Skala Prioritas Ibadah

Sumber Foto; https://muijatim.or.id/2020/12/03/refleksi-haji-dan-idul-adha-menjadikan-indonesia-sebagai-destinasi-halal-dunia

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

APA yang dilakukan para kiai di Rembang beberapa waktu yang lalu memang terasa aneh: membuat skala prioritas ibadah. Kalau skala prioritas pembangunan, bukan barang baru.

Di kota pantai utara Pulau Jawa itu, seorang pemilik toko yang menjual skuter dan sepeda motor, sisa-sisa kelas pedagang santri yang jaya di masa lampau, tiap tahun melakukan ibadah haji ke Mekah. Ibadah haji pertama memang wajib, tetapi pengulangannya tidak. Hanya diseyogiakan dalam istilah hukum agama (fiqh) disebut disunahkan.

Ada yang menanyakan kepada para kiai di Rembang itu status haji sunah yang dilakukan berkali-kali. Padahal, ada yang lebih membutuhkan pembiayaan, yaitu pembangunan gedung sekolah agama, alias madrasah. Jalan pikiran penanya itu sebenarnya sesuai dengan penalaran manusia yang membangun. Bukankah Nabi Muhammad bersabda, “Menuntut ilmu wajib bagi tiap muslim, pria dan wanita?”

Para kiai lantas membahasnya dalam majelis fiqh yang mereka selenggarakan secara teratur. Sudah dapat diduga: mereka akhimya membenarkan pendapat dan imbauan penanya di atas. Namun, bukan keputusannya yang penting, melainkan proses tercapainya. Dasar pengambilan keputusan itu tepat kalau disebut “indikator skala prioritas ibadah”. Seolah-olah merupakan sesuatu yang empiris, padahal bukan.

Para kiai di Rembang ternyata tidak mendasarkan keputusan mereka pada penalaran yang dikemukakan oleh si penanya. Penalaran seperti itu terlalu rasionalistis, tidak sesuai dengan sendi-sendi pemikiran keagamaan mereka.

Menurut “kamus fiqh” yang mereka anut, tidak ada tempat untuk penalaran rasional yang tuntas, yang langsung dengan menggunakan ayat Alquran atau sabda Nabi. Itu kelancangan apalagi kalau dilakukan orang yang tidak kompeten.

Dalam pandangan mereka, untuk penalaran di bidang fiqh harus ada kerangka penglihatan yang jelas, Dan kerangka berpikir serba deduktif itu disistematisasikan dalam sebuah teori hukum yang dinamai usul fiqh. Metode inilah yang menentukan bagaimana ayat Alquran atau sabda Nabi harus diberlakukan dalam setiap masalah yang timbul. Juga bagaimana keputusan diambil kalau tidak ada “dalil” berupa ayat Alquran atau sabda Nabi-melalui analogi (kias), konsensus (ijmak), dan sebagainya.

Ada sekian puluh kaidah yang telah dibakukan dengan tujuan dipakai sebagai “pedoman” dalam pengambilan keputusan. Yang terkenal adalah Asybah Wa Naza’ir, karya utama As-Sayuti yang sudah berumur hampir enam abad. Dalam Asybah itulah mereka dapati kaidah yanag berhubungan dengan kasus tadi. Bunyinya sederhana: “amal perbuatan yang berlanjut diutamakan atas amal perbuatan yang terhenti” (al-‘amalul muta’addi afdhalu minal ‘amalil qashir).

Amal kebajikan yang berlanjut adalah yang kegunaannya dirasakan orang lain. Bahasa Jawa model pesantrennya disebut sumrambah olehe migunani. Sedangkan yang terhenti adalah yang kegunaannya hanya kembali kepada diri si pelaku. Maka, selesailah pembahasan para kiai. Mendirikan madrasah adalah amal kebajikan yang berlanjut. Jadi, diutamakan.

Aplikasi kaidah yang demikian sederhana itu ternyata adalah bidang para kiai. Dalam batas-batasnya sendiri, bukankah ia perlu didorong untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang jelas kegunaannya bagi masyarakat? Titik tolak mengaitkan “sistem kaidah” itu dengan tekanan di bidang kemasyarakatan. pun sudah diantisipasikan oleh kaidah lain, yakni: tasharruful imam manutun bil maslahah. “Kebijaksanaan si pengambil keputusan mengikut kepentingan rakyat”.