Kepemimpinan dalam Pengembangan Pesantren

Foto: Pesantren.id https://pesantren.id/karakteristik-kepemimpinan-kiai-di-pesantren-11258/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pendahuluan

Kepemimpinan di pesantren selama ini pada umumnya bercorak alami. Baik pengembangan pesantren maupun proses pembinaan calon pimpinan yang akan menggantikan pimpinan yang ada, belum memiliki bentuk yang beratur dan menetap. Dalam beberapa hal, pembinaan dan pengembangan seperti itu dapat juga menghasilkan persambungan (kontinuitas) kepemimpinan yang baik, tetapi pada umumnya hasil sedemikian itu tidak tercapai. Sebagai akibat, sering kali terjadi penurunan kualitas kepemimpinan dengan berlangsungnya pergantian pimpinan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Demikian pula, kepemimpinan yang ada sering tidak mampu mengimbangi kemajuan dan pengembangan pesantre yang dikelolanya, sehingga sering terjadi menyusutnya kewibawaan kepemimpinan yang satu dalam dua masa yang berbeda. Baik karena ketidak mampuan memahami tuntutan yang timbul dari perkembangan keadaan yang baru maupun karena faktor-faktor lainnya, seperti terhentinya pengembangan kepemimpinan pada waktu pesantren yang dipimpin mengalami perkembangan pesat, kesenjangan wibawa (authority lag) itu dapat membawa kepada akibat yang fatal bagi kehidupan pesantren yang bersangkutan. Paling sedikit akan timbul keadaan kritis yang dapat mengganggu stabilitas kehidupannya.

Banyak hal yang dapat ditunjuk sebagai sebab belum menetapnya pola kpemimpinan di pesantren selama ini. Sebab yang paling utama adalah watak karismatis yang dimilikinya. Biasanya, pesantren didirikan seseorang yang bercita-cita tinggi dan mampu mewujudkan cita-citanya itu. Proses berdirinya pesantren secara sedemikian ini menampilkan seorang pemimpin yang tertempa oleh pengalaman, memiliki keunggulan kepribadian yang dapat mengalahkan pribadi-pribadi lain disekitarnya. Kekuatan pribadi seperti itu menimbulkan corak kepemimpinan yang sangat pribadi sifatnya, yang berlandaskan penerimaan masyarakat luar dan warga pesantrennya secara mutlak. Sifat mutlak dan pribadi dari kepemimpinan seperti inilah yang dinamai karisma. Pada tahap-tahap pertama berkembangnya sebuah pesantren memang diperlukan kepemimpinan dengan sifat-sifat sedemikian itu, tetapi pada tahap-tahap selanjutnya, banyak kerugian yang ditimbulkannya.

Kerugian pertama adalah munculnya ketidak pastina dalam perkembangan pesantren yang bersangkutan, karena semua hal bergantung kepada keputusan pribadi sang pemimpin. Sering kali proses pengembangan yang direncanakan dengan sadar harus terhenti tanpa dapat diselesaikan dengan tuntas, hanya karena kepemimpinan yang ada kekurangan ausdaur dan stamina untuk melanjutkannya, atau karena sebab-sebab lain yang bersifat pribadi.

Kedua, sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu (termasuk calon pengganti yang kreatif) untuk mencoba pola-pola pengembangan yang sekira belum diterima oleh kepemimpinan yang ada. Termasuk dalam kesulitan ini adalah sukarnya membuat perkiraan tentang tanggapan yang akan diberikan oleh sang pemimpin atas suatu usulan, apakah tanggapan itu akan bersifat negatif atau positif. Kesulitan seperti ini akan membuat terhentinya proses pemikiran yang merangsang mereka untuk merencanakan pola-pola pengembangan dirinya, sehingga menunggu ajakan dari luar saja. Itupun terkadang dilakukan mereka untuk merencanakan pola-pola pengembangan yang baru. Salah satu bentuk kesulitan ini adalah watak pasif yang dimiliki pesantren dalam pengembangan dirinya, sehingga menunggu ajakan dari luar saja. Itupun terkadang dilakukan tanpa penegrtian penuh akan maksud dan tujuan ajakan dari luar itu.

