Pesantren dan Pengembangan Watak Mandiri

Foto: Ngopibareng,id https://www.ngopibareng.id/read/pesantren-mandiri-ikhtiar-cegah-dimanfaatkan-politik

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pendahuluan

Untuk mengetahui aspek-aspek dari watak mandiri yang dimiliki pesantren, haruslah ditinjau terlebih dahulu latar belakang pertumbuhan pesantren itu sendiri, baik yang bersifat historis, kultural maupun sosial ekonomis.

Secacra historis, pesantren dapat diartikan sebagai penerusan sistem pendidikan pra-islam dinegeri ini, yang oleh sementara kalangan diindentifisir dengan nama sistem mandala. Bahkan ada yang mengemukakan jumlah 200 buah mandala yang tersebar di wilayah kerajaan Majapahit menjelang keruntuhannya. Tetapi kebenaran pernyataan ini masih harus diuji dengan pengkajian atas persoalan apakah benar situasi politik yang menguntungkan para pembawa agama Islam di masa itu (yang antara lain tercermin dalam berduyun-duyun para pembesar majapahit memasuki agama Islam) telah membuat para pemimpin mandala untuk juga menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Dasar dari konsep sejarah ini adalah Islamisasi “dari atas”, seperti yang direkontruksikan oleh van Leur atas Hinduisasi kerajaan-kerajaan Nusantara pada abad keempat dan kelima Masehi. Rekontruksi ini jelas berlawanan dengan teori Islamisasi :dari bawah” melalui perniagaan, seperti yang masih cukup banyak dianut dikalangan sejarawan tentang islam di Indonesia hingga saat ini.

Walaupun banyak karya ilmiyah yang mencoba membuktikan bahwa proses Islamisasi tidaklah identic dengan perkembangan perniagaan, melainkan melalui pola “dari atas” itu, tetapi kata ahir tentang persoalan ini belumlah tercapai, hingga menjadi sulit untuk membentuk bagaimana proses pertumbuhan pesantren pada permulaan sejarahnya di negeri ini.  Yang jelass, bagaimanapun juga pesantren telah memberikan sumbangan kepada proses Islamisassi, mungkin dengan proses “dari atas” dengan cara menciptakan elite pedesaan (rural elite) yang terdiri dari para kyai dan guru pesantren untuk menunjang legitimasi pemerintahan yang telah menyatakan dirinya masuk agama Islam, mungkin juga melalui proses “dari bawah” sebagaimana masih umum dianut dan diterima sekarang ini (terbukti antara lain dari keputusan Seminar Tentang Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia tahun 1963 di Medan).

Dipihak lain, latar belakang historis pesantren yang meliputi masa berikutnya dapat dikenal dengan mudah. Dimana penjajahan colonial, pesantren diakui secraa umum telah menjadi benteng perlawanan, antara lain berkulminasi pada bantuan dan dukungan kepada Pangeran Diponegoro dan diwaktu menampung para pengikutnya yang masih bersikap non-kooperatif terhadap penjajah dan pasal-pasalnya. Keseluruhan sikap hidup, tata nilai struktur sosial yang dimiliki pesantren jelas menunjukkan fungsi perlawanan ini, seperti dapat disimpulkan dari studi Sartono Kartodiardjo dalam studinya tentang gerakan protes dipedalaman jawa di abad yang lalu dan pemulaan abad ini. Sedangkan di abad ini, pesantren menjadi basis bagi gerakan Islam di negeri kita, terbukti antara lain dari munculnya organisasi-organisasi seperti NU, PUI di Cirebon, al Khairat dan Matla’ul Anwar di banten. Perwatakan gerakan Islam sangat dipengaruhi oleh pola hubungan timbal-baliknya dengan pesantren, seperti antara lain terbukti dari kasus keluarnya Nu dari partai Masyumi dalam tahun 1952.

Perbedaan fungsi historis dalam perkembangan dari masa kemasa itu tercermin pula dalam latar belakang kultural pesantren. Jika dimasa kehidupannya pesantren berfungsi sebagai instrument Islamisasi, terutama dengan menggunakan gerakan tarekat, maka pada masa perlawanan terhadap pemerintah kolonial pesantren secara kultural berfungsi sebagai benteng pertahanan menghadapi penetrasi kebudayaan luar, terutama dalam paruh kedua abad yang lalu. Fungsi yang sedemikian itu menghendaki adanya proses “pemurnian” agama dalam batas-batas tertentu, dimulai dari penonjolan aspek syara’ (formalisame hukum agama) di pesantren di abad yang lalu. Para ulama terkemuka merasa terdorong untuk mulai menghadapkan aspek syara’ kepada aspek mistik dari  kehidupan beragama Islam pada masa itu, seperti dilakukan oleh syekh Nawawi banten, syekh Mahfudz Asy’ari. Proses pemurnian serba terbatas ini sedikit sekali mendapat sorotan para ahli tentang studi Indonesia, karena terhalang oleh proses pemurnian lain yang terjadi setelah itu, yaitu dengan munculnya pengikut-pengikut syekh Abduh disini, tetapi sebenernya ia memberikan gambaran menarik akan perpindahan fungsi kultural pesantren, dari dominasi kaum tarekat menjadi dominasi kaum syara’ atas kehidupan beragama Islam.

