Pandangan Islam tentang Kependudukan dan Tingkah Laku Reproduksi: Sebuah Kerangka Pendekatan

Foto Diambil dari: https://bengkuluekspress.disway.id/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

(1)

Terlebih dahulu harus dijelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam judul makalah ini. Kata ‘Pandangan Islam’ di sini dimaksudkan untuk menunjuk sejumlah pandangan yang dirumuskan kaum muslimin selama ini baik mengenai masalah kependudukan secara keseluruhan maupun aspek-aspek tertentu belaka di dalamnya. Kalau dirasa perlu mengemukakan apa yang seyogyanya diharapkan dapat dirumuskan sebagai pandangan bersama yang baru tentang sesuatu hal, akan digunakan kata ‘ada pendapat’ atau ‘menurut sebuah pendapat’. Baru kalau telah diterima secara umum, tidak perlu kesepakatan yang bulat, dapatlah ia dinamai ‘Pandangan Islam’.

Demikian juga tentang arti kata ‘kependudukan’, dimaksudkan di sini semua upaya pengaturan kelahiran dalam artiannya yang luas, bukan masalah-masalah kependudukan secara keseluruhan. Lebih tepatnya, masalah kependudukan disamakan dengan kebutuhan akan Keluarga Berencana dalam sebuah kerangka program matik.

Sedangkan istilah ‘tingkah laku reproduksi’ adalah pengembangan cara mengatur kecepatan pertumbuhan penduduk melalui pengaturan kelahiran, dan terlebih jauh penurunan angka kelahiran sejauh mungkin melalui beberapa cara kontrasepsi modern maupun tradisional.

Penjelasan di atas perlu dikemukakan terlebih dahulu, untuk menghindarkan salah pengertian terhadap sejumlah pernyataan yang akan dimuat dalam makalah ini, di antaranya beberapa hal yang masih dianggap terlalu peka tidak hanya untuk ditentukan perumusannya, melainkan dalam tahap dibicarakan saja sekalipun! Sudah tentu semua ‘penjagaan dari kesalahfahaman’ tidak berarti terbebasnya makalah ini sama sekali dari kontroversi yang mungkin berkisar sekitar beberapa hal yang dirumuskan sebagai ‘ada pendapat’ atau ‘menurut sebuah pendapat di atas’. Jikalau timbul kontroversi, yang memang disengaja dikemukakan sebagai upaya untuk mengajak kaum muslimin agar mereka menggumuli masalah-masalah dasar di bidang kependudukan secara paripurna, maka beban ‘kesalahan’ akan berada di pundak penyaji makalah, bukan di pihak orang lain.

Keseluruhan makalah ini akan ditekankan pada aspek-aspek yang telah disinggung oleh para pengambil keputusan di kalangan kaum muslimin, antara aspek yang belum dibicarakan secara mendalam dan masih memerlukan pembahasan ulang dari sudut dan perspektif baru, yang memerlukan perhatian kita bersama, dan wilayah persoalan yang diperkirakan masih belum dapat dibicarakan bahkan dalam forum tertutup seperti ini sekalipun (seperti masalah bio-engineering melalui perombakan struktur molekular dan pra-molekular, yang sekarang sedang populer dengan nama ‘cycloning’) Sudah tentu bagian terakhir ini tidak dibicarakan secara sistematis, melainkan hanya sebagai bahasan tambahan di mana ada anggapan ia perlu dibicarakan, karena ia masih jauh dari jangkauan kemampuan kita membahasnya dengan tuntas.

(2)

Hal-hal yang telah disepakati, dalam artian diterima penerimaan atasnya maupun penolakan terhadapnya, keputusan umat Islam dapatlah disimpulkan sebagai berikut:

NoPersoalan KependudukanStatus PersoalanKeterangan
1.Perlunya pengaturan besarnya keluargaMayoritas menyetujuiAlasan penerimaan tidak sama dengan perumusan para ahli kependudukan
2.Perencanaan keluarga diorganisir Lembaga tertentuMayoritas tidak menolak, tetapi mengajukan kritik atas pelaksanaanyaBersumber dari ketidaksamaan perumusan keluarga keluarga berencana
3.Penggunaan pil, obat-obatan lain, kondom dan pantang berkala sebagai ‘kontrasepsi primitif’Mayoritas menyetujuinyaDibenarkan oleh Hukum Islam sepanjang mereka hayati
4.Penggunaan IUDs sebagai kontrasepsi lebih menjamin hasilDitolak Mutlak, kecuali di TunisiaPenolakan didasarkan pada alasan hukum ‘aurat’
5.Penggunaan kontrasepsi ‘positif’, seperto vasektomi dan tubektomiMayoritas menolak tetapi ada sejumlah penerimaan tentatief (Tunisia dan Bangladesh), dan kesediaan eksplorasi masalah lebih jauh (LKK)Sangkutannya dengan masalah terputusnya garis keturunan, disamping masalah teknis hukum agama dan pandangan salah tentang akibatnya atas virilitas
6.Pra-pengguguran kandungan (menstrual regulation) dan pengguguran kandunganDitolak oleh semua agamawan muslim, walaupun dengan definisi berbeda-beda; UU di Tunisia memperkenalkanAda landasan hukum berbeda antara mazhab Hanafi dan perumusan Imam Ghazali tentang kapan terjadinya pengguguran.

Dari tabel di atas jelaslah, bahwa dari semula memang telah ada perbedaan cukup mendasar antara pandangan keagamaan sepanjang dirumuskan oleh lembaga-lembaga keagamaan Islam dan pandangan ‘ilmiah-obyektif’para pelaksana program Keluarga Berencana. ‘Kalangan agama’ bertitik tolak dari kemaslahatan dan Kewajiban hidup manusia secara individu dan kolektif tidak hanya kepada sesama manusia, melainkan juga kepada Allah; sedangkan pemikiran demografis semata sudah tentu bertitik tolak dari pandangan sosial-ekonomis.Sebagai akibat,lalu ada penolakan terhadap keasbsahan (afsahiyyah) program Keluarga Berencana yang tidak bermula dari gagasan murni Islam.

Dalam penggunaan beberapa jenis kontrasepsi, ada yang (1) diterima mutlak (pil, kondom, pantang berkala) ada yang (2) diterima dengan keberatan sangat besar atas cara penggunaan yang dilaku- kan sekarang ini (IUDs), ada yang (3) ditolak karena berbagai alasan teknis (seperti vasektomi dan tubektomi, yakni hingga didapat jaminan tidak akan terputus keturunan secara permanen, seperti diputuskan Musyawarah Terbatas Ulama di lingkungan LKK-NU tahun 1980), dan ada yang (4) ditolak secara mutlak karena memang bertentangan dengan jiwa agama dalam masalah konsepsi/pembuahan benih manusia. Kasus terakhir ini menyangkut bidang pra-pengguguran (menstrual regulation) dan pengguguran kandungan, dengan catatan bahwa pra-pengguguran dapat diterima oleh mazhab Hanafi (bagi tujuan legal dari sudut ajaran Islam) karena sebab teknis berupa bermulanya saat kehidupan.

(3)

Setelah diketahui kedudukan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan, pembatasan dan pencegahan kehamilan dengan pandangan saling berbeda seperti di atas, dapatlah pembahasan di lanjutkan dengan mengemukakan apa yang diistilahkan di muka sebagai ‘ada pendapat’ atau ‘menurut sebuah pendapat’. Artinya, pendapat yang belum diterima oleh keseluruhan umat, dan masih harus dipertanyakan lebih jauh.

Contohnya adalah kasus keputusan Musyawarah Terbatas Ulama diselenggarakan dalam tahun 1980, di mana dirumuskan sebuah pendapat sangat menarik tentang kontrasepsi permanen dalam bentuk vasektomi dan tubektomi. Kedua hal itu pada dasarnya ditolak, karena memutuskan garis keturunan secara permanen, dan menyangkut dua masalah teknis (technicalities) berikut: perbuatan menyakiti diri sendiri (jinayah ‘ala al-nafs) dan hanya dapat dilakukan dengan pertolongan pelaksanaan pembedahan yang melihat ‘aurat besar. Yang menarik dari keputusan musyawarah terbatas yang diselenggarakan Lembaga Kemaslahatan Keluarga-Nahdlatul Ulama itu adalah konsiderans berikut: kalau dapat dijamin secara nisbi/relatif (bukannya mutlak tidak dapat dijamin sama sekali) akan adanya prosentase cukup besar dari mereka yang dapat dibuat mengandung lagi melalui restorasi (pengembalian) fungsi generatif semula, maka tidaklah dilarang keduanya. Demikian pula, musyawarah itu menetapkan siapa yang berwenang mengambil keputusan memperkenankan dilakukannya sterilisasi secara perorangan maupun kolektif, di luar alasan medis dan kebutuhan mendesak (al-hajah tansil manzilah al-darurah): ‘sebuah team ahli terdiri dari bermacam-macam professi, dengan masing-masing anggota memberikan pertimbangan berdasarkan bidang keahliannya sendiri’. Ini berarti, secara teoretis kebutuhan akan sebuah program sterilisasi (kini dinamai kontrasepsi mantap) dapat ditetapkan oleh pertimbangan yang bukan hanya semata-mata pertimbangan keagamaan belaka, sedangkan ‘kalangan agama’ menerimanya karena ia juga dilibatkan di dalamnya.

