Pesantren dan Sekolah Umum

Foto: Matra Pendidikan https://www.matrapendidikan.com/2021/06/pesantren-moderen.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dunia pendidikan kita dewasa ini masih berada pada taraf yang boleh dikatakan kritis. Dengan banyaknya jumklah anak didik yang putus sekolah (drop outs), kemampuan kita semua untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih merata juga menjadi lebih terbatas lagi. belum pula diingat, bahwa di antara mereka yang dapat melanjutkan sekolah masih cukup banyak didapati ketimpangan antara kemampuan, biaya dan motivasinya. Dengan demikian, perkiraan organisasi perburuhan internasional (ILO) akan jumlah tenaga penganggur lebih dari satu milyar jiwa untuk seluruh dunia di tahun 1980 nanti, akan lebih terasa kenyataannya di negeri kita.

Karenanya, seluruh kemampuan untuk mambuka Lembaga-lembaga pendidikan berupa sekolah harus digali terus menerus dari masyarakat, baik yang berasal dari dana-dana pemerintah (sekolah negeri) maupun non-pemerintah (sekolah swasta). Untuk menggali kemungkinan mendirikan sekolah lebih banyak inilah antara lain dapat ditafsirkan salah satu tujuan pelaksanaan sebuah kurikulum baru untuk sekolah-sekolah agama (madrasah). Sebagai sebuah pemecah masalah, memang secara teoritis instruksi tentang kurikulum baru itu akan dapat mendorong pertumbuhan pendidikan yang lebih seragam secara meluas. Tetapi pada kenyatannya instruksi tersebut tidak akan menambah penciptaan sekolah-sekolah baru secara besar-besaran. Paling banyak hanya akan dihasilkan pengalihan titik-berat dari “kurikulum agama” menjadi kurikulum yang lebih berorientasi kepada kebutuhan masa kini.

Untuk menggali kemungkinan mendirikan sekolah-sekolah baru dalam jumlah besar, sebenarnya dapat ditempuh pemecahan lain yang bersifat lebih langsung. Pemecahan tersebut adalah yang berbentuk ajakan serius kepada pesantren untuk mendirikan “sekolah umum” dilingkungan masing-masing. Sekolah-sekolah yang tidak berorientasi keagamaan dikenal dengan nama “sekolah umum” dikalangan pesantren, seperti SD-SMP-SMA dapat diserahkan pengelolaannya dari segi fisik dan material kepada pesantren, sejak mendirikan hingga memelihara dan mengembangkannya sekali. Pesantren memiliki kemampuan potensial untuk mengerahkan dana-dana yang diperlukan untuk tujuan tersebut dari masyarakat, jika pesantren sendiri tersedia melaksanakannya.

Dewasa ini lebih dari 5 juta anak didik memperoleh pendidikan mereka dalam puluhan ribu pesantren, besar dan kecil. Tidak seluruh pesantren yang berjumlah sekian banyak itu memiliki sekolah-sekolah agama/madrasah. Demikian pula, instruksi untuk memindahkan titk-berat kurikulum kepada orientasi yang tidak bersifat melalui keagamaan, tidak berarti akan terjadinya perubahan besar dalam kualitas siswa yang di tampung oleh madrasah. Paling banyak hanya akan terjadi perubahan orientasinya. Adalah lebih realistis untuk mendorong pesantren agar menciptakan dan mengelola sekolah-sekolah baru yang bersifat “umum”.

Ada dua sebab yang akan mendorong pertambahan jumlah siswa baru dengan adanya “sekolah umum” dipesantren nantinya. Pertama, mayoritas warga pesantren yang tidak belajar di madrasah, akan dapat diserap oleh “sekolah umum” itu. Kedua, mereka yang selama ini berada di persimpangan jalan antara ber “sekolah umum” atau mempelajari ilmu agama di pesantren, akan terdorong untuk memasuki pesantren dan sekaligus memasuki “sekolah umum” di lingkungan pesantrennya itu. Hilangnya konflik kejiwaan yang selama ini mengakibatkan jumlah ratusan ribu siswa yang terkantung-kantung tidak besekolah dan tidak pula masuk pesantren, dengan pemecahan yang sederhana konsepsinya ini, akan berarti pertambahan besar-besaran dalam populasi anak didik pesantren ini, pada gilirannya akan berarti pula pertambahan jumlah anak didik yang berpendidikan formal di negeri kita secara keseluruhan.

Tinggal lagi sebuah pertanyaan penting harus dijawab: kalau memang demikian mudah pemecahan masalahnya, mengapakah selama ini gagasan tersebut belum pernah dilaksanakan?

