Beragama Secara Inklusif: Mencoba Memahami Syiah

Sumber Foto: https://www.beritasatu.com/dunia/337962/apa-perbedaan-suni-dan-syiah

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sampai saat ini di antara kita tampaknya masih ada kesalahpahaman dalam memandang paham Syi’ah. Di satu sisi, kita menuntut adanya dalil untuk menerima Syi’ah tapi kita menolak memberikan dalil kenapa kita menerima Sunni. Kalau kita merujuk pada masa Ibnu Babawaih yang satu kurun dengan Imam Abu Hamid al-Ghazali, akidah Syi’ah adalah akidah Sunni plus imamah. Ibnu Babawaih juga mengakui adanya sifat dua puluh dan sebagainya. Jadi, persis sama dengan al-Ghazali, karena imam Ghazali juga mengakui Imamah.

Kalau Dr. Jalaluddin Rahmat mengatakan, bahwa mabda’ (pokok ajaran) Syi’ah ada lima-tauhid, nubuwah, adalah (al’adl), Wa’ad dan Imamah- itu belakangan. Jadi, sebenarnya kita bicara Syi’ah yang mana? Kalau sudah tahu ya tidak perlu marah-marah. Kenapa Syi’ah jadi seperti sekarang ini, tentu ada sebab historisnya.

Ini sekaligus menjawab pertanyaan, apakah Syi’ah itu menghancurkan Islam. Yaitu dimulai dari khalifah Sunni yang wazirnya Syi’ah. Bukan hanya itu. Tapi semua. Termasuk Shahib Ibnu Ibad, juga Syi’ah. Semua wazir orang Syi’ah Kesimpulannya, apakah semua khalifah Sunni memang goblok. Kenapa mengambil wazir dari orang Syi’ah.

Ketika Shahib Ibnu Ibad menampung para Mu’taziliyyin, yang diuber-uber oleh Al-Mu’tashim, maka di dalam wuzarah-nya juga menampung seorang pemuda bernama Syaikhul Mufid, murid Ibnu Babawaih al-Qumy. Padahal, saat itu jago-jago Mu’tazilah mau dibunuh di mana-mana oleh khalifah Sunni. Pemikiran Mu’tazilah tidak mati karena dilindungi seorang wazir Syi’ah bernama Shahib Ibnu Ibad itu.

Dari situlah sebenarnya bermula Akidah Syi’ah yang kita kenal sekarang. Irfan Abdul Hami membuktikan melalui disertasinya, bahwa akidah Syi’ah sekarang ini adalah Mu’tazillah plus imamaham, dan dulunya Syi’ah adalah Sunni plus imamah sampai pada zaman Babawaih. Dua puluh satu tahun sepeninggal Babawaih (merujuk pada masa wafatnya syaikh al-Mufid), di situlah terjadi proses pergantian akidah Syi’ah.

Jadi, kalau merujuk historis menjadi jelas. Yang gegeran itu nggak dunung kabeh. Apalagi jika rujukannya adalah buku karangan orang Saudi yang juga mengkafirkan Asy’ari karena menganggap Asy’ari tidak Sunni. Lalu, kita memegang yang mana? Berpegang pada Kang Jalal (Syi’ah) yang membela Sunni, atau orang Saudi yang Sunni tapi menghantam Asy’ari. Itulah rancunya sejarah pemikiran Islam selama ini. Kita diracuni tuduhan-tuduhan yang mengatakan kolaborasi dengan musuh-musuh Islam dan sebagainya.

Tapi baiklah kita ambil hikmahnya. Kita harus memahami Syi’ah lebih dalam. Untuk bisa memahami secara rinci, harus bermula dari niat ikhlas untuk menerima kehadiran sesama kaum muslimin. Apalagi sering kali, kalau melihat ritual dan pilihan idiom-idiom kultural, kita lebih Syi’ah daripada yang Iran.

Apalagi, saya bangga menjadi keturunan orang Syi’ah. Yaitu keturunannya Sayyidina Ali. Tidak melalui Musa al-Kadzim Ibnu Ja’far Shodiq. Juga tidak melalui Ismail Akhruhul Akbar. Tapi melalui Sayyidina Ali al-Gharaini bin Ja’far Shadiq.