Dalam sebuah peninjauan singkat ke Bangladesh dan Tunisia pada akhir 1978, penyaji makalah ini mendapati, bahwa kontrasepsi mantap sudah dilaksanakan hingga ke pelosok-pelosok Bangla Desh, dan dilakukan secara massif di klinik-klinik sederhana yang jumlahnya ratusan serta diikuti oleh peserta (di sini dikenal dengan istilah akseptor) yang dalam kehidupan sehari-hari ta’at beragama dan masih memiliki loyalitas besar kepada korps ulama mereka. Walaupun tidak ada keputusan resmi dari sebuah lembaga keagamaan di bidang itu, adalah menarik untuk mengikuti hasil wawancara dengan sejumlah ulama (Pir Sahib, mulla dan asatidz).Baik yang menentangnya maupun yang menerima keadaan itu. Bagi yang menerima, alasannya adalah kenyataan bahaya besar di ambang pintu yang mengancam keselamatan Bangla Desh di masa depan, kalau pertambahan penduduk tidak dapat dikendalikan secara drastis. Bagi yang menentang, disebutkan alasan mengapa mereka tidak melakukan penentangan terbuka: mereka yang melakukan atau meminta kotrasepsi mantap adalah orang yang telah melakukan suatu keputusan berdasarkan keadaan yang memaksa, dan mereka cukup menderita batin untuk sampai kepada sikap meminta kontrasepsi seperti itu. Tentu tidak layaklah kalau mereka dihukum terlebih jauh, di samping tidak benar untuk memperlakukan mereka bukan sebagai muslimin hanya karena ‘kesalahan teknis’ seperti itu.

Di Tunisia, Undang-Undang memperkenankan permintaan seorang wanita untuk mendapatkan kotrasepsi mantap, jika ia telah mempunyai anak dan diizinkan oleh suami untuk melakukannya. Walaupun masih dilaksanakan dalam lingkup kecil (dan belum sampai ke pelosok-pelosok di daerah pedalaman), menarik sekali untuk mengkaji bagaimana sebagian ulama Tunisia melihatnya dari sudut tindak lanjut logis dari ketentuan Islam yang memberikan beban mengembangkan kepribadian unggul dan menyediakan prasarana kualitas hidup baik bagi anak mereka di kemudian hari. Ayat Al-Qur’an ‘Hendaknya mereka yang takut meninggalkan di belakang mereka keturunan yang lemah…. dan seterusnya’ dijadikan landasan sikap ini, karena ia digunakan dalam kerangka yang berketerusan (itar mumaddun).

Dari pengamatan di atas ingin dikemukakan di sini sebuah pendapat tentang kerangka penglihatan masalah yang dapat digunakan untuk mengembangkan pandangan Islam secara tuntas tentang berbagai masalah kependudukan. Kesediaan untuk melakukan pendekatan baru, diluar pendekatan lama yang semata-mata melihatnya dari sudut pandangan ‘hitam putih’ secara jelas dan dalam mekanisme yang bersifat regressif (kalau tidak memenuhi persyaratan teknis, ditolak secara keseluruhan), sangatlah diperlukan, guna membuat kaum muslimin lebih responsif terhadap perkembangan keadaan yang menyangkut dasar-dasar kehidupan mereka yang sehat dan berkualitas tinggi di masa depan.

