Tanggung Jawab Moral Cendekiawan Muslim

Sumber Foto: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6600262/10-cendekiawan-muslim-berpengaruh-di-dunia-ini-karya-karyanya

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Seorang cendekiawan muslim harus memberikan pertanggungjawaban secara moral kepada agama, bangsa, dan negara, selain kepada kemanusiaan secara umum. Tanggungjawab moral kepada agama harus diberikan sebagai perwujudan komitmen kepada keyakinan yang dipilihnya, terlebih-lebih ke dalam membela keyakinan itu dari erosi dan kejenuhan intelektual yang disebabkan oleh ketidakmampuan keyakinan yang dianutnya untuk menghadapi tantangan-tantangan zaman. Seorang cendekiawan muslim haruslah terbuka oleh kenyataan bahwa sendi-sendi keimanan. Islam yang diyakininya juga sedang mengalami gempuran-gempuran dahsyat dari modernisasi, yang merupakan salah satu wajah perbenturan antara peradaban Islam dengan peradaban Barat.

Tanggung jawab kepada bangsa timbul dari kenyataan-kenyataan bahwa bangsa muslim saat ini sedang dihadapkan pada krisis berkepanjangan akibat ketidakmampuan di masa-masa lampau untuk mencari jawaban yang memuaskan terhadap tantangan keterbelakangan kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan. Secara keseluruhan, bangsa-bangsa muslim masih menjadi bangsa-bangsa termiskin, paling terbelakang dalam kondisi politik-ekonomi-budaya, serta belum dapat mengatasi ketimpangan struktural yang menguasai kehidupan mereka, akibat langsung dari kenyataan ini adalah belum jelasnya orientasi kehidupan bangsa-bangsa ekonomi. Haruskah mereka mengacu pada pertumbuhan ekonomi sedemikian rupa, sehingga sikap dan pandangan hidup materialistis merasuki orientasi kehidupan mereka? Ataukah mereka harus mengorbankan kesejahteraan material demi mencapai pemerataan taraf hidup dan memelihara wawasan kerohanian yang sedang berkembang selama ini?

Tanggung jawab moral kepada negara merupakan perwujudan dan dari keharusan menduduki universalitas ajaran dan nilai-nilai Islam dalam konteks kebangsaan pada waktu ini. Sebagai konsekuensi diterimanya konsep-konsep imam berbilang (taaddud alammah) oleh para ulama dan teoretisi kenegaraan muslim seperti Ibn Taimiyyah di masa lampau, maka kaum muslimin sekarang harus berdamai dengan kehadiran negara-bangsa (nation state). Walaupun dominasi politik dunia oleh negeri-negeri Barat menyebabkan terjadinya hal itu, setidak-tidaknya proses internasionalisasi paham kebangsaan dalam kehidupan kaum muslimin tampil dalam bentuk penyerapan konsep negara dan bangsa itu. Dewasa ini konsep kekhalifahan (khilafah) tidak lagi bermuatan sebuah negara dunia (world state), terlepas dari protes Al Maududi.

Tanggung jawab moral kepada kemanusiaan timbul dari kenyataan bahwa umat manusia sedang menderita dalam ukuran masif hampir pada semua bidang kehidupan. Kemajuan dalam telekomunikasi dan komunikasi sosial tidak berhasil menembus keterasingan (alienasi) manusia dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Tingginya tingkat pendapatan di sementara negeri justru menonjolkan ketimpangan mendasar dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi secara global.

Kecanggihan administrasi pemerintah justru mengungkapkan pemusatan kekuasaan di lingkungan elite politik yang eksklusif, atas kerugian rakyat banyak di masing-masing negara. Pembelaan atas hak-hak orang kecil menampilkan dengan gamblang betapa kedaulatan hukum tidak berdaya di hadapan kekuasaan politik dan ekonomi serta budaya yang menguasai seluruh dunia. Secara umum kemanusiaan sedang menghadapi krisis, dan penunaian tanggung jawab moral seorang cendekiawan muslim merupakan bagian dari penyelesaian kemelut dan krisis berkepanjangan yang dihadapi umat manusia itu.

Dilihat dari bidang-bidang kehidupan yang menjadi wilayah perhatian, pengamatan, dan kiprah seorang cendekiawan muslim, secara garis besar tanggung jawab moral itu dapat digolongkan ke dalam tanggung jawab moral di bidang politik, ekonomi, budaya, iptek, dan agama. Dengan menimbang tanggung jawab moral yang bercakupan teologis, bangsa, negara, dan kemanusiaan seperti disebutkan di atas, dapatlah kemudian dibuat matriks tersebut apabila wilayah-wilayah cakupan disilangkan kepada bidang-bidang kehidupan yang baru saja dikemukakan.