Ketiga, pola pergantian pimpinan berlangsung secara tiba-tiba dan tidak direncanakan, sehingga lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami seperti meninggalnya sang pemimpin secara mendadak. Pola pergantian pimpinan yang berlangsung secara mendadak itu seringkali membawa perbedaan pendapat dan saling berlawanan diantara calon-calon pengganti. Upaya untuk mengatasi perbedaan pendapat itu seringkali mengambil waktu sangat panjang, yaitu hingga tegaknya kepemimpinan karismatis yang baru.

Keempat, terjadinya pembauran dalam tingkat-tingkat kepemimpinan di pesantren, antara tingkat lokal, regional dan nasional. Seorang pemimpin pesantren yang telah mencapai peningkatan pengaruh sebagai akibat meluasnya daerah asal yang dijangkau oleh pola pemasukan santri kepesantrennya, seringkali tidak dapat mengimbangi peningkatan pengaruh itu dengan peningkatan kualitas kepemimpinan yang sanggup melintasi perbedaan tingkat-tingkat yang dihadapi. Cakrawala pemikirannya seringkali mesih sangat bersifat lokal, paling tinggi bersifat regional. Jarang ada yang mampu memandang kepada ufuk nasional dalam pengembangan  pesantren, sehingga tidak hanya meliputi pesantren yang dikelolanya sendiri atau pesantren-pesantren lain disekitarnya.

Kesemua kerugian yang disebutkan diatas tidak berarti harus dihilangkannya kepemimpinan karismatis yang sudah berabad-abad berjalan dipesantren itu, melainkan menuntut penerapan pola kepemimpinan yang lebih direncanakan dan dipersiapkan sebelumnya. Karisma yang ada, dengan demikian akan diperkuat dengan beberapa sifat baru yang akan mampu menghilangkan kerugian diatas. Prinsip utama yang digunakan adalah dictum yang sudah lama dikenal kalangan pesantren sendiri, yaitu “memelihara hal-hal baik yang telah ada, sambil mengembangkan hal-hal baru yang lebih baik” (al-muhafazhatu ‘alal qadimisi  sshalih ma’al akhdzi bil jadidil ashlah).

Langkah Awal: Pembenahan Kurikulum

Sebelum sampai kepada persoalan kepemimpinan dalam pengembangan pesantren, terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa hal sebagai latar belakang, kebutuhan akan pengembangan itu sendiri; program-program pengembangan yang tengah berjalan; dan perlunya perumuusan tenttang integrasi pesantren kedalam pendidikan nasional beserta proyek-proyek rintisannya.

Kenyataan menunjukkan, bahwa hingga saat ini kebutuhan akan pengembangan belum begitu dirasakan oleh sebagian pimpinan pesantren-pesantren utama. Bahkan kecenderungan untuk kembali kepada pola-pola lama terasa muncul kembali. Kecenderungan ini dapat dimengerti, karena setelah pelaksanaan pola pengembangan utama berupa percampuran antara komponen-komponen agama dan non-agama (biasanya dinamai pelajaran “umum”) dalam kurikulum pesantren selama beberapa puluh tahun, tidak banyak hasil yang diperoleh. Malahan porsi komponen agama semakin lama semakin menurun. Dengan membawa akibat mentahnya lulusan yang dihasil kan oleh pesantren, menjadi agamawan yang berpengetahuan agama mendalam tidak dan menjadi ilmiawan non- agama yang cukup tinggi kualitasnya juga tidak. Yang terjadi adalah pembaruan (akulturasi) yang tidak memperlihatkan identitas yang jelas. Menghadapi kenyataan seperti itu, sebagian pemimpin pesantren-pesantren utama lalu menjadi cenderung untuk kembali kepada “cara salaf”, dimana porsi pelayanan kepada komponen non-agama dalam kurikulumnya hampir-hampir tidak ada.

