Kebangkitan Islam Sebagai Titik Tolak Kegiatan Umat

Foto Diambil dari; https://intisari.grid.id/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

(1)

Kebangkitan Islam sebagai issu telah menyalakan semangat muslimin di seluruh dunia pada permulaan abad kelima belas hijri. Issu tersebut telah diterima mutlak oleh kalangan intelektual muslim. lingkungan media massa dan pengambil keputusan lembaga-lembaga Islam pada tingkat lokal. nasional maupun internasional. Sebagian karena fungsinya sebagai ‘obat penenang’ untuk melupakan kemelut yang dihadapi kaum muslimin di seluruh dunia dalam hampir semua sektor kehidupan. Sebagian lagi karena peranannya sebagai penyalur harapan di tengah kepahitan hidup yang senantiasa didera kemiskinan dan penindasan bagi mayoritas kaum muslimin di mana-mana. Kesadaran akan kebangkitan Islam ini telah menimbulkan momentumnya sendiri. Sudah tentu dengan segenap implikasinya bagi kehidupan kaum muslimin sendiri dalam jangka panjang, yang berarti bagi masa depan umat manusia. Sebagai jumlah sangat besar dalam keseluruhan jumlah penduduk dunia (600-700 juta dari 4200 juta jiwa, atau antara sepertujuh dan seperenam jumlah penduduk dunia). Apa yang terjadi pada batang tubuh umat Islam (Islamic polity) sangat besar pengaruhnya atas masa depan umat manusia secara keseluruhan.

Kenyataan ini membawa kepada kita kebutuhan untuk merumuskan batasan-batasan kebangkitan Islam itu sendiri, karena apapun yang akan dilakukan atas namanya akan sangat menentukan jalan kehidupan kaum muslimin, dan pada gilirannya masa depan umat manusia (walaupun sudah tentu dalam kaitan dengan faktor-faktor penentu lainnya yang tidak semuanya berkaitan dengan Islam sebagai agama maupun sebagai ideologi atau pandangan hidup). Tanpa perumusan batasan-batasan seperti itu, kebangkitan Islam akan berakhir pada salah satu dari kesudahan berikut: pemborosan segenap sumber kegiatan (dana, tenaga, waktu dan pemikiran) tanpa mencapai hasil kongkrit yang diharapkan semula, atau hanya menjadi proses pembiusan diri lebih lanjut. Tak akan ada harapan terpenuhi dengan kesudahan seperti itu, dan persoalan utama kaum muslimin hanya semakin tertunda saja pemecahannya, sudah tentu dengan keadaan yang semakin payah dan kekuatan yang semakin melemah untuk mencarikan pemecahan atasnya.

Batasan-batasan itu dapat dirumuskan dengan cara terlebih dahulu mengenal persepsi atas kebangkitan itu sendiri, dan harapan yang diletakkan atasnya oleh kalangan yang saling berbeda orientasi kehidupannya. Dari pengenalan persepsi dan harapan itu, lalu dirumuskan kenyataan yang dihadapi dalam totalitasnya sekitar keadaan kaum muslimin sendiri. Terakhir baru dapat dilakukan pembuatan rumusan batasan-batasan atas kebangkitan Islam itu sendiri. Penentuan prioritas kerja dan penyiapan kerangka kegiatan umat Islam dalam rangka realisasi kebangkitan Islam, yang merupakan langkah berikut, tidak akan dibicarakan dalam kesempatan ini, karena ia telah menyangkut topik pembahasan lain.

(2)

Ada beberapa persepsi yang sekarang dapat dikenal dalam upaya memahami arti kebangkitan Islam di permulaan abad ke lima belas hijri ini. Persepsi pertama tentunya adalah pertanyaan, yang dapat saja bersifat skeptis maupun muncul dari kedambaan akan datangnya sesuatu yang sudah begitu lama diharapkan, akan benar atau tidaknya telah ada kebangkitan di kalangan kaum muslimin. Pertanyaan itu muncul dari dua hal: kesadaran akan keadaan menyedihkan dalam kehidupan kaum muslimin, baik yang bersifat material maupun non-material; dan kesadaran akan masih terbatasnya cakrawala penglihatan mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia. Dalam kenyataannya, agenda pemikiran kaum muslimin masih berkisar pada masalah yang itu-itu juga selama seabad terakhir ini. Mungkinkah dari suasana pemikiran seperti itu dapat dimunculkan sebuah proses kreatif dan dinamis seperti kebangkitan, yang memiliki totalitas dan intensitasnya sendiri?

