Manfaat Koperasi bagi Pesantren dan Lembaga Pendidikan Islam

Foto: Tiro.id https://tirto.id/koperasi-syariah-dalam-agama-islam-hikmah-manfaat-dan-tujuan-gv5S

Oleh:  K.H. Abbdurrahman Wahid

Pendahuluan

Pesantren adalah salah satu diantara Lembaga pendidikan yang paling sedikit mendapatkan perhatian di negeri kita, dan dengan demikian paling sedikit diselidiki dan diteliti. Dalam sejarahnya yang panjang, pesantren baru diselidiki oleh beberapa orang saja, hingga beberapa tahun terakhir ini. Baru dalam lima tahun terakhir ini dilakukan penelitian kolektif yang bersifat komprehensif atas Lembaga pendidikan yang mayoritasnya berada dipedesaan ini. Diantara literatur umum tentang pedesaan dan/atau pendidikan di negeri kita, baru ada dua buah buku yang khusus menyoroti peantren, yaitu “Profile Pesantren” dan “Pesantren dan Pembaharuan”. Buku pertama mencoba mengukur pengaruh pesantren atas kehidupan dipedesaan dan mengembangkannya kedalam kegiatan-kegiatan baru; sedangkan buku kedua mencoba mengenalkan typologi utama dari pesantren. Kedua buku yang baru bersifat rintisan ini sekarang telah menjadi buku standard bagi mereka yang ingin mengetahui pesantren dengan mendalam, karenanya dapat dibayangkan betapa penyelidikan dan penelitian tentang lembaga pendidikan ini baru berada pada tahap permulaan belaka.

Ada beberapa sebab bagi sedikitnya perhatian kepada pesantren itu. Pertama-tama, pendidikan di negeri ini hingga sekarang masih belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari watak elitis yang diwarisinya dari pendidikan kolonial. Bahwa pendidikan disini belum dapat mengembangkan pendidikan kejuruan yang menyediakan tenaga terlatih dalam skala massal, merupakan pertanda dari orientasi pendidikan yang serba elitis itu. Pendidikan masih terlalu ditujukan kepada pengembangan pengetahuan dan kecakapan klasik uang umumnya bersifat teoritis belaka, sedangkan  orientasi kepada pendaya-gunaan anak didik bagi perbaikan tarap hidup di pedesaan kebanyakan masih berupa percobaan dalam ukuran terbatas belak. Karenanya, tidak heranlah jika dikalangan para pemikir kebijaksanaan pendidikan tidak terasa kebutuhan untuk mengenal pesantren secara lebih dekat lagi, karena mayoritas pesantren adalah Lembaga pendidikan yang bersifat khas pedesaan.

Sebab yang kedua bagi sedikitnya perhatian itu adalah kesulitan untuk mengenal pesantren dari dekat. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang semula didirikan untuk mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan agama, pesantren memiliki dunianya sendiri, yang tidak mudah dimengerti oleh orang luar tanpa observasi langsung dalam jangka waktu lama.pada sebab ini dapat ditambahkan watak sub-kultural dari pesantren, sebagai salah satu alternatif bagi bangunan pendidikan yang tidak memenuhi aspirasi masyrakat sepenuhnya.

Sebab berikutnya adalah kesulitan dalam mengenal typologi pesantren, sehingga sangat sukar untuk melakukan penelitian atasnya. Begitu bebas masing-masing pesantren untuk menentukan variasinya sendiri, sehingga sulit untukmembuat sebuah klsifikasi pesantren berdsarkan typologi tertentu. Karena kerja pengenalan harus memiliki tujuan obyektif yang jelas batasan-batasannya, kelangkaan typologi ini membawa akibat sedikitnya perhatian kepada pesantren di kalangan dunia ilmu pengetahuan di negeri kita.

Sebab terakhir adalah karena masih kacaunya pendekatan yang di ambil dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di pedesaan. Di satu pihak diharpakan partisipasi luas dari bawah, tetapi dipihak lain bimbingan yang di berikan justru tidak mencerminkan harapan itu dalam banyak hal. Karena pesantren antara lain berfungsi sebagai katalisator timbulnya prakarswa dari bawah itu, dengan sendirinya sikap para petugas resmi yang diharuskan melakukan bimbingan itu lalu menjadi abivalen kepada pesantren. Abivalensi ini berarti sedikitnya dorongan untuk melakukan pengenalan mendalam.

