Pasif-Aktif Peran NU dalam Politik

Sumber foto: https://nasional.okezone.com/read/2023/02/08/337/2761179/kala-nu-berubah-jadi-partai-politik-dan-pecundangi-masyumi

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Warga Nahdlatul Ulama saat ini dalam suasana persaudaraan, kekeluargaan, dan dalam suasana tenteram. Ini terasa di seluruh jajaran NU segenap penjuru tanah air. Anggota-anggota PBNU yang kita kirim ke mana-mana menyampaikan laporan hal ini, termasuk saya sendiri baru-baru ini ke Kalimantan Barat, ternyata semua berjalan lancar, tidak ada hambatan yang berarti.

Badai topan yang melanda NU selama beberapa masa tampaknya sudah akan berakhir. “Akan”, karena masih belum selesai. Secara sporadis, masih ada usaha-usaha mengganggu kelancaran kehidupan NU. Ini terjadi dari warga NU yang belum menyadari benar hakikat kehidupan berorganisasi dan kehidupan ber-jam’iyah. Karena NU adalah jam’iyah, perkumpulan, dan setiap perkumpulan mempunyai dua dimensi: organisatoris dan paguyuban, yang saya katakan jamaah itu.

Dimensi yang bersifat organisatoris, (aljanibun Nizomi), berjalan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan sejak bertahun-tahun yang lalu. Paling tidak, pengurus NU sekarang berjalan dengan tenang, dalam suasana administratif yang baik, tidak banyak permasalahan.

Karena semuanya sudah berjalan secara rutin, pengurus berganti dari periode ke periode, berjalan dengan tertib setiap pemilihan, dan tidak ada gangguan dari pihak mana pun. Kita mendapati bahwa dukungan pemerintah pada kehidupan yang stabil pada lingkungan NU mempunyai arti sangat besar. Karena sisi organisatoris ini juga akan menentukan kualitas dari sisi paguyuban (aljanibu jama’i) dari perhimpunan atau perkumpulan kita ini.

Yang masih terjadi beberapa kekisruhan adalah pada sisi Jama’i ini. Pada dimensi paguyuban tersebut, masih suka salah paham dan masih ada usaha-usaha untuk memperoleh posisi dalam organisasi melalui jalur-jalur paguyuban. Bukan melalui jalur-jalur organisatoris. Memang diberi baju, seolah- olah organisatoris. Semacam kepengurusan yang namanya bermacam-macam. Ada yang tim A, tim B, koordinasi A, koordinasi B atau apa saja. Seolah-olah sudah organisatoris. Padahal, tidak demikian.

Apa yang tampaknya organisatoris itu, hanyalah menunjang kepentingan-kepentingan yang disalurkan kepada paguyuban belaka. Jadi, ini tentu tidak membuahkan hasil. Karena bagaimanapun letak kekuatan sebuah perkumpulan adalah pada dimensi organisatorisnya. Dan, ini alhamdulillah, yang terjaga dengan baik di lingkungan NU hingga saat ini.

Kalau kita layangkan pandangan kepada Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sampai hari ini masih terjadi, bahkan sampai kepada perkelahian fisik antara dua pihak gereja yang sama-sama mengaku pimpinan yang sah. Kita boleh bangga bahwa NU walaupun ada yang mengklaim pimpinan yang sah, hanya dia sendiri yang menerimanya. Tidak ada pihak yang menerimanya di luar mereka sendiri. Jadi, paling banyak seribu sampai dua ribu. Dan di NU seribu dua ribu itu bukan apa-apa. Puluhan juta warga NU itu tidak tahu.

Kita lihat PDI saat ini. Antara kubu Megawati Soekarno Putri dan kubu Soerjadi juga belum tercapai saling menerima antara aspirasi kedua belah pihak. Kita berharap, hal itu segera dapat dicapai.

Karena bagaimanapun juga, kita tengah memasuki periode yang memprihatinkan. Yaitu, saat kita memasuki persiapan-persiapan serius dari Pemilu 1997 dan persiapan SU MPR tahun 1998. Taruhannya terlalu besar, kalau karena kemelut di PDI lalu Pemilu harus terganggu dan SU MPR berjalan tidak lancar. Sebagai bangsa, kita menuntut semua pihak untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah sebelum terlalu dekat dengan masa Pemilu. NU mencatat dengan penuh keprihatinan, bahwa situasi sedikit memanas. Tetapi, kita percaya bahwa kerja sama antara pemerintah dengan semua pihak di masyarakat akan membuahkan kondisi yang makin membaik dalam beberapa waktu yang akan datang.