Kita dapat saja menanggapi pertanyaan di atas secara emosional, namun yang jelas sikap seperti itu tidak akan membawa kepada penerimaan atas gagasan kebangkitan Islam itu sendiri. Diperlukan sikap untuk mau berdialog dengan skeptisisme di kalangan cukup luas pemikir muslim itu. Sikap yang lebih mendidik mungkin adalah justru kesediaan memberikan bukti-bukti akan adanya kebangkitan itu sendiri. Bukti seperti itu sebenarnya banyak yang dapat digali, walaupun harus diakui kebanyakan baru memiliki dimensi kuantitatif belaka. Munculnya Iran sebagai sebuah kebangunan Islam di hadapan ‘proyek’ untuk melakukan pembangunan yang sama sekali sekuler oleh bekas Shah Reza Pahlavi, dapat dikemukakan sebagai bukti. Munculnya ikatan organisatoris di kalangan kaum muslimin seluruh dunia, seperti OKI dan sejumlah lembaga internasional lainnya yang didirikan di lingkungan khusus Islam, dapat juga dikemukakan sebagai bukti. Perkembangan kuantitatif di bidang pendidikan, kegairahan hidup beragama dan sejumlah kegiatan sosial-budaya dapat pula dijadikan bukti akan adanya kebangkitan di kalangan kaum muslimin seluruh dunia. Masih dapat dipersoalkan apakah ‘prestasi’ kuantitatif seperti itu dapat dijadikan bukti yang tepat tentang kebangkitan Islam, tetapi bagaimanapun juga yang menunjuk kepada peningkatan manifestasi kehidupan kaum muslimin.

Pendapat kedua menganggap kebangkitan telah ada, tetapi masih dalam dimensi yang tidak rata antara berbagai aspeknya. Ungku Abdul Aziz dari Universitas Malaysia, umpamanya, mengamati adanya kebangkitan di dua sektor penting, yaitu kebangkitan keyakinan (revival of faith) dan kebangkitan kekuatan ekonomi sebagai hasil munculnya petrodollar sebagai salah satu kekuatan ekonomi dalam lingkup dunia (global scale) yang harus diperhitungkan oleh semua pihak. Hanya saja, menurut ekonom yang menjadi rektor ini, justru di sektor paling menentukan belum muncul tanda-tanda kebangkitan itu, yaitu sektor kebangkitan pemikiran (revival of social thoughts and theories) di kalangan kaum muslimin. Munculnya upaya untuk mencari ‘jalan tengah’ antara pemikiran kapitalistis dan sosialistis baru sampai kepada sejumlah gagasan yang belum lagi tertuang dalam kerangka teoretis dan metodologi kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Pendapat kedua ini adalah ungkapan perasaan yang jujur dari seorang konseptor pemikiran sosial yang mencoba menumbuhkan sebuah sistem ekonomi mikro yang sesuai dengan kebutuhan bangsanya yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam, yaitu proyek MARA. Ia merupakan sekaligus kekecewaan atas kegagalan selama ini untuk melihat munculnya kebangkitan yang tuntas, di samping keteguhan keyakinannya akan kemampuan umat Islam untuk melakukan hal itu dalam jangka panjang.

Pendapat ketiga tentunya adalah pendapat yang secara idealistis telah melihat terpenuhinya semua persyaratan bagi sebuah kebangkitan, jika kaum muslimin dapat mencapai kesepakatan untuk merealisir kebangkitan itu sendiri dalam waktu tidak terlalu lama. Ajaran Islam yang demikian kaya dengan pranata yang akan membawakan kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki bagi umat manusia, tinggal menunggu pelaksanaannya secara tuntas oleh kaum muslimin. Begitu ajaran itu dilaksanakan secara tuntas di lingkungan masing-masing, akan muncul sebuah kebangkitan yang tidak ragu lagi akan mengubah jalan sejarah umat manusia sedrastis. Konsentrasi daya manusiawi (manpower) kaum muslimin yang demikian besar, dikombinir oleh kekuatan finansial luar biasa dari negara-negara penghasil minyak yang utama, akan memberikan tunjangan yang diperlukan bagi kebangkitan yang muncul dari pelaksanaan ajaran Islam secara tuntas itu.

