Kurikulum Pesantren dan Penyediaan Angkatan Kerja

Foto: Petik.or.id https://petik.or.id/2022/11/04/pesantren-gratis-tanpa-biaya-di-depok/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pendahuluan

Kurikulum yang berkembang di pesantren selama memperlihatkan sebuah pola yang tetap. Pola itu dapat diringkas dalam pokok-pokok berikut: (a) kurikulum itu di tujukan untuk “mencetak” ‘ulama dikemudian hari; (b) struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatan nya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada secara pribadi oleh kiyai/gurunya; dan (c) secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur/fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan Menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, bahkan pada pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah sekalipun.

Dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja, kurikulum dengan karakteristik di atas telah menghasilkan alumni yang memasuki lapangan-lapangan kerja “tradisional” seperti menjadi guru, petani, pedagang kecil, pejabat pemerintah dan jabaran yang spesialisasi, dan seterusnya. Karena pendidikan yang diberikan tidak menjurus pada spesialisasi tertentu di luar penguasaan pengetahuan agama, maka tidaklah dapat diminta dari pesantren menurut pola di atas untuk menyediakan tenaga kerja yang terdidik khusus untuk sesuatu jenis pekerjaan. Sifatnya yang ditekankan pada pembinaan pribadi dengan sikap hidup tertentu yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan-lapangan kerja yang tidak direncanakan sebelumnya.

Sepintas lalu kenyataan ini menimbulkan penilaian negatif atas kemampuan pesantren menyediakan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja di masyarakat modern. Dengan jumlah santrinya yang mencapai jutaan jiwa, ketidak mampuan pesantren untuk menyediakan tenaga terlatih untuk lapangan kerja yang membutuhkan spesialisasi tampaknya haruslah disayangkan. Ketiadaan arah jelas bagi kurikulumnya dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja tampaknya terus dicemaskan, apalagi bila dihubungkan dengan sedikitnya persediaan tenaga terlatih untuk lapangan-lapangan kerja khusus, karena masih terbatasnya pendidikan kejuruan di negeri kita. konsekuensi logis dari anggapan ini adalah kehendak dan harapan hendaknya pesantren bersedia membuka dirinya bagi pendidikan yang lebih menjurus dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja.

Untuk memeriksa kebenaran harapan diatas, kita haruslah melakukan tinjauan atas garis-garis besar berbagai jenis kurikulum pesantren yang berkembang dewas ini. Tetapi, utnuk melakukan tinjauan seperti ini terlebih dahulu haruslah diketahui nilai-nilai yang menopang kurikulum pesantren secara keseluruhan, karena tanpa mengenal nilai-nilai itu kita tidak akan memahami mengapa kurikulum pesantren justru berkembang seperti yang dikenal sekarang, setelah itu, barulah dapat dilakukan tinjauan atas beberapa gagasan dan percobaan untuk mengembangkan kurikulum baru di pesantren. Terakhir, dapatlah nantinya dibuat setelah itu proyeksi tentang arah perkembangan kurikulum pesantren dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja di masa depan.

Sistem Nilai Pesantren

Pesantren memiliki sistem nlainya sendiri, yang jauh berbeda dari apa yang terdapat di luarnya. Sistem nilai itu mendukukng sebuah sikap hidup yang tersendiri pula, yang sedikit banyak mempengaruhi perkembangan kurikulum pendidikannya. Sistem nilai itu dapat dikenal dari adanya beberapa nilai utama, yang akan diterangkan serba ringkas di bawah ini.

