Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam

Sumber Foto; https://bedroomloop.com/hi52st2crr?key=0f22c1fd609f13cb7947c8cabfe1a90d&submetric=14961614

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pemikiran negara dalam karya-karya para penulis muslim sejak awal, langsung terkait dengan pemikiran tentang hukum. Dengan demikian, pemikiran negara yang berkembang lalu begitu ditekankan pada aspek legal dari negara dan unsur-unsur pendukungnya, seperti status perangkat kenegaraan (imam, dst.). Sebagaimana diungkapkan oleh seorang pengamat dalam mengulas al-Ahkam al-Shulthaniyyah, dari Imam al-Mawardi, negara lalu hanya didekati dari sudut teori kekuasaan belaka, justru bukan dari sudut legitimasi negara bila dikaitkan dengan kekuasaan rakyat.

Hal itu tampak jelas dari materi pembahasan dalam karya-karya klasik yang ada, yang sedikit sekali mempersoalkan sebuah prinsip utama pemerintahan yang secara eksplisit disebutkan oleh Al-Qur’an, yaitu prinsip permusyawaratan (al-syura). Padahal, keseluruhan bangunan sistem perwakilan rakyat dalam sebuah negara, tergantung sepenuhnya pada batasan-batasan dan mekanisme permusyawaratan itu.

Hak-hak dan kewajiban seorang pemimpin negara memang telah dirumuskan dengan teliti, namun tidak diberikan perhatian cukup besar pada bagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu terkait secara organis dengan hak-hak dan kewajiban warga negara, baik secara individual maupun secara kolektif. Walaupun Imam al-Mawardi sejak dini, sekitar abad ke-5 H/ke-11 M, telah merintis rumusan tentang penggantian seorang imam yang melalaikan tugas dan kewajiban-kewajibannya, namun tidak dirumuskan cara-cara untuk melakukan hal itu. Dengan kata lain, pemikiran negara lalu menjadi terlepas dari pemikiran politik, karena pada hakikatnya pemikiran politik selalu berurusan dengan pembagian kekuasaan antara yang memerintah dan yang diperintah.

Dengan memahami kenyataan tersebut, lalu menjadi nyata bahwa dibutuhkan sejumlah kerangka-kerangka pemikiran bagi pengembangan pemikiran negara dalam pandangan Islam, yang memasukkan dalam dirinya pemikiran politik dalam artinya yang paling dasar. Ini diperlukan berbagai sebab. Pertama, karena bagaimanapun juga Islam tidak mengenal pemisahan agama dari politik. Dengan demikian diperlukan tonggak-tonggak pengukur (parameter) yang jelas bagi pemikiran politik dalam pandangan Islam, agar proses berpikir kaum muslimin justru tidak menjadi gangguan bagi perkembangan negara-negara berkembang yang sedang merintis dan membangun tatanan negara yang mantap dan dapat berfungsi penuh untuk jangka panjang.

Sebab kedua, adanya kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran tentang berbagai bidang kehidupan, termasuk politik dibutuhkan oleh masyarakat dalam era pembangunan, paling tidak untuk dijadikan kaca perbandingan bagi pengembangan teori-teori lain di luar pandangan Islam, termasuk teori-teori yang dasar ideologi-ideologi nasional Pancasila dewasa ini.

Kenyataan ini adalah perkembangan sejarah yang tidak boleh diabaikan, karena hanya akan berakibat munculnya proses perbandingan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi belaka dengan segala akibatnya bagi stabilitas keadaan. Justru pengakuan akan pentingnya tonggak-tonggak pengukur itu akan menciptakan suasana dialogis yang diperlukan bagi pematangan pemikiran kita semua tentang negara dan politik.

Kepicikan pandangan kita untuk menganggap metode pertentangan dialektis sebagai satu-satunya proses pemahaman politik, terasa sudah waktunya untuk dilengkapi dengan pendekatan lain yang lebih integralistis sifatnya. Sebagaimana dikemukakan Prof. Glenn D. Paige dari Universitas Hawaii: Teori politik masa kini terlalu ditekankan pada penggunaan kekuatan fisik dalam penyelesaian pertentangan kepentingan, sehingga menjadi nyata kebutuhan akan sebuah “teori politik tanpa kekerasan” (theory of non-violent-politics). Islam jelas dapat memberikan sumbangan besar terhadap teori politik semacam itu.