Harapan NU ini tentunya disertai dengan tanggung jawab turut menciptakan situasi yang demikian itu. Ini janji NU kepada pemerintah dan seluruh bangsa kita. Kalau NU diharapkan turut menyejukkan situasi, NU tidak ragu-ragu melakukan hal itu.

Kondisi NU sendiri, tentu mengalami perkembangan terus-menerus. Ada dinamika intern maupun ekstern yang harus terus-menerus diperhitungkan. Di NU sebagaimana lazimnya di tempat lain, juga terjadi perbedaan pandangan dalam masalah politik. Ada yang ingin langsung tampak menyalurkan aspirasi melalui salah satu orsospol, ada yang ingin tidak ditampakkan, diambangkan agar warga Nahdliyin melakukan pilihan dan penyaluran aspirasi mereka masing-masing.

Ada yang ingin turut berkiprah dalam lembaga perwakilan melalui pencalonan Orsospol. Untuk itu, dibutuhkan dukungan dari NU sebagai organisasi. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, saudara Ketua Umum PP GP Ansor Iqbal Assegaf, menyatakan dukungan secara terbuka pada saat Harlah Ansor ke-62, bahwa seharusnya NU menyalurkan aspirasi warga secara kelembagaan. Karena kalau tidak, aspirasi itu akan menjadi sesuatu yang mubazir, sesuatu yang sia-sia dan tidak akan efektif. Bahkan mungkin merugikan NU.

Jawaban saya pada waktu-itu dalam sambutan selaku Ketua Umum PB NU: Alasan-alasan yang dikemukakan saudara Iqbal bisa kita pahami, dapat kita terima. Karena memang kalau tidak disalurkan secara kelembagaan lalu warga NU akan sangat sedikit yang akan ikut berpartisipasi dalam kehidupan politik melalui lembaga-lembaga perwakilan. Sedangkan di eksekutif, hampir tidak ada. Jadi dengan demikian, NU hampir merupakan kelompok-yang boleh dikata-paling kecil diwakili dalam kehidupan politik di negeri kita. Padahal, NU merupakan organisasi yang terbesar di Indonesia.

Tetapi, kita juga mengingatkan adanya bahaya apabila kebutuhan yang seperti itu ditampung demikian saja tanpa pertimbangan yang matang, tanpa dipikirkan panjang-panjang. Karena di dalam sikap untuk langsung memberikan dukungan kelembagaan kepada aspirasi politik warga melalui jalur-jalur orsospol, terdapat sebuah sikap mencampuradukkan antara aspirasi politik sebagai lembaga dan politik sebagai kekuatan.

Politik sebagai kekuatan memang dimiliki oleh NU. Siapa pun ngiler melihat kekuatan politik NU yang secara potensial diwujudkan dalam jumlah warganya yang sekian banyak. Para penyelenggara pemerintahan kita sudah merasakan hal ini sejak lama. Tetapi, kekuatan politik ini tidak otomatis harus dilembagakan, diinstitusionalkan. Karena NU lahir tidak untuk institusi politik, tetapi untuk jam‘iyyah diniyah islamiyah, perkumpulan keagamaan Islam.

Tekanan kehidupan NU adalah pada dimensi keagamaan, bukan dimensi politik. Kita telah mencoba dari tahun 1952, ketika Kongres Palembang memutuskan NU menjadi partai politik. Untuk mengembangkan dimensi politik itu di dalam NU. Atau lebih tepatnya, mengembangkan NU selaku lembaga politik. Yang terjadi adalah kemelut yang tidak putus-putus.

Pertama, tenaga NU terisap untuk menangani masalah politik yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan masalah keagamaan. Demikian pula, NU terlibat di dalam berbagai pertentangan intern karena kepentingan politik yang berbeda-beda. Itu karena dilembagakan NU-nya sebagai organisasi politik, yaitu Partai Nahdlatul Ulama, maka NU terbelah dan tercabik-cabik antara kepentingan yang ada.

Akhirnya, kita melihat ada kekosongan wibawa para ulama dalam NU. Ini karena kepentingan-kepentingan politis itu tidak lagi memberlakukan ukuran keulamaan yang baik. Ulama yang dihargai adalah mereka yang bisa mengusahakan posisi-posisi penting dalam pemerintahan.