Nilai utama yang pertama adalah sikap untuk memandang kehidupan secara keseluruhan sebagai kerja peribadatan. Semenjak pertama kali memasuki kehidupan pesantren, seorang santri sudah diperkenalkan kepada sebuah dunia tersendiri, dimana peribadatan menempati kedudukan tertinggi. Dari pemeliharaan cara-cara beribadat ritual yang dilakukan secermat mungkin hingga pada penentuan jalan hidup yang akan dipilih seorang santri sekeluarnya dari pendidikan pesantren nanti, titik pusat kehidupan diletakkan pada pandangan sarwa-ibadat. Waktu bertahun-tahun yang dihabiskan di pesantren tidaklah dirasakan sebagai kerugian, karena penggunaan waktu seperti itu sendiri dinilai sebagai perbuatan beribadat. Mualai dari pola penggunaan waktu secara tersendiri dalam kehidupan sehari-hari, yang mengikuti pola waktu bersembahyang lima kali sehari, hingga kepada pengaturan masa depan hidupnya, tambatan hati deorang santri dipertautkan kepada pengertian beribadat yang sedemikian luas dan menyeluruh. Begitu kuat cengkaman pengertian ibadat atass dirinya, hingga ia akan berkorban untuk mencapai cita-cita mendirikan pesantrennya sendiri sepulang menjadi seorang guru atau mungkin kiyai, diperolehnya melalaui konteks kerja beribadat untuk tujuan [erobadatan pula.

Dari sudut perlakuan kepada kehidupan sebagai ibadat inilah baru dapat dimengerti bagaimana kecintaan kepada ilmu-ilmu pengetahuan agama dapat tertanam begitu kuat di pesantren. Ilmu-ilmu agama, sebagaimana  dihayati dilingkungan pesantren, merupakan landasan yang membenarkan pandangan sarwa-beribadat ditegakkan, dengan landasan pandangan sarwa-beribadat itu pulalah supremasi ilmu-ilmu agama secara mutlak ditegakkan, termasuk sitem pewarisan pengetahuan dengan transmisi oral. Jalan untuk mengerjakan ibadat secara sempurna, menurut pandangan ini, adalah melalui upaya menuntut ilmu-ilmu agama secra tidak berkeputusan dan kemudian mengajarkan dan menyebarkannya. Identifikasi ilmu dan ibadat lalu menjadi identik, dengan sendirinya lalu muncul kecintaan yang mendalam kepada ilmu-ilmu agama sebagai nilai utama lainnya yang berkembang di pesantren.

Kecintaan ini dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti penghormatan yang sangat dalam kepada ahli-ahli ilmu agama, kesediaan berkorban dan bekerja untuk menguasai ilmu-ilmu agama itu sendiri, dan kesediaan nantinya bekerja mendirikan pesantren sendiri sebagai tempat mengajarkan ilmu-ilmu itu. Kecintaan itu pulalah yang akan mendorong seorang santri mencari pola-pola kerja sendiri sepulang dari pesantren, mulai dari cara menerima santri di pesantrennya sendiri nanti hingga kepada sistem evaluasi hasil belajar mereka.

Nilai utama ketiga yang berkembang di pesantren adalah keikhlasan atau ketulusan bekerja untuk tujuan-tujuan bersama. Menjalankan semua yang diperintahkan kiyai dengan tidak ada rasa berat sedikitpun, bahkan dengan penuh kerelaan, adalah bukti paling mudah yang dapat dikemukakan bagi nilai utama ini. Seorang kiyai yang harus membuka pinti rumahnya dua puluh empat jam sehari semalamnya untuk menerima tamu, haruslah memiliki nilai ini untuk dapat bertahan secara psikologis, hidup pribadi kiyai dan santrinya, dilihat dari satu segi, larut sepenuhnya dalam irama kehidupan pesantren yang dipimpinnya, tujuan dan pamrih lain menjadi soal sekunder dalam pandangan ini.

Secara ebrsama, kesemua nilai-nilai utama di atas membentuk sebuah sistem nilai yang berlaku secara universal di pesantren. Secara terpisah-pisah, nilai-nilai itu memperlihatkan wajah saling bertentangan dimata orang luar pesantren, seperti keikhlasan mengharukan yang bercampur dengan ketidak mampuan meninggalkan sikap hidup kekanak-kanakan dan kecintaan mendalam kepada ilmu-ilmu agama yang disertai dengan kesempitan dan ketertutupan pandangan terhadap hal-hal yang tidak “berbau agama”. Tetapi dalam kesatuan berbentuk sistem nilai, gambaran yang disuguhkan adalah justru orisinalitas perwatakan hidup pesantren itu sendiri.