Kini perhatian kepada pesantren telah menjadi cukup besar. Tetapi tambahnya perhatian itu tidak diimbangi oleh tersedianya pengetahuan dasar yang cukup tentang pesantren, sehingga maksud-maksud baik yang terkandung dalam pemberian perhatian itu jarang dapat tercapai, hal mana patut disesalkan. Karenanya, diharapkan forum seperti ini dapat turut memberikan sumbangan dalam pengenalan pesantren kepada masyarakat ilmiyah, minimal dalam mengemukakan reaksi positif atas dikenalnya ide koperasi di kalangan pesantren. Dengan reaksi positif itu dan interaksi yang ditimbulakannya antara pesantren dan gerakan umum koperasi di negeri kita, akan semakin terciptalah kematangan pandangan dan sikap kepada persoalan koperasi itu sendiri di kalangan bangsa kita.

Peran Sosial Pesantren

Perhatian yang diberikan kepada pesantren sebenarnya menunjukkan, bahwa dilapangan dan dibidangnya sendiri, ia memiliki peran cukup berarti. Peranan itu dapat dikategorisir menjadi peranan yang murni bersifat keagamaan dan peranan yang tidak hanya bersifat keagaman belaka. Peranan pertama diatas bukanlah menjadi tujuan pembicaraan kita kali ini, karenanya pembicaraan selanjutnya akan ditujukan kepada peranan yang tidak hanya bersifat murni keagaman itu. Peranan ini pada dasarnya ada yang bersifat kultural dan ada yang bersifat sosial-ekonomis. Peranan kulturalnya yang pertama adalah penciptaan pandangan hidup yang bersifat khas santri, yang dirumuskan dalam sebuah tata nilai (value system) yang lengkap dan bulat.  Tata nilai itu berfungsi sebagai pencipta keterikatan satu sama lain (homogenitas) dikalangan warga pesantren sendiri, disamping berfungsi sebagai alat penyaring dan penyerap nilai-nilai baru yang datang dari luar. Sebagai alat pencipta keguyuban masyarakat, tata nilai yang dikembangkan itu mula-mula dipraktekkan dalam lingkungan intern pesantren sendiri, antara ulama/kyai/ajengan/tuan guru dan para santrinya maupun antara sesama santri sendiri. Kemudian ia dikembangkan keluar lingkungan pesantren, mula-mula dalam bentuk pengaturan hubungan antara warga pesantren dan orang-orang yang berada diluarnya, dan terakhir secara luas di masyarakat yang mendapatkan pengaruh kuat dari pesantren.

Dimasa lampau, pandangan hidup yang dibentuk oleh tata nilai yang dikembangkan pesantren itu dapat dilihat manifestasinya dalam kesediaan untuk menerima hidup yang bersahaja, kesediaan untuk memberikan pengorbanan besar bagi tercapainya cita-cita (kebiasaan terikat), dan kebanggaan kepada cara hidup sebagai santri itu sendiri. Dari sikap hidup seperti ini tumbuhlah dua hal yang menonjol: ketundukan kepada ulama dan orientasi kehidupan yang lebih bersandar kepada kemampuan sendiri (self reliance). Secara kongkrit, kedua hal ini lalu di pusatkan kepada kesediaan untuk membiayai sistem pendidikan pesantren dan kepada pengembangan watak tolong-menolong (filul birri) yang bersifat kolegial, yang memang sejajar dengan watak gotong-royong yang telah ada dalam kehidupan masyarakat semenjak dahulu kala.