Tetapi beruntung, waktu itu masih memiliki ulama-ulama dengan wibawa yang besar dengan integritas pribadi yang utuh. Semacam almaghfurlah Romo Kiai Marzuki, Romo Kiai Mahrus, Mbah Kiai Bisri Syansuri, dan sebagainya. Beliau-beliau itu sanggup meladeni kepentingan politik kelembagaan NU waktu itu. Tetapi, kita tidak bisa demikian saja menyatakan bahwa NU tidak akan porak poranda struktur keulamaannya kalau NU terus-menerus berada di bidang politik. Karena itulah diambil keputusan pada 1984 untuk menarik diri dari kaitan organisatoris dengan kekuatan sosial politik mana pun. Tidak hanya ketiga orsospol, juga birokrasi adalah kekuatan sosial politik. Demikian pula ABRI, menurut Tap MPR adalah kekuatan sosial politik. Nah, NU tidak usah menyampaikan urusan birokrasinya, tidak usah nyampuri urusannya ABRI, tidak usah nyampuri urusannya Golkar, PPP, dan PDI.

Ini inti yang kita capai dalam kaitan hubungan NU dengan dunia politik. Tetapi, NU masih memainkan kekuatan politik yang cukup besar. Kita ambil contoh kasus PDI ini. Semua pihak menghubungi dan menanyakan pendapat serta posisi NU. Ada beberapa wartawan dari luar negeri yang khusus datang menanyakan hal ini. Padahal, NU ini dengan PDI tidak ada apa-apa. Tidak ada kaitannya sama sekali. Organisatoris tidak, kerja sama formal juga tidak.

Yang ada, saya mengantarkan Mbak Mega keluyuran. Begitu saja. Ini bukan karena pertimbangan politis. Itu, saya melihat, Mbak Mega ini sebagai pendatang baru di dunia politik memerlukan nasihat yang jujur. Dan Alhamdulillah, dia mintanya dari saya. Jadi, bukan ada kepentingan dengan PDI, Tetapi, kenapa sampean mengantarkan Mbak Mega ke pondok-pondok pesantren bertemu kiai-kiai, memasuki wilayah NU? Saya bilang, karena dia minta dikenalkan. Itu saja. Lho wong kepingin kenal sama warga NU kok tidak boleh, itu kan aneh.

Kenapa yang lain tidak? Lha yang lain tidak meminta kok. PPP tidak meminta karena sudah kenal setiap hari. Lho ya kan, tokoh-tokoh di PPP baik di atas maupun di bawah itu kan sudah kenal kiai. Bagaimana dengan Golkar? Golkar punya cara tersendiri untuk berhubungan dengan warga NU. Kalau dia tidak minta tolong ya biasa-biasa saja. Tidak ada masalah. Artinya, memang tidak ada keperluan. Hal itu bisa ditekel pada tingkat lokal. Mengapa? Ya bukan rahasia, Golkar melakukan kontak dengan NU itu di tingkat lokal atau daerah melalui pejabat-pejabat pemerintah.

Jadi tidak benar, kalau ada kesan bahwa NU itu mengutamakan salah satu pihak. NU tetap seperti dulu sesuai dengan kaidahnya Baqa’u ma kanaala ma kana, segala sesuatu itu tetap seperti sedia kala. Yang baik itu ya seperti itu.

Posisi NU sebagai kekuatan sosial politik, karena warganya demikian besar, itu bisa diwujudkan dalam dua jalur. Pertama, secara pasif, dengan mendukung kegiatan-kegiatan organisasi yang sifatnya politis dan menyerahkan kiprah politik warga NU kepada pribadi masing-masing. Dengan demikian kita menciptakan stabilitas, menciptakan situasi yang baik untuk kepentingan rakyat seluruhnya, dan kita menjaga adanya keseimbangan di dalam kehidupan bangsa kita. Kedua, bisa bersifat aktif. Yaitu, NU menyuarakan kepentingan-kepentingan rakyat banyak yang mungkin belum menjadi agenda bangsa kita. Mungkin pemerintah, karena sibuk dengan institusionalisasi, penciptaan lembaga-lembaga pembangunan secara terus-menerus, lalu ada yang dilupakan dari aspek-aspek kehidupan masyarakat. Ini perlu kita soroti, kita cari.

Dalam konteks inilah, beberapa hari lalu (Ini pertanggungjawaban saya kepada warga NU), saya ikut membubuhkan tanda tangan di dalam ungkapan hati nurani. Berisi keprihatinan melihat semakin meningkatnya penggunaan kekerasan dalam kehidupan politik kita. Yang arak-arakan sudah mulai tidak bisa dikendalikan dan tidak bisa mengendalikan diri. Demikian juga yang tidak mau mengakui hak mereka untuk unjuk rasa, kadang-kadang sudah menggunakan kekerasan pula.