Dan ketiga, dapat dilihat pada keharusan pemeliharaan keseimbangan antara pemikiran tentang berbagai bidang kehidupan masyarakat. Sudah jelas, bahwa untuk sebagian bidang kehidupan, kepada Islam telah diajukan tuntutan untuk merumuskan pandangan positif dan konstruktif. Paling tidak untuk kepentingan memotivasikan masyarakat agar menerima ajakan berkiprah dalam kegiatan-kegiatan pembangunan di bidang-bidang kehidupan tersebut.

Hal ini terlihat dengan jelas dalam bidang keluarga berencana (KB), bidang kelangsungan hidup anak, bidang perkawinan dan pembinaan keluarga. Bahkan sejak sekarang pun sudah dapat diperkirakan, bahwa akan ada kebutuhan akan pandangan Islam mengenai keswadayaan masyarakat, sebagai bagian utama dari pemikiran teoretis maupun operasional tentang efisiensi nasional. Kesemuanya itu tidak akan tertangani dengan baik, jika pemikiran politik tidak berkembang dalam ajaran Islam.

Kalau dilihat dari sudut teoretis, pemikiran negara dalam pandangan Islam pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua jenis pemikiran, yaitu pemikiran idealistik dan pemikiran realistik.

Dalam kerangka pemikiran idealistik, secara sadar dirumuskan sebuah kerangka negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Dalam pandangan ini, Islam merupakan sebuah konsep kenegaraan yang harus diwujudkan secara penuh (in toto), dalam sebuah bangunan masyarakat yang seratus persen islami. Contoh terkemuka dari pandangan ini sudah terwakili sejak abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, yaitu pemikiran al-Farabi, yang dituangkannya dalam karya utama (corpus magnus) berjudul al-Madinah al-Fadlilah (negara utama).

Dalam karya utama tersebut, al-Farabi berbicara tentang penguasa adil yang sepadan dengan filosof raja (philosopher-king) dari filosof Yunani Kuno Plato, sebagaimana tergambar dalam karyanya, Republik. Ketokohan seperti itu jelas tidak bersumber dari ajaran Islam yang otentik. Karena imam dalam pandangan Islam lebih berfungsi pelaksana (eksekutor) daripada sebagai pemrakarsa (inisiator), seperti yang diharapkan Plato.

Dengan ungkapan lain kepala negara yang didambakan al-Farabi lebih ditarik dari filsafat Yunani kuno dari ajaran otentik Islam, seperti disinyalir oleh sebagian pengkaji pemikiran negara dalam pandangan Islam.

Sementara jenis pemikiran realistik tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam, tetapi lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis dapat ditampung dalam Islam tentang negara.

Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan dalam bentuk tetap yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad, baik melalui ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadis, membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan atau tercegah lagi. Dengan kata lain, kesepakatan akan bentuk negara tidak dilandaskan pada dalil naqli tetapi pada kebutuhkan masyarakat pada suatu waktu.

Inilah yang membuat mengapa hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara dan proses pemindahan kekuasaan. Di antara hal yang sedikit itu adalah kesepakatan para penulis pemikiran negara tentang keharusan mengangkat imam dari kalangan Suku Quraisy, karena adanya dalil naqli tentang hal itu. Walaupun demikian, tidak seluruh penulis mewajibkannya, karena ada juga yang menganggap bahwa dalil tersebut hanya berlaku sebagai anjuran dan bukannya kewajiban agama.

Masalah utama yang secara kesepakatan merupakan bahan pembahasan para penulis klasik pemikiran negara adalah masalah jumlah imam. Perbedaan paham tampak antara mereka yang mengharuskan ketundukan kepada seorang imam saja untuk komunitas Islam secara keseluruhan dan mereka yang justru menerima kenyataan adanya imam berbilang (ta’adud al-a’immah).

Menurut pandangan kesatuan imam, adalah keharusan, mengingat masyarakat Islam merupakan kesatuan yang diperlukan untuk mempertahankan kesatuan hukum agama serta penerapannya sekali. Sekali kesatuan itu dilanggar, maka selalu ada kemungkinan terjadi pertentangan dengan universalitas hukum itu sendiri (contradictiointerminus, taʼarrud al-mafahim).

Pihak pembela pemikiran berbilang menyatakan bahwa dalam masyarakat yang satu bisa juga diterapkan stelsel hukum yang berbeda, mengikuti aliran-aliran (madzahib al-fiqh) yang ada, tanpa membahayakan keutuhan komunitas Islam.

Dalam kenyataannya, kedua pendapat tersebut secara lambat tetapi pasti telah mengalami tidak jumbuh, ketika diberikan pengesahan kepada para penguasa setempat untuk bertindak atas nama khalifah sebagai imam.