Secara sosial ekomomi, tata nilai yang bersifat kultural itu diterjemahkan kedalam serangkaian etik sosial yang bersifat khas santri pula. Etika sosial yang bersifat khusus itu antara lain dapat ditemui dalam kecenderungan untuk mengutamakan kolegialitas diwaktu melakukan transaksi perdagangan, kecenderungan untuk memulai usaha dari modal yang kecil (yang antara lain disebabkan oleh tata nilai yang tidak  menyetujui kredit berbunga), kurangnya perhatian kepada usaha akumulasi modal sebagai tujuan berniaga, dan kurangnya kesediaan untuk merintis usaha-usahan berjenis baru. Demikian pula, berkembang etik sosial yang berwatak pengayoman (patronage), dimana mereka yang merasa lebih beruntung hidupnya berkewajiban untuk meratakan sebagian keuntungan yang diperoleh diantara para pekerja dan pembantu yang hidupnya serba kekurangan, antara lain melalui sistem zakat, sedekah dan sebagainya. Etik sosial seperti ini menghasilkan struktur kehidupan masyarakat yang berwatak populis, yang dilestarikan melalui ajakan berbelaskasihan (rifqah) kepada mereka yang ditimpa kemalangan dan kekurangan.

Watak populis dari etik sosial ini merupakan watak utama pula dari sistem pendidikan di pesantren itu sendiri. Dimasa lampau, sistem pendidikan di pesantren tidak didasarkan kepada kurikulum tertentu yang digunakan secara luas, melainkan diserahkan kepada persesuaian yang elastis antara kehendak kyai dan santrinya secara individual. Dengan demikian soal pembiyaan, lamanya belajar, kurikulum dan buku wajib (text books) yang di pelajari disesuaikan sepenuhnya dengan kemampuan fisik dan kemampuan finansial dari seorang santri. Pengikat satu-satunya bagi kesemua unsur yang saling berubah perimbangannya itu adalah filsafat pendidikan dan tujuan umum yang dimilikinya sebagai lembaga pendidikan, yang biasanya ditekankan kepada pencapaian kemampuan menularkan agama (tabligh) kepada orang lain dikemudian hari. Dengan demikian kita masih dapat melihat kepada contoh seperti pesantren Darussalam di Banyuwangi dewasa ini, umpamanya, yang memiliki 4.000 orang siswa santri yang diwaktu pagi bekerja ditanah-tanah pertanian dan hutan sekitarnya, dan baru belajar pada waktu lain.

Sudah tentu tidak kesemua sifat dan watak yang di bentangkan diatas berkembang spenuhnya dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, bahkan sebagian besar telah mengalami pelarutan dalam perkembangan cepat yang terjadi dalam dua dasa warsa terakhir ini. Selanjutnya akan diperiksa akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan yang terjadi itu, guna lebih dapat memahami arti koperasi bagi kehidupan pesantren dimasa datang.

Pesantren dan Perubahan

Untuk memahami perubahan-perubahan dalam pola pendidikan di pesantren, haruslah diketahui terlebih dahulu sebab-sebab yang mendorong terjadinya perubahan itu sendiri. Sebab utamanya adalah keinginan sangat kuat pada permulaan abad ini untuk menerapkan sistem sekolah pada pendidikan dipesantren. Dimulai oleh beberapa pesantren di Sumatera dan pesantren Tebuireng di Jawa Timur, sistem sekolah di pesantren itu segera berkembang dengan  pesat, sehingga dewasa ini tinggal sedikit sekali pesantren yang tidak menggunakan sistem sekolah. Dinamai madrasah, sistem sekolah di pesantren itu berusaha menggabungkan pelajaran pengetahuan agama dan pengetahuan non-agama dalam kurikulumnya. Tetapi keseragaman kurikulum tetap belum dapat diterapkan diantara mayoritas madrasah hingga saat ini, yang berhasil hanyalah dibeberapa puluh madrasah negeri yang diasuh oleh sejumlah pesantren belaka.