Perubahan fungsi kultural ini menghasilkan gemanya pula dalam perubahan mendalam yang terjadi atas pola pendidikan agama dan pendaya-gunaannya dalam kehidupan masyarakat. Kalau tadinya pendidikan di pesantren hanya ditekankan pada penguasaan peralatan yang cukup untuk kebutuhan beribadat intensif dalam mendekatkan diri kepada Allah, dalam masa penonjolan aspeksyara’ itu pendidikan lalu memiliki fungsi ke masyarakatan yang lebih luas: ia dipergunakan untuk melakukan transformasi kultural secara total. Kisah para kiyai yang “babat” mendidikan pesantren dengan sengaja didaerah-daerah “hitam” di pinggiran kota adalah bukti nyata dari kecenderungan untuk menggunakan pendidikan di pesantren sebagai alat transformasi kultural yang berlangsung seacara perlahan tetapi menyeluruh. Di wilayah-wilayah perkebunan asing yang luas muncullah kantongan-kantongan pesantren yangsecara berangsur-angsur meluaskab pengaruh dan secara kolektif kkerja transformasi di atas. Secara kultural pula dewasa ini dapat dilacak adanya kelemahan di kalangan pesantren non-tarekat untuk menahan perluasan gerakan tarekat di pedesaan, dan dengan demikian mengancam dominasi kaum syara’ atas kehidupan beragama Isla dimasa depan.

Latar belakan sosial-ekonomi pesantren dalam perkembangannya memberikan gambaran menarik tentang munculnya kiyai sebagai elite di pedesaan dalam stratifikasi sosial kita. ada banyak pendapat dikemukakan tentang elite yang unik  ini, tetapi pada umumnya sdikit sekali yang dapat memberikan gambaran yang lengkap untuk dapat dijadikan pegangan. Clifford Geertz, misalnya, menggambarkan pemunculan sistem ekonomi tersendiri di pesantren, dalam bentuk penggunaan santri sebagai tenaga kerja bagi hasil (sharecropper) untuk menggarap tanah pertanian milik kiyai mereka. Dengan mudah kiyai akan dapat menjadi orang yang berpunya dan dominan dalam kehidupan pedesaan, karena pola hubungan kerja itu. Gambaran Geertz ini, walaupun dapat dijumpai disejumlah pesantren, tidak dapat menerangkan banyaknya kiyai yang tidak memiliki tanah dan usaha produktif lainnya. Aspirasi ke arah kehidupan sederhana umumnya dimiliki oleh para kiyai di pedesaan, sehingga tidaklah tepat untuk menggambarkan mereka memperoleh dominasi melalui penguasaan atas tanah dan barang milik lainnya. Bahkan sebenarnya kiyai adalah prototype dari tentangan kepada kebiasaan konsumtif kaum kaya di pedesaan, tentangan mana dirupakan dalam perhatian dan keprihatinan mendalam, dalam penderitaan mereka yang dirundung malang. Demikian pula, hubungan kiyai dan santrinya mengambil bentuk hubungan magang, bukan hubungan patronase antara majikan dan buruhnya.

Kritik utama atas pendapat Geertz ini adalah gambaran statis yang diberikannya atas pola kehidupan kiyai: ia akan memasukkan anaknya kesekolah agama, lurah abangan akan menyekolahkan anaknya di sekolah desa hingga separoh jalan, dan hanya anak priyayilah yang akan menjadi elite intelektual. Kenyataan menunjukkan, bahwa bahkan semenjak sebelum Perang Dunia kedua para anak kiyai di pesantren telah memasuki sekolah-sekolah sekuler, hingga akhirnya turut berperan dalam perjuangan kemerdekaan dengan menduduki jabatan-jabatan tinggi, terutama dalam lingkungan Departemen Agama. Sebagai priayi-santri, mereka lalu memasukkan anak mereka kependidikan “umum”, sehingga sekarang dapat dilihat banyak sekali anak-anak kiyai pesantren yang menjadi anggota elite intelektual. Mobilitas pendidikan agama kependidikan sekuler secara demikian cepat menunjukkan dengan nyata betapa aspirasi ekonomis dari para kiyai di pesantren tidak dapat ddibatasi hanya pada pola hubungan penggarapan tanah dengan para santri mereka.