Para wazir, sultan, malik, dan amir pada hakikatnya pemegang kekuasaan de facto yang terpaksa diterima kehadirannya oleh khalifah yang tinggal berfungsi tituler saja sejak abad ke-3 Hijriah. Wangsa-wangsa Parmak, Buaihid, Dailam Saljuk, dan seterusnya, memerintah atas nama khalifah secara efektif di jantung masyarakat Islam dan memperlakukan khalifah sebagai pemimpin sanderaan yang hanya berfungsi memberikan legitimasi belaka kepada mereka.

Menjadi jelas bagi siapa pun di zaman modern ini bahwa tindakan Kemal Ataturk menghapuskan khilafah di tahun 1924 hanyalah formalitas belaka bagi sesuatu lama yang sudah mati.

Di samping masalah bilangan imam, yang selalu dibicarakan adalah cakupan kekuasaan imam yang secara umum disepakati meliputi kekuasaan keagamaan, militer, administrasi, dan keuangan.

Kekuasaan yang dimilikinya pada umumnya dimasukkan ke dalam kekuasaan keagamaan, karena hukum yang berlaku adalah hukum agama. Dengan demikian, penerapan semua kekuasaan yang ada harus memperoleh pembenaran dari hukum agama, karena secara teoretis setiap tindakan imam dilakukan dalam kedudukannya selama penerus wewenang yang dilimpahkan Allah kepada Rasulullah (bahkan Beliau adalah khalifatullah, sedangkan para imam setelah Beliau menjadi khalifah khalifatullah, dan disingkat menjadi khalifah saja).

Inventarisasi masalah-masalah pokok teoretis yang dilakukan di atas penunjukan perlunya pendalaman lebih jauh atas pemikiran-pemikiran yang pernah dihasilkan para pemikir muslim di masa lampau dan masa sekarang.

Cara apakah yang seharusnya ditempuh imam untuk menyejahterakan kehidupan para warga yang dupimpinnya? Dalam Ihya ‘Ulum Al-Din (kitab Jihad) misalnya Imam al-Ghazali mengajukan model pemenuhan kebutuhan pokok yang bertujuan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Menurut model Imam al-Ghazali itu, yang dinamainya cara da’fu daruri ma’sumin (mencegah warga yang dilindungi dari kerusakan), setiap warga masyarakat harus diberi pertolongan bahan makanan di kala memerlukan, dan demikian juga sandang dan pangan.

Bahkan lebih jauh lagi, Imam al-Ghazali merumuskan kewajiban masyarakat untuk membiayai pengobatan dan perawatan warganya yang memerlukan (tsaman al-dawak wa ujrat al-tamrid). Penentuan siapa yang berhak mendapatkan perlindungan seperti itu juga progresif dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, yaitu baik warga masyarakat yang beragama Islam maupun bukan.

Cara penggalian hasil pemikiran melalui pengajuan pertanyaan seperti dilakukan di atas dapat digunakan bagi hal-hal lain. Bagaimanakah Islam melindungi warga masyarakat bagi kesewenang-wenangan pihak pemegang kekuasaan? Melalui rumusan hak-hak dasar warga masyarakat yang seharusnya ditegakkan imam?

Menurut kesepakatan para pemikir muslim selama ini hak-hak dasar itu adalah (1) hak dasar akan keselamatan fisik, (2) hak dasar akan keselamatan keyakinan, (3) hak dasar akan keselamatan keluarga dan keturunan, (4) hak dasar akan keselamatan harta benda dan (5) hak dasar akan keselamatan pekerjaan atau profesi.

Banyak masalah teoretis yang muncul dari penggalian seperti itu, seperti hak-hak kelompok minoritas (termasuk minoritas agama) untuk menjadi penguasa, hak untuk berpindah keyakinan agama dan seterusnya.

Pertanyaan tentang batas-batas kekuasaan imam akan membawa kepada sejumlah pertanyaan lain mengenai pemeliharaan keseimbangan kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat yang selanjutnya berwujud pada pertanyaan tentang kontrol sosial pada pandangan Islam. Daftar pertanyaan mendasar maupun pertanyaan susulan masih dapat diperpanjang, tetapi itu semuanya secara teoretis dapat dikembalikan kepada kerangka operasional bagi pembatasan kekuasaan Imam, yang prinsipnya dirumuskan pertama kalinya oleh Al-Mawardi.

