Dinamisasi dan Modernisasi Pesantren
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pendahuluan
Mengolah konsep apapun tentang pesantren, sebenarnya bukanlah kerja yang mudah. Terlebih dahulu harus diingat adanya kenyataan, bahwa tidak ada konsep yang mutlak rasional dapat diterapkan di pesantren. Baik karena sejarah pertumbuhannya yang unik maupun karena tertinggalnya ia dari Lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya didalam melakukan kegiatan-kegiatan teknis, pesantren belum lagi mampu mengolah dan kemudian melaksanakan konsep yang disusun berdasarkan pertimbangan akal belaka, bagaimapun sistematis dan metodisnya konsep itu, setidak-tidaknya untuk generasi ini, semua konsep yang bersifat demikian akan menghadapi hambatan-hambatan luar biasa dalam pelaksanaanya.
Haruslah dijauhi pendapat yang mewajibkan pesantren untuk mengikuti pola pemikiran tertentu, kecuali dalam beberapa hal yang sangat terbatas. Karenanya, pendapat yang akan dikemukakan dalam kesempatan ini, akan lebih banyak didasarkan pada kemungkikan-kemungkinan apa saja yang dapat dicapai oleh pesantren dewasa ini. Kesadaran sepenuhnya akan kemampuan pesantren yang masih terbatas untuk mengikuti pola-pola kerja rasional, mendasari pemikiran-pemikiran yang akan dikemukakan selanjutnya disini. Mengingat pula data-data yang kongkrit belum dapat diperoleh mengenai kemungkinan-kemungkinan itu, maka yang akan digunakan disini adalah perkiraan-perkiraan (assumptions) yang diperoleh dari pengamatanmengenai keadaan kebanyakan pesantren utama.
Proses dinamisasi suatu Lembaga kemasyarakatan, lebih-lebih yang seperti pesantren, adalah suatu usaha yang rumit dan makan waktu lama. Tidak sebuah konsep-pun yang dapat disusun tanpa mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaannya kemudian. Karena-nya, dalam kesempatan ini tidak akan ditemui suatu anggapan, bahwa kita telah menemukan konsep final yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Yang akan dikemukakan hanyalah sekedar beberapa gambaran mengenai langkah-langkah apa saja yang dapat diambil untuk memulai proses dinamisasi secara berencana, yang digarap dengan kesadaran penuh. Langkah-langkah yang akan dikemukakan hanya akan bersifat langkah dasar permulaan, tanpa ditunujukkan perinciannya.
Sebelum menginjak pokok-pokok persoalan yang ditentukan oleh judul pembicaraan ini, terlebih dahulu haruslah dijelaskan arti yang dimaksud dengan penggunaan kata-kata dinamisasi dan modernisasi. Dinamisasi, pada asasnya mencakup dua buah proses yaitu penggalakan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada, disamping mencakup pula pergantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses penggantian nilai itu dinamai modernisasi. Jelaslah dari keterangan ini, bahwa pengertian modernisasi sebenarnya telah terkandung dalam kata dinamisasi.
Sedangkan kata dinamisasi itu sendiri, dalam penggunaannya disini akan memiliki konotasi/mafhum “perubahan kearah penyempurnaan keadaan”, dengan menggunakan sikap hidup dan peralatan yang telah ada sebagai dasar. Dikemukakan prinsip itu disini, karena ada keyakinan, akan menghadapi hambatan luar biasa nantinya. Kita percaya, pendekatan untuk memperoleh penerimaan dari pesantren sendiri, dalam jangka panjang akan memberikan hasil yang lebih baik dari pada konsep manapun juga.
Situasi dan Konotasi Pesantren.
Untuk dapat mengemukakan suatu konsep yang relevan bagi kebutuhan pesantren, kita harus mengetahui terlebih dahulu garis besar situasi yang dihadapi oleh pesantren dewasa ini.