Di bidang politik, tanggung jawab para cendekiawan muslim terletak pada upaya pengembangan struktur politik yang demokratis tidak hanya dalam mekanisme proseduralnya saja, tetapi terutama dalam budaya politik dalam memanfaatkan lembaga-lembaga pemerintahan dan infrastruktur politik itu secara terbuka dan transparan, dengan pertanggungan jawab penuh kepada rakyat atas tindakan- tindakan politik yang diambil. Hal itu berarti kesediaan semua lembaga politik formal dan birokrasi pemerintahan untuk menerima pengawasan yang berupa kontrol sosial oleh masyarakat melalui media massa, organisasi kemasyarakatan (ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Selama para cendekiawan muslim mengacu pada pengembangan struktur politik yang sedemikian itu, baik secara teologis maupun kemanusiaan mereka telah membuktikan komitmen kepada negara dan bangsa dalam konteks yang benar. Di bidang ekonomi, para cendekiawan muslim harus terus mengupayakan penyebaran sumber-sumber daya ekonomis secara merata guna kepentingan bagian terbesar warga masyarakat. Dengan kata lain, mereka harus mengupayakan sistem perekonomian yang mengacu pada dua jenis keseimbangan.

Pada jenis yang pertama, keseimbangan harus dicapai dalam penguasaan sumber-sumber daya ekonomi antara berbagai sektor produktif dalam perekonomian negara, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Dengan demikian, mereka tidak boleh menutup mata terhadap pemusatan pemikiran modal maupun alat-alat produksi lainnya di tangan kelompok terkecil warga masyarakat.

Prinsip Laisse Faire dari sistem kapitalisme harus mengalami modifikasi guna menampung kebutuhan akan peluang yang sama bagi seluruh warga masyarakat untuk melakukan usaha ekonomi. Selain itu, keseimbangan harus dicapai antara sumber daya ekonomi di satu pihak, seperti bahan mentah alami, dana modal, dan kebutuhan kelestarian sumber-sumber alam secara keseluruhan di pihak lain. Ini berarti kewajiban bagi para cendekiawan muslim untuk senantiasa memperjuangkan keseimbangan yang baik antara upaya peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan pelestarian lingkungan alam. Mereka akan berhenti menjadi cendekiawan apabila tidak dapat menunaikan tugas mulia ini dengan tuntas.

Di bidang budaya, para cendekiawan muslim haruslah memiliki kepedulian kepada pengembangan kreativitas warga masyarakat secara perorangan maupun kolektif, melalui pelestarian watak pluralistis dari kehidupan manusia semenjak era revolusi industri. Penegakan hak-hak kultural kelompok minoritas dan kebebasan menyatakan pendapat bagi warga masyarakat secara perorangan merupakan bagian esensial yang harus diperjuangkan oleh para cendekiawan muslim sebagai panggilan agama, karena bukankah Muhammad saw. Diutus untuk mengembangkan tali persaudaraan bagi umat manusia (rahmatan lil’alamin) Keunikan masing-masing kelompok masyarakat, baik dilihat dari asal usul etnis-bahasa ibu-agama-budaya setempat maupun golongan umur (manula, anak-anak) dan jenis kelamin, haruslah memperoleh perlindungan yang sempurna dari masyarakat dan negara. Bukankah Islam menjamin keselamatan fisik, keutuhan keyakinan, kesucian keluarga, dan keturunan, keselamatan pekerjaan (profesi)?

Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), para cendekiawan muslim haruslah mampu menjaga orientasi pengembangan yang memuliakan martabat manusia, bukannya hanya sekadar menjadi sasaran komersialisasi naluri-naluri rendah manusia belaka. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian integral dari keutuhan manusia, yang menjamin otonomi dirinya dari keutuhan hidup manusia, yang menjamin otonomi dirinya dari manipulasi politis, ekonomis, kultural, teologis, teknologis, dan ideologis yang menghimpit dan mengurangi martabat manusia selaku makhluk yang mempunyai otonomi penuh atas dirinya sendiri.

Bukankah Al-qur’an mendudukkan iptek sebagai sitaan dalam arti alat-alat kekuasaan dan bukannya sebagai pengusaha atas kehidupan manusia dalam menguasai dan mengembangkan iptek para cendekiawan muslim harus berjaga-jaga terhadap penguasaan iptek itu atas diri mereka. Dan bukan sebaliknya. Tanggung jawab moral di bidang kemanusiaan menuntut kemampuan para cendekiawan muslim untuk menerapkan secara penuh fungsi seseorang beragama Islam untuk melakukan perbaikan (islah), baik bagi kehidupannya sendiri maupun kolektif memiliki kelapangan ruang dalam dirinya (inner space) terhadap deraan himpitan yang menyempitkan ruang di luar dirinya (outer space), baik yang berbentuk kesempitan pandangan etnis kultural keagamaan dan ideologis. Pemekaran ruang dalam diri kita merupakan inti dari keseluruhan cendekiawan moral para cendekiawan muslim itu sesuai dengan fitrah kemanusiaan yang dibawakan oleh Islam.

Manusia adalah pengemban misi ketuhanan di muka bumi (khalifatul fil ard). Sebagai moto perjuangan cendekiawan muslim, adalah hal yang lebih mulia dari tugas ini? Bukankah pencapaian tujuan ini jauh lebih mulia daripada hanya memperebutkan kekuasaan dan memenuhi ambisi-ambisi politik belaka?