Standardisasi Sarana Ilmiah di Pondok Pesantren

Foto: Depokpos https://www.depokpos.com/2023/01/pengenalan-kurikulum-merdeka-belajar-pada-santri-pondok-pesantren-menggunakan-modul-ajar/4/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pembukaan

Judul prasarana ini meliputi lapangan Pembahasan yang sangat luas, karena dalam bidang sarana ilmiah dapat dimasukkan semua sarana pendidikan yang tidak termasuk sarana Fisik Murni. Tetapi tempat dan waktu tidak memungkinkan pembahasan seperti itu dalam uraian sesingkat ini. Karenanya, pembicaraan hanya akan dipusatkan pada standardisasi (penyeragaman) kurikulum di pondok pesantren. Penyeragaman yang dimaksudkan juga merupakan pembakuan relatif yang tidak bersifat mutlak, karena bukanlah maksud prasarana ini untuk memaksakan sebuah kurikulum tunggal bagi semua pesantren. Hal itu adalah suatu upaya yang sia-sia belaka, mengingat keaneka ragaman sangat luas yang terdapat dikalangan pesantren dewasa ini, terbawa oleh latar belakang dan aspirasi masing-masing.

Tetapi, bagaimanapun juga sangat terasa kebutuhan akan pembakuan kurikulum. Sangat sulit dilakukan dan direncanakan upaya pengembangan oleh suatu badan yang mengelola pengembangan pondok pesantren, tanpa adanya standard tertentu dalam kurikulum pesantren. Penyediaan buku-buku pealajaran, pengembangan program sektorila seperti pendidikan kepramukaan dan sebagainya, penetapan fungsi-fungsi kemasyarakatan dari pondok pesantren, kesemuanya itu sangat bergantung kepada adanya pembakuan kurikulum. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bagaimana departemen P dan K mampu mengelola pengembangan pendidikan sekolah non Agama karena telah adanya pembakuan kurikulum dari SD hingga Perguruan Tinggi.

Sistem pendidikan di pondok pesantren masih belum memiliki kesamaan dasar di luar penggunaan buku-buku wajib (Kutubul Muqarrarah) yang hampir bersamaan atau diluar meteri pelajaran yang berdekatan. Keragaman ini timbul sebagai akibat dari ketidak samaan dalam sistem pendidikannya, dimana ada pesantren dengan sistem pendidikan berupa pengajian tanpa sekolah/madrasah, ada pesantren yang hanya menggunakan sistem pendidikan madrasah secara klasikal, dan ada pula pesantren yang menggabungkan antara sistem pengajian dan sistem madrasah secara non-klasikal. Pada sistem madrasah non-klasikal ini, materi pelajaran diberikan secara ber-urut dari kitab-kitab lama yang sudah umum terpakai dalam pengajian. Karena itu, perlu diulang sekali lagi, bahkan tidak mungkin ada penyatuan kurikulum di antara pondok-pondok pesantren selama masih adanya perbedaan-perbedaan cukup besar dalam sistem pendidikan yang dianut.

Pembakuan yang dimaksud oleh prasarana ini adalah menciptakan beberapa model kurikulum sederhana yang memungkinkan Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan disebut sebagai pondok pesantren, terlepas dari ada atau tidaknya sistem madrasah didalam nya. Model-model itu dapat digunakan baik untuk pondok pesantren yang hanya menggunakan sistem pengajian belaka, maupun dapat dituangkan kedalam kurikulum sekolah/madrasah, bagi Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan non-klasikal. Bagi mereka yang menggunakan sistem klasikal model-model ini tidak berlaku, karena bagi mereka telah tersedia beberapa model yang cukup tinggi mutunya, seperti kurikulum KMI di Gontor dan Pabelan.

Ketentuan Kurikulum Pesantren

Kepentingan pembuatan model-model kurikulum itu adalah untuk menyediakan tingkatan ilmiah minimal bagi pengetahuan Agama di pondok pesantren. Dengan tercapainya tingkatan minimal itu, pondok pesantren bersangkutan dapat memasukkan unsur-unsur pendidikan non-agama kedalam kurikulumnya, tanpa membahayakan kelestarian tugas pondok pesantren sebagai pengemban ilmu-ilmu agama yang dilandasi oleh ketiga unsur iman, Islam dan ihsan. Salah satu penghambat utama bagi penerimaan mata pelajaran non-agama di sementara pondok pesantren selama ini adalah ketakutan akan semakin hilangnya fungsi pengembangan ilmu agama ini. Padahal, tanpa ilmu agama yang tertuang dalam kurikulum yang bulat, alumni yang dihasilkan ditakutkan tidak akan memiliki kelengkapan semua unsur-unsur ilmu agama. Karena itu, prasarana utama dan model kurikulum yang dibakukan haruslah berupa terwakilnya semua unsur ilmu agama secara minimal didalamnya. Pengetahuan dasar yang cukup tentang hukum-hukum syara’ pengetahuan alat-alat bahasa Arab yang memungkinkan alumni melanjukan pelajaran dengan kekuatan sendiri. Penguasaan dasar-dasar sekolastisisme seperti mantiq dan balaghoh (logika dan retorika), kesemuanya itu merupakan komponen dasar dari kurikulum yang akan di bakukan modelnya itu.