Situasi kejiwaan yang secara faktual dirasakan oleh pesantren dewasa ini adalah meluasnya rasa tak menentu, yang biasanya disebut sebagai keadaan rawan. Ada beberapa faktor yang menjadi sebab utama bagi keadaan rawan ini, diantaranya:
- Sebagai pantulan keadaan rawan yang memang melanda kehidupan bangsa kita pada umumnya dewasa ini, akibat kedudukan kita dalam suasana serba transisional dewasa ini;
- Kesadaran akan sedikitnya kemampuan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pesantren, terutama tantangan yang diajukan oleh kemajuan teknik yang mulai dikenyam bangsa kita;
- Statis/bekunya struktur sarana-sarana fisik yang ada untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi pesantren pada umumnya. Baik sarana yang berupa management/pimpinan yang terampil maupun sarana material (termasuk dana-dana kekuangan) masih berada pada kuantitas yang sangat terbatas. Keterbatasan sarana-sarana itu membawa akibat tidak mungkin dilakukanya penanganan kesulitan yang dihadapi secara integral/menyeluruh;
- Sulitnya mengajak masyarakat tradisional yang berafiliasi kepada pesantren kearah sikap hidup yang lebih serasi dengan kebutuhan-kebutuhan nyata pesantren. Padahal pesantren tidak akan mungkin melakukan kegiatan berarti tanpa dukungan dan bantuan mereka, dalam keadaanya yang sekarang ini.
Kecuali faktor pertama, faktor-faktor lainnya sebenarnya berkaitan satu sama lain. Pemecahan persoalan pada suatu faktor akan berarti pemecahan pula bagi ketiga faktor yang lainnya.
Jika keadaan rawan ini tidak segera diatasi, makan akan lebih sulit lagi bagi pesantren untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada, mengingat perkembangan masa justru akan semakin memperkuat kadar dan luas-lingkup tantangan itu. Perubahan kadar tantangan ini, yang dalam kalangan sosiologi dinamai “kesenjangan masa” (time lag), sudah tentu akan menjuruskan keadaan lawan itu kepada bahaya yang lebih besar. Manifestasi keadaan lawan sekarang ini adalah semakin meluasnya cetusan frustrasi yang mendambakan penyelesaian. Frustrasi ini, jika tidak menemukan penyelesaian, akan berubah menjadi rasa masa bodoh (apati) terhadap mati hidupnya pesantren; menjadi keadaan hilangnya semangat (elan) untuk maju. Karena elan untuk maju adalah modal utama pengembangan suatu Lembaga kemasyarakatan maka kehilangan elan ini akan berakibat fatal bagi pesantren sendiri.
Manifestasi umum dari keadaan lawan ini pesantren tampak pada dua reaksi terhadap nilai-nilai kehidupan yang berada pada masa transisi dewasa ini. Reaksi pertama berbentuk menutupi diri dari perkembangan umum masyarakat “luar”, terutama dari kegiatan yang mengancam kemurnian kehidupan beragama. Isolasi ini dilakukan begitu rupa sehingga pertukaran pikiran yang berarti dengan dunia luar, praktis terhenti sama sekali. Pesantren yang memiliki reaksi macam ini, lalu tenggelam dalam impian kejayaan masa lampau, serta dalam kegiatan memaksa ukuran-ukuran masa lampau itu pada masyarakat. Diatara kegiatan ini adalah penumbuhan mitos-mitos kekeramatan sementara pimpinan pesantren, bahkan hingga pada usaha yang secara serampangan me-“wali”-kan orang-orang yang bersikap hidup lain dari biasanya.
Reaksi kedua adalah justru mempergiat proses penciptaan solidaritas (solidarity making) yang kuat antara pesantren dan masyarakat. Penggalangan proses ini disertai pula oleh sikap hidup menonjolkan hal-hal modern secara lahiriyah (pseudo-modernism). Teknik dan cara-cara “memodernisasi diri” dikembangkan sedemikian rupa sehingga tidak dapat dihindari kesan adanya snobisme di sementara kalangan pesantren. Salah satu contohnya adalah “adaptasi wajah kultural” modern dalam bentuk rangkaian upacara besar-besaran yang tidak kunjung habis. Dana yang memang sudah sangat terbatas, ternyata tidak dipergunakan secara bijaksana, melainkan untuk kegiatan-kegiatan yang oleh sebagian orang dinamai “penguasaan mikropon”.
