang yang bersangkutan ke jalan yang penuh manifestasi keagamaan.

Tetapi pengungkapan kejadian-kejadian seperti itu sebenarnya menutupi sebuah kenyataan lain yang tidak segera menarik perhatian, karena sudah begitu umum dan banyak terjadi: kesadaran beragama yang munculnya karena pendidikan sejak kecil (dalam artian seluas-luasnya), karena pengaruh sangat besar dari pembentukan nilai-nilai yang dianut masyarakat, karena persambungan tradisi kehidupan beragama itu sendiri dari masa ke masa dan sebagainya. Padahal pola umum inilah yang umumnya membentuk perpautan antara manusia secara individual dan agama masyarakat yang ditempatinya.

Karena itu, kedua bentuk pengalaman hidup beragama itu, kesadaran beragama yang muncul dari pengalaman hidup yang mendadak yang terjadi secara intens dan kesadaran beragama hasil pendidikan sejak kecil dalam artian yang paling luas, tidaklah dapat diabaikan dan tidak boleh luput dari perhatian kalau diinginkan pengenalan lebih jauh lagi tentang kehidupan beragama. Apa yang terjadi dalam lingkup perorangan itu memiliki pula hubungan saling mempengaruhi dengan kehidupan beragama dalam lingkup kemasyarakatan. Dalam penelitian-penelitian ilmiah, kenyataan pentingnya dibagi kedua jenis pengalaman beragama dalam lingkup perorangan ini hampir selamanya diabaikan, seringkali hanya jenis kedua yang ‘diperhitungkan’, yaitu kesadaran beragama yang tumbuh karena pendidikan sejak kecil. Karena itu, lalu muncullah pernyataan keheranan para anthropolog dan sosiolog akan banyaknya orang yang kembali kepada pengalaman agama dalam abad modern ini, seolah-olah fenomena tersebut adalah sesuatu yang tadinya tak terduga sama sekali.

Seandainya mereka arif, tentulah dari semula sudah harus diketahui, bahwa modernisasi membawa beberapa situasi traumatis bagi manusia abad kedua puluh ini: keterasingan individu dari sesama anggota masyarakat karena perubahan pola hidup yang semakin mobil dan terkotak-kotak, ketakutan individu akan kemungkinan gagalnya hidup masing-masing dalam persaingan ekonomi yang kejam dalam profesi masing-masing, sulitnya memelihara hubungan intim bahkan dengan keluarga terdekat sekalipun karena pengaruh penetrasi pola kebudayaan yang baru, ketidak siapan menerima perubahan-perubahan nilai yang berlangsung begitu cepat, dan sebab-sebab lain lagi. Kesemua sebab itu, sebagai pengalaman traumatis, mau tidak mau akan memiliki dampaknya sendiri dalam dialog internal yang terjadi di diri individu yang bersangkutan, umumnya dengan hasil munculnya pengalaman batin yang intens yang dikenal dengan nama kesadaran beragama.