Kecenderungan tersebut dapat dimengerti sebab-sebanya, tetapi sebenarnya ia membahayakan kelangsungan hidup pesantren sendiri dimasa depan. Bagaimanapun juga, tuntutan untuk mengembangkan pengetahuan non-agama (pengetahuan “umum”) adalah kebutuhan nyata yang harus dihadapi para lulusan pesantren dimasa depan. Kesalahan-kesalahan dasar dalam pengembangan komponen non-agama dalam kurikulum pesantren selama ini, hingga tidak mampu mendorong pemahaman pengetahuan agama yang mendalam, bukanlah harus “diperbaiki” dengan menghilangkan komponen non-agama itu sendiri dari kurikulum dan sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren, karena tantangan masa depan tokh tidak hilang hanya dengan cara tersebut. Masa depan umat manusia, selain menuntut dimilikinya landasan berupa bekal rohani yang kuat, juga akan sangat ditentukan oleh penguasaan atas perkembangan pengetahuan dan teknologi.

Justru tantangan untuk berlomba menguasai pengetahuan non-agama merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh pesantren. Ada beberapa kelemahan dasar dalam upaya pengembangan komponen non-agama dalam kurikulum pesantren selama ini. Kelemahan dasar yang pertama adalah sifat upaya itu sendiri, yang lebih banyak ditekankan pada pengembangan intelektualisme verbalistis yang penuh dengan teori muluk-muluk tetapi tak mampu memecahkan persoalan-persoalan praktis yang terjadi didepan mata. Kesalahan dasar yang kedua adalah penanganan kurikulum dan komponen-komponennya secara sepotong-sepotong, tidak menggunakan pendekatan menyeluruh yang bersifat multi-disipliner (yang terbukti antara lain dalam pemisahan antara pengetahuan-pengetahuan sosial-ekonomi, sosial- budaya dan pengetahuan alam). Kelemahan dasar yang ketiga adalah belum tercapainya kesatuan (integrasi) yang utuh dan bulat antara komponen-komponen agama dan non-agama. Kesadaran akan kelemahan-kelemahan dasar itu justru menimbulkan kebutuhan akan pengembangan pesantren, setidak-tidaknya dalam kurikulum yang di- gunakan.

Tujuan pengembangan pesantren dengan demikian ada lah integrasi antara pengetahuan agama dan non-agama, sehingga lulusan yang dihasilkan akan memiliki kepribadian yang utuh dan bulat, yang menggabungkan dalam dirinya unsur-unsur keimanan yang kuat dan penguasaan atas pengetahuan secara berimbang. Manusia yang sedemikian itu memiliki cakrawala pemikiran yang luas, pandangan hidup yang matang, dan pendekatan yang praktis dan berwatak multi-sektoral dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Dengan kata lain, manusia yang mampu memandang jauh kemuka di samping memiliki ketrampilan praktis untuk menyelesaikan persoalan sendiri secara tuntas.

Jelas sekali, tujuan seperti itu membutuhkan kesediaan untuk mengembangkan pesantren, karena dengan sistem pendidikan yang dimiliki sekarang praktis tidak mungkin bagi pesantren sendiri untuk mencapainya. Kegagalan memahami dan kemudian memenuhi kebutuhan di atas tidak lain hanya akan berarti semakin tertinggalnya pesantren dalam percaturan budaya bangsa Kita di masa depan. Dengan kata lain, semakin besar Kesenjangan antara kehidupan pesantren dan kehidupan masyarakat di luarnya.