Kedua reaksi diatas menunjukkan dengan nyata kepada kita bahwa pesantren tidak memiliki pimpinan yang efektif, yang ditunduki bersama oleh semua pihak. Ketiadaan tokoh yang dapat menjadi pimpinan yang dapat ditunduki bersama, disamping faktor polarisasi sosio-politis yang sedang melanda umat islam dan watak kepemimpinan pesantren yang memang bertopang pada kekuatan moral (bukannya bertopang pada kemampuan berorganisasi), adalah sebab pokok dari ketiadaan pimpinan yang efektif itu.
Dengan menyadari kondisi ini maka kita akan sampai pada setrategi dasar yang harus ditempuh untuk Menyusun suatu konsep perbaikan yang relevan bagi kebutuhan pesantren. Setrategi dasar ini sekaligus dapat digunakan sebagai landasan blue-print pembangunan pesantren oleh pemerintah, dalam kerja sama dengan pihak-pihak lain. Strategi dasar itu adalah:
- Usaha meyakinkan pesantren bahwa keadaan rawan yang ada hanyalah merupakan sebagian saja dari keadaan umum yang melanda kehidupan bangsa kita dewasa ini. Keadaan ini dapat mereka atasi dengan melaksanakan proyek-proyek perbaikan yang bersifat selektif dan bertahap. Dengan demikian, kemampuan yang betapa terbatasnya sekalipun akan dapat dipusatkan pada penggarapan sebuah proyek saja pada suatu waktu/tahap. Pandangan ini tentu saja berbeda dengan anggapan umum kalangan pesantren bahwa penyelesaian simultan bagi semua personal yang dihadapi adalah jalan terbaik perkembangan pesantren.
- Jika keyakinan itu dapat ditumbuhkan dikalangan pesantren, tentu saja denga cara persuasif maka mereka dapat diajak untuk memilih penggarapan proyek yang paling mendesak pemecahannya di tempat masing-masing. Pilihan proyek yang akan digarap itu tentu saja bergantung juga pada penilaian yang cermat atas kemampuan sendiri untuk memecahkannya.
- Berdasarkan pilihan proyek yang akan digarap itu maka barulah dicari cara-cara terbaik untuk mempersiapkan penggarapanya. Pengembangan kecakapan tenaga pelaksana, perbaiakan struktur manajemen pesantren yang diperlukan untuk menyukseskan proyek yang akan digarap, dan usaha teratur untuk menyiapkan dana bagi pembiayaan proyek, kesemuanya itu dilaksanakan pada tahap ini.
- Jika telah ada bukti terlaksananya ketiga pokok diatas dengan baik, barulah pada pesantren ditawarkan konsep-konsep yang lebih lengkap dan kompleks, meliputi bermacam-macam aspek.
Strategi dasar ini tampaknya terlalu sederhana dan terlalu lambat pula jalannya, bilamana dihubungkan dengan faktor kesenjangan masa yang telah disebutkan diatas. Akan tetapi, pada kenyataannya memang pesantren lagi mencapai tahap di mana mereka mampu melaksanakan konsep perbaikan beraspek banyak. Jika kita abaikan kenyata ini maka kita akan terjerumus pada penilaian berlebihan (over-estimate) tentang kekuatan pesantren. Pesantren memang memiliki potensi kekuatan yang besar tetapi justru kemampuan mengembangkan potensi itu yang belum dimiliki.
Demikianlah, telah kita ketahui situasi umum yang dihadapi pesantren dewasa ini. Begitu pula, telah kita ketahui strategi dasar yang harus ditempuh dalam Menyusun sebuah konsep perbaikan keadaan pesantren. Mengingat strategi dasar itu menentukan penggarapan proyek-proyek selektif sebagai prasyarat, sebelum pesantren dapat menggarap konsep yang lebih bersifat menyeluruh maka dibawah ini dikemukakan beberapa proyek yang dapat dipilih, disusun dalam penggolongan berdasarkan kelompok masing-masing.
Proyek-Proyek untuk Digarap
Yang dimaksudkan dengan selektif adalah proyek yang serba terbatas luas lingkupnya, demikian pula terbatas besarnya pembiayaan yang diperlukan masing-masing. Dengan sendirinya, sasaran yang hendak dicapainya juga tidak luas.