Sebuah kajian tentang pengalaman individual seperti itu, yang dilakukan atas diri sejumlah mahasiswa Malaysia yang dikirimkan ke luar negeri untuk pendidikan pasca sarjana, sangatlah menarik untuk dikemukakan di sini, karena implikasi lebih jauh dari fenomena di atas. Ternyata besar juga jumlah mahasiswa Malaysia yang setelah kembali dari luar negeri lalu ‘kembali beragama’ dalam cara yang tidak terduga sama sekali sebelumnya: mereka menjadi manusia yang berpandangan sangat sempit, tidak toleran kepada perbedaan pendapat, menjauhi segala macam bentuk modernitas kehidupan, dan terutama menganut faham keagamaan yang sangat ketat. Televisi ditolak, radio dibuang dan hiburan umum dijauhi, karena semuanya dinilai ‘menyimpang dari ajaran agama’. Lingkaran pergaulan dan hubungan dengan orang lain, bahkan yang seagamapun, menjadi dipersempit, hal mana berujung pada sikap menyalahkan corak kehidupan beragama orang lain, termasuk mereka yang seagama. Setelah dikaji secara mendalam ternyata, bahwa sikap seperti itu muncul dari kekecewaan sangat besar terhadap modernitas peradaban Barat yang mereka lihat di luar negeri. Kenyataan-kenyataan pahit tentang adanya segregasi masyarakat berdasar kepentingan ekonomi sangatlah jauh dari ideal mereka tentang demokrasi, kerusakan yang ditimbulkan teknologi atas lingkungan alam meruntuhkan kepercayaan mereka kepada supremasi ilmu pengetahuan alam dan kegunaannya bagi kesejahteraan hidup manusia, runtuhnya nilai-nilai tradisional masyarakat Barat memunculkan ketegangan sosial yang semula tidak mereka sangka sama sekali akan berkembang begitu luas dilingkungan masyarakat Barat itu, dan seterusnya. Kekecewaan sangat besar yang mereka peroleh dari pengalaman hidup di negeri-negeri yang sudah maju industrinya itu meruntuhkan kepercayaan mereka kepada supremasi teknologi, ilmu pengetahuan alam dan kebudayaan sekuler, dan membawa mereka kembali kepada pengalaman keagamaan. Sayangnya, pengalaman beragama yang ditemukan kembali itu lalu mengambil bentuk militansi sikap hidup yang sangat sempit dan tidak toleran terhadap perkembangan di luar diri mereka. Lalu muncullah kesadaran beragama yang berbentuk keberangan sangat besar kepada apa yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang baru ditemukan kembali itu, yang di kalangan kajian kemasyarakatan seringkali dinamai fundamentalisme agama. Fundamentalisme ini secara potensial dapat muncul di lingkungan agama manapun, termasuk di lingkungan gerakan yang kini dipimpin oleh pendeta Jerry Falwell dengan slogan New Morality-nya, yang saat ini mempunyai pengaruh kuat atas pemerintahan presiden Ronald Reagan di Amerika Serikat.

Di Indonesia pun terjadi perkembangan munculnya kelompok-kelompok militan di kalangan kaum muslimin, terutama diperguruan tinggi, sehingga berakibat tumbuhnya beberapa gerakan teror seperti yang dipimpin oleh Imran. Sisa-sisa dari sikap militan yang ujung ekstrimnya menjurus kepada teror fisik itu adalah munculnya sikap berang kepada wanita yang tidak mau ‘berbusana muslim’ dan seterusnya. Karenanya, penting sekali untuk difahami proses yang bermula pada pengalaman hidup yang traumatis dalam lingkup perorangan, yang membawa kepada intensitas sikap yang nantinya akan berakhir pada kesadaran beragama, baik yang wajar maupun yang bersifat sangat militan dan berwatak sempit.

(2)

Dengan mengerti proses yang berbeda antara kesadaran beragama yang tumbuh secara alamiyah karena pendidikan sejak kecil dan sikap ‘kembali kepada agama’ karena pengalaman traumatis dalam perjalanan hidup, kita dapat melakukan tinjauan terlebih jauh lagi atas aspek kemasyarakatan dari kehidupan beragama, terutama di lingkungan kaum muslimin di tanah air kita.

Kekecewaan manusia Indonesia, terutama generasi mudanya, ternyata tidak hanya dapat dibatasi pada lingkup perorangan belaka, melainkan sudah memasuki sektor kehidupan bermasyarakat pula. Besarnya harapan akan perbaikan nasib dan kemewahan hidup yang mereka tumpukan kepada pembangunan, ternyata tidak terpenuhi dengan cepat. Pembangunan, yang secara salah disamakan dengan perubahan pola kehidupan materiil, ternyata tidak membawakan sesuatu yang memenuhi impian dan harapan mereka. Pada saat yang sama, mereka melihat semakin besarnya kesenjangan antara kelompok masyarakat yang berpunya (the haves) dan tak berpunya (the have nots). Bahkan mereka sendiripun terancam secara keseluruhan oleh dimensi sangat besar dari masalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan sebagainya. Mayoritas mereka akan dihadapkan kepada langkanya kesempatan kerja seusai menempuh alam pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi. Mereka melihat masih besarnya korupsi dilakukan, karena masih terbatasnya kemampuan aparat pengawasan untuk mengendalikannya: mereka juga menyaksikan betapa sektor non-pemerintahan juga dipenuhi oleh kecurangan dan perampasan hak bagi orang kecil untuk hidup wajar sebagai manusia, karena larutnya nilai-nilai luhur dalam perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat.

