Kembali ke 1A Kumpulan Tulisan

Kiai Nyentrik Membela Pemerintah

1A Kumpulan Tulisan
Kiai Nyentrik Membela Pemerintah
Judul
Kiai Nyentrik Membela Pemerintah
Penulis
Abdurrahman Wahid
Penerbit
LKiS Yogyakarta, Oktober 1997 (cetakan ke-3)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Sinopsis

Buku ini berisi esai-esai Gus Dur yang pernah dimuat di Harian Kompas, Suara Pembaharuan, dan sebagian besar di Majalah Tempo. Total ada 26 tulisan dari tahun 1979-1996. Tulisan Gus Dur ini bisa dibilang sebagai antropologi kiai atau tentang dunia kekiaian, karena berisi cerita-cerita kehidupan para kiai dengan segala perjuangan, kearifan, kesalehan, dan sikap nyentriknya.

 

Uniknya, esai-esai ini ditulis oleh seorang yang sama-sama kiai, yang sudah khatam luar-dalam dunia pesantren, dan mengenal sosok-sosok yang ditulisnya. Kiai Khasbullah Salim, Kiai Muchit, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Sobari, Kiai Iskandar, Kiai Zaenal, Kiai Achmad Siddiq, hingga Gus Miek, adalah sederet nama yang kisahnya dipopulerkan Gus Dur.

 

Di setiap menceritakan sosok kiai, Gus Dur mengenalkan karakter atau perangainya. Keteguhan sikap, keberanian dalam melawan hal yang tak benar, wajah yang ramah, lucu, dan lainnya. Pembaca akan membayangkan sosok tersebut walaupun belum pernah bertemu.

 

Judul buku dipilih penerbit dari kisah Kiai Muchit-Jember, yang dimuat di Majalah Tempo, 5 April 1980. Dalam tulisannya itu Gus Dur menerangkan kalau Kiai Muchit adalah seorang kiai atau ulama intelek, yang sudah mengalami akulturasi dengan dunia luar. Selain sebagai dosen di kampus, beliau juga menjabat sebagai anggota DPRD.

 

Kiai Muchit ini sebagaimana dikisahkan oleh Gus Dur, adalah kiai yang berani mengambil risiko, disembur kanan-kiri oleh kalangannya sendiri karena sikap atau moralnya. Hingga beliau mendapatkan sebutan kiai nyentrik (aneh/berbeda), dan dicap membela pemerintah. Tuduhan ‘membela pemerintah’ adalah dosa asal yang sulit diampuni dalam pemikiran kepartaian di negeri ini.

 

Tuduhan tersebut berawal dari sikap yang diambil oleh Kiai Muchit dalam kasus konflik agraria atau penguasaan tanah. Beliau membela keadilan dalam distribusi tanah dari sudut pandang agama. Bahkan menolak agitasi dari partainya sendiri. Yang akhirnya sematan membela pemerintah tak terhindarkan.

 

Mungkin saja sikap-sikap keberanian Gus Dur untuk mengambil risiko di tengah kontroversinya atau hujatan dari banyak orang dengan tuduhan macam-macam adalah pembacaan Gus Dur terhadap sikap-sikap yang diambil oleh kiai-kiai pesantren ini. Gus Dur meneladani mereka. Membela yang benar meski tidak populer atau tidak sesuai dengan opini publik.

 

Dari esai-esai ini, Gus Dur mengajak pembaca untuk meneladani kiprah kiai pesantren dalam menyelesaikan persoalan atau konflik di masyarakat. Gus Dur sengaja mengambil ketokohan dari mereka, selain kisah nyata yang dekat dengannya, ketokohan kiai pesantren dalam menyampaikan pesan sangat pas, lebih nendang, sebagai pintu masuk yang kemudian diarahkan kepada perbincangan isu-isu sosial.

 

Selain kehidupan pribadi para kiai (life history), Gus Dur juga menganalisa kemunculan kesenian seperti Ludruk, yang lahir dari Jombang Jawa Timur, daerah basis pesantren. Mengapa kesenian rakyat ini justru muncul di sana? tentu analisis Gus Dur ini menarik, hingga mengaitkan medium perkawinan antara sesama keluarga kiai.

 

Membaca buku ini kita akan banyak pelajaran keteladanan dari para kiai pesantren. Teguh pada prinsip, lentur dalam cara. Hal ini sebagaimana yang diajarkan oleh Gus Dur.