Sebab lain adalah terjadinya pergeseran tidak terasa dalam tujuan pendidikan di pesantren, pergeseran mana mau tidak mau lalu mengubah arah yang dituju oleh sistem pendidikan di pesantren secara keseluruhan. Kalau dimasa lampau pendidikan di pesantren ditujukan pada penciptaan pengertian merata tetang ilmu-ilmu pengetahuan tentang agama maka dalam dua dasa warsa terahir ini tujuan tersebut telah berubah menjadi pendalaman ilmu-ilmu pengetahuan agama untuk dijadikan landasan menempuh karir tertentu, umumnya sebagai tenaga pengajar agama. Dengan demikian, watak pendidikan pesantren lalu berubah menjadi pencapaian prestasi skolastik tertentu, bukannya universalisasi pandangan hiddup yang dilandasi oleh suatu nilai tertentu. Perubahan drastis dalam tujuan pendidikan di pesantren ini akhirnya berakibat semakin kuatnya keinginan untuk menciptakan tenaga-tenaga elit dalam ilmu keagamaan di beberapa pesantren, dengan akibat lain lanjut pada kebutuhan penegerian madrasah yang mereka miliki. Watak pendiddikan di pesantren yang semula populis, dimana masing-masing santri dapat belajar dengan tidak terhalang oleh kurangnya kemampuan finansial, kini menjadi pendidikan terbatas dengan waktu dan program terbatas pula. Program pendidikannya yang semula bersifat elastis, lalu menjadi kaku dan seragam.

Banyak lagi sebab-sebab lain yang dapat dikemukakan, tetapi kesemuanya itu hanya bersifat skunder dan merupakan kelanjutan belaka dari kedua sebab utama diatas. Perubahan pola pendidikan yang ditimbulkan oleh sebab-sebab diatas mengambil arah utama berupa munculnya elitisme dikalangan pesantren. Proses ini dimulai oleh tawaran pemerintah untuk menegrikan beberapa madrasah di sementara pesantren utama, semua sebagai pilot project untuk membuat madrasah teladan. Walaupun jauh sebelum itu telah ada juga salah dua buah pesantren dengan sadar menyelenggarakan sistem pendidikan elitis, seperti pada pesantren Gontor (Pondok Modern Darussalam) di Ponorogo, tetapi ia belum merupakan gejala umum, sampai saat dimulainya proyek penegrian madrasah yang disebutkan diatas. Dengan adanya proyek tersebut, diploma madrasah lalu dipisahkan antara “diploma negara” dan “diploma sekolah”. Timbullah asumsi bahwa pemegang diploma negara berhak atas civil effecten tersendiri, dan kepada mereka diberi hak untuk mengajukan lamaran menjadi pegawai negeri. Proses ini sekarang telah berjalan sangat jauh sehingga tampaknya sistem pendidikan lama yang bebas dan elastis di pesantren menjadi terpojok.

Dengan demikian, sistem pendidikan dipesantren lalu mengalami krisis identitas luar biasa. Disatu pihak, pesantren tetap memiliki watak populisnya, karena elastisnya program pendidikan individual yang telah berlangsung selama berabad-abad, minimal dalam pengajaran ekstrakulikuler berbentuk pengajian. Dipihak lain, kencenderungan untuk menumbuhkaan pendidikan ber-watak elitis juga berjalan cukup kuat. Krisis identitas sebagai akibat dari sulitnya mendamaikan kedua watak yang saling bertentangan ini, hingga sekarang belum teratasi. Bukti nyata dari adanya krisis identitas ini adalah diambilnya kebijakan demi kebijakan yang semuanya bersifat trandisional oleh pemerintah dalam menangani persoalan madrasah dalam lingkungan pesantren.

Jelaslah dengan demikian bahwa proses elitisasi sistem pendidikan di pesantren tidak dapat dibiarkan lebih jauh tanpa timbulnya akibat fundamental dikemudian hari. Ketiadaan pencegahan hanya akan berarti semakin parahnya krisi itu berlangsung, hal mana berarti keparahan pada salah satu sector pendidikan nasional pula. Usaha pencegahan itu harus dimulai dengan mendudukan kembali sistem pendidikan pesantren pada tempatnya yang wajar, yaitu sebagai sistem pendidikan yang berwatak pedesaan. Dalam kasiss-kasus tertentu, dimana beberapa pesantren harus disesuaikan dengan alokasinya di daerah perkotaan atau dengan aspirasi tertentu, dapat saja dikembangkan beberapa jenis fariasi skala kecil yang bersifat individual. Didifersivikasi yang dihasilkannya justru akan semakin menonjolkan watak umum populis dari sistem pendidikan itu sendiri.

