Kembali ke 1A Kumpulan Tulisan

Mengurai Hubungan Agama dan Negara

1A Kumpulan Tulisan
Mengurai Hubungan Agama dan Negara
Judul
Mengurai Hubungan Agama dan Negara
Penulis
Abdurrahman Wahid
Editor (Penyunting)
Kacung Marijan, Ma'mun Murod Al-Brebesy
Penerbit
PT. Grasindo, Jakarta, 1999 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Bagian Satu: Pendahuluan

  • Gus Dur dan Kontemplasi Teoritisnya
    oleh Kacung Marijan

 

Bagian Dua: Biografi

  • Biografi Abdurrahman Wahid
    oleh Ma’mun Murod Al-Brebesy

 

Bagian Tiga: Agama dan Negara

 

Bagian Empat: Agama, Demokrasi, dan Pemberdayaan Civil Society

 

Bagian Lima: Kepemimpinan Umat Islam: Antara Eksklusivisme dengan Inklusivisme

 

Bagian Enam: NU dalam Dinamika Politik Bangsa

Sinopsis

Buku ini sebagai ikhtiar untuk membingkai gagasan besar Gus Dur tentang hubungan agama dan negara. Lebih spesifik lagi kaitannya islam dengan politik. Ada 37 tulisan Gus Dur di dalam buku ini, yang telah dimuat di berbagai media dari tahun 1980-1999.

 

Penyunting membagi pemikiran Gus Dur ke dalam empat bab. Pertama, Agama dan Negara—sebagaimana yang menjadi judul sampul buku. Kedua, Agama, Demokrasi, dan Pemberdayaan Civil Society. Ketiga, Kepemimpinan Umat Islam: Antara Eksklusifisme dengan Inklusifisme. Keempat, NU dalam Dinamika Politik Bangsa.

 

Gagasan-gagasan Gus Dur tersebut tentu dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan Gus Dur,  pesantren, dan interaksi Gus Dur terhadap dunia modern, pendidikan non pesantren. Kacung Marijan dalam pengantarnya menyebut bahwa Gus Dur hidup dalam dua dunia sekaligus; ‘dunia langit’ yang penuh dengan keagamaan (tradisi), dan ‘dunia bumi’, yang penuh dengan realitas-realitas, pengalaman empirik Gus Dur ketika di lapangan, bertemu dengan beragam kelompok.

 

Wajar jika dalam buku ini membincang diantaranya respons Gus Dur atas ihwal gerakan atau cara pandang oleh sebagian umat Islam Indonesia yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Namun Gus Dur menolak gagasan itu. Secara tegas Gus Dur menyatakan bahwa di dalam Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan. Dengan demikian, memaksakan syariah ke dalam negara justru dapat merusak substansi Islam.

 

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana yang kita jalani hari ini, menurut Gus Dur itu sudah cukup baik. Meskipun Islam tidak diformalkan (dalam bentuk Undang-Undang) yang mengatur seluruh kehidupan warga bangsa, namun umat Islam diberi keleluasaan atau kebebasan dalam menjalani ritual, beribadah. Hal ini selaras dengan semangat Pancasila, yang menjamin hak pemeluk agama untuk melaksanakan kewajibannya masing-masing.

 

Dalam menafsirkan ajaran Islam, Gus Dur tidak hanya berpangku pada teks semata, namun Gus Dur juga melihat realitas, konteks yang terjadi. Salah satunya gagasan pribumisasi Islam. Dalam gagasannya itu, bagaimana Gus Dur memandang dalam penerapan hukum-hukum Islam perlu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal tanpa mengubah hukum itu sendiri. Sehingga ajaran Islam tetap relevan sampai kapan pun, shalilh likulli zaman wa makan.

 

Di sisi lain, Gus Dur juga tidak memisahkan hubungan antara Islam dengan negara. Justru Islam bisa menjadi sumber etika dan moral. Perjuangannya dalam menegakkan demokrasi dan keadilan—baik sebelum, ketika, dan pasca menjabat sebagai presiden—adalah bentuk moralitas, cerminan dari ajaran Islam. Memanusiakan manusia dan keberpihakannya pada rakyat kecil adalah warisan perjuangannya.

 

Terbitnya buku ini, pada tahun 1999, sekaligus menguji kekonsistenan Gus Dur terhadap gagasan-gagasannya itu. Akankah masih sama ketika menjadi orang nomor satu di Indonesia? berpihak pada rakyat, menjaga keutuhan bangsa, menegakkan kedaulatan hukum dan memberikan kebebasan kepada semua untuk menyatakan pendapatnya. Ternyata Gus Dur lulus dari ujian itu. Tetap berpegang pada Undang-Undang dan konstitusi, serta menjadikan ajaran Islam lebih substansial, bukan formalistik.