Kata Pengantar: Pesantren, Gegeran, Ger-geran

Sumber Foto: https://www.laduni.id/post/read/70531/kisah-mbah-lim-yang-menganggap-gus-dur-sebagai-3b

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

PESANTREN dan masyarakat pesantren, seolah sumur yang tak pernah kering untuk menjadi kajian ilmiah, atau sekadar gunjingan politik di ruang lobi kantor partai. Dari Geertz, Ben Anderson dan van Bruinessen hingga Mbak Tutut dan Buya Ismail, dengan ketertarikannya masing-masing, membuat bincangan pesantren tetap menarik.

Tapi kumpulan esai Kiai Abdurrahman Wahid ini lebih menarik dari yang pernah ditulis para skolar tersebut. Pertama, esai ini ditulis dengan semangat ilmiah. Esai-esai ini kebanyakan ditulis pada periode awal 1980-an –dan diterbitkan TEMPO (almarhum). Sebuah periode yang dapat disebut sebagai ‘periode ilmiah’-nya Gus Dur. Yakni ketika Gus Dur lagi gandrung dengan penggunaan metodologi ilmu sosial –terutama antropologi– untuk menjelaskan ‘ideologi’-nya.

Kedua, esai-esai dalam buku ini –yang secara umum dapat disebut ‘Antropologi Kiai’, ditulis oleh ‘orang dalam’ dalam arti sepenuh-penuhnya, yang tidak dapat tertandingi keterlibatannya oleh seorang etnolog gila sekali pun. Bau apak pesantren yang sering dicium oleh orang luar, menjadi harum dengan analisis Gus Dur. Pola konflik, integrasi, solidaritas di masyarakat pesantren yang sering membuat pusing pengamat asing, menjadi sesuatu yang gampang dicerna. Gegeran di antara kiai lalu menjadi ger-geran. Benturan nilai-nilai modern dan tradisi pesantren, menjadi sebuah dialektika kehidupan yang dihadapi dengan biasa-biasa saja. Namun demikian lalu mengundang senyum, ya, senyum mafhum.

Dan selebihnya, esai-esai Gus Dur ini telah menjadi teks tersendiri, bukan?