Perkembangan jalur Musa melahirkan Syi’ahaqidiyyan (akidah) melalui jalur Ali al-Gharaini lahir Syi’ah tsaqafiyyan. (kultural). Tadinya, semua Syi’ah siyasiyan. Ternyata banyak yang tidak tahu asal usul kita yang juga dari Syi’ah. Makanya, walaupun banyak yang belajar di Madinah, tidak tahu kubur Ali al-Gharaini. Itu di dekat Sarikah Timur at-Tamim.

Catatan berikutnya tentang diskusi tadi adalah pertanyaan mengenai revolusionernya Syi’ah, dikaitkan dengan konsep hukumah ilahiyah. Ini adalah Abul ‘A’la Al-Maududi dibandingkan dengan-umpamanya-saja-Ayatullah Rukhullah al-Musawi al-Khomeini.

Menurut saya, bandingan itu baina sama was summur, antara langit dan sumur. Al-Maududi Cuma alat imperalis melalui bantuan keuangan hukumah bathillah assa’udiyah, berhadapan dengan seorang pemikir yang berangkat dari akidah yang betul, menuju sebuah sistem untuk membebaskan kaum muslimin dari imperialisme. Khomeini berani menyatakan bahwa sistem malaki (kerajaan) adalah taghut, warisan Fir’aun.

Begitu kok dibanding dengan Al-Maududi yang tidak akan bisa membandingi Imam Mawardi, Ibnu Abi Rabi’, Ibnu Khaldun, atau AlMadinatul Fadilah al-Farabi dari sudut tatanan pikir. Yang paling tinggi adalah Hasan al-Banna. Tidak lebih dari itu. Karena dia membuat sebuah sistem syara’ hidup Islami, yang sekarang dikumandangkan oleh ICMI. Tapi contents, isi kandungannya apa? Tidak bisa disamakan. Karena di sini tidak ada taharrur (pembebasan) manusia dari sistem yang membelenggu. Di sini Al-Maududi berkolaborasi dengan rezim militer, Ayub Khan. Al-Maududi membenarkan Ayub Khan hanya karena Ayub Khan mendekritkan kembalinya Pakistan kepada UU Syariah. Apa hidup ini bisa diterelusir hanya kepada Syariah saja? Syariah yang mana lagi, belum kita tafsir.

Tapi, kalau Khumaini tatanannya adalah wilayatul faqih, pemerintahan untuk menjaga agar martabat manusia menjadi akhrar (merdeka). Saya tidak setuju dengan Republik Islam Iran, tapi saya menghormati titik tolak Imam Khumaini, karena ia berangkat dari aqidatut taharrur (teologi pembebasan). Sementara, Al-Maududi puas dengan penubuhan syariah, tidak peduli nizam-nya itu firauny atau malaki. Malaikat atau Fir’aun itu tidak penting bagi Maududi, yang penting semua salat, puasa, zakat. Pertilan-pertilan seperti itu hukmah juz’iyah. Ini catatan saya.

Lantas, mengapa kita perlu mengembangkan akidah taharrur (akidah pemebesan). Menurut saya, Islam itu dinul ahkam (agama hukum). Sebagai dinul ahkam, ada kebutuhan untuk melegislasikan hukum. Takwinul ahkam harus dilakukan. Ini membutuhkan kekuatan politik, memerlukan nizam siyasi. Dan kekuatan politik ini bersandar pada institusi politik, hai’ah assiyasiyah alislamiyah. Sejauh ini nggak ada masalah, sah-sah saja.

Tapi akhirnya kita tahu, yang terjadi adalah hai’ah (kelembagaan) lebih penting daripada ahkam-nya. Hai’ah lebih penting daripada nizam-nya. Sekarang kalau kita katakan “bubarkan semua itu, bubarkan partai Islam,” tentu geger. Kalau ada yang bilang bubarkan semua hai’ah Islamiyah: NU dan Muhammadiyah ribut. Islam dianggap terancam.

Padahal tidak ada apa-apa. Biasa-biasa saja, karena orangnya juga masih salat. Hai’ah dianggap lebih penting daripada ahkam. Wasail lebih penting dari hadaf. Akhirnya. Sarana lebih penting dari sasaran.