Keseluruhan kekecewaan atas lambatnya pembangunan memenuhi impian materialistik mereka dan menangani masalah-masalah di atas, menghasilkan pada diri mereka pengalaman traumatis yang terjadi secara kolektif. Pengalaman traumatis kolektif itu dapat berujung pada munculnya budaya santai-santaian yang menolak tanggung jawab pribadi untuk membina masa depan yang sehat dan munculnya sikap masa bodoh terhadap apa yang dianggap luhur oleh masyarakat, dapat pula berupa munculnya kesadaran beragama yang kuat di kalangan muda, yang juga mungkin berujung pada sikap beragama yang militan dan berwatak berang sebagaimana digambarkan di atas.

Militansi dan keberangan seperti itu akan mempunyai akibat terlebih jauh, karena ia akan terjadi dalam proses sosialisasi yang cepat dan dianggap sebagai pola pandangan yang benar oleh jumlah manusia cukup banyak. Perkembangan seperti itu sudah tentu berlawanan dengan perkembangan pembangunan sebagaimana dirumuskan oleh masyarakat bangsa secara keseluruhan. Konfrontasi antara kedua perkembangan yang saling berlawanan itu sudah tentu akan menimbulkan percikan-percikan sosial-budaya-nya sendiri, yang akan membuat kemelut di kalangan generasi muda juga semakin membesar. Semakin membesarnya kemelut itu akan memunculkan masalahnya sendiri, yang antara lain akan berupa militansi dan keberangan semakin besar dalam sikap beragama mereka, dan demikian seterusnya terjadi lingkaran setan yang akan menuju kepada memburuknya situasi hingga ke tingkat yang dapat menimbulkan ledakan-ledakan sosial yang merugikan kita semua.

Jelaslah dengan demikian, bahwa harus diambil upaya bersungguh-sungguh untuk membenahi kehidupan beragama di lingkungan masyarakat dan mengarahkannya kepada sesuatu yang lebih. konstruktif, terutama di kalangan generasi muda. Tanpa upaya seperti itu, kehidupan beragama yang semakin meningkat manifestasinya hanyalah akan berujung pada kemelut luar biasa yang hanya dapat diselesaikan melalui revolusi sosial, sebuah prospek yang harus kita jauhi sekuat mungkin.

Pengarahan yang paling tepat rasanya tentulah meletakkan arus kehidupan beragama itu sendiri ke dalam jalur upaya perbaikan. nasib atas prakarsa dan daya sendiri. Tidak hanya upaya sosial- ekonomis semata-mata, melainkan juga upaya transformasi damai masyarakat ke arah kehidupan yang lebih berbudaya, berkeadilan dan demokratis. Keragaman kultural yang akan mendorong tumbuhnya kepribadian yang matang dalam diri kalangan muda kita, haruslah menjadi bagian dari kehidupan beragama itu sendiri, sebagaimana juga halnya pengembangan kebiasaan untuk menghargai pendapat yang saling berbeda. Kreativitas anak muda harus dimasukkan ke dalam jalur kegiatan diatas, untuk menampung potensinya yang konstruktif dan sejauh mungkin menghindari realisasi potensinya yang destruktif.

Kalau kita gagal memberikan pengarahan seperti itu, maka hanyalah kemelut sangat besar yang akan menjadi prospektif kehidupan beragama kita di kemudian hari, dimana keberagaman mewarnai pergaulan sesama muslim dan rasa saling curiga-mencurigai menjadi pola hubungan muslim dengan sesama anak bangsa yang non-muslim. Dalam keadaan sedemikian itu, sia-sialah apa yang dilakukan sekarang ini dalam membangun kehidupan lebih baik bagi masa datang. Tidak ada pilihan lain terbentang dalam cakrawala kesejarahan kita saat ini.