Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tiga tahun lalu, di sebuah beranda surau di Tambak Beras, Desa Ploso, Kediri, saya berhasil menelusuri Kota Kediri sebelum melihat mobil Gus Miek di sebuah gang, tengah meninggalkan tempat itu. Dalam kecepatan tinggi, mobilnya menuju ke arah selatan dan hanya kami bayangi dari kejauhan. Setelah membelok ke barat dan kemudian ke utara melalui jalan pararel, akhirnya mobil itu berhenti di depan surau tersebut. Gus Miek sudah meninggalkan mobilnya menuju ke surau itu, ketika mobil tumpangan saya sampai. Ia terkejut melihat kedatangan saya, karena dikiranya saya adalah adiknya, Gus Huda. Rupanya, mobil tumpangan saya sama warna dan merek dengan mobil adiknya itu.

Dari beranda itu ia menunjuk sebidang tanah yang baru saja disambungkan ke pekarangan surau dan berkata kepada saya, “Di situ nanti Kiai Achmad akan dimakamkan. Demikian juga saya. Dan nantinya sampeyan.” Dikatakan, tanah itu sengaja dibelinya untuk tempat penguburan para penghafal al-Qur’an. Saya katakan kepadanya, bahwa saya bukan penghafal al-Qur’an. Dijawabnya bahwa bagaimanapun saya harus dikuburkan di situ. Setahun kemudian, ketika KH. Achmad Shiddiq wafat, beliau pun dikuburkan di tempat itu di atas permintaan Gus Miek. Baru saya sadari bahwa Kiai Achmad yang dimaksudkannya setahun sebelum itu adalah KH. Achmad Shiddiq.

Hal-hal seperti inilah yang sering kali dijadikan bukti oleh banyak orang, bahwa KH. Hamiem Jazuli alias Gus Miek adealah seorang dengan kemampuan supernatural. Sesuai dengan “tradisi” penyempitan makna istilah, orang awam menyebutnya dengan istilah wali (saint). Kemampuan supernatural KH. Hamiem alias Gus Miek itu, dalam istilah eskatologi orang pesantren, dinamakan khoirul ‘adah, alias keanehan-keanehan. Dengan bermacam-macam keanehan yang dimilikinya, Gus Miek lalu memperoleh status orang keramat. Banyak “kesaktian” ditempelkan pada reputasinya. Mau banyak rezeki, harus memperoleh berkahnya. Ingin naik pangkat, harus didukung olehnya. Mau beribadah haji, harus dimakelarinya. Mau gampang jodoh, minta pasangan kepadanya. Dan demikian seterusnya.

Reputasinya sebagai orang keramat ini, dinilai sebagai pendorong mengapa banyak orang berbondong-bondong memadati acara keagamaan yang dilangsungkan oleh Gus Miek. Sema’an (bersama-sama mendengarkan bacaan al-Qur’an oleh para penghafalnya) yang diselenggarakannya di mana-mana, selalu penuh sesak oleh rakyat banyak. Dari pagi orang bersabar mendengarkan bacaan al-Qur’an, untuk mengamini do’a yang dibacakan Gus Miek sesuai menamatkan bacaan al-Qur’an secara utuh, biasanya sekitar pukul 8 malam. Bersabar mereka menanti sepanjang hari untuk memperoleh siraman jiwa berupa mau’izah hasanah (petuah yang baik) dari tokoh kiai kharismatik ini. Padahal, sepagian itu ia masih tidur, setelah begadang semalam suntuk. Itulah acara rutinnya, di mana pun ia berada.

Baru belakangan orang menyadari, bahwa Gus Miek menempuh dua pola kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren, tertuang dalam rutinitas Sema’an, dan gebyarnya kehidupan kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar, karena selamanya ia berada di tengah diskotik, night clubcoffee shop, dan “arena persinggahan perkampungan” orang-orang tuna susila.

Tidak tanggung-tanggung, ia akrab dengan seluruh penghuni dan aktor kehidupan tempat tersebut. Yang ditenggaknya adalah bir hitam, yang setiap malam ia nikmati berbotol-botol. Rokoknya Wismilak bungkus hitam, yang ramuannya diakui berat.

Kontradiktif? Ternyata tidak, karena di kedua tempat itu ia berperan sama. Memberi kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang lemah, dan mengajak semua pada kebaikan. Apakah itu petuah di pengajian seusai Sema’an, sewaktu konsultasi pribadi dengan pejabat dan kaum elite lainnya, ataupun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan suara lirih ke telinganya oleh perempuan-perempuan penghibur, esensinya tetap sama. Manusia mempunyai potensi untuk memperbaiki keadaannya sendiri.