Pendapat idealistis ini sangat menarik untuk diikuti, selain bahwa ia didasarkan pada beberapa asumsi yang belum sepenuhnya diuji ketangguhannya oleh sejarah: adanya keinginan kuat untuk melaksanakan ajaran secara tuntas, adanya kesatuan pendapat yang dengan mudah akan mengatasi masalah-masalah yang dipersengketakan selama ini, dan adanya sebuah kesamaan kemampuan untuk keluar dari kemelut masing-masing yang dijalani saat ini (sudah tentu dengan latar belakang kesejarahan yang berpangkal pada masa lalu yang panjang). Dilihat dari sudut pandangan yang menguji ini, ketegaran untuk melakukan propaganda massif tentang terjadinya kebangkitan Islam, sebagai upaya yang dimaksudkan untuk justru menciptakan momentum bagi kebangkitan itu sendiri, masih juga perlu dipertanyakan urgensinya. Apakah ketegaran berpropaganda seperti itu justru tidak akan berakibat pemalingan muka kita dari persoalan utama yang sebenarnya, sedangkan tanpa penyelesaian persoalan utama itu sebuah kebangkitan justru tidak akan terjadi?

Persepsi pertama, yang mempertanyakan benar atau tidaknya telah terjadi kebangkitan itu sendiri, di balik sikap skeptis yang diperlihatkannya, memancarkan harapan akan kemampuan kita bersama untuk melakukan tindakan yang diperlukan guna memungkinkan terwujudnya sebuah kebangkitan. Persepsi ini bukanlah sebuah penolakan (dismissal) atas kemungkinan kebangkitan itu sendiri, melainkan sebuah tuntutan untuk membuat rumusan yang lebih realistis dalam mengamati sebuah fenomena, sebelum ia dapat disebut kebangkitan.

Persepsi kedua justru memancarkan harapan sangat besar kepada sebuah kebangkitan, karena ia menunjuk secara tepat salah satu kekurangan utama dari kebangkitan yang telah terjadi secara parsial di kalangan kaum muslimin.

Persepsi ketiga, yang menganggap kebangkitan Islam tinggal direalisir melalui kesediaan melaksanakan ajaran Islam secara tuntas, meletakkan harapan paling lengkap dan paling besar atas proses kebangkitan itu sendiri. Harapan yang akan menimbulkan kekecewaan sangat besar manakala tidak terwujud dengan cepat, dan menimbulkan reaksi susulan yang cukup besar memberikan tambahan unsur baru ke dalam kemelut yang tekah ada.

(3)

Keadaan kaum muslimin di seluruh dunia dapatlah digambarkan sebagai menyedihkan. Tidak ada satupun kelompok muslim dalam lingkup cukup besar menikmati kemajuan dan merasakan kualitas hidup menggembirakan. Mereka yang memiliki limpahan kekayaan finansial sangat besar memang berhasil memasuki era baru dalam kehidupan: era pemenuhan kebutuhan konsumtif tingkat tinggi, yang oleh J.K. Galbraith dinamakan tingkat serba berkecukupan (affluent life). Tetapi aspirasi politik dalam masyarakat muslim yang telah mencapai tingkat kemakmuran seperti itu, seperti Saudi Arabia dan negara-negara Teluk Persia, masih belum dapat diperjuangkan oleh kelompok-kelompok bawah secara demokratis. Keadilan sosial masih belum tegak dalam artian yang sebenarnya, yaitu pembebasan dari struktur ekonomi yang eksploitatif.

Mereka yang mampu menciptakan atau terjun ke dalam sistim politik yang kurang lebih demokratis, umumnya sebagai golongan minoritas di India, Sri Lanka dan sebagainya, belum dapat membebaskan diri mereka dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Merekapun belum dapat membebaskan diri sepenuhnya dari perlakuan tidak adil kepada golongan minoritas yang menjadi watak utama kehidupan sosial di negeri-negeri sedang berkembang.

Yang paling sial adalah mereka yang harus hidup dalam suasana serba dicurigai dan dianggap sebagai musuh potensial oleh perangkat pemerintahan, di samping masih harus hidup di bawah garis kemiskinan mutlak, seperti kasus masyarakat muslim Indonesia saat ini. Keseluruhan jalur untuk memperjuangkan aspirasi politik, ekonomis dan kultural mereka sendiri telah ditutup dengan rapat oleh kekuasaan yang menghadapkan dirinya kepada aspirasi ideologis kaum muslimin di luar jalur ideologi formal negara. Terlebih parah lagi adalah keadaan kaum muslimin yang harus hidup dalam suasana demikian, tetapi sekaligus juga menjadi minoritas, seperti kasus kaum muslimin Burma, Thailand dan Filipina.