Ada pula pendapat lain yang menarik dari Van Derkolff, sebagaimana dikemukakan oleh van Niel dalam studinya tentang pemunculan elite modern Indonesia. Menurut pendapat ini, kiyai dan pesantrennya menjadi elite pedesaan karena ditunjang dan dibutuhkan oleh kaum kaya yang menjadi perantara bagi pabrik-pabrik gula dan perkebunan tembakau dalam soal sewa-menyewa tanah pertanian daari rakyat dipertengahan abad yang lalu. Karena tidak dapat menyekolahkan anak mereka kesekolahan gubernemen atau sekolah dagang Tionghoa, mereka menunjang pesantren sebagai tempat menampung pendidikan anak mereka. Pendapat ini memiliki kelemahan utama dalam hal ketidak mampuannya menerangkan pertumbuhan pesantren, yang biasanya terjadi atas Prakarsa pribadi seseorang calon kiyai, yang dengan susah payah mendirikan pesantrennya tanpa bantuan siapapun. Murid-murid pertama dalam kebiasaannya adalah anak-anak penduduk sekitar rumah kiyai, yang berasal dari strata masyrakat terbawah dan bukan berasal dari kaum kaya. Bantuan yang diterima dari kaum kaya biasanya ddiperoleh hanyalah setelah sang kiyai mencapai sukses dengan pesantrennya dan menjadi elite dimasyarakat, bukan sebelumnya. Lebih tepatlah kalau hubungan antara kiyai itu disifati sebagai hubungan aliansi antara kelompok elite daripada sebagai hubungan klien.

Ada pula yang melihat ppola hubungan ekonomis ini dari pandangan lain, yaitu sudut penglihatan kiyai sebagai pemberi legitimasi bagi gerak perdagangan kaum muslimin. Menurut pandangan ini, agama Islam memberikan peluang besar, bahkan perintah, untuk penyebaran ajaran nabi Muhammad melalui semua cara, termasuk perdagangan. Karenanya, muncullah kelompok penjaja muslimin, yang bergerak dibidang perdagangan dengan keyakinan upaya mereka itu memperoleh legitimasi agama. Sebagai pihak pemberi legitimasi, dalam artiannya yang luas (termasuk perkenan mempergunakan pesantren sebagai tempat melakukan transaksi perdagangan), dengan sendirinya para kiyai memperoleh dukungan para saudagar santri itu.

Pendapat diatas sepintas lalau memang cukup menarik, karena bersesuaian dengan teori Islamisasi “dari bawah”, tetapi ia tidak dapat menerangkan banyaknya pesantren dan kiyai yang justru menolak kegiatan profaan yang dilakukan secara giat, termasuk perdagangan. Pesantren tarekat dimasa lalu umumnya justru memandang perdagangan sebagai “kotoran yang tak terhindarkan” dan harus dijauhi sedapat mungkin. Kelemahan lain dari pendapat ini adalah ketidak mampuannya menggambarkan hubungan kiyai dan sudagaran santri sebagai hubungan yang tidak berola tetap dan pasti, dalam arti kiyai justru menuntut terlalu banyak dari mereka: sikap lugas dalam berrniaga, tidak melakukan praktek perdagangan yang bertentangan dengan ketentuan agama, dan sikap hidup pasrah tanpa terlalu banyak melakukan perhitungan. Dalam pola hubungan dimana satu pihak menuntut hal-hal yang begitu fundamental bagi keberhasilan perniagaan, sudah tentu para pedagang yang merasakan keterkaitan dengan kiyai justru merupakan kelompok minoritas di kalangan para pedagang pada umumnya. Yang tampak dari pengamatan selama ini adalah kegairahan para pedagang terkemuka untuk mendekat kepada kiyai sebagai upaya merebut tempat terhormat di pandangan kaum santri, justru setelah menjadi kaya dengan praktek-praktek niaga yang sedikit banyak tercela dalam pandangan agama. Sudah tentu keadaan ini tidak dapat dinamai pemberian legitimasi bagi perdagangan secara umum.

Jelaslah dari uraian diatas, walaupun aspek ekonomis dari munculnya kiyai sebagai elite di pedesaan sudah tentu ada, tetapi sukar kiranya untuk menerangkan pemunculan itu sendirian hanya dari sudut pandangan pola hubungan kerja atau pola dukunggan finansial semata-mata. Aspek ekonomis tidak akan dapat menerangka mengapa seorang lulusan pesantren memiliki keberanian melalui kerja mendirikan pesantrennya sendiri denganpenuh ketekunan dan pengorbanan, tanpa adanya jaminan bagi tercapainya keuntunggan material dari kerja tersebut. Idealism yang tersembunyi dalam keberanian tersebut bukan suatu yang dapat dijabarkan dalam ukuran-ukuran kebendaan, melainkan harus diterangkan dalam konteks sosial yang lain, yang mungkin tidak lagi bersifat ekonomis.