Proyek Penyehatan Pesantren

Usaha untuk menyehatkan kembali sistem pendidikan di pesantren sebenarnya telah dilakukan, walaupun belum berbentuk program umum berskala luas yang lengkap, matang, dan bulat. Dibawah ini akan dilakukan tinjauan selayang pandang atas beberapa jenis penggarapan yang telah dilakukan:

  1. Proyek Keterampilan.

Proyek ini dilancarkan oleh Menteri Agama yang sekarang, Prof. Dr. H.A. Mukti Ali. Asumsi dasarnya adalah pengikisan proses elitisasi yang telah terlanjur berjalan, dengan menegakkan kembali arti nilai kecakapan dan keterampilan melakukan kerja tangan dalam kehidupan pesantren. Dengan demikian diharapkan dapat di cegah arus semakin deras untuk menciptakan intelektualisme dangkal yang bersifat verbalistis di pesantren, yang merupakan akibat utama dari elitisasi watak pendidikannya itu. Dengan proyek keterampilan ditegakkan kembalai penghargaan kepada kerja tangan dan kepada kemampuan berdiri sendiri (self reliance) yang secara berangsur-angsur telah mulai hilang di pesantren. Penghargaan kepada kerja dan kemampuan berdiri sendiri itu pada gilirannya akan menciptakan pandangan yang lebih sesuai dengan kenyataan hidup yang ada disekeliling  pesantren. Diharapkan, dengan pengenalan keterampilan dalam bentuk bermacam-macam, suatu jenis usaha dalam bentuk koperasi, pesantren akan dapat mencapai tujuan sampingan berupa pembekalan para santri dengan keterampilan kerja yang akan mereka perlukan dalam kehidupan nanti. Proyek keterampilan itu dilaksanakan dalam sebuah program komprehensif yang meliputi bidang-bidang pertanian, peternakan, pertukangan dan jasa-jasa. Termasuk dalam program ini menciptakan koperasi -koperasi santri, sebagai wahana bagi pengenalan Lembaga-lembaga kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat dan harus dikelola sebaik-baiknya dalam kehidupan pedesaan.

Kekurangan utama dari proyek keterampilan ini adalah watak tambal-sulam yang dimilikinya, apabila tidak benar-benar dapat diintegrasikan kedalam struktur pengajaran yang dimiliki oleh pesantren secara keselururhan. Tercantumnya mata-mata pelajaran keterampilan dalam kurikulum pendidikan di pesantren tidak menjamin adanya keserasian (komptabilitas) dengan mata-mata pelajaran lain. Apalagi kalau proyek itu tidak ditawarkan dalam program yang memiliki tujuan umum yang lebih ideal, sehingga tidak memiliki pula kerangka pemikiran tertentu, umpamanya saja dalam ruang lingkup penyebaran teknologi madya yang tepat (intermediate and appropriate technology) kepada masyarakat pedesaan. Koperasi adalah satu-satunya aspek proyek keterampilan yang tidak memiliki watak tambal-sulam ini, sehingga sebenarnya ia memiliki kemungkinan besar umtuk diterima oleh pesantren dengan mudah. Dengan demikian, disamping peranannya semula sebagai salah satu bentuk keterampilan, ia juga berperan sebagi rintisan yang berwatak melunakkan (soft ware) guna memungkinkan masuknya aspek-aspek lain dari program keterampilan untuk masuk ke dalam pesantren. Peranan ganda dari koperasi ini harus di fahami benar-benar, jika diinginkan program keterampilan dapat diterima secara keseluruhan oleh pesantren.

2. Proyek Kelompok Kerja Penyuluhan,

Proyek ini, yang dewasa ini di coba oleh LP3ES di beberapa pesantren, dimaksudkan sebagai perpaduan antara ide dasar dari keterampilan dan pemberian penyuluhan kepada kelompok-kelompok profesi bermacam-macam di pedesaan. Perpaduan itu menghendaki ditinggalkannya pendekatan atas corak pendidikan khusus dibidang ketrampilan, melainkan lebih ditekankan pada pengembangan potensi manusiawi (development of human resources) dari para santri sebagai penyuluh masyarakat pedesaan, melalui upaya peningkatan dan pengembangan profesi masing-masing kelompok. Yang di pentingkan adalah menumbuhkan pengenalan atas kebutuhan kongkritnya masyarakat di bidang profesi para warganya di pedesaan, dan membeimbing mereka untuk menggali potensi sendiri yang telah ada, guna memenuhi kebutuhan tersebut. Pemberian bekal berupa pengetahuan dasar tentang typologi kehidupan yang di kenal oleh masyarakat pedesaan merupakan prioritas utama, sedangkan pendidikan ketrampilan hanyalah merupakan salah satu alat belaka dalam kerja penyuluhan oleh pesantren itu.

