Imamah: Kemelut Kepemimpinan Umat

Foto Diambil Dari; https://jurnalislam.com/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

ISTILAH “imam” memiliki arti berlain-lainan dalam perkembangan sejarah Islam. Bermula dari arti sederhana saja: anutan yang berada di muka. Dalam wujud konkret, yang paling sering kita lihat, ia pemimpin ibadah salat. Sering disenyawakan dengan jabatan pengelolaan tempat ibadah: imam masjid, imam langgar, dan sebagainya.

Yang sering juga kita lihat adalah kedudukan anutan itu dalam soal-soal keagamaan sehari-hari di pedesaan: memimpin perawatan orang mati, mengatur penikahan (sebelum dilembagakan dalam bentuk penghulu dan para wakil/naibnya) dan sebagainya. Kedudukan di pedesaan itu bernama imam agama – dalam bahasa Arabnya imamuddin, terkenal dengan singkatan “modin”.

Perkembangan sejarah menjadikan istilah ini kompleks. Imam negara di Malaysia adalah penanggung jawab pengelolaan Masjid Negara di Kuala Lumpur, dengan tambahan sejumlah yurisdiksi atas masalah-masalah keagamaan murni (penetapan permulaan bulan puasa dan hari raya, dan sebagainya). Imam negara di Iran, saat ini Ayatullah Ruhollah Khomeini dan sinonim dengan istilah “fageeh“, memiliki kekuasaan tak terbatas atas kehidupan politik dan keagamaan.

Perkembangan sejarah yang menentukan adalah ketika istilah “imam” ini diberi pengertian politis. Yaitu sebagai kekuasaan atas jalannya pemerintahan. Ini wajar, karena Islam memang tidak mengenal pembagian wilayah yang jelas antara urusan politik dan keagamaan. Ketika Rasulullah wafat, muncul istilah “kalifah” sebagai pengganti kedudukan kenabian dan kerasulan yang dibawanya ke alam baka. Pada saat Umar Ibn al-Khattab menjadi kalifah, ada tambahan jabatan — sebagai penglima tertinggi angkatan perang, bergelar “amirul mu’minin“. Kalifah dan amir menjadi sinonim.

Ketika terjadi perlawanan terhadap pusat-pusat kekuasaan, salah satu tema yang diambil adalah “pengagamaan” fungsi kekuasaan. Dilontarkan tuduhan: jabatan kalifah dan amir telah dibuat begitu politis, sehingga kehilangan dimensi keagamaan. Karena itu, di hadapan kalifah dan amir ditetapkan oleh para pembangkang itu jabatan baru-bernama Imam. Semata-mata berwatak keagamaan, tapi punya kekuasaan penuh atas perkembangan politik dan pemerintahan.

Golongan Syi’ah meyakini kebenaran doktrin keimanan, sehingga salah satu rukun Islam mereka adalah imamah, keyakinan adanya imam. Eskatologis, imam berdiri dalam deretan pewarisan kekuasaan dari Allah kepada Nabi melalui malaikat. Tidak heran kalau imam adalah pemberi jaminan keselamatan di akhirat kepada para pengikut. Bahkan, hampir semua kelompok golongan besar Syi’ah mempercayai doktrin adanya juru selamat (mesiah, almasih) dalam diri Imam Terakhir — yang sekarang sedang terangkat ke langit untuk nanti turun menjelang kiamat.

Bagi mayoritas Syi’ah, yaitu Syi’ah Imamiyah atau Ja’faliyah, imam juru selamat itu adalah Muhammad Ibn al-Hasan al-Askari, bergelar al-Mahdi al-Muntazar (Imam Yang Ditunggu). Muhamad telah terangkat (mi’raj) ke langit pada usia 5 tahun, di Kota Samarra di Irak, pada 260 Hijriah. Ia akan menegakkan keadilan abadi kelak setelah mengalahkan Dajal anti-Kristus dalam teologia Kristen (seperti yang dewasa ini sedang ditonton orang lewat khayalan film The Omen, red.).

Tradisi perlawanan begitu kuat menjadi bagian sejarah Islam melawan pemerintahan yang dianggap telah “menduniawi”. Sehingga tradisi imam pun akhimya berkembang menjadi sesuatu yang sangat kultural: “imam” adalah juga anutan di bidang ilmu keagamaan — seperti imam mazhab fiqh dan seterusnya.

Perlawanan keagamaan mengambil bentuk tidak hanya politis, seperti pada tradisi keimaman Syi’ah, melainkan juga kultural: tradisi pemunculan fiqh sebagai perlawanan terhadap kebalauan hukum di tangan penguasa lalim, tradisi pemunculan ilmu kalam sebagai perlawanan terhadap sekularisasi masyarakat muslim di masa lampau, dan seterusnya. Perubahan arti yang dimaksud dengan kata “imam”, dari sesuatu yang berdimensi politik dan keagamaan menjadi pengertian religio-kultural, akan mengakibatkan perkembangan baru lagi nantinya.

Perlawanan kultural, yang dilambangkan dengan munculnya “imam ilmuwan seperti al-Ghazali dan sebagainya, sudah tentu tidak memuaskan semua orang Karena berarti diambilnya keputusan untuk melakukan penyerapan secara matang atas proses perubahan yang berjalan cepat, Tidak semua orang mampu melakukan penyerapan dengan baik dan, dengan sendirinya, akan ada yang terlempar dari garis peredaran umum — tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan.

Bagi mereka, perlawanan kultural seperti itu adalah penyimpangan dari kemurnian ajaran Islam dan, karenanya, harus dilawan. Titik pembalikan orientasi kehidupan beragama adalah ketika dicapainya penegakan kemurnian ajaran agama. Dalam artian ini, upaya memurnikan ajaran agama adalah tindakan politis untuk memukul perlawanan kultural.

Dengan sendirinya, lalu, dibutuhkan kepemimpinan untuk menyelenggarakan pemurnian ajaran agama secara politis itu. Kepemimpinan yang mampu menyatukan aspirasi keagamaan yang benar dan aspirasi politis, sekaligus dalam dirinya berarti perubahan kembali arti “imam”. Ia haruslah orang yang mampu menyampaikan ajaran agama yang benar, mampu menyusun langkah-langkah politis yang diperlukan untuk menunjang klaim kebenaran agama dan mampu menjadi tiang penopang masyarakat baru yang akan diciptakan sebagai pengganti masyarakat lama yang sudah jauh dari kebenaran agama.

Munculnya kebutuhan akan kepemimpinan seperti itu, lalu, menjadi sangat terasa. Maka dicarilah sang imam, amir, dan sebagainya. Kepadanya diberikan loyalitas tunggal dan ketundukan mutlak: kepemimpinannya menjadi sangat karismatis. Kebutuhan itu terasa, baik di kalangan batang tubuh umat maupun di lingkungan gerakan sempalan. Tetapi, pemenuhan atau pemunculannya selalu menghasilkan tindakan yang nantinya akan berujung pada gerakan sempalan.

Itu semuanya muncul karena kegagalan kepemimpinan umat untuk menyediakan proses pencernaan yang sehat dan jawaban yang wajar terhadap proses perubahan cepat yang dibawakan modernisasi yang sedang melanda seluruh dunia Islam dewasa ini.