Masalah Kultur Kepemimpinan Islam

Sumber Foto: https://wawasanriau.com/news/detail/3688/panduan-memilih-pemimpin-dalam-islam-seperti-rasullullah

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dialog “Jawa Pos” tentang Kepemimpinan Umat Islam, antara penulis dan sejumlah penanggap, menyembulkan beberapa hasil pengamatan menarik. Hal-hal menarik itu tidak hanya menyangkut jenis kepemimpinan yang berkembang secara historis selama ini, tetapi juga sisi-sisi Iain yang memerlukan bahasan lebih jauh. Sisi-sisi Iain itu meliputi kultur kepemimpinan umat Islam di negeri kita, posisi kulturalnya, dan cara-cara pengorganisasian kepemimpinan itu.

Dari tilikan atas ketiga sisi itu barulah dapat dilakukan proyeksi kepemimpinan di masa depan, termasuk langkah-langkah yang harus diambil. Dalam bagian pertama ini, akan disoroti serba sedikit tentang kultur kepemimpinan umat Islam yang ada selama ini. Dua Sisi Iain dari proyeksi kepemimpinan itu akan ditilik dalam dua bagian, tiga dan empat dari rangkaian “tanggapan atas tanggapan” ini.

Sangat menarik untuk melihat, bahwa para penanggap muslim sama sekali tidak menilik unsur religiusitas dari kepemimpinan umat yang beraneka jenisnya itu. Hanya Romo Y.B. Mangunwijaya yang menekankan pentingnya arti dimensi religiusitas itu. Mungkin ini karena para penanggap Iain telah mengambil kesimpulan pasti, bahwa religiusitas atau semangat keberagamaan telah menjadi bagian inheren dari kepemimpinan umat itu. Bahwa mereka memperjuangkan peningkatan posisi, perbaikan keadaan dan kualitas hidup umat Islam, dengan sendirinya telah dirasuki “semangat keagamaan ” yang paten.

Benarkah demikian? Tilikan atas tulisan para penanggap itu sendiri ternyata tidak menggambarkan kenyataan seperti itu. Secara sosiologis, mereka melihat adanya perkembangan silih bergantinya peranan utama dalam kepemimpinan umat, antara ulama, birokrat keagamaan dan para organisator. Bahkan, ada yang memastikan, bahwa inisiatif sekarang telah beralih kepada para cendekiawan muslim, dengan gagasan dan pemikiran mereka. Taufik Abdullah lebih jauh lagi, ia melihat munculnya jenis kepemimpinan aktivis dan pemikir masjid-masjid dan kelompok kampus.

Jelaslah dengan demikian, bahwa dinamika intern kepemimpinan umat adalah persaingan antar jenis kepemimpinan. Persaingan pengaruh dan peranan antara ulama, organisator dan birokrat keagamaan. Pengamatan atas tulisan para penanggap itu berjalan seiring dengan hasil pengamatan “mata telanjang” selama ini. Adalah menggelikan untuk menganggap dimensi religiusitas itu telah mapan secara inheren dalam kepemimpinan umat Islam di negeri kita. Kepemimpinan yang ada, apa pun corak kolektifnya secara keseluruhan, ternyata belum mampu mengembangkan wawasan keagamaan yang mengolah ajaran agamanya secara utuh. Yang dicapai adalah “pendalaman” wawasan keagamaan yang bersifat parsial: “keagungan” agama melalui ukuran kuantitatif. Kalaupun diberlakukan ukuran kualitatif, hanyalah dalam dimensi normatifnya belaka, seperti ketakutan akan dekadensi moral para remaja, erosi ukhuwah (persaudaraan) di kalangan sesama muslim (dan para pemimpin mereka).

Belum muncul secara masif kepemimpinan yang meletakkan wawasan keagamaan Islam pada dataran bercakupan lebih luas, seperti memahami orang lain, atau memandang peradaban manusia dengan segala macam krisisnya sekarang ini sebagai milik kaum muslimin juga. Kebenaran teologis serba mutlak dari ulama dijadikan satu-satunya acuan dengan, melupakan kebenaran nisbi dari semua agama dalam pandangan sejarah sebagai tolok ukur universal.

Karena itulah, masing-masing jenis, kepemimpinan lalu melihat kehidupan, dan dengan sendirinya tantangan umat, secara terkeping-keping. Para ulama melihat segala sesuatu dari asketisme (zuhud) ritual belaka, dan menakuti ancamanan “silaunya ragam duniawi” atas umat yang mereka pimpin. Sebagian masih bertahan pada posisi kesederhanaan hidup material dan penekanan pada ibadah ritual (mahdhah) yang digelar dalam intensitas tinggi secara berkelanjutan. Termasuk versi modernnya, seperti MTQ (Muasabaqah Tilawatil Qur’an). Sebagian lagi tetap mengajukan protes atas erosi zuhud ritual itu, tetapi sambil menikmati kehidupan material yang sangat jauh berbeda dari rakyat muslim kebanyakan. Contohnya adalah para mubalig “profesional” yang bermobil Baby Benz atau BMW, dan selalu menuntut tiket kelas eksekutif kalau naik pesawat terbang.

Para organisator mempersoalkan ketertinggalan umat dalam pengembangan program-program perbaikan kualitas hidup umat bila dibandingkan umat agama-agama lain. Juga selalu kalahnya “kekuatan Islam” dalam pertarungan melawan kekuatan-kekuatan sekuler. Karena itu, “obat” yang ditawarkan adalah program-program tandingan terhadap “kemajuan” orang lain. Jadi, masih tetap dalam napas persaingan dan kecurigaan. Masih dipelihara semangat “kita” dan “mereka” terhadap saudara sebangsa dan sesama umat manusia.