Di hadapan kepahitan hidup yang serba tidak menggembirakan sudah wajar jika lalu muncul tiga sikap yang saling bertentangan dan secara sangat merugikan terus-menerus terlibat dalam polemik berkepanjangan Muhammad Kamal Hassan dari Universitas Kebangsaan di Malaysia memberikan kategori yang menarik atas responsi berbeda-beda itu terhadap tantangan dari luar terhadap aspirasi keagamaan kaum muslimin. Dalam karyanya yang berjudul “Muslim Intellectual Responses To ‘New Order’ Modernization In Indonesia” (Kuala Lumpur, 1980), ia mencatat tiga responsi yang terjadi di Indonesia, yang kemungkinan sangat besar dapat dilihat juga di negeri-negeri lain: responsi ideologis, responsi idealistis dan responsi akomodatif.

Responsi ideologis memusatkan perhatian kepada upaya menyesuaikan ideologi negara kepada aspirasi agama, paling tidak agar penafsiran ideologi resmi negara jangan sampai bertentangan dengan ajaran agama. Perjuangan untuk menuntut legalisasi bagi Piagam Jakarta sebagai bagian dari batang tubuh dari UUD 1945 dan memberikan ‘warna agama’ kepada ideologi negara Pancasila adalah responsi dari kategori ini.

Responsi kedua lebih menitikberatkan perhatian kepada pembentukan sebuah masyarakat muslim di masa datang, di mana ajaran Islam dilaksanakan secara tuntas tanpa terlalu banyak dipertentangkan dengan ideologi formal yang dianut negara. Pendidikan dan dakwah adalah jalur utama untuk menyatakan responsi ini, dengan aspirasi keagamaannya sendiri.

Responsi ketiga adalah upaya untuk melakukan akomodasi kepada kenyataan hidup, baik melalui perumusan kembali pranata aqidah, hukum agama dan ideologi politik yang telah diterima selama ini. Berbagai upaya ‘pembaharuan’ dapat dimasukkan ke dalam kategori ini.

(4)

Kenyataan akan masih beragamnya responsi kaum muslimin terhadap tantangan yang mereka hadapi, baik dari ideologi resmi negara di luar pengakuan formal akan Islam sebagai dasar negara maupun dari berbagai faham yang datang dari perkembangan interaksi begitu lama antara Islam dan peradaban-peradaban lain selama ini (baik berbentuk sekularisme maupun lain-lainnya), membawakan kebutuhan kepada kita untuk memberikan batasan-batasan yang jelas kepada proses kebangkitan Islam yang diharapkan akan dapat diwujudkan di masa depan.

Batasan pertama adalah perlunya kebangkitan Islam itu dikaitkan dengan upaya massif di seluruh dunia untuk memecahkan masalah dasar umat manusia: kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan ketidak adilan perlakuan. Tanpa dikaitkan dengan upaya di bidang ini, maka semua pembicaraan tentang kebangkitan Islam hanya akan menjurus kepada perdebatan berkepanjangan tentang hal-hal yang tidak banyak memiliki relevansi kepada kehidupan, seperti perlu tidaknya diambil pendekatan legal-formalistik terhadap kehidupan kaum muslimin dan seterusnya.

Batasan kedua adalah perlunya mendudukkan upaya memecahkan masalah dasar di atas pada perjuangan makro untuk menegakkan demokrasi yang murni, kebebasan dan perlakuan sama di muka hukum, dan mengembangkan struktur sosial-ekonomis yang lebih adil, serta pengambilan strategi membangun dari bawah (bottom-to-top development strategy) sebagai prasarana untuk penegakan keadilan dan pengembangan struktur lebih adil itu. Banyak upaya untuk melakukan pengembangan sosial-ekonomis dan sosial-budaya hanya berakhir pada penciptaan kelas penindas yang baru, kalau dilakukan tanpa diletakkan dalam kerangka perjuangan makro ini.

Batasan ketiga adalah perlunya kesadaran untuk menerima pluralitas etnis-agama-budaya-politis sebagai kenyataan yang tidak dapat dihindari, kalau diinginkan keberhasilan kedua jenis upaya di atas dengan tuntas. Watak eksklusif harus dihilangkan dari kehidupan kaum muslimin, kalau diinginkan kerja sama yang tulus, jujur dan terbuka dengan golongan-golongan lain. Padahal tanpa kerjasama seperti itu tidak akan berhasil dilakukan perjuangan menangani masalah-masalah dasar umat manusia dalam kerangka makro untuk menegakkan demokrasi murni, mengembangkan struktur kemasyarakatan yang lebih adil dan mengambil strategi membangun bawah itu.

Diharapkan sumbangan pikiran ini telah dapat mengungkapkan batasan yang diperlukan bagi upaya menjadikan kebangkitan Islam sebagai titik tolak kegiatan umat dalam artian yang penuh.