Nilai-Nilai Utama di Pesantren

Disamping latar belakangnya, harus juga dikenal nilai-nilai utama yang berkembang dilingkungan pesantren, untuk mengetahui watak mandiri yang dimilikinya. Sistem nilai yang berkembang di pesantren memiliki ciri dan perwatakann tersendiri, yang sering memberikan watak sub-kultural kepada kehidupan itu sendiri, yang pada pemeriksaan mendalam ternyata bukan hanya berwatak sub-kultural belaka.

Nilai utama yang pertama adalah cara memandang kehidupan secara keseluruhan sebagai ibadat. Semenjak pertama kali memasuki kehidupan pesantren, seorang santri sudah diperkenalkan kepada sebuah dunia tersendiri, dimana peribadatan menempati kedudukan tertinggi. Dari pemeliharaan cara-cara beribadat ritual yang dilakukan secermat mungkin hingga kepada penentuan jalan hidup yang akan dipilih seorang santri sekeluarnya dari pesantren nanti, titik pusat kehidupan diletakkan pada ukuran kehidupan itu sendiri sebagai peribadatan. Seorang santri akan memelihara kebiasaan mandi membasahi rambut tiap hari jum’at, karena itu merupakan kelengkapan beribadat sembahyang jum’at itu sendiri. Ia akan rela mengabdi kepada kiyai atau gurunya, karena itu adalah manifestasi penyerahan diri secara mutlak, yang merupakan kerja beribadat pula. Ia akan mampu mengagungkan tirakat yang berat dan sukar dikerjakan, karena itu tidak hanya berarti persyaratan mencari ilmu yang sempurna belaka, tetapi juga merupakan salah satu mata rantai peribadatan pula. Ia akan menerima semua yang diajarkan tanpa ada kebutuhan untuk mempertanyakan kebenarannya, karena sikap menerima dengan rela apa yang diberikan kiyai atau guru adalah sebagian dari sikap beribadat pula, seperti juga halnya kepercayaan akan kebenaran semua yang diuraikan itu secara mutlak.

Waktu bertahun-tahun yang di habiskan di pesantren tidaklah dirasakan sebagai kerugian, karena penggunaan waktu di pesantren itu sendiri dinilai sebagai perbuatan beribadat. Mulai dari pola penggunaan waktu secara tersendiri dalam kehidupan sehari-hari, yang mengikuti pola waktu bersembahyang lima kali sehari, hingga kepada pengaturan jodoh dan masa depan hidupnya, tambatan hati seorang santri dipertautkan kepada pengertian beribadat yang sedemikian luas dan menyeluruh ini. Begitu kuat cengkaman pengertian ibadat atas dirinya, sehingga ia akan berani berkorban untuk mencapai cita-cita mendirikan pesantrennya sendiri sepulang dari pesantren nanti.

Apa yang dikejar adalah kesediaan guru atau kiyai untuk memberikan perkenan kepada santri untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama yang telah dikuasainya, melalui sistem pemberian izin secara lisan, dikenal dengan nama ijazah. Pemberian ijazah ini, yang dimaksudkan untuk memelihara kemurnian ajaran dengan sistem transmisi oral dari generasi ke generasi, juga merupakan bagian dari rangkaian peribadatan yang membentuk watak tersendiri dalam diri seorang santri. Legitimasi bagi aspirasi hidupnya, yaitu menjadi seorang guru, dan dikemudian hari seorang kiyai, diperolehnya dalam konteks kerja beribadat untuk tujuan peribadatan pula.

Dari sudut perlakuan kepada kehidupan sebagai ibadat inilah baru dapat dimengerti bagi kecintaan kepada ilmu-ilmu pengetahuan agama dapat tertanam begitukuat di pesantren. Ilmu-ilmu agama sebagaimana dimengerti di lingkungan pesantren, merupakan landasan yang membenarkan pandangan sarwa-beribadat di atas. Sebaliknya, dengan landasan pandangan sarwa-beribadat inilah supremasi ilmu-ilmu agama secara mutlak ditegakkan, termasuk sistem pewarisan dengan transmisi oral itu. Jalan untuk mengerjakan ibadat secara sempurna, menurut pandangan  ini, adalah melalui upaya menuntun ilmu-ilmu agama secara tidak berkeputusan, dan kemudian menyebarkannya. Ilmu dan ibadat lalu menjadi identik, dengan sendirinya muncul kecintaan yang mendalam kepada ilmu-ilmu agama sebagai nilai utama lainnya yang berkembang di pesantren.

Kecintaan ini dimaifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti penghormatan seorang santri yang sangat dalam kepada ahli-ahli ilmu agama, kesediaan berkorban dan bekerja keras untuk mengusai ilmu-ilmu tersebut, dan kesediaan bekerja untuk nantinya mendirikan pesantrennya sendiri sebagai tempat menyebarkan ilmu-ilmu itu, tanpa menghiraukan rintangan yang mungkin akan dihadapinya dalam kerja tersebut.