Proyek ini sebenernya sangat sulit untuk dilaksanakan secara massal, karena pendekatan multi-disipliner yang digunakannya membutuhkan kemampuan kerja dan pandangan luas dari para pengelolanya. Masih harus dilakukan feasibility studies tentang kemungkinan menjadikan proyek ini sebagai sebuah program umum berskala luas. Tetapi yang jelas, dalam proyek seperti ini koperasi memainkan peranan sentral, karena kerja penyuluhan memerlukan penyediaan bahan-bahan penyuluhan bermacam-macam. Begitu pula dibutuhkan organisasi penyaluran hasil produksi proyek penyuluhan itu, minimal sebagai tempat latihan pemasaran atas dasar-dasar management pemasaran yang benar. Kedua kebutuhan penyediaan bahan-bahan penyuluhan dan tempat latihan pemasaran ini dapat dipenuhi oleh koperasi santri.

Kesulitan lain yang tidak kurang beratnya adalah keharusan terciptanya kerajasama erat antar kerja penyuluhan oleh pesantren ini dan kerja-kerja penyuluhan lain yang telah berjalan di pedesaan, sehingga nantinya tidak ada perangkapan antara kedua jenis kerja itu. Tetapi juga harus dijaga agar ada perbedaan cukup fundamental antara keduanya, sehingga penyulahan dari pesantren tidak menjadi sepenuhnya paralel dengan penyuluhan-penyuluhan lain. Pembedaan (differensiasi) antara keduanya dapat dilakukan dengan lebih nyata, jika kepada kerja penyuluhan oleh para santri ini dapat dimasukkan unsur motivasi keagamaan kepada penduduk pedesaan, agar mereka menerima pengembangan profesi mereka sebagai perintah agama juga. Pengembangan etik sosial membangun yang timbul dari motivasi ini menjadi tugas sampingan dari kerja penyuluhan, karenanya dapat dibayangkan sulitnya pengelola suatu proyek dari jenis ini. Namun hasil yang dapat dicapai jauh akan lebih besar dan mendasar, jika berani diambil Prakarsa dibidang ini.

3. Proyek Pengelolaan Sekolah Non-Agama Oleh Pesantren

Proyek ini masih berupa gagasan mentah yang bersifat global, belum diperinci lebih lanjut. Maksud proyek ini adalah mendewasakan pesantren dengan menyerahkan sebagian tugas pengelolaan sekolah-sekolah lanjutan non-agama di pedesaan ketangannya. Pada tahap permulaan, dicoba tugas pengelolaan sekolah-sekolah lanjutan dengan mencari dan mengembangkan jenis-jenis baru, yang lebih sesuai dengan kebutuhan kehidupan pedesaan. Tujuan akhir dari proyek ini adalah menjamin peranan pesantren  dalam penciptaan sistem pendidikan tunggal di negeri ini secara bertahap. Termasuk dalam penciptaan sistem sedemikian ini adalah penetapan sebuah tahap transisional, dimana madrasah dipertahankan sebagai integral dan komprehensif, yang dikemudian hari akan diterapkan dalam sistem pendidikan tunggal itu sendiri.

Kelemahan gagasani ini adalah sulitnya dilakukan percobaan dalam proyek berskala kecil disatu dua pesantren belaka, sebelum disusun sebuah program bimbingan masal. Padahal percobaan untuk memulai proyek ini secara individual di beberapa pesantren akan banyak dihambat oleh kelangkaan bimbingan, dan akan penuh dengan pengulangan kesalahan oleh sebuah proyek lain. Variable tidak tetep dari percobaan-percobaan itu kan berjumlah sangat besar, sehingga akan sukar dibuat kesimpulan-kesimpulan umum yang dapat melandasi penetapan sebuah kebijaksanaan yang bersifat luas.