Kita sudah melihat apa yang terjadi, walau tidak diumumkan, tidak diakui, tetapi semua tahu. Di Ujung pandang, di Jakarta berkaitan dengan PDI, di Medan berkaitan dengan buruh. Juga di tempat-tempat lain ada tindak-tindak kekerasan dari kedua belah pihak, dari masyarakat dan aparat pemerintahan.

Ini kita catat dengan perasaan prihatin, karena kalau terus-menerus demikian akan terjadi eskalasi yang dapat meledakkan kehidupan bangsa kita menjadi puing-puing kehancuran.

Ini keprihatinan yang tidak menyalahkan siapa-siapa. Yang salah, ya kita semua. Mengapa kita kok mudah mengembangkan budaya kekerasan. Ini tentu ada sebab-sebabnya. Ada pendorong-pendorongnya. Faktor-faktor yang mendorong itu harus dikenali. Kita harus melakukan dialog terus-menerus dengan diri kita sebagai bangsa, untuk menghilangkan sedikit demi sedikit secara bertahap gejala yang sekarang mulai tampak, yaitu meningkatnya penggunaan kekerasan dalam proses dan kehidupan politik.

Apa yang terjadi di PDI saat ini, hanya merupakan salah satu saja dari kenyataan tersebut. Bahwa DPP sebuah partai akan direbut orang, dan ada yang mempertahankan. Keduanya dalam baju yang sama dan menggunakan kekerasan. Siap menggunakan kekerasan. Mereka menuliskan tanda tangan dengan darah.

Ini kan tidak lucu, kan tragis, masak sudah merdeka lima puluh tahun, masih begini. Masak Pembangunan Nasional melalui PJPT tahap Isudah dilalui dengan selamat, lha kok ini ada tersisa masalah. Dan ini terjadi setiap hari. Kita tidak memihak. Tetapi kita melihat adanya rakyat melawan aparat. Dalam soal penggusuran misalnya, apakah tidak ada cara lain yang dapat digunakan tanpa harus bertindak kekerasan oleh siapa pun.

Ini pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dijawab oleh semua pihak di Indonesia termasuk oleh NU. Karena itu, saya tidak ragu-ragu membubuhkan tanda tangan selaku pribadi, tetapi bagaimanapun juga dianggap mewakili NU oleh orang banyak, mau tidak mau. Dan saya merasa bangga bahwa keprihatinan itu akhirnya dijawab secara positif oleh pemerintah.

Ini salah satu saja. Masih banyak yang dapat dilakukan oleh NU dan warga NU, guna mengisi pembangunan politik kita. Yaitu dengan kiprah-kiprah yang akan memantapkan kehidupan bangsa dan memantapkan sistem politik kita.

Sama sekali tidak ada maksud untuk merongrong pemerintah, atau untuk mengadu domba antargolongan. Tidak. Dan bahkan NU selalu siap. Pada tanggal 9 Juni yang lalu-dengan sangat menyedihkan telah merusak dan membakar 4 gereja dan 7 tempat peribadatan orang-orang beragama Kristen di Surabaya. Lebih jauh lagi yang memusingkan kita, ketika aparat keamanan bertindak menangkap empat orang, baru disangka terlibat belum dituduh, ternyata ribuan datang ke Polres dan menyatakan kalau tidak dibebaskan segera, seluruh gereja akan dibakar di Surabaya. Pemerintah kok disandera, ini bagaimana. Pemerintah disandera ditukar gereja. Ini menyedihkan. Umat Kristen berada dalam kecemasan dan ketakutan. Tidak menentu masa depan mereka.

Saya merasa bersyukur, dalam keadaan gelap yang menakutkan dari kekejian mereka itu, Syar’un murawwi’lahum itu, pimpinan mereka mengirim delegasi ke PBNU. Bagaimana baiknya Pak telah terjadi… yang kejadiannya diceritakan secara mendetail kepada saya. Dan dari cerita itu saya tahu, bahwa ini isinya orang NU saja, bukan orang lain.

Saya katakan: Baik, tolong kumpulkan para pemuka Kristen di Surabaya. Maka, pada 18 Juni, para pemimpin-pemimpin Kristen baik pendeta, para cendekiawan, para pimpinan universitas, aktivis mahasiswa, tokoh-tokoh masyarakat dan sebagainya, ratusan jumlahnya-dikumpulkan.