Para cendekiawan muslim juga demikian halnya. Semangat keagamaan mereka temukan dalam sejumlah ritus Ibadah keagamaan, termasuk pengajian “tingkat gedongan”, dan dalam upaya mengejar ketertinggalan umat Islam dalam iptek dan pemikiran konsepsional dan konseptual. Karena itu, para cendekiawan itu harus dikumpulkan dalam sebuah wadah yang secara sinergis akan melahirkan pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep yang mampu mengangkat Islam ke medan laga dan memenangkan pertandingan. Celakanya, tidak dilakukan seleksi ketat atas keanggotaan wadah seperti itu, sehingga misi mulia itu tercampur dan teraduk dengan ambisi politik dan kepentingan kelompok. patut dipertanyakan, sudah adakah religiusitas yang luhur dalam sikap dan wadah semacam itu?

Di pihak lain, kaum aktivis muda di kampus-kampus dan masjid-masjid menyaksikan itu semua dengan kebingungan Iuar biasa. Bukankah tawaran yang diajukan ketiga jenis pemimpin umat Islam itu sebenarnya hanyalah “jawaban duniawi” belaka, yang dipenuhi predikat Islam untuk menenteramkan hati yang gamang? Mereka mendambakan penggalian dari sumber-sumber spiritualitas agama mereka, dengan hasil konsep dan pemikiran “Islami”. Mereka terapkan “produk-produk Islami” itu dalam kehidupan mereka, yang jauh dari pamrih dan kepentingan kelompok. Mungkin karena inilah, Taufik Abdullah melihat mereka sebagai masa depan yang dijanjikan (promised future). Tetapi sebenarnya, mereka juga masih separo jalan, dan belum mampu memberikan jawaban konstruktif bagi persoalan-persoalan dasar umat Islam di negeri ini.

Di satu pihak, mereka baru bersikap reaktif terhadap “tantangan yang dihadapi Islam”. Kecurigaan kepada ideologi sekuler masih sangat besar mereka idap. Padahal, bagaimanapun juga, dalam panggung sejarah, Islam hanyalah salah satu saja dari sekian mata rantai peradaban umat manusia. Karenanya, sumbangan Islam harus diberikan dalam kerangka kebersamaan dengan semua pihak, bukan menyendiri di luar sejarah. Perkembangan terakhir di Iran memperlihatkan pentingnya pertalian antara Islam dan pandangan hidup lain-lain dalam tatanan universal. UU Perkawinan yang mengangkat derąjat wanita, sikap pragmatik sambil tetap berpegang pada dasar-dasar Islam, adalah contoh dari Iran itu.

Apa yang dikemukakan itu menunjukkan kepada kita sebuah masalah dasar yang dihadapi umat Islam di negeri kita saat ini. Masalah ketidakpastian moral dan spiritual dari kultur kepemimpinan umat Islam iłu sendiri. Masalah dari masih meluasnya sikap memandang segala sesuatu dari satu sudut pandangan saja, dan itu pun umumnya berdasarkan kepentingan masing-masing saja. Harus ada kerendahan hati (humility) bahwa keunggulan komparatif yang dimiliki ajaran Islam hanya berguna, apabila digunakan untuk kepentingan keseluruhan umat manusia; dan bukan untuk kepentingan umat Islam saja.

Karena iłu, kaum muslimin tidak dapat hanya hidup menyendiri. Kepemimpinan umat harus mampu menyapa siapa pun, tidak hanya umatnya sendiri. Kegagalan memecahkan masalah orientasi kultural ini tidak akan mampu mengangkat derajat kuantitatif maupun kualitatif umat Islam sendiri. Bahwa ada pemimpin umat beragama lain juga melakukan kesalahan yang sama, bukanlah alasan untuk menghindari keharusan universalisasi kepedulian kepemimpinan umat Islam.

Justru contoh beberapa pemimpin agama harus dijadikan kaca perbandingan dalam hal ini. Mahatma Gandhi (Hindu) dengan ahimsa dan satyagrahanya menyembulkan kasih sayang yang mendasari persaudaraan umat manusia. Kegigihan Martin Luther King, Jr. (Kristen) menampilkan isu persamaan status manusia di mata Tuhan. Khomeini (Islam, kebetulan golongan Syi’ah) membawakan amanat perlunya perjuangan melawan tiran sekuler dijadikan “agenda keulamaan”. Juga umat Islam harus mampu menghargai sumbangan besar orang-orang Yahudi bagi peradaban manusia di bidang iptek, filsafat, seni sastra, dan seterusnya. Padahal, mereka justru kenyang menerima kutukan Tuhan selama ini, dan sekarang pun masih belum memberikan hak adil kepada bangsa Palestina untuk menentukan nasib sendiri.

Dalam kenyataan, mereka yang berpandangan inklusif di kalangan para pemimpin Islam selalu menjadi minoritas, dan sering kali bahkan “diadili” oleh kelompok-kelompok yang berpandangan sesisi belaka. Seperti kasus Nurcholish Madjid saat ini. Karena itu, pantaslah dipertanyakan mampukah kepemimpinan umat Islam menjawab kebutuhan mengisi kekeroposan spiritual ini? Jawaban emosional, apalagi menghardik, justru memperkuat pengamatan akan besarnya lingkup kekeroposan itu sendiri.