Kecintaan itu juga yang akan mendorongnya mencari pola-pola kerja tersendiri sepulang dari pesantren, mulai dari cara penerimaan santri di pesantrennya sendiri hingga kepada sistem evaluasi hasil belajar santrinya nanti. Kasus kongkrit dari sikap mencari pola sendiri ini dapat dilihat umpamanya di pesantren tersebar di Jawa sekarang (pesantren Darussalam di Blokagung, Banyuwangi, dengan lebih dari 4000 orang santri), yang tidak mau menerima kurikulum madrasah negeri dan sistem ujian negara untuk santri-santrinya, padahal ia memiliki madrasah yang paralel dengan madrasah-madrasah lanjutan negeri.

Kecintaan kepada ilmu-ilmu agama mampu membuat seorang kiyai kalau perlu berjerih payah mengajar hanya seorang santri saja selama berjam-jam setiap hari. Seorang kiyai terkenal hanya mempunyai empat orang santri yang belajar kepadanya selama lima belas tahun pertama dari hidup pesantren yang didirikannya. Tugas mengajar itu dilakukannya dengan penuh kegembiraan, karena ia yakin bahwa dengan cara itu saja pun ia telah mengembangkan pengetahuan agama. Itupula, hanya kecintaanya kepada kebenaran yang dibawakan ilmu-ilmu agama yang dapat membuat seorang kiyai berpayah-payah mempertahankan ajaran-ajaran formal agamanya dihadapan perubahan-perubahan cepat dan mendasar yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sekitar.

Nilai utama ketiga yang berkembang di pesantren adalah keikhlasan atau ketulusan bekerja untuk tujuan-tujuan bersama. Menjalankan semua yang diperintahkan kiyai dengan tidak ada rasa berat sedikitpun, bahkan dengan penuh kerelaan, adalah bukti nyata yang paling mudah untuk dikemukakan bagi nilai utama ini. Seorang kiyai harus membuka pintu rumahnya dua puluh empat jam sehari semalam, haruslah memiliki nilai ini untuk dapat bertahan. Hidup pribadi kiyai dan santrinya, dilihat dari satu segi, larut sepenuhnya dalam irama kehidupan pesantren yang dipimpinnya, tujuan dan pamrih lain menjadi soal sekunder dalam pandangannya. Dedikasi pada profesi kepesantrenan yang dihasilkan oleh nilai ini telah terbukti dengan nyata dalam perjalanan hidup pesantren sendiri selama berabad-abad. Hingga hari ini pun, dimana sistem nilai pesantren mengalami kegoncangan dan mulai larut dalam perkembangan yang terjadi dengan cepat diluarnya, masih merupakan konsensus yang dihormati, bahwa putra seorang kiyai haruslah mengganti tempat ayahnya di pesantren. Dengan hati berat para pengasuh pesantren terpaksa melepas anak-anak mereka untuk memasuki pendidikan non-pesantren. “kerugian” ini mereka coba untuk menutupinya dengan mencari menantu atau keluarga dekat untuk ditugaskan melanjutkan profesi kepesantrenan mereka sendiri.

Banyak sikap negatif timbul dari nilai keikhlasan serba sesisi seperti ini, seperti kesulitan menerima koordinasi dari luar, ketidak mampuan melihat sesuatu persoalan dari perspektif kemasyarakatan yang lebih luas dari kepentingannya pesantren yang mereka pimpin, mudahnya memberikan kepercayaan kepada ketaatan lahiriyah, ketidak menegertian etika pergaulan masyarakat yang senantiasa berkembang, dan seterusnya. Tetapi dibalik semua sifat negatif itu dapat ditemukan nilai keikhlasan dan dedikasi yang digambarkan di atas, yang mampu mendorong warga pesantren untuk berpegang pada sikap hidup yang mereka anut tanpa mudah tergoda oleh tarikat dari luar.

Secara bersama, kesemua nilai-nilai utama diatas membentuk sebuah sistem nilai umum di pesantren, yang mampu menopang watak mandiri di pesantren, sebagaimana akan tampak dalam uraian selanjutnya secara terpisah-pisah, kesemua nilai itu memperlihatkan wajah saling bertentangan dimata orang luar pesantren, ketika keikhlasan mengharuskan yang bercampur dengan ketidak mampuan warga peantren untuk meninggalkan sikap hidup kekanak-kanakan dari kecintaan mendalam kepada ilmu pengetahuan yang disertai kesempita dan ketertutupan pandangan terhadap hal-hal yang tidak “berbau agama”, dan sebagainya. Tetapi dalam kesatuan berbentuk sistem nilai, gambaran yang disuguhkan adalah justru berupa orisinalitas perawatan hidup didunia pesantren.