Ini menunjukkan pikiran kita sudah terbalik semua. Karena itulah, orang seperti Al-Maududi mikirnya Cuma bentuk zahir yang harus dipertahankan, tanpa mau melihat bahwa di dalamnya ada istighlal. Seorang raja Fahd yang bisa memberi arloji Rolex pada semua tamunya, sambil tetap membiarkan kemelaratan merajalela di mana-mana dan tidak butuh menegakkan keadilan. Suatu ketika anak perempuannya pulang dan luar negeri. Memakai pesawat luar negeri, lalu memakai trailer. Saat trailernya terguling, ternyata isinya khomr. Ternyata tidak diapa-apakan. Padahal, nabi mengatakan lau saraqat fathimah binti muhammadin lagatha’tu yadaha, Mana?

Maka menurut saya, peperangan di sana tidak lain adalah antara yang bebas melawan yang terbelenggu. Itu dulu kita dudukkan. Kalau itu sudah, yang lain-lain akan ikut.

Kita selama ini digempur dengan sebuah andaian: Kalau Anda tegakkan sebuah nizam mutaharrir, Anda akan berhadapan dengan sesama muslim yang sama-sama menjalankan syariat. Bahkan mungkin lebih baik dari Anda. Akhlaknya lebih wira’i, seperti Abdullah bin Abbas. Tapi tidak mengerti bahwa memerangi Saddam Husein itu menguntungkan Amerika. Saddam itu ingin mendirikan sebuah masyarakat, yang di dalamnya manusia Irak menentang imperialisme, menentang istighlal, menentang kolonialisme.

Taharrur itu tidak mengenal batasan. Selama untuk menegakkan keadilan, untuk membebaskan manusia dan cengkeraman istighlal, eksploitasi, sebetulnya tidak pandang siapa pelakunya. Begitu juga sebaliknya. Walaupun orangnya lebih alim, lebih wira’i, seperti Abdullah bin Abbas itu, kalau hanya untuk membela rezim-rezim militer, membela kelompok-kelompok anti-Islam; yang begitu lebih jelek daripada orang kufar, walaupun dari segi cara sikap sehari- hari tidak kuffar.

Di sini saya ingin memperlihatkan bahwa pemikiran revolusioner itu apanya yang harus ditakuti. Itu kan takut pada Orde Baru, karena itu harus dilestarikan. Padahal watilkal ayyamu nudawiluha bainan naas. Orde Baru juga akan ada yang lebih baru lagi. Itu harus dipahami.

Ada sesuatu yang penting sekali dalam sikap hidup kaum muslimin, yakni mau membangun masyarakat seperti apa. Sekadar qanuniy, atau yang mempunyai fungsi pembebas martabat manusia. Dalilnya semuanya sudah tahu, tidak perlu saya guru. Kadal faqru ayyakuna kufran, itu sudah cukup untuk melandasi bangunan sebuah sistem yang membebaskan. Kalau kita biarkan nizam itu hanya mengajarkan kepastian nasib dari tangan Allah dengan ajaran qana’ah itu keliru. Qana’ah kita selama ini keliru.

Ajaran sufi tidak mengajarkan kepasrahan. Qana’ah adalah menerima kepastian setelah upaya maksimal. Bukan untuk menghibur orang yang tergusur dengan memotong proses sejarah.

Lalu kunu qawwamina bil qisthi, kapan bisa ditegakkan? Kapan bisa menegakkan keadilan kalau kita tidak tahu ukuran-ukuran keadilan itu, dan tidak menetapkan keadilan sebagai sesuatu yang penting sekali. Saya tidak bermaksud menjadikan adalah sebagai rukun akidah sunni. Tapi paling tidak, adalah menjadi acuan bersama. Sebagai acuan kemasyarakatan yang timbul dari akidah yang perspektif keadilan.

Kalau kita percaya bahwa annalkitab wahyun minallah, maka isi kitab berarti harus diwujudkan. Di situ betapa banyak ajaran Allah tentang keadilan yang dimuat, tetapi kita tidak peduli dengan ketidakadilan. Kita harus berangkat dari sini. Kalau tidak, akhirnya Cuma begini-begini saja, rebutan numpak sepur sowan ke Pak Harto, sambil memaki-maki kawan yang ditudingi Pak Harto, tanpa mau bertanya apa sebabnya.