Program Pengembangan Pesantren

Program pengembangan yang sedang dijalankan, baik oleh kalangan pesantren sendiri secara intern maupun oleh kalangan luar dalam kerjasama dengan beberapa pesantren tertentu, dapat dibagi dalam garis besarnya dalam hal-hal berikut:

  1. Program percampuran antara komponen-komponen agama dan non-agama dalam kurikulum formal dipesantren. Program ini bertujuan mematangkan kurikulum campuran yang telah ada, dengan meningkatkan mutu dan menahapkan kurikulum itu secara berjenjang kepada tingkatan yang lebih tinggi. Contoh dari pengembangan seperti ini adalah Pondok Modern Gontor: mula-mula hanya memiliki KMI (kulliyatul mu’allmin al-islamiyah), kemudian perguruan tinggi IPD ( Institut Pendidikan Darussalam), dan terakhir kerjasama purna-sarjana dengan lembaga-lembaga di luarnya (termasuk yang di luar negeri). Pematangan Kurikulum melalui peningkatan tahap-tahap pendidikan didalamnya diharapkan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kelengkapan pengetahuan agama dan non-agama yang sama-sama mendalam, secara terintegrasi dengan baik dalam kebulatan pandangan dan keutuhan kepribadian. Sebaliknya, beberapa pesantren lain mengembangkan corak lain lagi dalam percampuran komponen agama dan non-agama dalam kurikulumnya, yaitu dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah non-agama dalam lingkungan pesantren sendiri. Sekolah non-agama, seperti SMP dan SMA, dikembangkan dalam kompleks pesantren secara utuh dan apa adanya, sesuai dengan kurikulum yang digunakan oleh sekolah-sekolah serupa di luar pesantren. Komponen agama diajarkan kepada para siswa di luar sekolah, dalam bentuk pengajian weton/ bandongan maupun sorogan. Dua kurikulum yang sama-sama utuh dan bulat, diterapkan kepada siswa secara berbeda (yang satu melalui sekolah formal, lainnya melalui pendidikan non formal berupa pengajian), diharapkan akan dapat menumbuhkan lulusan yang berkepribadian sama seperti yang dicapai dengan cara pertama di atas.
  2. Program ketrampilan, yang sebagian besar masih ditangani oleh Departemen Agama. Meliputi banyak komponen ketrampilan teknis, program ini bermaksud mengembangkan ketrampilan teknis yang mampu membawakan orientasi baru dalam pandangan hidup para santri, terutama yang berupa penghargaan wajar dan penuh kepada arti kerja dan kebiasaan untuk bekerja dengan teratur dan dengan persiapan cukup. Program ini berwatak fleksibel/luwes, dimana tahap yang dicapai oleh sebuah pesantren menentukan jenis ketrampilan yang mana yang dapat dikembangkan dida- lamnya. Apabila diletakkan dalam kerangka pengabdian kepada tujuan dakwah melalui ketrampilan, program ini dapat menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi pesantren, mengingat tujuan sosial seperti itu sangat bersesuaian dengan tujuan pesantren sebagai lembaga yang memiliki fungsi kemasyarakatan. Program ketrampilan ini telah berkembang selama dua tahun terakhir ini, baik dalam sifat maupun bentuknya. Jika dahulu, pada permulaan program ketrampilan, tekanan diberikan kepada penumbuhan ketrampilan untuk kepentingan santri secara perorangan, maka kini sifat itu telah berkembang juga menjadi penekanan pada aspek penyuluhan masyarakat. Demikian pula, jika tadinya program ketrampilan merupakan proyek yang berdiri sendiri sebagai kegiatan non-kurikuler, dewasa ini ia dapat juga diintegrasikian kedalam kurikulum madrasah atau sekolah yang ada,
  3. Program penyuluhan masyarakat. Program ini baru ada di atas kertas, tetapi disatu dua pesan tren telah mencapai tingkat perencanaan matang yang tinggal lagi dilaksanakan. Program ini pada dasarnya adalah peningkatan kemampuan santri dalam satu bidang ketrampilan tertentu, untuk digunakan nantinya dalam program penyuluhan kepada masyarakat dalam bidang tersebut. Program ini tidak hanya diikuti oleh santri belaka, tetapi juga oleh masyarakat luar berminat, seperti pernah dilakukan Pesantren Pabelan ketika mengadakan latihan kerajinan bambu bagi para pengrajin dari daerah sekitarnya. Dewasa ini sebuah pesantren tengah direncanakan akan mengadakan latihan kewiraswastaan, yang lulusannya nanti akan digunakan untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat desa tentang pentingnya arti kewiraswastaan;
  4. Program pengembangan masyarakat, yang dimaksudkan untuk menciptakan tenaga-tenaga pengembang masyarakat dengan kemampuan mengenalkan masyarakat kepada kebutuhan-kebutuhan mereka dan ke pada sumber-sumber daya yang ada untuk memenuhinya, kemampuan mengorganisir langkah-langkah pendahuluan untuk menyusun dan melaksanakan program pengembangan yang bersifat multi-sektoral, dan kemampuan menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan program pengembangan itu, terutama dengan kemampuan sendiri. Program ini baru dalam tahap percobaan pertama, yang diikuti oleh beberapa pesantren utama. Salah satu diantaranya telah menunjukkan hasil sangat menggembirakan, yaitu yang dijalankan oleh tenaga pengembangan masyarakat dari Pesantren Annuqayyah di Guluk-Guluk, Sumenep. Demikian pula, wilayah penggarapan masih terbatas kepada pendekatan pembangunan multi-sektoral melalui Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) di daerah pedesaan, sedangkan daerah perkotaan belum lagi di jamah, baik wilayah kota kecil, wilayah tengah kota besar (jantung metropolitan) maupun wilayah pinggiran kota besar.