Di dalam konsep penggarapan proyek-proyek yang bersifat selektif, dibuat penggolongan menurut kelompok masing-masing. Penggolongan itu dapat dibuat bermacam-macam, sesuai dengan kepentingan penggarapanya. Kalau dititik beratkan pada masalah pembiayaan maka penggolonganya dengan sendirinya adalah kelompok proyek dengan biaya sendiri, proyek dibiayai oleh pemerintah, oleh badan non pemerintah, maupun yang dibiayai bersama antara pesantren dengan pihak luar. Demikianlah, penggolongan yang dapat dilakukan seterusnya berdasakan kepentingan penggarapanya.
Walaupun demikian, secara umum dapat juga dilakukan penggolongan berikut, mengikuti kelompok masing-masing:
- Kelompok pembinaan pimpinan pesantren, yang dititik beratkan pada pengembangan pola-pola kepemimpinan yang lebih sesuai dengan kepentingan pesantren dimasa depan. Program latihan kepemimpinan dan penyusunan pola-pola peremajaan pimpinan bagi pesantren, adalah beberapa diatara proyek-proyek yang dapat digolongkan kedalam kelompok ini;
- Kelompok pembinaan mutu pengajaran di pesantren, yang meliputi proyek-proyek berikut: penyusunan kurikulum yang lebih relevan bagi kebutuhan masyarakat, penyusunan silabus pengajaran yang dapat mengembangkan rasa kesejarahan (historicy) pada ahli-ahli agama kita di masa depan, penataran periodik bagi tenaga-tenaga pengajar, penyediaan alat-alat pengajaran yang lebih memadai bagi kebutuhan dan sebagainya;
- Kelompok pembinaan pola-pola hubungan pesantren dengan Lembaga kemasyarakatan yang lainnya, meliputi pola-pola hubungan dengan Lembaga keagamaan diluar islam, Lembaga-lembaga pengembangan dan penyelidikan di berbagai lapangan, serta Lembaga-lembaga pemerintahan;
- Kelompok pembinaan keterampilan bagi para santri, baik meliputi pendidikan kejuruan teknik maupun pendidikan karakter yang mampu menyandang beban penyebaran ide keterampilan itu sendiri dengan baik.
Secara individual, setiap pesantren memperkirakan kesuliatan yang dihadapinya, dan kemudian memilih salah satu diantara proyek yang telah digolongkan diatas. Pesantren itu diajak berlatih untuk mengadakan penilaian atas kemampuan sendiri, melalui pilihanya atas proyek yang akan digarap. Hanya dengan sistem bertahap bagi pesantren dapat digugah perhatianya secara konkrit terhadap kebutuhan akan perbaikan yang bersifat menyeluruh.
Apabila pesantren secara individual mulai memasuki tahap pertama dalam bentuk penggarapan proyek selektif ini, pada waktu bersamaan barulah dapat dikerjakan persiapan bagi pelaksanaan sebuah konsep yang bersifat integral. Konsep integral ini merupakan sebuah program menyeluruh yang meliputi segenap aspek utama kehidupan pesantren.
Untuk dapat Menyusun sebuah konsep yang benar-benar terperinci, perlulah dibuat persiapan dalam bentuk beberapa kelompok kegiatan pendahuluan. Kelompok kegiatan itu adalah:
- Kelompok pembinaan hubungan antar pesantren, guna mengatasi kekurangan terpokok dalam struktur kehidupan pesantren dinegri kita dewasa ini; tidak adanya pimpinan efektif yang ditunduki oleh semua kalangan pesantren, seperti telah dikemukakan diatas. Sebagai akibat, tidak akan tersusun pula garis kebijaksanaan lengkap yang diikuti oleh semua pihak.
- Pengembangan nilai-nilai sosial budaya dikalangan warga pesantren secara lebih teratur. Termasuk dalam kegiatan ini adalah penciptaan sebuah badan yabg bertugas membuat penilaian periodik atas bahan-bahan pengajaran yang digunakan, dan proyek untuk mengusahakan penerbitan buku-buku wajib yang lebih sempurna bagi para santri.