Ke sana kemari selalu mengatakan, bahwa saya (Gus Dur memimpin NU membahayakan umat Islam, hanya karena membuat forum demokrasi. Ya Allah, orang yang mengatakan begitu itu dosanya dobel. Sudah tidak mau berdemokrasi, malah menghukum orang yang menegakkan demokrasi. Boleh kita meributkan demokrasi itu ukurannya apa, karena itu cuma maqayis. Tetapi sikap kita harus jelas. Kita menginginkan apa dengan demokrasi itu? Kan pemerintahan yang melindungi warganya, tegaknya kedaulatan hukum, bukan kedaulatan birokrasi.

Sayang, kita tidak mau memahami bahwa semua itu sesuai dengan kemauan para sabiqunan awalun, bapak-bapak kita terdahulu. Kita lihat Pembakaan UUD 1945 yang disusun oleh bapak-bapak kita yang hampir semuanya Islam-Abdul Kahar Mudzakir, Ki Bagus Hadikusumo, Bung Karno Subarjo, dan sebagainya-selain Maramis.

Yang mereka rumuskan adalah, tujuan pendirian Republik Indonesia adalah masyarakat yang adil dan makmur.

Mereka yang mengerti Islam, tetapi mengklaim bahwa kita meneruskan perjuangan mereka, tetapi kita begini terus. Maka pantaslah bila selalu diberi cobaan terus-menerus sambil diketawain oleh para amwat itu.

Bagaimana tidak? Sudah tidak peduli dengan keadilan, tidak memikirkan masalah raiyah (rakyat), yang dipikir Cuma berapa kursi DPR yang didapat, berapa yang harus direbus di Departemen Agama-begitu kok mengaku penerus perjuangan.

Jadinya kan seperti ICMI saja. Sekadar merebut kursi di Golkar sekian, sambil membawa bendera Islam. Melakukan sekularisasi kehidupan, karena permasalahan kehidupan tidak dikaitkan dengan agama. Hal-hal yang paling fundamental. Dasar-dasar kehidupan dipisahkan dari agama. Karena itulah kita harus membangun akidah mutaharirah, yang mampu memperjuangkan hak-hak warga negara. Ini tidak gampang, karena kewajiban ta’arudl, sebagaimana semua partikel akidah Islam juga penuh dengan ta’arudl.

Bagaimana tidak ta’arudl, kalau di satu sisi manusia harus menentukan ke-jiddu-annya sendiri dengan konsep ikhtiarnya, pada saat yang sama kita harus menerima kepastian nasib di tangan Tuhan, termasuk ketentuan nasib. Ketika keliru menentukan pilihan itu, ya memang sedang apes.

Ta’arudl yang lebih mendasar dalam membangun akidah taharrur untuk saat ini, membangun masyarakat modern yang menempatkan peran agama itu banyak menghadapi dilema-dilema. Dalam konteks negara bangasa, (nation state) besar seperti Amerika ataupun kecil seperti Kuwait, misalnya, mengharuskan adanya sudut pandang yang bernama wawasan kebangsaan yang sifatnya unik. Sementara kita juga punya agama sang sifatnya universal. Bagaimana kalau dua hal yang berhadapan ini tabrakan, kan tidak gampang penyelesaiannya.

Hal ini sudah terjadi saat pemerintah Indonesia melakukan pengaturan pertumbuhan penduduk dengan program KB. Padahal, Islam jelas sekali menganjurkan menikah untuk memperbanyak anak, karena Nabi saw. Akan bangga kalau umatnya banyak.

Kiai-kiai tua seperti K.H. Bisri Syansuri terpaksa ribut mencari kitab-kitab untuk membenarkan. Atau kini disebut melakukan rekonsiliasi. Dan alhamdulillah ketemu di kitab Ihya ‘Ulumuddin karangan Imam Ghozali dalam bab ‘Azl. Bahwa seorang istri berhak meminta azl kepada suaminya dengan alasan menjaga kecantikan. Bahwa kalau kebanyakan anak akan semakin tua dan dikhawatirkan menurunkan tingkat harmonitas rumah tangga.