Jawab atas pertanyaan di atas sebenarnya sederhana saja: semua kalangan, terutama kalangan pesantren sendiri, selama ini telah salah memahami peranan pesantren dalam dunia pendidikan kita.

Selama ini, pesantren dirumuskan hanya sebagai wadah pendidikan keagamaan yang bertugas “mencetak” para ulama/ahli agama belaka. Perumusan ini mengakibatkan luasnya anggapan, bahwa hanyalah sekolah agama/madrasah dapat didirikan dalam lingkungan pesantren. Bahkan sekolah agama yang tidak bersifat madrasah, seperti PGS, hampir-hampir tidak memperoleh tempat di pesantren di masa lampau. Tekanan yang terlampau besar (overstress) pada ilmu-ilmu keagamaan pada akhirnya menciptakan semacam penghalang mental yang sangat besar di kalangan pesantren untuk menerima “sekolah umum” dalam lingkungan sendiri.

Dua alasan utama sering diajukan untuk membenarkan sikap menolak “sekolah umum” itu dengan tujuan pertama, adalah tidak sesuainya “sekolah umum” itu dengan tujuan keagamaan yang dimiliki pesantren; sedangkan alasan kedua adalah ketidak mampuan pesantren untuk mengelola “sekolah umum”. Kedua sebab ini ditunjang pula oleh eksklusivitas Departemen Agama sebagai klien pesantren selama ini, di samping hampi-hampir tidak adanya hubungan dengan Departemen  P&K dari jenjang teratas hingga ke aparat terbawah.

Keberatan pertama dapat diatasi dengan menunjukkan kenyataan, bahwa dalam sitem pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun, tidak semua siswanya dapat di “cetak” menjadi ulama/ahli agama. Karenanya, apa salahnya pesantren menerima “sekolah umum” dalam lingkungannya? Kepada para siswa “sekolah umum” itu dapat diberikan pendidikan agama sebagai kegiatan ekstra-kurikuler yang diatur berjenjang, sesuai dengan jenjang “sekolah umum” yang mereka lalui. Sedangkan bagi mereka yang berkeinginan untuk menjadi ulama, masih terbuka kesempatan untuk sepenuhnya mempelajari ilmu-ilmu agama, baik dalam bentuk pendidikan formal di madrasah maupun dalam bentuk pengajian sebagai pendidikan non-formal. Dengan memberikan kesempatan kepada calon-calon ulama untuk mengejar cita-cita, di samping memberikan kesempatan kepada para siswa yang belajar di “sekolah umum” untuk belajar, menurut bakat masing-masing, pesantren dapat membantu mengisi kurangnya wadah pendidikan formal bagi generasi muda kita.

Adapun keberatan kedua, yang sebenarnya adalah hasil dari perwujudan rasa rendah diri di kalangan pesantren sendiri, adalah suatu sifat jiwa yang tidar berdasar sama sekali. Disatu dua pesantren yang telah mengelola “sekolah umum”, seperti pesantren Cipayung di Cikampek (Tasikmalaya), tampak nyata bahwa kemampuan pesantren untuk melakukan pengelolaan seperti itu cukup besar. Dengan melalui penyesuaian dan peningkatan cara kerja pesantren tentu akan dapat mengemban amanat pengelolaan itu dengan baik. Bahkan sikap hidup ber-swadaya, idealisme moral dan kebiasaan untuk hidup serba sederhana, yang selama ini menjadi karakteristik kehidupan pesantren, akan menyerap kedalam kehidupan “sekolah umum” di negeri kita, sehingga dalam jangka panjang pengelolaan pesantren atas “sekolah umum” dalam lingkungannya justru akan memperbaiki pengarahan kualitatif bagi kehidupan “sekolah umum” di tanah-air kita secara keseluruhan. Dengan kata lain, pengelolaan di atas  akan dapat membawa penyegaran kedalam kehidupan “sekolah umum” yang pada tahun-tahun belakangan ini mengalami kegoncangan dalam pengarahannya.

Karenanya, telah tiba saatnya bagi kita semua untuk merencanakan dan melaksanakan pembentukan “sekolah-sekolah umum” secara meluas dalam lingkungan pesantren dengan cara sebaik-baiknya dan berhati-hati. Kita semuanyalah yang akan memetik hasil dari program semacam itu dalam jangka panjang, terutama dari segi hilangnya dualisme pendidikan di negeri kita secara berangsur-angsur, terutama tanpa merugikan pihak manapun yang bersangkut-paut dengan dunia pendidikan itu sendiri.