Sistem nilai itu menopang berkembangnya fungsi kemasyarakatan pesantren, yaitu sebagai alat transformasi kultural masyarakat di luarnya secara total. Transformasi yang dilakukan pesantren atas kehidupan masyarakat di luarnya itu dimualai dari perbaikan kehidupan moral di lingkungan sekelilingnya, akhirnya membawakan pesantren kepada “mission sacre”nya : membawa masyarakat kepada manifestasi penghayatan dan pengamalan ajaran agama secara penuh. Dari sudut penglihatan ini barulah dapat dimengerti betapa sulitnya mengajak pesantren kepada perubahan drastis dalam kurikulumnya, karena perubahan itu sendiri akan berarti perubahan fungsi dan tugas kehidupan pesantren sendiri pula.

Kurikulum telah banyak mengalami perubahan dan berkembang dalam variasi bermacam-macam, tetapi kesemua perkembangan itu tetap mengambil bentuk kelestarian watak utama pendidikannya sebagai tempat menggembleng ahli-ahli agama yang dikemudian hari akan menunaikan tugas melakukan transformasi total atas kehidupan masyarakat ditempat masing-masing. Beberapa jenis kurikulum utama perlu ditinjau sepintas lintas dalam hubungan ini:

  1. Kurikulum pengajian non-sekolah, dimana santri belajar pada beberapa orang kiyai/guru dalam sehari semalam. Kurikulum ini, walau pun memiliki jenjangnya sendiri, bersifat sangat fleksibel, dalam artian pembuatan kurikulum itu sendiri bersifat individual oleh masing0masing santri. Sistem pendidikan seperti ini, yang dinamai sitem lingkaran (pengajian halaqah) memberikan kebebasan sepenuhnya kepada santri untuk membuat kurikulumnya sendiri, dengan jalan menentukan sendiri pengajian mana yang akan diikutinya;
  2. Kurikulum sekolah tradisional (madrasah salafiyah), dimana pelajaran telah diberikan dikelas dan disusun berdasarkan kurikulum tetap yang berlaku untuk semua santri. Tetapi ini tidak berarti pendidikannya sendiri telah telah menjadi klasikal, karena kurikulumnya masih didasarkan kepada penahapan dan penjenjangan berdasarkan urutan-urutan teks kuno secara berantai. Walaupun sebagian besar sekolah agama tradisional ini telah memasukkan mata pelajaran non-agama dalam kurikulumnya, tetapi belum ada integrasi kohesif antara komponen mata pelajaran agama dan non-agama. Akibatnya, komponen non-agama lalu kehilangan relevansinya dimata guru dan santrinya, dipelajari tanpa diyakini kebenarannya. Paling jauh, mata pelajaran non-agama hanya dipakai untuk menunjang penggunaan mata pelajaran agama bagi tugas penyebaran agama nantinya;
  3. Pondok modern, dimana kurikulumnya telah bersifat klasikal dan masing-masing kelompok mata pelajaran agama dan non-agama telah menjadi bagian integral dari sebuah sistem yang telah bulat dan berimbang. Tetapi disinipun mata pelajaran non-agama, masih ditundukkan kepada kebutuhan penyebaran ilmu-ilmu agama, sehingga kelompok mata pelajaran tersebut memiliki perwatakan intelektualistis dengan tekanan pada penumbuhan keterampilan sksolastis.