Kerangka penglihatan itu hendaknya dirupakan dalam sejumlah titik prinsipill berikut:

  • tujuan dari adanya Hukum Islam adalah penyediaan sarana dan prasarana kehidupan yang serba berkeseimbangan antara kebutuhan perorangan dan masyarakat, dan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Ini berarti perlunya dijaga agar ada ruang gerak di luar dan di dalam diri manusia secara perorangan maupun secara berkelompok. Kalaupun ruang gerak di luar (peluang cukup untuk melakukan pengembangan sosial-ekonomis, wilayah fisik kehidupan dapat dimekarkan dengan upaya migrasi penduduk dan seterusnya) dapat dijaga, ruang gerak dalam diri (melihat kemiskinan luar biasa di sekitar kita dapat menimbulkan penyempitan ruang gerak di dalam diri itu) dapat dengan mudah menjadi sangat menyempit, dengan implikasinya atas kemelut kehidupan masyarakat secara keseluruhan;
  • aplikasi Hukum Islam tidak dapat dibatasi lingkupnya pada batas-batas wilayah bangsa dan territorial nasion belaka, melainkan meliputi seluruh umat manusia, termasuk non-Muslim yang tidak berperang dengan kaum muslimin (dzimmiyyin). Ini berarti, pertimbangan sosial- ekonomis yang dilakukan haruslah mempertimbangkan kenyataan ketimpangan tersedianya sumber alam dan kebutuhan manusia pada skala global. Ketimpangan tidak dapat dibiarkan berlangsung terlalu lama, karena justru akan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang menjadi landasan penerapan Hukum Islam itu sendiri.
  • Hukum Islam pada dasarnya memiliki sifat absolut/mutlak, karena itu ia harus memperhitungkan semua faktor kehidupan untuk tidak menimbulkan gangguan pada salah satu faktornya saja. Asas kelanggengan Hukum Islam tidak dapat membawakan kesejahteraan, kalau diterapkan dalam lingkup yang sempit belaka, karena akan terjadi pergesekan sangat besar antara unsur-unsur kehidupan masyarakat secara tidak berhenti-henti sebagai akibat.
  • unsur-unsur yang membentuk Hukum Islam, seperti metodologi pengambilan keputusan hukum fiqh dan ‘legal reasoning’ (alasan hukum) yang telah dikembangkan selama ini, haruslah dipergunakan secara lentur, dalam kerangka perimbangan yang sangat halus antara tujuan/maksud (ghayah) dan cara pencapaiannya (wasa’il). Dalam kasus mazhab Hanafi menganggap hidup bermula dari tanda berupa gerak bayi yang dikandung dalam rahim (lebih kurang pada umur seratus dua puluh hari), sehingga dengan demikian pengambilan/pengeluaran isi kandungan (embryo, janin) tidak dianggap sebagai pengguguran kandungan (ijhad), kita harus menggunakannya sebagai salah satu sumber referensi hukum yang patut dijadikan bahan pertimbangan sepenuhnya, dalam kerangka tujuan dan cara pencapaiannya di atas. Salah satu hasil pendekatan seperti ini adalah pendapat untuk menamai upaya mengeluarkan janin dari kandungan pada usia dini (di bawah 10 minggu) sebagai pra-pengguguran, bukannya sebagai tindakan menggugurkan kandungan:
  • perluasan cakrawala persoalan yang secara sah dapat dimasukkan sebagai sebab, dengan mempertimbangkan kemungkinan yang diperkirakan akan timbul dari sudut pandangan medis dan psikologis, sebagai salah satu masukan (input) relatif dalam melakukan pertimbangan, seperti meningkatnya bahaya bagi keselamatan ibu dan bayi dalam kelahiran anak keempat ke atas pada usia sang ibu berada di atas 35 tahun.

(4)

Dari apa yang dikemukakan di atas dirasa sudah cukup jelaslah, bahwa perlu dikembangkan sebuah kerangka pendekatan baru dalam merumuskan pandangan Islam atas masalah kependudukan dan tingkah laku reproduksi manusia. Cara-cara yang lama, yang hanya memperlakukan bahan pertimbangan dari ‘sudut penglihatan luar’ yang terlalu ‘hitam putih’ ternyata mempersempit ruang gerak pengambilan keputusan yang tuntas dan sesuai dengan persoalan-persoalan yang demikian banyak membutuhkan pemecahan segera.

Diperlukan kemauan keras untuk melakukan pemekaran cakrawala pemikiran keagamaan kita di bidang ini, dengan memasukkan dimensi relativitas persoalan, kalau dihadapkan pada kenyataan kasuistik yang dihadapi dalam kenyataan hidup, guna menjamin kemampuan Islam dan kaum muslimin untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat kita secara tuntas. Rasanya dari sudut inilah harus juga dilihat sudut baru dari pengertian yang dinamis atas semangat ‘kejayaan Islam dan kaum muslimin’ (izz al-Islam wa al-muslimin) yang telah membentuk pola kehidupan dan perjuangan kita selama ini sebagai ummah wasata.