Beberapa ketentuan haruslah dijadikan batasan dalam penyusunan model-model kurikulum dimaksud. Pertama, ketentuan untuk menghindarkan pengulangan (‘adamuttikrar), sepanjang tidak dimaksudkan untuk pendalaman (ta’ammuq) dan penjenjangan (tadarruj). Dengan demikian, dapat dihindarkan pemborosan waktu, karena bagaimanapun tingkatan yang ingin dicapai oleh model-model kurikulum itu adalah tingkatan minimal dalam pengetahuan agama.

Ketentuan kedua adalah pemberian tekanan pada latihan-latihan (tamrinat), karenanya buku yang dipakai diusahakan yang seringkas mingkin dalam ilmu-ilmu alat. Ketiga, tidak dapat dihindari adanya lompata-lompatan yang tidak berurutan dalam penetapan buku-buku wajib (kutubul muqararah) selama masa pendidikan darir tahun  ke tahun. Sebagai misal, dari Al-Jurumiyah di tahun pertama, melalui AL-‘Amriti di tahun kedua. Dan disudahi dengan Alfiah untuk Nahwu di tahun ketiga, seperti yang tercantum dalam kurikulum pondok pesantren Tegalrejo di Magelang, tanpa menggunakan Al-Muttammimah dan kitab-kitab pertengahan lainnya yang sejenis. Keempat kurikulum tidak terlalu ditekankan pada buku-buku wajib tentang keutamaan akhlaq (fadlailul a’mal), karena tujuan mencapai standard minimal tadi.

Kurikulum Pesantren: sebuah tawaran

Dengan Melihat kepada ketentuan-ketentuan di atas, dapatlah dirumuskan hal-hal berikut:

  1. Pemberian waktu terbanyak dilakukan kepada unsur nahwu-shoro dan fiqih, karena kedua undur ini masih memerlukan ulangan (tikrar), setidak-tidaknya untuk separoh dari masa berlakunya kurikulum;
  2. Mata pelajaran lain hanya diberikan selama setahun tanpa diulang pada tahun-tahun berikutnya;
  3. Kalau diperlukan, pada tahun-tahun terakhir dapat diberikan buku-buku utama (kutubul mithowwalah) seperti shahih Bukhari matau Muslimin untuk hadits atau Ihya’ untuk tashawuf. Dalam keadaan demikian pelajaran setahun hanya dipusatkan pada penguasaan buku utama tersebut, yang diajarkan selam beberapa kali dalam sehari, hingga selesai secara keseluruhan dalam satu tahun saja.

Dengan melihat kepada ketentuan-ketentuan di atas dapatlah dibuat rumusan berikut untuk kurikulum 6 tahun:

  1. Tahun pertama: nahwu, fiqih, Sharaf, tauhid;
  2. Tahun kedua: nahwu, fiqih, Sharaf, tauhid;
  3. Tahun ketiga: nahwu, fiqih, Sharaf, tauhid;
  4. Tahun keempat: fiqih, balaghah, tafsir;
  5. Tahun kelima: mantiq, ushul fiqh dan hadits;
  6. Tahun keenam: hadits dan tashawuf.

Sudah tentu dirasakan banyak lobang pada rumusan di atas, seperti tidak adanya unsur baru dalam bahasa Arab (lughah hadutsah) yang terdiri dari qira’ah, isnya, muhadatsah, dsb. Tetapi memang rumusan di atas ditujukan kepada sistem pendidikan non-klasikal yang tidak mementingkan unsur-unsur baru tersebut. Unsur-unsur baru itu dapat saja dijadikan bagian integral dari mata-mata pelajaran di atas (dalam bentuk tamrinan dsb), maupun  dijadikan maupun dijadikan kegiatan aplikatif yang bersifat extra kurikuler.