Pengembangan kurikulum Pesantren

Setelah meninjau serba sedikit tiga buah kurikulum utama yang berkembang di pesantren pada umumnya dewasa ini, dengan didahului oleh tinjauan sekilas litas atas nilai-nilai utama yang menopangnya, sampailah kita kepada beberapa gagasan yang telah diajukan dan beberapa percobaan yang sedang dilakukan untuk mengembangkan kurikulum pesantren secara lebih dinamis. Ada lima buah percobaan yang patut ditelaah dalam hubungan ini, dari yang telah berjalan beberapa lama hingga kepada yang baru saja dicoba;

  1. Madrasah negeri. Sistem pendidikan ini telah lama dikembangkan dan telah berusian belasan tahun, tetapi belum memiliki pola menetap, karena senantiasa mengalami perubahan kurikulum dalam jarak terlalu dekat. Pendidikan non-agama didalamnya mengikuti pola kurikulum sekolah-sekolah non-agama tetapi secara kualitatif hasilnya belum lagi memuaskan. Masih terlalu pagi untuk mengetahui hasil apa yang dapat diharapkan dari sistem pendidikan ini dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja, karena percobaan terakhir untuk membuat kurikulumnya relefan dengan kebutuhan baru saja dijalankan. Dengan kesempatan yang di sediakan oleh surat keputusan bersama tiga Menteri (Agama, Dalam Negeri dan Pendidikan dan Kebudayaan) untuk melanjutkan pelajaran si sekolah-sekolah dan perguruan tinggi non-agama nagi lulusannya persoalannya juga belum dapat diselesaikan secara memuaskan. Bagaimanakah halnya dengan mereka yang putus sekolah dari sistem pendidikan ini, bagaimanakah penyelarasan kurikulumnya dengan kebutuhan penciptaan tenaga setenga-terlatih, dan banyak pertanyai lain masih belum ditemukan jawabannya disekitar sistem pendidikan ini;
  2. Program Keterampilan di Pesantren. Program ini, yang dapat dilaksanakan sebagai kegiatan kulikuler sistem pendidikan sekolah di pesantren maupun sebagai kegiatan non-kurikuler, dimaksudkan untuk menyediakan sarana memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk hidup atas kaki sendiri dalam kehidupan setelah keluar dari pesantren nanti. Penghargaan pada arti kerja dan sifat melakukan perhitungan rasional dalam mengambil keputusan diharapkan akan tumbuh dari program ini. Orientasi kehidupan kepada kerja nyata juga diharapkan akan dihasilkan oleh pendidikan keterampilan di pesantren ini. Struktur pendidikannya juga sangat sederhana: penyediaan program terminal berjangka sangat pendek untuk masing-masing jenis keterampilan yang diajarkan. Jika direncanakan secara tepat, program ini sebenarnya memiliki kemungkinan berkembang menjadi unsur luar-sekolah yang penting bagi pesantren, sebagai semacam program de-schooling dimana kegiatan keterampilan tidak terlalu direncanakan secara kaku dengan menggunakan tenaga pengajar formal, melainkan cukup dilayani oleh tukang-tukang dan pengrajin dari masyarakat sekitar pesantren sendiri. Konsep pendidikan keterampilan yang seeperti ini akan mirip dengan gagasan sekolah-masyarakat (community schools) yang dicetuskan akhir-akhir ini;
  3. Program Penyuluhan dan Bimbingan. Berbeda dengan program keterampilan yang ditunjukkan kepada seorang santri sebagai individu, program ini ditujukan kepada pemberian peranan kepada santri sebagai penyuluh dan pembimbing pengembangan beberapa jenis profesi di masyarakat. Dalam program ini, para santri secara bergiliran dididik bersama-sama dengan para petani dan pengrajin dari masyarakat dalam bimbingan untuk mengembangkan profesi mereka, dengan mengundang tenaga pembimbing dari luar. Program  ini telah dilaksanakan oleh beberapa pesantren, tetapi secara sporadic dan belum direncanakan dengan matang, sehingga sulitlah untuk mengetahui pola pendidikan yang dibawakannya;
  4. Program Sekolah-Sekolah Non-Agama di Pesantren. Dasar dari program ini adalah penilaian lebih baiklah bagi pesantren untuk mendirikan sekolah-sekolah non-agama dalam lingkungannya dari pada bertindak “setengah-setengah” seperti kebanyakan pesantren dengan berbagai jenis madrasah mereka. Sebagai kegiatan non-kurikuler, pengajaran pengetahuan agama dapat diberikan diluar sekolah dalam lingkungan pesantren sendiri. Sebagai program yang mengintegrasikan sekolah non-agama kedalam sistem pendidikan pesantren tradisional, diharapkan para santri yang mengikutinya akan mampu menguasai pengetahuan dasar tentang agama pada waktu mereka menyelesaikan sekolah non-agama mereka di pesantren. Bagi yang ingin memperdalam pengetahuan agama, tinggal lagi memperdalam pengajian mereka sebagai spesialisasi keagamaan dalam jangka pendek (4 atau 5 tahun setelah sekolah lanjutan tingkat atas);
  5. Program Pengembangan Masyarakat oleh Pesantren. Program ini bermaksud menciptakan tenaga-tenaga pengembangan masyarakat (change agents) dari pesantren, yang bertugas membantu warga desa untuk  mengenal dan memanfaatkan potensi yang mereka miliki untuk memperbaiki kehidupan mereka, dengan jalan merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek pegembangan desa mereka. Dalam konteks yang lebih besar sedikit, para santri dididik untuk  merencanakan pembuatan UDKP pada tingkat kecamatan. Program ini baru dicoba dilaksanakan disebuah pesantren dewasa ini, tetapi ia diharapkan akan dapat diperluas dengan cepat ke banyak pesantren lain nantinya.