Pengembangan Kepemimpinan Pesantren

Disamping tuntutan untuk memahami dan bersedia mengikuti program-program pengembangan di atas (apalagi kalau mampu membuat program lain atas prakarsa sendiri), pimpinan pesantren yang memiliki kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan sekarang dan masa depan harus pula mampu memahami kebutuhan akan integrasi pesantren kedalam pendidikan nasional. Bagaimanapun juga harus diakui, bahwa saati ini pesantren sebagai suatu sistem pendidikan masih berada di lingkungan pendidikan nasional yang ada. Ia diakui sebagai pendidikan yang hidup ditengah-tengah dan menjadi bagian dari masyarakat bangsa kita. Secara potensial, ia merupakan salah satu dari lembaga pendidikan yang ideal bagi bangsa kita, karena kemampuannya mengembangkan watak mandiri dalam diri para lulusannya selama ini. Apapun kekurangannya sebagai suatu sistem pendidikan, pesantren dan madrasah oleh salah seorang pemikir sosial-budaya kita yang paling terkemuka, Dr. Soedjatmoko, telah dianggap berhasil menumbuhkan sikap mandiri itu secara nyata dalam sejarahnya yang panjang.

Tetapi kelebihan potensial itu hanya akan tetap berupa potensi, jika pesantren sendiri tidak memikirkan langkah-langkah menggunakan kelebihan itu turut membentuk pendidikan nasional bagaimana yang relevan bagi bangsa kita yang sedang membangun. Pesantren hanya akan menjadi bagian tertinggal, tidak mempunyai hak apa-apa atas jalannya pembentukan pendidikan nasional untuk masa depan. Dalam jangka panjang, ketinggalan itu akan berarti canangan kematian pesantren, karena bagaimanapun juga masyarakat dimasa depan tidak akan mampu mendukung dan menopang sebuah sistem pendidikan yang sama sekali lepas dari pendidikan nasional. Di samping alasan finansial, ada lagi alasan lain yang membuat masyarakat tidak mampu memberikan topangan, yaitu alasan kultural: para anak didik tidak akan tertarik untuk memasuki sistem pendidikan yang tidak dianggap memiliki wawasan nasional. Menurunnya angka santri dari tahun ke tahun, baik secara hitungan relatif (jumlah santri tetap tetapi penduduk bertambah, sehingga prosentasi santri semakin mengecil) maupun mutlak (berupa perpindahan besar-besaran kesekolah-sekolah Inpres dipedesaan) merupakan petunjuk yang jelas akan prospek buruk bagi pesantren ini, jika tidak menjadi bagian dari pendidikan nasional.