- Kegiatan penelitian peranan pesantren di masyarakat, meliputi proyek-proyek berikut: berdirinya sebuah lembaga penelitian dan penyelidikan yang bersifat lanjut, penciptaan forum-forum bagi dialog yang konstan antara kalangan pesantren dan Lembaga-lembaga ilmu pengetahuan kita yang lainnya, serta berdirinya sebuah perpustakaan nasional yang mengumpulkan dan mengembangkan literatur tentang pesantren secara intensif. Dari inventarisasi pemikiran-pemikiran dari dan tentang pesantren yang akan muncul dalam literatur itu, akan dapat kita ketahui secara tepat bagaimana pengarahan kebangunan pesantren dapat dilakukan dengan cara sebaik-baiknya.
Demikianlah, serba sedikit telah dikemukakan sekadar pemikiran mengenai cara bagaimana kita harus memulai usaha dinamisasi pesantren, dalam usaha mana sudah tercakup proses modernisasi. Pemikiran yang diajukan, sebenarnya masih jauh dari pantas untuk dinamai sebuah konsep, dan memang ia tidak dibuat dengan tujuan demikian. Justru pemikiran yang dikemukakan baru merupakan rintisan kearah penyusunan sebuah konsep yang lengkap dan dapat dipertanggung jawabkan.
Mengingat watak rintisan dari pemikiran-pamikiran yang diajukan diatas maka dengan sendirinya tidak diperbincangkan dengan mendalam hakikat proses dinamisasi itu sendiri. Untuk mengemukakan analisis yang mendalam tentang bagaimana seharusnya proses dinamisasi itu berlangsung, masih diperlukan serangkaian kerja bertahap lagi. Pertama-tama, harus diadakan inventarisasi pemikiran yang ada tentang pesantren. Kemudian, harus dimiliki latar belakang pengetahuan mendalam tentang sejarah sosila bangsa kita semenjak dulu hingga sekarang, dikombinasikan dengan penelitian yang bertanggung jawab mengenai historiografi sejarah masuknya agama islam ke Indonesia. Yang terahir masih diperlukan pula penyeragaman peristilahan yang dipakai diantara kita.
Namu, secara ringkas akan dicoba untuk mengemukakan beberapa kilatan dasar pemikiran tentang bagaimana proses dinamisasi pesantren dapat dilangsungkan dengan efektif.
Proses Dinamisasi Pesantren
Dinamisasi pesantren mengambil landasan berikut bagi pengembanganya:
- Perbaikan keadaan dipesantren sebenarnya bergantung sebagian besar pada kelangsungan proses regenerasi yang sehat dalam pimpinannya. Yang dimaksud dengan regenerasi pimpinan yang berlangsung dengan sehat adalah pergantian pimpinan secara bertahap dan teratur, yang memungkinkan penumbuhan nilai-nilai baru dalam kehidupan pesantren secara konstan. Pimpinan muda di pesantren, bilamana disertakan dalam proses memimpin secara berangsur-angsur, akan mampu menciptakan perpaduan antara kebutuhan-kebutuhan praktis akan kemajuan (terutama material) dan antara tradisi keagaman yang mereka warisi dari generasi sebelumnya. Yang menjadi persoalan penting sekarang ini adalah bagaimana menyertakan pimpina-pimpinan muda pesantren dalam forum-forum semacam ini secara tetap dan masif.
- Prasyarat utama bagi suatu proses dinamisasi berluas lingkup penuh dan dalam adalah rekontruksi bahan-bahan pengajaran ilmu-ilmu agama dalam sekala besar-besaran. Baik kitab-kitab kuno maupun buku-buku pengajaran “modern” ala Mahmud Junus dan Hasbi Ash-shiddieqi, telah kehabisan daya pendorong untuk mengembangkan rasa kesejahteraan (sense of belonging) dalam beragama. Dari tingkatan dasar hingga perguruan tinggi, para santri disuapi dengan kaidah-kaidah yang sudah tidak mampu mereka cernakan lagi. penguasan atas kaidah-kaidah itu lebih menjadi maksimal, tidak memperlihatkan watak berkembang lagi. inilah yang justru harus dibuat rekonstruksinya, dengan tetap tidak meninggalkan pokok-pokok ajaran keagamaan yang kita warisi selama ini. Tradisionalisme yang masak adalah jauh lebih baik dari pada sikap pseudo-modernisme yang dangkal.
Rasanya, hanyalah dari dua pokok itulah proses dinamisasi pesantren dapat dilakukan dengan hasil memuaskan. Adalah tugas kita bersama untuk menjabarkannya lebih lanjut.