Penutup

Jelaslah dari tinjauan diatas, bahwa beberapa pedoman harus senantiasa diingat dalam merencanakan sebuah kurikulum bagi pesantren, yang memmenuhi tuntutan dan kebutuhan penyediaan angkatan kerja dalam hidup modern ini. Pertama-tama haruslah diingat, bahwa terdapat kesulitan untuk membuat pesantren menerima kurikulum yang bertentangan dengan tujuan penyebaran agama dan fungsi transformasi kultural yang dimiliki pesantren. Penyediaan tenaga yang terampil dan terlatih untuk berbagai jenis profesi haruslah dilakukan dalam sebuah program yang memiliki hubungan dengan tujuan dan fungsi pesantren sebagaimana difahami oleh warga pesantren selama ini.

Selain itu harus pula diingat, bahwa penguasaan pengetahuan agama harus diberi porsi cukup besar dalam dalam kurikulum apapun yang akan diterapakan dilingkungan pesantren. Porsi itu dapat diberikan dalam ukuran besar secara kualitatif, walaupun sedikit secara kuantitatif.

Soal lain yang tidak dapat diabaikan adalah pendekatan multi-disiplener yang harus digunakan dalam mengembangkan kurikulum yang relefan dengan kebutuhan penyediaan angkatan kerja bagi pesantren. Multi-disipliner tidak hanya dalam pilihan jenis-jenis penggajaran yang diberikan, tetapi juga dalam media kegiatan antara aspek kurikuler dan non-kurikulernya, serta dalam penyediaan sumber-sumber pengetahuan yang digunakan (tenaga terampil dari masyarakat disamping pengajar formal).

Dari apa yang diuraikan tampak dengan jelas, bahwa dalam masa depan yang dekat ini masih belum mungki dicapai consensus luas tentang sebuah kurikulum umum yang diterima bersama, walaupun dalam bentuk sederhana sekalipun. Karenanya, dalam hubungan dengan kebutuhan tenaga kerja yang semakin menjurus kepada spesialisasi, percobaan-percobaan yang dilakukan masih harus diteruskan dan diselesaikan dengan sempurna, guna menemukan kerangka kurikulum umum yang nantinya disepakati bersama tetapi memiliki relevansi dengan kebutuhan diatas. Pendidikan kejuruan melalui keterampilan yang telah dimoddifisir, umpamanya, memberi kemugnkinan-kemungkinan seperti itu.

Allah jualah yang akan memperlihatkan apakah hal itu terlaksana atau tidak, kita hanya sekedar mampu mmencoba dan berusaha.