Banyak hal-hal positif dapat disumbangkan oleh pesantren kepada proses pembentukan pendidikan nasional. Salah satu diantaranya adalah penumbuhan fleksibilitas yang besar dalam program pendidikan anak didik secara perorangan, yaitu dengan terjalinnya komponen-komponen yang saling menunjang antara pendidikan formal di madrasah atau sekolah dan pendidikan non-formal berupa pengajian di dalamnya. Berbeda dengan program pendidikan seragam yang tidak memperhatikan kebutuhan individual dari anak didik yang diterapkan disekolah-sekolah di luar pesantren, program pendidikan di pesantren memberikan peluang sangat besar kepada anak didik untuk mengembangkan kemampuan dan bakat dalam irama dan kecepatan yang bersifat pribadi. Karenanya, sangatlah disayangkan munculnya kecenderungan di sementara pesantren untuk mendasarkan program pendidikannya pada aspek formalnya belaka, seperti dengan jalan penegerian madrasah atau sekolah yang dimiliki. Kepemimpinan yang dinamis di pesantren haruslah mampu menangani persoalan ini, baik secara lokal, regional maupun nasional. Pada taraf lokal, kepemimpinan pesantren harus mampu mengadakan proyek-proyek rintisan yang akan menonjolkan sumbangan positif pesantren bagi pendidikan nasional, baik itu dalam program pendidikannya, sistem pendidikannya, maupun metode pengajarannya. Pada taraf regional, kepemimpinan pesantren yang dinamis haruslah mampu menciptakan dukungan dan topangan bagi proyek-proyek rintisan itu, lebih-lebih lagi dalam bentuk pengayoman semua pihak yang berkepentingan terhadap perkembangan pendidikan. Pada taraf nasional, kepemimpinan pesantren yang dinamis akan mampu menyuguhkan kerangka-kerangka teoritis dan filosofis bagi pembentukan pendidikan nasional yang relevan dengan kebutuhan bangsa kita di masa depan.

Banyak yang dapat diperbuat oleh kepemimpinan pesantren untuk mewujudkan apa yang dikemukakan diatas. Bagaimana aspek-aspek negatif dari perkembangan pengetahuan dan teknologi harus diatasi dan dikendalikan; bagaimana kebutuhan dan kesadaran bangsa akan pendidikan nasional yang relevan dengan kebutuhan secara kongkrit, dengan tidan mengorbankan kepentingan masyarakat secara keseluruhan; bagaimana kesadaran akan perlunya dihindari penyerangan sistem pendidikan guna menampung kebutuhan yang berbeda-beda dari lapisan masyarakat yang berbeda-beda pula; dan banyak lagi masalah dapat digarap oleh kepemimpinanp pesantren yang dinamis dan memiliki pandangan yang jauh ke masa depan. Kepemimpinan pesantren hendaknya jangan hanya sibuk dengan fungsi kemasyarakat yang sempit (pelayanan individual kepada wali murid, pelayanan lebih luas dalam bentuk penerangan agama kepada rakyat dan sebagainya) belaka, dan juga jangan hanya disempitkan oleh pelayanan teknis kepada pesantren nya sendiri saja (seperti pengawasan administratii yang baik, pembinaan calon pengganti secara teratur, pengelolaan sistem pendidikan yang ada di pesantrennya secara organisatoris). Kepemimpinan yang sempit seperti itu dalam jangka panjang hanya akan tercecer oleh perkembangan cepat di luar pesantren. Yang diperlukan adalah pendayagunaan kepemimpinan yang sudah memiliki ketrampilan praktis yang sempit di bidang pengawasan, adsministrasi dan perencanaan itu guna tujuan yang lebih besar: bagaimana mengintegrasikan pesantren kedalam pendidikan nasional.

Hanyalah dengan cara ini kepemimpinan dinamis di pesantren dapat mencegah semakin berlarut larutnya kemelut di pesantren, dan mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan dan kemasyarakatan yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman. Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah s.w.t. untuk bekerja sekuat-kuatnya bagi tujuan di atas, yang merupakan bagian dari tujuan i’la-u kalimatillah dan ‘izzul Islam wal muslimin.