Tujuan para kiai yang berkumpul waktu itu, termasuk saya yang kebetulan jadi notulis, memandang kalau untuk alasan sepele seperti itu boleh, bagaimana kalau, misalnya untuk meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan anak-anak. Sekarang tinggal metode. Kalau pil boleh, kondom juga boleh, tetapi kalau spiral itu tidak boleh, sebab alasannya “memasuki gua”. Jadi ada rekonsiliasi. Untung ada Ihya. Kalau tidak ada kan tidak karuan. Seperti Gereja Katolik yang tidak bisa menemukan titik temu antara KB dengan ajaran agamanya.

Universalisme agama yang berlaku pada semua zaman dan manusia, memang sering kali bertabrakan dengan wawasan kebangsaan atau keharusan suatu bangsa untuk melestarikan hidupnya. Ini baru pada tataran itu, belum meningkat pada tata pergaulan internasional yang didasarkan pada humanisme universal. Di mana di dalamnya pada hakikatnya manusia itu sama. Kalau sama, bagaimana teori dzimmi dalam fiqh. Bahwa apakah boleh suatu bangsa muslim dipimpin orang non-muslim.

Seperti inilah masalah-masalah yang sering bertabrakan. Jadi tidak gampang. Memang upaya untuk membebaskan manusia dari keterbelakangan atau penindasan gampang, sehingga diperlukan upaya membuka wawasan untuk merumuskan sikap kita. Di dalamnya antara lain termasuk hak-hak asasi manusia. Dan itu pelik sekali. Karena umpama saja; negara-negara Islam sekitar tahun 1948 tidak mau menandatangani deklarasi hak-hak asasi manusia universal, karena di dalamnya ada pernyataan hak untuk berpindah agama. Sedangkan dalam Islam, berpindah agama itu murtad.

Tetapi apakah akan mempertahankan hukum itu, dan tidak dapat mencari titik temu dengan ajaran Islam. Kalau demikian maka kita akan menjadi pemerintahan seperti di Arab Saudi sekarang, pemerintahan yang tidak memberikan hak pilih kepada wanita.

Sekarang persoalannya, bagaimana kita dapat melakukan hal itu. Menurut saya, dengan melakukan penggalian terus menerus. Kita perlu mencari sasaran dari sebuah nizom ijtima’i, atau sistem sosial itu apa sih? Saya kagum kepada Ayatullah Ruhullah al Imam Khomeini itu di sini.

Pada tahun 1961 Khomeini ditanya, kenapa ia selalu mengatakan tentang keadilan, republik dan persamaan. Padahal, Iran negara kerajaan. Jawab Imam Khomeini: In soal kenegaraan tapi juga soal agama. Khomeini tidak mengikuti nizam Syah Iran. Karena itu, dia ditampar mukanya dan akibatnya beberapa hari kemudian pengikut fanatik Khomeini yang nekad membunuh Mansyur Alam. Itu saya kagum.

Terkadang dalam wawasan ini ada benturan-benturan kepentingan bangsa dan doktrin agama. Belum lagi jika dihadapkan pada humanisme universal. Karenanya, ta’arud akan terus-menerus terjadi. Itulah sebabnya penambahan dan pengembangan wawasan menjadi mutlak terus-menerus dilakukan.

Bagaimana melakukan hal itu. Pembaruan terus-menerus. Pertama, sasaran nizam mujtama ‘egaliter harus dirumuskan. Pengajian tentang ‘adalah dan jumhuriyah. Barat jelas lawan kita. Dalam arti sistem yang curang yang mau dipaksakan kepada kita harus dilawan. Saya kagum dengan sikap pembelaan keadilan yang dibangun di Iran. Itulah yang harus kita bangun, bukan akidah yang menjadikan orang tidak mandiri. Untuk itu, harus dibangun mulai dari dirinya sendiri. Dulu para kiai berani melarat untuk membebaskan para santri.

Bicara hak asasi manusia acapkali kita katakan itu Barat. Apa kuliyatul khams itu bukan jaminan hak-hak asasi. Juga perlu sikap inklusif. Kalau PLO saja punya menlu Kristen, kenapa ngotot dengan ayat walan tardha. Ya biarin mereka tidak rela, wong kita juga tidak rela pada mereka. Selagi mereka tidak memaksakan akidah mereka pada kita, kenapa mesti nibut-ribut.

Sekarang ribut PKI, kenapa bangkit. Karena rakyat ditindas. Sekarang bagaimana memerangi penindasan tanpa membangkitkan PKI. Wawasan historis harus dijadikan wawasan akidah.