Watak Mandiri di Pesantren

Watak mandiri yang dimiliki pesantren dapat dilihat dari dua sudut penglihatan: dari fungsi kemasyarakatan pesantren secara umum, dari pola pendidikan yang dikembangkan didalamnya.

Dilihat dari sudut fungsi kemasyarakatanya secara umum, pesantren adalah sebuah alternatif ideal bagi perkembangan keadaan yang terjadi diluarnya. Sepintas lalu pesantren memainkan peranan sebagai subkultur bagi kehidupan masyarakat secara umum, tetapi harus diberika batasan lain kepada peranan tersebut. Memang benar, pesantren memiliki perwatakan sub-kultur, tetapi ia justru tidak merupakan bagian dari sebuah kultur atas apapun. Pesantren memiliki kelengkapan nilai, bangunan sosial dan tujuan-tujuannya sendiri, sehingga ia lebih merupakan dunia tersendiri yang terpinsah dari dunia lain diluarnya. Dorongan menegakkan kebenaran agama, dikenal dengan nama amar ma’ruf nahi munkar, misalnya, dipesantren memiliki intensitas luar biasa karena ia diterima bagi penggila beribadat.

Transformasi kultural yang ingin dilakukannya, sebagai ketundukan kepada perintah beribadat menegakkan kebenaran (walaupun terbatas hanya pada sikap bermoral agama secara lahiriyah belaka), membawa pesantren kepada kedudukan “mengoreksi” jalannya kehidupan masyarakat secara terus menerus. Dalam keadaan sebuah pesantren tidak mampu melaksanakan tugas transformasi kultural total ini, ia justru akan ditransformasi oleh keadaan diluarnya itu. Proses saling menggeser (cancelling inter action) ini menunjukkan betapa tidak suplementernya kedua cara hidup itu, yang menunjukkan pula keterbatasan watak sub-kultural bagi pesantren itu sendiri. Penolakan yang dulu dilakukan oleh pesantren kepada bantuan lebaga-lembaga lain diluarnya (dalam hal ini dari pemerintahan Kolonial Hindia Belanda) atas dasar “menjaga kemurnian” tujuan kehidupan pesantren sendiri, adalah contoh dari keterbatasan watak sub-kulturnya ini.

Peranan korektif diatas membawa pesantren kepada kebutuhan memiliki watak mandiri dalam kehidupannya. Lengkap dengan atribut-atribut, ritual dan bangunan sosialnya yang lain, pesantren dapat hidup di masyarakat tanpa tergiantung dari uluran tangan pihak lain. Banyak unsur-unsur yang menunjang watak mandiri itu, umpamanya saja kesediaan mengabdi dengan jalan berkarya di pesantren tanpa memperoleh imbalan finansial yang seimbang, bahkan kebanyakan tanpa imbalan apapun. Begitu pula kesediaan santri untuk tinggal di pesantren dalam kondisi fisik yang tidak menyenangkan selama bertahun-tahun, dengan bilik sempit-sempit tanpa peralatan, penerangan dan terkadang persediaan air yang cukup. Kesemua kesukaran itu ditanggungkan, karena kesadaran bahwa pesantren adalah “alat perjuangan” agama untuk merubah wajah kehidupan moral di masyarakat sekitarnya. Mereka tidak mengharapkan pelayanan apapun dari pihak pesantren, bahkan sebaliknya mereka memberikan pelayanan kepada pesantren, umpamanya saja dengan menyediakan diri sebagai tenaga kerja tak di bayar pada waktu pembuatan bangunan-bangunan fisik didalamnya. Sudah tentu kebutuhan finansial pesantren menjadi sangat kecil dan cara hidup seperti itu, suatu hal yang di perlukan untuk dapat hidup mandiri.

Fungsi pesantren sebagai alternatif ideal tercermin antara lain dalam pengelolaan harta masyarakat. Kesungguhan, keikhlasan dan kejujuran seorang kiyai dalam melakukan pengelolaan itu di dasarkan atas isinya tentang peribadatan dalam artian memberikan contoh akhlak yang baik dan kepercayaan akan kebenaran sikapnya itu. Terpeliharanya harta masyarakat dengan demikian membangkitkan kepercayaan masyarakat kepada pesantren, yang pada gilirannya mendorong masyarakat untuk menunjang kelangsungan hidup peantren itu sendiri. Dengan cara seperti inilah watak hidupnya yang mandiri antara lain dapat dipelihara oleh pesantren.

