Mencari Format Hubungan Agama dengan Negara

Sumber foto: https://www.nu.or.id/fragmen/gema-maulid-barzanji-pada-kongres-ormas-islam-di-indonesia-se-abad-lalu-fy09B

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tulisan ini dibuat beberapa hari menjelang dimulainya peristiwa penting, yakni Kongres Umat Islam. Dikatakan penting, karena adanya kegagalan Kongres Umat Islam yang lalu, karena terpecah belahnya umat Islam di negeri kita.

Salah satu hal yang menarik perhatian dari pelaksanaan kongres ini adalah sifatnya yang berwarna eksortatif. Dimaksudkan dengan itu, seruan agar umat Islam melupakan perbedaan antara mereka guna tujuan bersama li i’laa’i kalimaatillahi hiyal ‘ulyaa (sebuah bentuk penyerahan atas nama Tuhan merupakan penyesuaian sifat Allah sebagai Tuhan yang tinggi) di antara kita adalah watak agama kita.

Pengakuan bahwa perjuangan harus diredusir hingga ke batas terendah, menunjukkan bahwa perjuangan Islam di Indonesia masih berada pada mereka yang belum terlalu jauh beranjak dari zaman Walisongo.

Kita masih pada tahap penegakan tauhid (ke-Esa-an Allah) dan belum jauh beranjak dari sana.

Segala macam ucapan, sikap, penjelasan, maupun kata-kata lain tentang hal-hal di luar tauhid kita pertentangkan dengan tajam. Ziarah kubur ke wali-wali, misalnya, juga masih kita pertentangkan dengan tajam, sebagian bahkan mengatakan hal itu sebagai tindakan menentang Islam. Meninggikan kedudukan orang-orang yang diberi keistimewaan atau ilmu-ilmu tertentu oleh Allah SWT, dianggap sebagai tindakan menghancurkan Islam dari dalam.

Bahkan sesama muslim saling membunuh karena perbedaan paham, seperti yang terjadi di Banyuwangi dan di banyak tempat lainnya.

Demikian pula, penguburan mayat orang-orang yang memperhatikan kesucian Islam dan mempertahankan prinsip-prinsip agama itu, dianggap bukan sebagai apa-apa dan sesuatu yang wajar saja. Sangat sesuai dengan keadaan alam dan sangat wajar dalam kehidupan masyarakat. Kalau semua yang selalu mengkritik masyarakat meninggalnya pun tak ada yang memperhatikannya. Jadi, kalau tidak ada yang mengantarkan jenazah mereka, hal itu adalah suatu kewajaran.

***

BAGI pengamat seperti kita, hal itu justru menunjukkan ketidakwajaran. Kaum pembaru (reformers) yang tidak memperoleh tempat dalam kehidupan masyarakat, justru menunjukkan keliatan ajaran yang hendak diperbarui itu. Dengan kata lain, di sini, kecilnya hasil yang diperlihatkan oleh proses pembaruan itu sendiri. Sampai berapa lama ketegangan itu bertahan dalam sebuah masyarakat?

Kita memerlukan otokritik, otokritik orang Islam terhadap agamanya. Sekali-kali melakukan otokritik memang hal yang sangat penting. Tanpa itu, kita tidak akan pernah tahu kapan terjerembab.

Tahu-tahu, kita sudah berada dalam lubang perangkap sejarah. Tetapi otokritik bisa menimbulkan kemarahan, bahkan, yang ingin melakukan perubahan (reformers) sering kali lebih besar kemarahannya, seperti berkali-kali telah terbukti dalam sejarah.

***

SEJAK kaum muda terlibat dalam peperangan melawan kaum tua dalam tahun 1821, di Sumatra Barat, pertentangan itu menjadi bagian dari perbenturan terbuka antar golongan, di negeri kita. Lahirnya jam’iyyah al-Khairiyyah diimbangi oleh Al-Irsyad, di kalangan kaum peranakan Arab. Pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) memperoleh persaingan terbuka dari sekolah-sekolah umum Muhammadiyah. Dan, lahirnya Ansor juga bukankah bentuk lain lahirnya Hisbul Wathan (HW)?

Bermacam-macam gerakan yang masing-masing mewakili kepentingan sempit itu untuk sementara waktu agak terjembatani dengan kehadiran bersama antara NU dan Muhammadiyah dalam gerakan Islam Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Hal-hal kecil seperti pengguguran Piagam Jakarta dari UUD 1945, ternyata tidak menggoyangkan umat Islam sama sekali. Namun, mereka tampak berantakan ketika harus menjawab pertanyaan; hubungan Islam dengan negara (state). Bagi gerakan baru Islam, hal itu bersifat esensial dan harus ditegakkan. Mereka yang tidak mau secara resmi menetapkan Imam Islam sebagai kepala negara dengan sendirinya harus dikeluarkan dari gerakan Islam itu. Sedangkan sebaliknya, mereka yang melihat hal itu sebagai sesuatu yang terjadi secara natural — tanpa harus dirumuskan secara resmi — justru menunjukkan keluwesan sikap yang harus dihargai.

Demikianlah, bahwa perbedaan pandangan itu telah demikian lama berkembang. Hal-hal semacam inilah, yang sejak dulu menggagalkan tiap upaya menyelenggarakan kongres di kalangan kaum muslimin di Indonesia.

Hal yang paling menghantui pemikiran kaum muslimin di Indonesia adalah keharusan merumuskan hubungan antara agama dengan negara. Ini, disebabkan kenyataan, bahwa Islam adalah agama hukum. Sebuah agama hukum haruslah menentukan dengan rinci hubungan antara negara dengan hukum itu sendiri. Kalau tidak demikian, ajaran Islam yang berupa hukum-hukum agama tidak akan terlaksana dengan baik dalam kehidupan.

Karena itu, sangatlah menarik untuk melihat bahwa lima atau enam partai, kini tengah memperebutkan jenis hubungan antara negara dengan Islam. Manakah di antara pola-pola mereka yang akan menjadi warna di masa mendatang? Dan, hasil Kongres Umat Islam ke satu, di Jakarta ini, akan turut menentukan hal ini.

Pada garis besarnya, ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dengan negara (state). Dan, pada garis besarnya, ketiga responsi itu dapat disebut responsi integratif, responsi fakultatif dan responsi konfrontatif.

Dalam responsi integratif, Islam sama sekali menghilangkan kedudukan formalnya dan sama sekali tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan kenegaraan. Hubungan antara kehidupan mereka dengan negara ditentukan oleh pola hidup kemasyarakatan yang mereka ikuti.

Dengan kata lain, kalau mereka menjadi muslim yang sesuai dengan standar, itu terjadi karena latar belakang pendidikan dan kultural masing-masing.

Untuk yang kedua, jika kekuatan mereka cukup besar di parlemen atau di MPR, kaum muslimin/wakil-wakil gerakan Islam, akan berusaha membuat perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka juga tak memaksakan, tetapi menerima aturan yang dianggap berbeda dari ajaran Islam.

Sifat konfrontatif sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang dianggap “tidak Islami”. Lalu, manakah di antara ketiga sikap itu yang akan dominan dalam Kongres Umat Islam? Jawaban terhadap pertanyaan seperti ini sangat bergantung pada jalannya Kongres Umat Islam pertama. Bukan terhadap jawaban masalah siapa yang bakal menjadi presiden dan sebagainya.