Dari pengamatan atas beberapa masalah teoretis yang dapat dikembangkan dalam pemikiran negara dan politik dalam pandangan Islam, timbul sebuah pertanyaan mendasar: pendekatan apakah yang dapat dikembangkan dalam pencarian pemikiran itu sendiri? Sebenarnya ada dua pendekatan yang dapat dikembangkan, yaitu pendekatan integralistik dan pendekatan empiris (tariqah istiqra’iyyah).

Menurut pendekatan integralistik, Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap bidang kehidupan. Masalahnya adalah menggali konsep-konsep itu dari sumber-sumber otentik Islam sendiri. Rangkaian konsep-konsep itu akan menyembuhkan doktrin Islam yang akan meliputi segenap bidang kehidupan, dan yang secara kesatuan lalu membentuk sebuah konsep besar Islam tentang persatuan masyarakat, termasuk pembentukan negara.

Sejumlah pembenaran diajukan untuk mendukung pendapat kaum integris itu. Pertama-tama perintah Allah “masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh“, yang diartikan tatanan masyarakat yang bulat. Kritik atas upaya pembenaran dengan dalih ini adalah bahwa kata “menyeluruh” (kaaffah) dalam Firman Allah ini menunjuk kepada keseluruhan umat manusia, agar masuk ke dalam Agama Islam, bukannya menunjuk sebuah model masyarakat mana pun. Kekuatan firman ini lalu menjadi sama, misalnya dengan firman “bertakwalah kalian (seluruhnya kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan!“.

Demikian juga dicoba mencari pembenaran dengan firman Allah, “Hari ini (saat turunnya ayat terakhir dari Al-Qur’an) telah Ku-sempurnakan; bagi kalian, Ku-sempurnakan pemberian nikmat-Ku kepada kalian, dan Ku-jadikan Islam sebagai (satu-satunya) agama kalian“. Islam telah sempurna, sehingga tidak memerlukan masukan dari luar dirinya.

Kelemahan pandangan ini adalah kenyataan, bahwa. Firman Allah itu tidak melarang pengembangan wawasan baru secara terus-menerus dalam Islam, sehingga pada hakikatnya kesempurnaan dan kelengkapan Islam justru terletak pada kemampuannya menampung masukan-masukan secara tidak berkeputusan, sebagai bagian dari proses penghadapan Islam kepada tuntutan keadaan dan zaman.

Sebuah Hadis juga digunakan untuk menunjuk kepada watak integralistik dari Islam, yaitu sabda Rasulullah, “Islam unggul dan tidak dapat diungguli“. Islam tidak memerlukan pandangan dari luar untuk mengatur kehidupan, karena hal itu berarti keunggulan pihak luar itu atas Islam. Pendapat ini memiliki kelemahan dasar dalam menyamaratakan kualitas dan hakikat pemikiran manusia. Besar kemungkinan, apa yang diterima dari luar itu justru pengembangan gagasan yang semula berkembang dalam lingkup lebih kecil dalam ajaran Islam sendiri. Pengambilan dari luar itu, dalam hal ini, berarti penemuan kembali ajaran yang sudah lama dilupakan adanya pemikiran tentang pelbagai bidang kehidupan dalam pandangan Islam.

Sifat integral dari pandangan kaum muslimin diperoleh dari kemampuan melihat dimensi keimanan dalam tiap perbuatan warga masyarakat; bukannya terletak pada utuhnya bangunan konseptual yang dihasilkan. Proses konseptualisasi itu sendiri justru mengharuskan kemampuan untuk menjaga jarak dengan pokok persoalan, jika diinginkan hasil yang akan dicapai nanti tahan uji dalam kenyataan hidup itu.

Sebuah cara lain dapat dikemukakan sebagai sebuah aspek teoretis dalam pengembangan pemikiran negara dan politik dalam pandangan Islam, yaitu pendekatan prinsipiil.

Dari ajaran dan sumber-sumber pemikiran Islam ditarik sejumlah prinsip universal, perlunya kedaulatan hukum ditegakkan, persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka hukum, pengambilan keputusan berdasarkan kehendak warga terbanyak dari masyarakat, dan seterusnya, adalah rangkaian patokan yang akan memungkinkan Islam menjadi motor kehidupan bangsa dan negara tanpa mempersoalkan mana yang lebih unggul antara “masukan Islam” dan masukan lain yang datang dari mana pun. Islam berfungsi tidak sebagai hipotesis operatif, tetapi sebagai sumber inspiratif bagi kehidupan bangsa dan negara.

Demikianlah, sekadar beberapa aspek teoretis yang dikemukakan untuk mengembangkan pemikiran negara dan politik dalam pandangan Islam. Semoga bermanfaat. Amien.