Di situ saya katakan kepada mereka, bahwa mereka tidak perlu mencari siapa yang salah. Karena yang salah adalah kesenjangan. Kalau Anda perhatikan mereka yang datang merusak itu adalah mereka yang pendidikannya kalah dengan Anda, penghasilannya jauh dari penghasilan Anda, kehidupannya tidak seberuntung Anda, kiprahnya tidak sebanyak Anda, dan harta miliknya tidak sebanyak Anda punyai.

Di sini ada masalah kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan pendidikan, budaya, politik dan kesenjangan lainnya. Berarti, tindakan mereka itu akibat saja dari sebab yang bernama kesenjangan. Maka, saya berada di sini dengan Anda semua. Saya katakan kepada mereka untuk sharing merasakan keprihatinan bersama. Mari kita atasi hal-hal semacam ini dengan meneguhkan dan meningkatkan kerja sama dengan mencoba menolong mereka yang kekurangan, mengangkat derajat mereka yang masih rendah dalam kehidupan, meningkatkan kecerdasan mereka yang tingkat pendidikannya belum banyak dan belum jauh, menciptakan saling pengertian antar budaya di antara kelompok-kelompok masyarakat yang ada.

Insya Allah, kalau semua dikembangkan, dan kalau tercapai taraf hidup yang kurang seimbang sudah tidak ada, tidak akan ada apa-apa lagi. Ini, disambut dengan gembira oleh mereka. Bahkan saya katakan: Bukan karena saya Ketua Umum PBNU, dan yang merusak itu warga NU, bukan begitu. Tapi secara dasar, hendaknya Anda sebagai umat beragama, tanpa saya harus membenarkan keyakinan Anda dan Anda membenarkan keyakinan saya, tapi semua agama itu mengajarkan sikap saling memaafkan. Maafkanlah mereka, karena mereka lebih menderita daripada Anda. Yang merusak itu lebih menderita daripada yang dirusak.

Saya katakan, Anda pergi ke Gereja, ke tempat peribadatan, setiap kali dengan baju yang necis. Ini menimbulkan tanda tanya, berapa kekayaan Anda. Padahal ini bukan soal kaya apa tidak. Orang berbaju teratur baik itu kan karena kebiasaan. Orang kemproh itu ya banyak, tidak bisa teratur.

Akhirnya, melalui Bapak Sahetaphy, ahli kriminologi dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, diungkapkan “Sangat mengharukan, bahwa ajakan untuk mengerti mereka yang menderita dan memaafkan dari akibat-akibat penderitaan itu, bagi kita umat Kristen. Datangnya dari saudara kita yang beragama Islam.”

Pak Sahetaphy mengungkapkan rasa terharu, bahwa NU mampu merumuskan masalah dengan baik, dan mampu mengajak mencari pemecahan-pemecahan yang baik bagi masalah-masalah tersebut.

Ini yang saya katakan, hal-hal positif yang harus dilakukan oleh kita semua. Masih jauh perjalanan yang harus kita tempuh. Juga masih banyak yang harus kita lakukan sebagai kiprah melalui jalur partisipasi pasif maupun partisipasi aktif di dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan bangsa kita di masa yang akan datang.

Karena itu, saya ingin menyatakan kepada nahdliyinnahdliyat, dan juga masyarakat luas secara keseluruhan, bahwa NU tetap akan berupaya sekuat mungkin menjaga stabilitas nasional kita dengan caranya sendiri. Cara kita belum tentu sama dengan cara pemerintah, karena kita bukan pemerintah. Kita juga menolak untuk ditetapkan mengikuti pemerintah saja, karena kita bukan pemerintah. Berilah kita peluang untuk mengembangkan cara-cara kita memberikan sumbangan positif dan konstruktif dalam memecahkan masalah-masalah dasar kehidupan bangsa kita.

Saya rasa, kalau NU sudah mempunyai posisi yang demikian berarti, NU ini betul-betul berkiprah secara strategis bagi kepentingan bangsa dan negara. Bahwa kita punya agenda untuk peningkatan pendidikan, dakwah, sosial ekonomi untuk menaikkan taraf hidup rakyat kecil yang menjadi warga NU.

Ini adalah kerja-kerja yang harus kita laksanakan secara terus-menerus. Tapi kerja itu harus ditopang dengan sikap dasar yang positif, yaitu NU senantiasa turut memecahkan masalah-masalah dasar yang dihadapi oleh bangsa kita.