Judul |
---|
Bunga Rampai Pesantren – Kumpulan Karya Tulis Abdurrahman Wahid |
Penulis |
Abdurrahman Wahid |
Penerbit |
CV. Dharma Bhakti, Jakarta, Februari 1979 |
Kategori |
1A Kumpulan Tulisan GD, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
1979 |
Judul Tulisan
Daftar Isi
- Pesantren Sebagai Sub-Kultur
- Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia
- Dinamisasi dan Modernisasi
- Pesantren dan “Sekolah Umum”
- Pendidikan Tradisional di Pesantren
- Pesantren dan Pendidikan Kependudukan
- Manfa’at Koperasi bagi Pesantren dan Lembaga Pendidikan Islam
- Pengembangan Watak Mandiri
- Kurikulum Pesantren dan Penyediaan Angkatan Kerja
- Standardisasi Sarana Ilmiah di Pondok Pesantren
- Pesantren dan Pengembangannya
- Kepemimpinan dalam Pengembangan Pesantren
Sinopsis
Sebelum terbitnya buku Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren yang diterbitkan oleh LKiS, buku ini adalah yang pertama kali menerbitkan esai-esai Gus Dur tentang pesantren. Bedanya dalam buku ini hanya memuat 12 esai, sementara dalam buku Menggerakkan Tradisi ada penambahan 4 esai, total 16 esai. Esai-esai Gus Dur dalam buku ini ditulis dalam rentang waktu 1973-1978, 5 tahun. Diantaranya pernah dimuat di media Kompas dan juga diseminarkan dalam berbagai kesempatan.
Keunikan dari buku ini adalah terdapat keterangan kapan dan di mana esai itu dipresentasikan atau dimuat di koran harian. Keterangan seperti itu menarik sebagai bukti otentisitas tulisan-tulisan Gus Dur. Melihat keterangan seperti itu, pembaca diajak kembali membayangkan suasana acara (seminar/lokakarya), disaat Gus Dur mengisi acara. Selain itu, font tulisan pada buku Bunga Rampai Pesantren ini sangat khas font era 70 an, dengan mesin ketik zaman jadul .
Kumpulan karya tulis Gus Dur dalam buku ini ringkasnya menerangkan peta sejarah pemikiran, tradisi keilmuan (pendidikan islam), serta pergumulan suatu sub budaya di pesantren. Diawali dengan tulisan Pesantren sebagai Subkultur. Tulisan ini yang membuka wawasan pembaca tentang dunia kepesantrenan.
Istilah subkultur menyangkut aturan atau norma yang ada di pesantren, corak pendidikan, tradisi kaum santri, dan ciri khas pesantren yang unik, tiap daerah memiliki karakternya masing-masing. Gus Dur menyertakan kritik sekaligus pujian terhadap dunia pesantren dalam tulisan ini.
Ada banyak istilah ‘asing’ yang disajikan Gus Dur dalam keseluruhan esainya. Pembaca diajak menyelami istilah-istilah itu. Semakin memudahkan pembaca dan menambah kosa kata baru (istilah asing) yang belum kita punya. Antara lain seperti, pris interpares, rechenhaftigkeit, spartan etchics, pseudo modernisme, share cropper, dan masih banyak lagi. Namun Gus Dur juga menyebut istilah khas yang akrab dengan dunia literasi pesantren, seperti, tikrar, mudarasah, jam’iyyah, barakah, badal, dan sebagainya.
Tidak hanya membincang subkultur pesantren, Gus Dur juga menuliskan refleksi atas kesusastraaan pesantren, yang jarang dijadikan obyek sastra. Padahal sastrawan-sastrawan yang sudah punya nama itu dulunya pernah mengenyam pendidikan di pesantren, mengapa demikian? ciri khas tulisan Gus Dur dari paragraf pertama sudah membuat penasaran pembaca.
Walaupun sudah empat dekade esai ini ditulis, namun masih relevan dengan tantangan dunia pesantren saat ini, terutama membincang dinamisasi dan modernisme di lingkungan pesantren. Dua kosa kata itu harapan Gus Dur akan memunculkan cara pandang baru seseorang dalam melihat pesantren, lebih-lebih bisa melahirkan pemimpin nasional dengan latar belakang pesantren.
Pernyataan dari Gus Dur yang perlu direnungkan, bahwa pesantren memiliki potensi kekuatan yang sangat besar, namun belum memiliki kemampuan mengeksekusi berbagai proyek yang seharusnya bisa dimanfaatkan keberkahannya secara luas. Maka cara pandang kehidupan berorientasi pada ukhrawi saja perlu dikoreksi, karena salah jika hanya mempersepsikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mencetak ulama atau kiai. Pesantren juga harus memberikan bekal keterampilan kepada santri untuk siap kerja.
Pemikiran yang dibayangkan Gus Dur dalam esai-esainya antara lain, ada lembaga penelitian tentang kepesantrenan, yang kemudian melahirkan ide-ide kerjasama antara pesantren dengan lembaga ilmu pengetahuan, dan juga lahir perpus nasional tentang literatur pesantren. Selain itu, pesantren bisa mendirikan sekolah umum supaya menjembatani tingkat putus sekolah yang tinggi. Watak kemandirian pesantren mendapatkan pujian dari Gus Dur dalam esainya; rasa ikhlas yang tulus, dan aktivitas apapun selalu diniati ibadah. Namun perlu juga memikirkan ihwal duniawi-nya, kekuatan ekonomi.
Dalam buku ini juga dijelaskan tentang peranan atau pelibatan pesantren dalam isu nasional seperti program Keluarga Berencana. Bagaimana cara menarik lingkungan pesantren supaya aware terhadap isu kependudukan itu. Melalui pengajian-pengajian umum atau upacara-upacara khusus, misalnya. Gus Dur mencontohkan pelibatan ide dengan risalah pendek yang disusun Kiai Bisri Mustofa tentang KB. Tidak hanya itu, Gus Dur mengusulkan program ini supaya bisa masuk ke studi kurikuler di sekolah-sekolah formal dari SD-SMA. Terkait perekonomian umat, Gus Dur mendorong pesantren untuk mendirikan koperasi sebagai bentuk pendampingan kepada masyarakat petani, agar dapat mandiri secara finansial.
Buku ini mengajak pembaca melihat tradisi-tradisi keagamaan pesantren yang unik, tentang tata nilai dan pandangan hidup, yang terus dirawat, dijaga, dan pentingnya melihat tantangan yang dihadapi oleh kalangan pesantren dalam merefleksikan hal ihwal apa yang telah ditulis oleh Gus Dur dalam setengah abad terakhir. Selain itu, kita diajak membayangkan bangunan pesantren yang visioner ala Gus Dur.