Masalah Segregasi Agama

Sumber Foto: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-38208394

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kesinambungan hidup suatu bangsa dapat disoroti melalui berbagai pendekatan. Dapat diambil pendekatan global, berupa inventarisasi kekayaan budaya (culture properties) yang dimilikinya, dan proyeksi kekayaan tersebut ke situasi yang akan dihadapi di masa datang. Pendekatan paripurna ini, yang sering disebut pendekatan sejarah sosial, memerlukan pengetahuan komprehensif tentang bangsa rersebut.

Ada pula pendekatan lain, seperti penelusuran cara-cara yang digunakan bangsa itu untuk memecahkan masalah-masalah dasar yang dihadapinya, dan menggunakan hasilnya sebagai tema utama membuat proyeksi masa depan bangsa tersebut. Contoh yang dapat dikemukakan adalah kemampuan sangat tinggi untuk membuat organisasi di kalangan bangsa-bangsa Barat setelah patahnya feodalisme menjelang masa Renaissance.

Modal dasar serupa juga dapat dilihat pada bangsa Jepang, yaitu kemampuan melakukan penyerapan masif dalam ilmu, teknologi dan pengaturan masyarakat, tanpa kehilangan esensi kehidupannya sendiri. Proses yang dimulai shoqunat Tokugawa ini tampak jelas dalam pola hubungan antara masyarakat Jepang dan agama Kristen. Tema utama modal dasar ini, walaupun bersifat parsial, arbitrer, dan karenanya berwatak sesisi, akan sangat menolong dalam membuat proyeksi sektoral suatu bidang kehidupan di masa depan.

Tema utama kehidupan bangsa

Dalam menilik aspek sosial keagamaan sebagai objek kajian yang bersifat sektoral, dengan mengingat keterbatasannya, dapat kiranya dibuat pendekatan yang bersifat mencari tema utama di atas dalam kehidupan bangsa kita. Terlebih dahulu harus dicari apa yang patut diungkapkan sebagai tema utama dalam kehidupan bangsa kita di masa lampau dalam bidang sosial keagamaan. Dari “temuan” itu lalu dibuat proyeksi ke masa kini, dan baru dilanjutkan ke masa depan.

Pencarian tema utama seperti itu tidak berarti eliminasi kemungkinan adanya tema-tema lain, dan bahkan tidak menolak hadirnya pendekatan lain dalam merekontruksikan sejarah masa lampau guna kepentingan masa depan. Dengan kata lain, tidak mungkin diperoleh kebenaran kategoris yang bersifat mutlak, melainkan pemahaman nisbi yang tidak kalah kegunaannya bagi keperluan penentuan kebijaksanaan di bidang sosial keagamaan.

Salah satu tema utama yang dapat dikembangkan adalah peranan sangat besar pihak pemerintah dalam kehidupan beragama sepanjang sejarah. Sinkretisme antara Hindu dan Budha, bermula pada abad-abad ke-9 dan ke-10 Maschi, jelas menunjuk kepada kuatnya “tradisi” campurtangan pemerintah dalam kehidupan beragama bangsa kita. Pola hubungan ‘multikratonik’ antara Islam dan sistem kekuasaan di Jawa juga memperlihatkan hal yang sama

Di masa lampau, hal itu tidak banyak menimbulkan permasalahan, karena agama tidak memiliki wujud kelembagaan sendiri di luar yang diakui pemerintah. Dalam keadaan demikian, penyimpangan dari pandangan keagamaan yang secara resmi diakui pemerintah hanya akan terisolir dalam kelompok-kelompok rahasia, menjadi semacam gerakan agama di bawah tanah, yang tidak memiliki arti politis apa-apa.

Keadaannya menjadi amat berbeda di masa kini, apalagi di masa datang. Isolasi gerakan agama ke dalam kelompok-kelompok kecil, tanpa menimbulkan gangguan politik, praktis sudah tidak mungkin lagi- karena kemudahan-kemudahan yang dibawakan oleh transportasi dan komunikasi modern, serta penyebaran gagasan melalui media cetak dan elektronika, sudah begitu rupa daya jangkaunya sehingga dampaknya tidak dapat dibatasi pada hanya satu wilayah teritorial atau kelompok masyarakat saja.