Dari sudut pengelolaan pendidikan didalamnya, watak mandiri pesantren dapat dilihat baik dalam sistem pendidikan dan strukturnya maupun dalam pandangan hidup yang ditimbulkannya dalam diri santri. Struktur pendidikan di pesantren berwatak populis dan memiliki kelenturan sangat besar. Semua orang, tidak perduli dari strata sosial maupun, diterima dengan terbuka di pesantren, tanpa hambatan administratif atau finansial apapun. Seorang santri yang tidak memiliki bekal apapun dapat saja tinggal dan belajar di pesantren, dengan jalan mencari bekal sendiri, seperti dengan menjadi pelayan kiyai atau bahkan orang lain disekitar pesantren. Penerimaan siswa tanpa seleksi ini memaksa pesantren untuk melenturkan struktur pendidikannya. Pada dasarnya, tidak ada keseragaman kurikulum di pesantren yang berlaku bagi semua santri: seseorang dapat menjadi santri untuk dua puluh tahun, dapat pula hanya untuk sehari saja. Apa yang diberikan kepada seorang siswa dapat berupa perangkat ilmu-ilmu agama yang lengkap sebagai bekal untuk menjadi kiyai, dapat pula berupa hanya beberapa baris doa yang dirasakannya perlu untuk kebutuhan peribadatan pribadinya. Tidak didapati perbedaan besar dalam perlakuan antara santri dari berbagai tingkat pendidikan, kecuali beberapa orang yang telah dianggap mencapai derajat guru, yang biasanya memang dijadikan guru oleh kiyai yang memimpin pesantren itu. Struktur pendidikan seperti ini jelas memiliki watak mandiri, karena didasarkan kepada penyediaan kebutuhan material sekecil mungkin untuk dapat mengikuti pendidikan di pesantren.

Sistem pendidikan pesantrenpun memiliki watak mandiri seperti itu, bila dilihat secara keseluruhan. Bermula dari pengajaran sorogan, dimana seoarang kiyai mengajar santrinya yang masih berjumlah sedikit secara bergilir santri per santri, pendidikan di pesantren kemudian berkembang menjadi sistem yang komplek. Pengajian sorogan diikuti oleh pengajian weton, dimana sang kiyai duduk di lantai masjid atau beranda rumahnya sendiri membacakan dan menerangkan teks-teks keagamaan dengan dikerumuni oleh santri-santri yang mendengarkan dan mecatat urutannya itu. Pengajian sorogan masih diteruskan, dengan cara pemebrian wewenang kepada guru-guru untuk melaksanakannya di bilik masing-masing; demikian pula lambat-laun pengajian watonpun diwakilkan kepada pengganti-pengganti (badal), sehingga akhirnya kiyai hanya memberikan pengajaran waton dalam teks-teks utama belaka.

Dari gugusan pengajaran sorogan dan weton ini kemudian memeunculkan sistem pendidikan yang lengkap, dimana secara kolektif pesantren menawarkan pengajaran dalam unit-unit pelajaran yang terpisah satu dari yang lain dan berdiri sendiri-sendiri. Seorang santri dapan memilih unit-unit mana saja yang diikutinya, biasanya setelah konsultasi dengan kiyai dan gurunya sehingga tersusunlah kurikulum individual yang sangat fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan pribadi seorang santri sendiri. Dalam menentukan kurikulum dan pelayanan individual kepada santri inilah baru muncul watak elitis dari pesantren, yaitu dalam pemberian prioritas kepada sejumlah santri yang diistimewakan. Dasar pembedaan pelayanan ini, dalam bentuk pemberian pelajaran tersendiri oleh kiyai, adalah potensi kecerdasan yang tinggi atau hubungan sosial yang intensif antara orang tua santri dan kiyai. Anak-anak sesama kiyai sudah tentu memperoleh perhatian tersendiri, begitu pula anak-anak yang sudah tampak kecerdasannya yang tinggi pada usia dini. Hal itu semua terbatas dalam sistem pendidikan di pesantren ini justru merupakan bagian dari watak mandirinya, karena ia dilaksanakan pada kemampuan melakukan seleksi ketat atas materi anak didik, sehingga dapat dijamin ketinggian mutu produk santri yang di hasilkan nanti. Ketinggian mutu ini, tercermin antara lain dalam sedikit atau banyaknya lulusan sebuah pesantren yang mampu mendirikan  pesantren di tempat masing-masing nantinya, menghasilkan gradasi pesantren utama dan pesantren-pesantren lain, hal mana berarti hak hidup bagi pesantren melalui persaingan yang cukup tajam. Dengan persaingan seperti inilah watak mandiri di tumbuhkan dalam bentuk dorongan mengembangkan kelengkapan pendidikan masing-masing secara bertahap, sehingga nantinya tercapai sistem pendidikan yang bulat dan lengkap.