Disini dapat dikemukakan sebuah model yang diambil dari kurikulum pondok pesantren Tegalrejo, yang memiliki jam belajar tiga sampai lima jam pelajaran/120 menit:

  1. Tahun pertama: AL-Aj jurumiyah, Safinatunnajah, Hidayatussibyan;
  2. Tahun kedua: Al-amriti, taqrib, assilatutasrifiah;
  3. Tahun ketiga: Alfiyah, minhajil qawim;
  4. Tahun keempat: Fathulwahab, jauharatul makmun;
  5. Tahun kelima: Mahalli, salah satu kitab mantiq;
  6. Tahun keenam: lathaiful syarat, al-bukhari;
  7. Tahun ketujuh: Ihya’.

Model dari kurikulum Tegalrejo ini tidak sama seluruhnya dengan rumusan di atas, tetapi bagaimanapun juga ia telah berhasil memenuhi standard minimal pengetahuan agama yang wajib disediakan oleh pondok pesantren. Karenanya, dengan perubahan disana-sini model Tegalrejo tersebut dapat dikembangkan menjadi salah satu diantara model-model yang akan dijadikan upaya pembakuan kurikulum pesantren. Kelebihan  dari model Tegalrejo ini adalah sedikitnya jumlah guru dan ruangan kelas yang diperlukan. Dengan kerangka yang demikian sederhana guru dan ruangan kelas dapat digunakan secara bergantian antara bermacam-macam tingkat dalam seharinya. Sedangkan pematangan penguasaan materi pelajaran diserahkan kepada sistem bimbingan (musyawarah) perkamar, dimana kepala-kepala kamar menjadi penanggung jawab kemajuan pelajaran dan penjaga penguasaan pelajaran para anggotanya. Jelaslah, bahwa dari kerangka komponene pendidikan agama yang sedemikian sederhana, dapat dikembangkan kurikulum lebih lengkap dan lebih bulat yang mampu menampung komponen pendidikan non-agama, tanpa adanya kekhawatiran penurunan tingkat atau nilai pendidikan agama di pondok pesantren. Setelah menyelesaikan kurikulum tersebut, seorang santri dapat melakukan pendalaman lebih jauh dalam ilmu-ilmu agama, jika ia ingin menjadi seorang alim/kiyai. Sebaliknya ia telah memiliki ilmu-ilmu agama secara dasar tetapi lengkap aspek-aspeknya, untuk keperluan hidup keagamaanya sendiri.

Penutup

Demikianlah, secara ringkas telah dikemukakan sebuah gagasan untuk mengadakan pembakuan dengan jalan menyederhanakan kurikulum dalam hubungannya dengan komponen pendidikan agama. Penyederhanaan ini tidak berarti pendangkalan ilmu agama, karena kurikulum yang dibakukan itu dapat dimasukkan kedalam sistem  pendidikan agama yang lebih luas (ditambah dengan pengajian non-kurikulum). Sebaliknya, bagi pondok pesantren dengan sistem pendidikan agama lebih terbatas, model kurikulum yang disederhanakan ini  merupakan jalan untuk menerima komponen-komponen pendidikan non-agama tanpa mengorbanankan tujuan menciptakan alumni yang memiliki pengetahuan dasar agama yang bulat dan cukup.

Walaupun peranan ini tidak tidak membicarakan sarana-sarana ilmiah yang lainnya, tidak berarti bahwa ditutup pintu untuk mendiskusikan dalam forum ini sarana-sarana lain tersebut, secara keseluruhan ditentukan oleh model kurikulum atau sistem pendidikan yang digunakan. Pembatasan pembicaraan pada pembakuan kurikulum adalah karena disadari sepenuhnya bahwa semakin lama pondok pesantren semakin dituntut untuk lebih banyak lagi berkiprah dibidang-bidang lain di luar bidang pendidikan agama. Fungsi kemasyarakatan pondok pesantren semakin lama semakin menunjukkan bahwa para ulama’/kiyai dengan pondok pesantren mereka mengemban tugas turut memimpin proses pembangunan dalam segenap aspeknya, terutama di pedesaan. Tugas kemasyarakatan ini akan semakin banyak meminta perhatian dan menyita waktu para warga pondok pesantren kepada bidang-bidang non-agama, sehingga dari sekarang harus dipersiapkan sebuah pola penyederhanaan kurikulum dengan model-model yang dibakukan. Pengingkaran atas kenyataan ini dalam jangka panjang hanya akan mengakibatkan tersisihnya pondok pesantren dari arus umum kehidupan bangs akita, terutama pada saat para  ulama sesepuh telah dipanggil kehadirat Allah nanti. Oleh karena itu, marilah kita tetap kewajiban membakukan model-model kurikulum pendidikan agama di pondok pesantren ini dengan pandangan yang jernih, dada yang lapang dan jauh dari pengaruh perasaan/emosi. Marilah kita berpijak pada dua ketentuan pokok mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu dan al-akhzu bi al jadidi ma’a al-muhafazhati ‘ala al-qadimi ash-shalih.