Walaupun demikian, telah ada beberapa pesantren yang melaksanakan proyek percobaan, seperti berdirinya SMP,dan SMA di pesantren-pesantren Cipasung (Tasikmalaya), Paiton (Kraksaan), Rejoso dan Tebuireng (dua-duanya di Jombang). Percobaan yang dilakukan masih berada pada tahap permulaan, dan dilaksanakan berdampingan dengan pengelolaan sistem madrasah yang telah ada. Dalam tahap selanjutnya, koperasi dapat dijadikan wahana bagi pengembangan sebuah mata pelajaran baru, yaitu kewira-swastaan madya bagi pedesaan. Mata pelajaran baru ini akan mencoba mengembangkan kewira-swastaan berskala kecil denga titik berat padakemampuan mengusahakan produksi pengolahan hasil pertanian, dengan demikian ia akan lebih memberikan perhatian kepada usaha mengkaitkan penguasaan teknologi masya dengan kemampuan melihat kemungkinan pemasaran jenis-jenis baru dari pengolahan hasil pertanian. Koperasi disini akan memegang peranan kunci, sebagaimana dapat dilihat pada koperasi para petani dinegara-negara yang telah maju.

Penutup

Dalam memenuhi tugasnya sebagai Lembaga pengabdi masyarakat, pesantren berkewajiban menegakkan relevansi agama bagi kehidupan di masa modern ini. Agama tidak cukup hanya bagi kehidupan dimasa modern ini. Agama tidak cukup hanya dimanifestasikan dalam rangkaian  upacara-upacara keagamaan belaka, seperti sering dipahami kebanyakan orang dalam mengagungkan arti agama itu sendiri dalam kehidupan. Pesantren harus merumuskan kembali kerja-kerja keagamaan apa yang petut dilakukan oleh masyarakat, agar agama itu sendiri memperoleh ketundukkan karena kesadaran para warga masyarakat.

Untuk itu, pesantren harus mengarahkan kehidupan beragama kepada tujuan menciptakan seperangkat sikap hidup berikut di kalangan para pemeluknya:

  1. Memiliki rasa kasih sayang kepada sesama makhluk hidup dalam arti yang luas dan dinamis. Termasuk dalam rasa kasih ini adalah kemampuan untuk memahami pendirian orang lain, baik seagama ataupun tidak. Dengan rasa kasih ini setiap anggota masyarakat harus merasa terlibat kepada tugas mengangkat derajat sesama manusia dari keterbelakangan dan kekurangan, sehingga dengan rasa kasih itu pula nantinya dapat ditegakkan keadilan sosial dalam artian perataan kesejahteraan;
  2. Berpegang kepada nilai-nilai menatap yang mampu membedakan antar yang baik dan yang buruk, antar mana yang benar dan salah, antara mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, terutama dalam masa transisional seperti yang sedang melanda kehidupan bangsa kita dewasa ini. Pedoman berupa nilai-nilai moral yang menatap itu akan mampu membuat pemeluk agama untuk tetap bertahan pada pendiriannya, di waktu orang lain merasa resah dan kebingungan dalam mencapai jalan kehidupan mana gerangan yang harus ditempuh. Demikian pula, dengan nilai-nilai menetap itu ia akan mampu meninjau dengan jernih langkah-langkah perubahan yang harus diambilnya, tanpa merusak sendi-sendi kehidupannya sendiri secara keseluruhan. Dengan kata lain, nilai-nilai kehidupan yang digalinya dari ajaran agama akan membuatnya senantiasa mencari keseimbangan antara tantangan yang harus dihadapi dan responsi yang baik untuk menjawabnya. Koperasi adalah suatu sarana yang baik untuk menumbuhkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan material dan pengabdian kepada sesama, sehingga sudah sewajarnya jika pesantren menggunakan koperasi untuk keperluan pencarian nilai-nilai yang menuju kearah keseimbangan tersebut;
  3. Mampu mengatur kehidupan sendiri, seorang memeluk agama  merasakan kebutuhan hidup duniawi yang sama besarnya dengan kebutuhan bagi hidup ukhrawinya kelak. Bahkan pemenuhan kebutuhan hidup duniawi seringkali mengambil porsi lebih besar dari perhatianya. Kebutuhan hidup duniawi ini selalu menjuruh kepaada keinginan memilki barang konsumtif yang lebih mewah, seringkali dengan tidak mengindahkan baik atau buruknya cara yang dipergunakan guna memperoleh barang yang diinginkan itu. Dengan memiliki kesadaran akan kerusakan besar yang akan diderita oleh watak hidupnya dari penggunaan cara-cara tidak wajar dalam pemenuhan kebutuhannya, seorang pemeluk agama akan mampu mendasarkan pola hidupnya atas pemenuhan kebutuhan essensial yang sesuai dengan kemampuan yang ada. Kemampuan untuk membatasi kebutuhan ini pada gilirannya akan membawanya kepada kesadaran akan perlunya pengaturan kehidupan masyarakat yang mempertimbangkan faktor-faktor penggunaan sumber-sumber alam secara bijak. Koperasi adalah alat untuk menumbuhkan kesadaran membatasi kebutuhan sesuai dengan kemampuan yang ada, sehingga dapat dipergunakan oleh pesantren dalam kerja menumbuhkan kesadaran sedemikian ini di kalangan masyarakat;
  4. Menyadari kemampuan serba terbatas dari manusia sebagai makhluk, bila dihadapkan kepada keagungan kekuasaan Penciptanya. Dalam jangka panjang, kesadaran ini akan membawa seorang pemeluk agama kepada kemampuan memperlakukan ilmu pengetahuan dan hasil yang dibawakannya secara wajar dan tidak berlebih-lebihan. Ini akan menghindarkan dirinya dari menjadi budak ilmu pengetahuan yang dimilikinya, yang makin mengasingkanya dari hubungan kasih dengan sesama makhluk. Melalui pendekatan yang berdasarkan keimanan kepada kekuasaan Tuhan, ia akan merasa adanya keterlibatan dengan soal-soal yang jauh lebih penting daripada kebutuhan dan tempatnya sendiri dalam kehidupan. Keterlibatan ini kan membawanya kepada sikap untuk menghargai, bahakan kalau perlu memperjuangkan, upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu kemelaratan, kenistaan, ketidak adilan dan penindasan. Manusia dipandangnya adalah makhluk yang mulia. Yang harus diperlakukan sesuai dengan kemulyaannya itu, sehingga harus ditunjang setiap upaya untuk menaikkan derajatnya. Karenanya, sikap sedemikian dalam jangka panjang berarti timbulnya upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu eksploitasi tidak wajar oleh sesama manusianya. Adakah media lebih baik untuk mengembangkan hubungan kerja non eksploitatif selain koperasi?

Demikianlah, dalam garis besar telah ditinjau kegunaan kopersai bagi pesantren, baik dalam konteks tempatnya dalam usaha penyempurnaan pesantren sendiri maupun dalam rangka pemenuhan tugas pesantren untuk melayani masyarakat diluarnya. Koperasi jelas sesuai sepenuhnya dengan dan menjadi bagian dari kedua jenis kerja tersebut.

Karenanya, dengan menyadari sepenuhnya kegunaan koperasi  dan penyesuainnya dengan arah kehidupan pesantren sendiri, sudah sewajarnya jika oleh pesantren diberikan perhatian sungguh-sungguh kepada pengembangan koperasi dalam lingkungannya. Apabila dengan uraian diatas perhatian itu dapat tergugah, tercapailah sudah tujuan mengemukakannya dalam forum ini.

Judul yang ditetapkan untuk prasarana ini sebenarnya tidak hanya bersangkut-paut dengan kegunaan koperasi bagi pesantren belaka, tetapi juga bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. Tetapi dua alasan pokok membuat tinjauan yang dilakukan diatas hanya terpusat pada soal kepesantrenan, yaitu;

  1. Kedudukan pesantren yang begitu sentral dalam struktur pendidikan Islam di negeri kita menuntut pemusatan perhatian seperti itu.
  2. Apa yang dikemukakan dalam hubungan dengan pesantren, dalam garis besarnya juga berlaku bagi Lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.