Bersatu dalam Menuntut Ilmu

Foto Diambil Dari; https://beritabantul.pikiran-rakyat.com/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KIAI Fatah dan Kiai Masduki adalah dua orang di antara sekian orang kiai yang hidup di Desa Tambakberas. Bersama-sama, kesemua kiai itu menghidupkan kegiatan keagamaan dan mengelola pesantren di desa tersebut, sebagai amanat Kiai Wahab Chasbullah.

Kiai Fatah tinggal di kompleks utama Pesantren Bahrul Ulum itu, di sebelah timur sungai yang membelah dua desa yang terletak dua kilometer di utara kota Jombang itu. Kiai Masduki tinggal di sebelah barat sungai.

Kiai Fatah jadi pemimpin formal kompleks utama dengan ratusan santri yang tinggal, termasuk mengelola semua jenis pendidikan di lingkungan tersebut. Kiai Masduki hanya mengurusi beberapa belas santri saja, itu pun di waktu mereka tidak bersekolah di kompleks utama.

Kiai Fatah menjadi agamawan penuh, dalam artian tidak memiliki pekerjaan apa pun selain menjadi kiai di pesantrennya. Kiai Masduki adalah petani yang mengerjakan sawahnya sendiri dengan susah payah dan mengusahakan pekarangan rumah yang ditanaminya dengan tanaman kebun.

Kiai Fatah mengajar di madrasah, menggunakan peralatan sekolah dengan jam pelajaran teratur. Balaghah (retorika) adalah mata pelajaran kesayangannya. juga usul figh. Lain dari itu tidak mau ia mengajarkannya di sekolah. Paling- paling di luar jam sekolah, sebagai pengajian “weton” yang diikuti para santri tanpa memandang kelas sekolah masing-masing. Semacam kuliah umum atau courses menurut bahasa program purnasarjana di universitas modern.

Kiai Masduki, sebaliknya, tidak mengajar di kelas. Ia mengajar di suraunya sendiri, menunggu santri yang akan mengaji kepadanya, seperti dokter praktek yang menunggu kedatangan pasien.

Lima kali sehari ia buka praktek. Sehabis salat subuh pada dini hari, sehabis salat lohor di tengah hari, sehabis salat asar di sore hari, sehabis salat magrib di senja hari, dan sehabis salat isya di malam hari.

Siklus kehidupan ini tidak mengenal nilai waktu secara modern, tidak dipagari oleh batasan waktu yang umum digunakan di luar. Pengajian siang berhenti kalau kereta api ke jurusan kota Babat melalui Desa Tambakberas. Kalau peluit kereta tidak kunjung terdengar pengajian tidak selesai secara cepat.

Tiap santri yang mengaji menunggu giliran masing-masing. Kalau tiba gilirannya, seorang santri akan meletakkan teks yang ingin dipelajarinya di atas meja yang terletak di muka sang kiai. Kiai Masduki akan membaca halaman yang dibuka oleh si santri, walaupun teks itu diletakkan secara terbalik, Sang Kiai membaca teks itu dari atas, santrinya memberikan catatan di bawah baris yang dibaca itu.

Habis sebuah subjek dibacakan dan diterangkan, sang kiai beralih kepada santri yang lain. Lagi-lagi seperti dokter yang berpraktek. Kalau dokter tidak menampik pasien yang berpenyakit apa pun, Kiai Masduki tidak pernah menolak santri yang membawa kitab teks apa pun.

Kiai Fatah pandai berpidato. Bahkan, termasuk orator yang memikat hati. Bermacam-macam ilustrasi sejarah dikemukakannya untuk menggambarkan pesan yang disampaikannya secara hidup. Banyak lelucon diceritakannya untuk mencegah datangnya kantuk pada para hadirin, dan banyak hafalan ayat Alquran. hadis, dan syair-syair Arab dilontarkannya untuk meyakinkan orang banyak.

Kiai Masduki, sebaliknya, mungkin tidak pernah berpidato di muka umum seumur hidupnya. Kalaupun “berperan” dalam majelis-majelis keagamaan di muka umum, paling-paling hanya untuk membacakan doa penutup atau memimpin tahlil.

Kiai Fatah sering menggoda dengan mempersilakan Kiai Masduki memberikan sambutan. Dan Kiai Masduki selamanya akan menjawab “nanti saja, sehabis sampean memimpin tahlilan”. Maklumlah, Kiai Fatah terkenal sebagai orang yang tidak pernah urut dan runtut kalau memimpin tahlil.

Perbedaan gaya, cara hidup, dan pola pembagian kegiatan antara keduanya, ternyata, tidak menutupi kenyataan akan persamaan yang mendasar antara keduanya. Keteguhan hati untuk mengabdikan diri kepada tugas hidup mengajar kan ilmu-ilmu agama di lingkungan pesantren. Kiai Fatah, dalam bahasa kini, dapat dikatakan “kiai full-timer“, sedangkan Kiai Masduki “kiai part-timer” (karena merangkap bertani). Tetapi, keduanya mengkhususkan pengabdian mereka pada upaya “menuntut ilmu”.

Tidak heran jika keduanya, lalu, juga diarahkan jalan pikiran mereka oleh tugas hidup “menuntut ilmu” itu. Watak mereka dibentuk oleh kecintaan kepada ilmu-ilmu agama dan sikap hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh ilmu-ilmu agama itu sendiri.

Mereka menjadi orang yang tulus dalam mengarungi lautan hidup, tulus kepada panggilan hidupnya, tulus kepada orang lain (tidak pernah mengemukakan buruk sangka mereka kepada orang lain), dan tulus kepada kebenaran yang datang dari keputusan yang diambil bersama.

Tidak heranlah jika mereka tidak pernah menyerang pihak lain, berusaha sejauh mungkin tidak menyakiti hati golongan lain, dan, lebih-lebih lagi, bersikap toleran dalam persoalan yang menyangkut kepentingan umum.

Ya, kebersamaan yang datang dari kesamaan tata nilai dan sikap hidup yang bersumber pada kecintaan mereka pada ilmu-ilmu agama. Mereka menganggap kesemuanya itu sebagai bagian dari upaya “menuntut ilmu” yang mereka yakini kebenarannya.

Kiai Fatah telah tiada. Kiai Masduki sudah tua renta (tetapi tetap mengajar. walaupun tidak lagi ke sawah). Dapatkah mereka wariskan pola kehidupan saling berbeda, tetapi sama-sama bersemangat “menuntut ilmu” itu?