Kelompok-kelompok militan

Kasus munculnya kelompok-kelompok militan di kalangan mahasiswa muslim tempo hari adalah sebuah contoh yang tepat untuk dikemukakan di sini. Penerbitan koran gelap Risalah, kemudian AlIkhwan, ternyata berpengaruh besar atas sejumlah kalangan mahasiswa di berbagai tempat, tidak hanya di Yogyakarta. Larangan Kejaksanaan Agung seolah-olah tidak berdaya mengatasi berkembangnya gagan-gagasan eksklusif dan ekstrim.

Untuk mengatasi dampak perkembangan sektarian seperti itu, diperlukan kebijaksanaan dasar yang tepat, yang mampu membatasi perluasan gerak kelompok-kelompok marginal, seperti kelompok mahasiswa muslim militan di atas, namun yang tidak terlalu banyak menghabiskan enersi pemerintah sendiri. Cara yang paling baik sudah tentu mengajak organisasi-organisasi keagamaan yang telah mapan untuk melakukan kegiatan pencegahan. Mereka telah memiliki kelengkapan struktural maupun kultural mereka sendiri untuk memantapkan hubungan antara keyakinan agama dan landasan- landasan dasar negara, seperti Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan ideologi negara.

Di hadapan tantangan modernisasi yang semakin kompleks dan rumit, yang pasti akan memunculkan reaksi sempalan sangat banyak, diperlukan tindakan pencegahan dalam bentuk pengembangan pola-pola konsiliasi dan nekonsiliasi antara keyakinan agama yang abadi dan tuntutan zaman yang senantiasa berubah- kerja yang dapat diserahkan kepada lembaga-lembaga keagamaan yang telah mantap dan mapan.

Ada beberapa konsekuensi dari kebijaksanaan dasar seperti itu. Pertama, campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama harus dibatasi jangkauannya, bahkan kalau mungkin dipersempit lagi. Organisasi-organisasi keagamaan yang dibuat oleh kelompok-kelompok yang turut duduk dalam pemerintahan haruslah didorong untuk menjadikan diri independen dari pemerintah. Politisasi gerakan keagamaan harus dihindari sedapat mungkin.

Kedua, pembinaan kehidupan beragama sebaiknya mengambil bentuk dengan peranan pihak pemerintah bersifat tidak langsung, bukannya seperti sekarang. Hanya dalam hal-hal esensial saja pemerintah langsung melakukan ‘kegiatan keagamaan’, seperti penyelenggaraan perjalanan ibadah haji dan peradilan agama. Hal-hal yang bersifat rutin dapat diserahkan kepada organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga keagamaan yang telah ada.

Ketiga, segenap kegiatan pemerintah di bidang keagamaan haruslah diarahkan ke pemantapan integrasi nasional kita, bukannya memperkuat status kecenderungan segregasi agama yang masih ada sisa-sisanya dalam kehidupan sebagai bangsa saat ini.

Menjaga keseimbangan

Masih ada hal dilematik yang harus dihadapi dalam kerangka tersebut di atas. Kecenderungan lembaga-lembaga keagamaan yang telah mapan adalah mempertahankan kemapanan mereka sendiri. Dengan demikian, kebutuhan akan kehidupan beragama yang dinamik, tanggap kepada kebutuhan masyarakat, penuh saling pengertian antara umat beragama dan memiliki derajat toleransi yang tinggi terhadap pemikiran-pemikiran kreatif, terasa sangat kecil. Dengan perkataan lain, kebutuhan akan institusionalisasi kehidupan bergama lebih banyak terasa di kalangan mereka, dibandingkan kebutuhan akan pengembangan wawasan keagamaan yang lebih mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya.

Di situlah letak tantangan yang dihadapi pemerintah: bagaimana menjaga keseimbangan akan kebutuhannya sendiri kepada lembaga-lembaga keagamaan di luar dirinya, dan kebutuhan bangsa akan kehidupan beragama yang lebih kompleks struktur maupun manifestasi kulturalnya.

Kegagalan mencari keseimbangan itu akan membawa kepada salah satu dari dua kemungkinan. Di satu pihak, ketergantungan pada lembaga-lembaga keagamaan yang mapan akan berakibat birokratisasi kehidupan beragama kita. Sedangkan di pihak lain, jarak terlalu jauh dari mereka akan membawa akibat mudahnya gerakan-gerakan sempalan menyusun jaringan eksklusif, dengan akibat akan lebih jauh berkembang segregasi agama yang masih berlangsung dewasa ini.

Akan sangat berat tantangan yang dihadapi bangsa kita di masa datang, karena kegagalan melakukan segregasi kehidupan agama senantiasa mengancam keutuhan hidup kita sebagai bangsa.