***

Dua tahun lalu, Gus Miek mengatakan kepada saya, bahwa saya harus mundur dari NU. Saya baca hal itu sebagai himbauan agar saya teruskan perjuangan menegakkan demokrasi di negeri kita, tetapi dengan tidak “merugikan” kepentingan organisasi yang saat ini sedang saya pimpin. Dikatakan, sebaiknya saya mengikuti jejaknya berkiprah secara individual melayani semua lapisan masyarakat. Saya tolak ajakan itu dua tahun lalu, karena saya beranggapan perjuangan melalui NU masih tetap aktif.

Baru sekarang saya sadari, menjelang saat kepulangan Gus Miek ke haribaan Tuhan, bahwa ia membaca tanda zaman lebih jeli daripada saya. Bahwa dengan “menggendong” beban NU, upaya menegakkan demokrasi menjadi tidak semakin mudah. Karena para pemimpin NU yang lain justru tidak ingin kemapanan yang ada diusik orang. Dari tokoh inilah saya belajar untuk membedakan apa yang menjadi pokok persoalan dan apa yang sekadar ranting.

Tetapi, Gus Miek juga hanyalah manusia biasa. Manusia yang memiliki kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Keseimbangan hidupnya tidak bertahan lama oleh ketimpangan pendekatan yang diambilnya. Ia menjadi terlalu memperhatikan kepentingan orang-orang besar dan para pemimpin tingkat nasional. Ia juga tidak menjadi imun terhadap terhadap kenikmatan dunia yang gebyar. Untuk beberapa bulan hubungan saya dengan Gus Miek secara batin menjadi sangat terganggu karena hal-hal itu. Saya menolak untuk mendukung jagonya untuk jabatan wapres, dan ini membuat ia tidak enak perasaan kepada saya.

Mungkin tidak dipahaminya keinginan saya agar agama tidak dimanipulasikan dengan politik negara. Tugas pemimpin agama adalah untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara berupaya agar kebenaran dapat ditegakkan. Sedang kebenaran itu akan terjelma melalui kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, kedaulatan hukum, kebebasan, dan persamaan perlakuan di muka undang-undang.

Tetapi, sejauh apa pun hubungan kami berdua, saya sendiri tetap rindu kepada Gus Miek. Bukan karena gebyarnya dunia hiburan, melainkan bahwa kalau malam, menjelang pagi, ia tidur beralaskan kertas koran di rumah Pak Syaf’i Ampel di Kota Surabaya, atau Pak Hamid di Kediri. Yang dimiliki Pak Hamid hanyalah sebuah kursi plastik jebol dan dua gelas serta teko logam. Itulah dunia Gus Miek yang sebenarnya, yang ditinggalkannya untuk beberapa bulan mungkin hanya sebagai sebuah kelengkapan lakonnya yang panjang. Agar ia tetap masih menjadi manusia, bukan malaikat.

Yang selalu saya kenang adalah kerinduannya pada upaya perbaikan dalam diri manusia. Karena itu, ulama idolanya pun adalah yang membunyikan lonceng harapan dan genta kebaikan, bukan hardikan dan kemarahan terhadap hal-hal yang buruk. Tiap 40 hari sekali ia mengaji di makam Kiai Ihsan Jampes, yang terletak di Tepi Brantas di Dukuh Mutih, pinggiran Kota Kediri. Ia gandrung kepada Mbah Mesir yang dimakamkan di Trenggalek, pembaca tarekat Syadziliah dua ratus tahun yang lalu di Jawa Timur. Tarekat itu adalah tarekatnya orang kecil, dan membimbing rakyat awam yang penuh kehausan rasa kasih dan sapaan yang santun.

Gus Miek inilah yang melalui transendensi keimanannya tidak lagi melihat “kesalahan” keyakinan orang beragama atau kepercayaan lain. Ayu Wedayanti yang Hindu diperlakukan sama dengan Neno Warisman yang muslimah, karena ia yakin kebaikan sama berada pada dua orang penyanyi tersebut. Banyak orang katolik menjadi pendengar setia wejangan Gus Miek di Sema’an.

Kerinduannya pada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya supernatural. Bukan karena ia menyalahi ketentuan hukum-hukum alam. Super karena ia mampu mengatasi segala macam jurang pemisah dan tembok penyekat di antara sesama manusia. Natural karena yang ia harapkan hanyalah kebaikan bagi diri manusia. Kalau ia dianggap nyeleneh (khoriqul ‘adah), maka dalam artian inilah ia harus dipahami demikian. Bukankah nyeleneh orang yang tidak peduli batasan agama, etnis, dan profesi serta tidak hirau apa yang dinamakan baik dan buruk di mata kebanyakan manusia, sementara manusia saling menghancurkan dan membunuh?