Dengan masuknya sistem sekolah atau madrasah, sedikit banyak watak mandiri di atas menjadi tergoyahkan.  Seleksi dalam penerimaan siswa diperkenalkan, yang sedikit demi sedikit menghilangkan watak populisnya. Penyusunan kurikulum seragam yang bersifat permanen lalu menjadi kebutuhan, dengan akibat terdesaknya penggunaan kurikulum individual yang bersifat lentur. Sukses  atau tidaknya seorang santri dalam belajar lalu diukur dengan diploma tertulis, yang melemahkan sistem transmisi oral dan dengan sendirinya melemahkan juga kecintaan kepada ilmu pengetahuan, dengan akibat mulai timbulnya keseganan untuk “babat” merintis berdirinya pesantren baru dengan segenap resiko dan tantangan yang harus dihadapi. Mulai muncullah kelas guru permanen yang mencukupkan diri dengan menjadi guru tanpa menjadi kiyai. Kalau tadinya guru-guru yang diwaktu tidak mengajar justru menjadi petani, pedagang di pasar dan berbagai macam profesi lain merupakan corak yang dominan di pesantren, dengan timbulnya sistem pendidikan di madrasah lalu terdesak oleh mereka yang menggantungkan nasib kepada kerja mengajar saja. Akibatnya adalah pemunculan kebutuhan akan gaji tetap, yang dewasa ini berkulminasi pada upaya menjadi guru agama negeri disebagian pesantren yang memiliki madrasah. Perkembangan baru ini dapat mengancam watak mandiri yang telah ada dipesantren, jika tidak dikelola dengan hati-hati dan di awasi dengan teliti akses-akses yang ditimbulkannya.

Penutup

Dari apa yang telah diuraikan menjadi jelaslah bahwa di pesantren telah berkembang watak hidup mandiri, yang ditopang oleh latar belakang fungsinya dalam kehidupan masyarakat dan bersumber pada sistem nilainya sendiri. Pesantren ternyata mampu mengembangkan kelengkapannya sendiri, yang membuatnya mampu memegang peranan sebagai alat transformasi kultural di pedesaan (dan untuk ukuran-ukuran tertentu juga dikota-kota besar).

Untuk mengetahui apa saja yang dapat diambil dari pesantren bagi upaya mengembangkan watak mandiri dalam kehidupan bangsa secara keseluruhan, melalui Lembaga-lembaga pendidikan dan kemasyarakatan yang lain, perlulah dirumuskan hal-hal yang perlu dikembangkan dalam lingkungan pesantren itu sendiri.

Yang pertama tentu saja watak populis dari struktur pendidikannya yang memungkinkan, siapa saja untuk menjadi santri, bahkan mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial sekalipun. Sifat populis dari struktur pendidikan di pesantren akan menahan pesantren untuk tetap mengambil pola penyediaan kebutuhan material sekecil mungkin bagi santrinya, dan dengan demikian akan menekan kebutuhan finansial dari pesantren sendiri dalam jumlah kecil. Pola konsumsi material seperti ini didukung oleh nilai yang memandang kehidupan sebagai peribadatan dan nilai keikhlasan hati mencapai cita-cita dengan tidak memiliki pamrih yang bercabang-cabang. Dengan kata lain, pola hidup serba sederhana yang menjadi ciri pesantren di masa lampau hendaknya tetap di pertahankan. Bahwa para santri berani bertirakat dengan tidak tergoncangkan oleh tarikan pola hidup mewah di luar di masa lalu, haruslah dikembangkan menjadi sikap hidup sederhana justru dimasa serba prihatin seperti yang dilalui bangsa kita dewasa ini.

Selanjutnya fungsi pesantren sebagai alat transformasi kultural secara total, yang membuatnya mandiri dengan cara mengembangkan kelengkapan pola hidup dan intitus-intitusnya sendiri, haruslah dikembangkan secara dinamis dan dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Penghargaan kepada arti kerja, kesediaan untuk berkorban dari pencapaian cita-cita, keberanian melakukan kerja rintisan dengan tidak menghiraukan rintangan, dan dedikasi penuh kepada tugas yang telah menjadi pilihan sendiri, adalah hal-hal yang mungkin dapat dikembangkan dari fungsi kemasyarakatan pesantren yang disebutkan diatas.

Yang terakhir, kedegilan pesantren untuk mempertahankan etika sosialnya sendiri harus dikembangkan lebih jauh, didalam hal kemampuannya mengelola harta masyarakat dengan jujur. Rasa kecukupan dengan apa yang ada pada diri sendiri, yang sebenarnya mendukung etika sosial pesantren itu, adalah justru dasar dari watak mandiri itu sendiri, yang ingin kita kembangkan dalam kehidupan bangsa dimasa kini dan masa depan.

Tentu saja apa yang dikemukakan diatas tidak bersifat memuaskan, karena tidak dirumuskan secara terperinci dan dalam kerangka serba ilmiah. Memang diluar kemampuan pembuatan paper ini untuk berbuat demikian.